Share

Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Author: pachirawidi

Bab 1

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:23:54

Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya.

"Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku.

Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup."

Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu."

Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita."

Dia tertawa kecil, suara yang selalu membuatku merasa lebih baik. "Aku yakin mereka akan menyukaiku. Kamu terlalu meremehkan pesonaku." Andrew mengedipkan matanya.

l

Aku memutar mata sambil tersenyum. Andrew selalu punya cara untuk meredakan kecemasanku, meskipun aku tahu, saat ini, aku butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menenangkan hati. Kepulanganku klau ini aku tidak memberitahu siapapun, untuk memberikan kejutan pada mereka semua.

Langit masih gelap ketika kami tiba di bandara. Andrew berjalan di depanku, mendorong troli koperku dengan tenang. Aku hanya mengikuti langkahnya sambil memandangi suasana sibuk bandara.

"Kamu yakin tidak ingin aku ikut hari ini?" Andrew menatapku dengan serius ketika kami berhenti di depan pintu keberangkatan.

Aku menggeleng pelan. "Kamu masih punya urusan di sini, Andrew. Lagipula, aku ingin memastikan semuanya siap untuk menyambutmu besok."

Dia terdiam sejenak, lalu mendekat dan meraih kedua tanganku. "Aku akan menyusul, Savannah. Besok, aku akan membuat ulang tahun ayahmu menjadi hari yang tak terlupakan."

Aku tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku percaya padamu."

Pengumuman penerbangan terdengar, mengingatkanku bahwa waktuku bersama Andrew sudah habis. Kami melangkah ke gerbang keberangkatan. Andrew menahan langkahku, lalu menangkup wajahku dengan tangannya.

"Hati-hati di jalan, oke? Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."

Aku mengangguk pelan. "Aku pasti kabari kamu."

Dia mencium keningku, lembut dan penuh kehangatan. "Aku mencintaimu," bisiknya.

Aku balas tersenyum, meski hatiku berat meninggalkannya. Dengan langkah perlahan, aku masuk ke area pemeriksaan keamanan. Aku menoleh sekali lagi, melihat sosok Andrew yang tetap berdiri di tempatnya, mengawasiku dengan pandangan penuh kasih. Aku langsung melambaikan tangan padanya, sebagai perpisahan.

Di Pesawat aku duduk di kursiku, mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Namun, pikiranku terus kembali ke wajah ayahku. Bagaimana reaksinya saat melihatku? Apakah ia akan senang? Atau malah terkejut saat aku membicarakan Andrew?

Aku memejamkan mata, membayangkan senyuman ayah yang hangat menyambutku. Sejak ibuku meninggal, aku tahu aku adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya. Walaupun ayahku juga memiliki banyak anak lainnya.

"Dia pasti akan menyukai Andrew," gumamku pelan, mencoba menenangkan diri. Aku sedikit khawatir, ayah susah menerima Andrew karena pria itu hany berprofesi sebagai Photographer, ayah selalu ingin punya menantu pengusaha agar memudahkan dalam bisnisnya.

Tapi apa yang membuatku lebih gugup adalah momen saat aku menyampaikan kabar ini. Apakah aku sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan?

Langkahku melambat begitu aku keluar dari pintu kedatangan. Udara hangat Indonesia langsung menyapaku, membawa aroma yang terasa begitu familiar. Ada sesuatu tentang bau ini—perpaduan kelembapan, wangi kopi dari kedai dekat pintu keluar, dan suara bising keramaian bandara—yang membuat dadaku bergetar.

Mataku menyapu sekeliling, mencari sosok yang aku tunggu. Tidak lama, suara yang sudah sangat kukenal memecah keramaian.

l

"Savannah!"

Aku menoleh cepat ke arah suara itu, dan melihat Eleanor—sahabatku yang sudah bertahun-tahun tidak aku temui. Ia melambai heboh dari balik pagar pembatas, wajahnya cerah dengan senyuman lebar yang langsung menghangatkan hatiku.

"Eleanor!" Aku berlari kecil ke arahnya, menyeret kopernya di belakangku. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang!" serunya, suaranya sedikit bergetar karena emosi.

Aku tertawa, meski mataku mulai berkaca-kaca. "Aku pulang, El. Akhirnya."

Kami melepaskan pelukan, dan Eleanor menatapku dengan tatapan penuh rasa rindu. "Kamu tidak banyak berubah, tapi kenapa rasanya kamu semakin cantik?" godanya.

Aku terkekeh. "Kamu juga kelihatan luar biasa, El. Kita benar-benar harus mengejar semua waktu yang terlewat."

Eleanor menggenggam tanganku erat. "Dan itu dimulai sekarang. Aku sudah pesan tempat makan yang kamu suka. Tapi sebelum itu, aku yakin ayahmu sudah tidak sabar melihatmu."

Penyebutan ayah membuatku mengangguk pelan. "Benar. Aku sudah rindu sekali."

Di dalam mobil Eleanor, aku menatap keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang terasa akrab tapi juga asing. Bangunan-bangunan, jalanan yang ramai, semuanya seperti memanggil kenangan masa lalu.

"Jadi, apa rencanamu sekarang setelah kembali?" tanya Eleanor sambil melirikku sesekali.

Aku menghela napas panjang, sejujurnya aku belum punya rencana matang. "Besok ulang tahun ayahku. Aku ingin membuatnya bahagia. Dan... aku juga akan membicarakan soal Andrew."

Eleanor tersenyum kecil. "Andrew. Jadi dia pria yang kamu ceritakan itu?"

Aku mengangguk. "Ya, dia. Dia akan menyusul besok karena masih ada urusan. Aku harap ayahku menyukainya."

Eleanor terkekeh. "Kalau dia sebaik yang kamu ceritakan, aku yakin ayahmu tidak akan keberatan."

Aku tersenyum, meski ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku berharap begitu." Aku benar-benar berharap ayah benar-benar merestuinya dengan Andrew, bagaimana pun aku sangat mencintai pria itu.

Begitu mobil Eleanor memasuki halaman rumah, hatiku langsung berdebar. Rumah itu masih sama atap merah bata tua yang terbuat dari gentengg berkualitas tinggi, menciptakan kesan megah namun elegan. Pagar besi tempa yang tinggi dan kokoh mengelilingi rumah, dengan desain klasik yang memperlihatkan kemewahan tanpa terkesan berlebihan. Halaman depan luas, dipenuhi dengan tanaman-tanaman hijau yang rapi, seperti semak-semak boxwood yang dibentuk dengan presisi. Ada pohon ek besar di sudut halaman, menciptakan kesan teduh dan anggun. Rumah ini, dengan segala keindahannya, terasa seperti sebuah simbol warisan yang sudah bertahan selama bertahun-tahun—rumah milik keluarga yang tidak hanya kaya, tetapi juga dihormati.

Eleanor membantuku menurunkan koper. "Aku akan menemanimu sampai di dalam, oke?"

Aku mengangguk, meski sebenarnya aku sudah gemetar. Dengan langkah perlahan, aku menyeberangi halaman menuju pintu utama yang besar, terbuat dari kayu mahoni yang dipoles halus dan dihiasi ukiran halus yang tak lekang oleh waktu. Pintu itu membuka perlahan, dan di baliknya, aku disambut oleh ruang foyer yang luas dan dramatis. Langit-langit tinggi dengan ornamen klasik, dilapisi dengan wallpaper berbunga yang lembut namun menambah kesan mewah. Lampu gantung kristal besar tergantung dengan anggun, memantulkan cahaya lembut yang memberi suasana hangat namun tetap terkesan formal.

Lantai marmer hitam-putih mengkilap menambah kesan megah, sementara lukisan-lukisan antik menghiasi dinding-dinding besar, menciptakan ruang yang tampaknya tidak pernah berubah. Setiap sudut dipenuhi dengan furnitur kayu mahoni dan pelapis kulit halus, semuanya terlihat begitu terawat dan penuh perhatian.

"Savannah?" Suara berat yang familiar terdengar dari ruang tamu.

Aku menoleh dan melihat ayahku berdiri di sana, wajahnya tampak terkejut, namun ekspresinya segera berubah menjadi penuh kebahagiaan. Ayah berjalan mendekatiku.

"Papa!" Aku berlari ke arahnya, memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang, Nak," bisiknya, suaranya bergetar. Tangan besarnya menyentuh rambutku, menyentuh pipiku, seolah memastikan aku benar-benar ada di sini. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya terwujud.

Air mataku akhirnya jatuh. "Aku rindu sekali, Pa."

Ayah melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kehangatan. "Selamat ulang tahun lebih awal, Pa," ucapku, mencoba bercanda untuk menyembunyikan emosiku.

Ayah tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. "Ini hadiah terbaik yang Papa bisa dapatkan."

Aku tersenyum, meski ada ketegangan yang tiba-tiba menyelinap di antara kami. "Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan. Tapi nanti saja, ya?"

Ayah mengangguk, memahami tanpa kata. "Tentu. Sekarang ayo kita makan malam bersama. Semua orang tidak sabar bertemu denganmu."

Aku mengangguk, menatap Eleanor yang berdiri di belakangku. Dia tersenyum, memberikan anggukan kecil, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun saat aku melangkah lebih dalam, mataku menangkap pemandangan yang mengejutkan.

Meja makan panjang yang biasanya hanya diisi beberapa orang, kini penuh dengan anggota keluarga semua orang duduk rapi, mengenakan pakaian formal yang elegan. Dari usia muda hingga yang lebih tua, semuanya hadir, seolah ada acara keluarga besar yang tak pernah aku ketahui. Aku merasa sedikit terkejut dan cemas—apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka semua ada di sini? Para sepupu dan anak-anak ayah yang lain juga ada disini. Aku berjalan dan menatap mereka dengan heran, beberapa orang lainnya mulai menatapku dengan sinis.

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 2

    Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 3

    Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, c

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 4

    Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa key

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Last Updated : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 49

    Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 48

    Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 47

    Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 46

    Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 45

    Eleanor telah pulang. Aku sudah mengantarnya pagi tadi, lalu langsung bekerja. Rutinitas yang melelahkan, tetapi setidaknya pikiranku bisa teralihkan. Namun, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, aku merasa perlu udara segar. Pantai. Tempat itu selalu jadi pelarianku. Aku menghela napas panjang di depan cermin. “Hari baru, Savannah. Fokus untuk tenang,” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah berlalu. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Mengenakan dress putih selutut dan mengikat rambutku dengan sederhana, aku keluar dari kamar hotel. Udara sore terasa hangat, dengan angin laut berembus pelan. Jalanan sekitar resort ramai dengan turis yang sibuk mengambil foto atau sekadar menikmati suasana tropis. Aku berjalan pelan, membiarkan pikiranku melayang-layang, menikmati momen ini sendirian. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggil namaku. “Savannah?” Aku menoleh cepat, dan seketika mood-ku hancur. Theo. Lelaki

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 44

    Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 43

    Ketika memasuki rumah sewaanku, aku tertegun mendapati Eleanor sudah berdiri di belakangku dengan tangan bersedekap. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk, siap menginterogasiku. "Astaga, El! Kamu mengagetkanku," ucapku terkejut sambil menepuk dadaku. Rasanya seperti hampir kehilangan napas. Namun, dia tidak bereaksi seperti biasanya. Eleanor hanya menatapku tajam, kedua alisnya bertaut. "Kamu pergi lama sekali, dan dengan pria yang kamu tidak begitu kenal? " ucapnya, nada suaranya terdengar seperti interogasi. Apa yang diucapkan Eleanor sangat benar, tapi aku juga bingung untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Aku tertawa gugup, mencoba menyusun alasan sebelum menjawab. "Aku juga nggak nyangka bakal selama itu. Theo hanya minta ditemani makan," kataku, berusaha terdengar santai agar Eleanor tidak bertanya semakin banyak. Namun, Eleanor tidak termakan jawabanku. Dia menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. "Hanya makan? Sampai berjam-j

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 42

    Saat aku menelpon taksi online, langkah cepat Thomas mendekatiku. Lagi. Kali ini dengan sikap yang lebih memaksa, ia berusaha meyakinkanku untuk pulang bersama mereka. Namun, seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah. "Tuan Theo meminta maaf jika telah menyinggung Anda," katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku mendongak dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Sudah dimaafkan. Jadi, saya ingin pulang." Namun, alih-alih menyerah, Thomas tiba-tiba melakukan sesuatu yang benar-benar mengejutkanku. Ia berlutut di depanku, memohon dengan tatapan memelas yang sama sekali tak kuharapkan darinya. "Tolong, nona. Kami hanya ingin memastikan Anda pulang dengan aman. Tuan Theo sangat khawatir," katanya dengan suara yang nyaris terdengar seperti rayuan. Aku mendesah panjang, memutar bola mata. Apakah mereka pikir aku tidak mampu menjaga diriku sendiri? "Taksinya sudah dipesan. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot," balasku sambil menunjuk layar ponselku yang menunjukkan status taksi yang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status