Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya.
"Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu membuatku merasa lebih baik. "Aku yakin mereka akan menyukaiku. Kamu terlalu meremehkan pesonaku." Andrew mengedipkan matanya. Aku memutar mata sambil tersenyum. Andrew selalu punya cara untuk meredakan kecemasanku, meskipun aku tahu, saat ini, aku butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menenangkan hati. Kepulanganku klau ini aku tidak memberitahu siapapun, untuk memberikan kejutan pada mereka semua. Langit masih gelap ketika kami tiba di bandara. Andrew berjalan di depanku, mendorong troli koperku dengan tenang. Aku hanya mengikuti langkahnya sambil memandangi suasana sibuk bandara. "Kamu yakin tidak ingin aku ikut hari ini?" Andrew menatapku dengan serius ketika kami berhenti di depan pintu keberangkatan. Aku menggeleng pelan. "Kamu masih punya urusan di sini, Andrew. Lagipula, aku ingin memastikan semuanya siap untuk menyambutmu besok." Dia terdiam sejenak, lalu mendekat dan meraih kedua tanganku. "Aku akan menyusul, Savannah. Besok, aku akan membuat ulang tahun ayahmu menjadi hari yang tak terlupakan." Aku tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku percaya padamu." Pengumuman penerbangan terdengar, mengingatkanku bahwa waktuku bersama Andrew sudah habis. Kami melangkah ke gerbang keberangkatan. Andrew menahan langkahku, lalu menangkup wajahku dengan tangannya. "Hati-hati di jalan, oke? Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai." Aku mengangguk pelan. "Aku pasti kabari kamu." Dia mencium keningku, lembut dan penuh kehangatan. "Aku mencintaimu," bisiknya. Aku balas tersenyum, meski hatiku berat meninggalkannya. Dengan langkah perlahan, aku masuk ke area pemeriksaan keamanan. Aku menoleh sekali lagi, melihat sosok Andrew yang tetap berdiri di tempatnya, mengawasiku dengan pandangan penuh kasih. Aku langsung melambaikan tangan padanya, sebagai perpisahan. Di Pesawat aku duduk di kursiku, mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Namun, pikiranku terus kembali ke wajah ayahku. Bagaimana reaksinya saat melihatku? Apakah ia akan senang? Atau malah terkejut saat aku membicarakan Andrew? Aku memejamkan mata, membayangkan senyuman ayah yang hangat menyambutku. Sejak ibuku meninggal, aku tahu aku adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya. Walaupun ayahku juga memiliki banyak anak lainnya. "Dia pasti akan menyukai Andrew," gumamku pelan, mencoba menenangkan diri. Aku sedikit khawatir, ayah susah menerima Andrew karena pria itu hany berprofesi sebagai Photographer, ayah selalu ingin punya menantu pengusaha agar memudahkan dalam bisnisnya. Tapi apa yang membuatku lebih gugup adalah momen saat aku menyampaikan kabar ini. Apakah aku sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan? Langkahku melambat begitu aku keluar dari pintu kedatangan. Udara hangat Indonesia langsung menyapaku, membawa aroma yang terasa begitu familiar. Ada sesuatu tentang bau ini—perpaduan kelembapan, wangi kopi dari kedai dekat pintu keluar, dan suara bising keramaian bandara—yang membuat dadaku bergetar. Mataku menyapu sekeliling, mencari sosok yang aku tunggu. Tidak lama, suara yang sudah sangat kukenal memecah keramaian. "Savannah!" Aku menoleh cepat ke arah suara itu, dan melihat Eleanor—sahabatku yang sudah bertahun-tahun tidak aku temui. Ia melambai heboh dari balik pagar pembatas, wajahnya cerah dengan senyuman lebar yang langsung menghangatkan hatiku. "Eleanor!" Aku berlari kecil ke arahnya, menyeret kopernya di belakangku. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat. "Kamu benar-benar pulang!" serunya, suaranya sedikit bergetar karena emosi. Aku tertawa, meski mataku mulai berkaca-kaca. "Aku pulang, El. Akhirnya." Kami melepaskan pelukan, dan Eleanor menatapku dengan tatapan penuh rasa rindu. "Kamu tidak banyak berubah, tapi kenapa rasanya kamu semakin cantik?" godanya. Aku terkekeh. "Kamu juga kelihatan luar biasa, El. Kita benar-benar harus mengejar semua waktu yang terlewat." Eleanor menggenggam tanganku erat. "Dan itu dimulai sekarang. Aku sudah pesan tempat makan yang kamu suka. Tapi sebelum itu, aku yakin ayahmu sudah tidak sabar melihatmu." Penyebutan ayah membuatku mengangguk pelan. "Benar. Aku sudah rindu sekali." Di dalam mobil Eleanor, aku menatap keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang terasa akrab tapi juga asing. Bangunan-bangunan, jalanan yang ramai, semuanya seperti memanggil kenangan masa lalu. "Jadi, apa rencanamu sekarang setelah kembali?" tanya Eleanor sambil melirikku sesekali. Aku menghela napas panjang, sejujurnya aku belum punya rencana matang. "Besok ulang tahun ayahku. Aku ingin membuatnya bahagia. Dan... aku juga akan membicarakan soal Andrew." Eleanor tersenyum kecil. "Andrew. Jadi dia pria yang kamu ceritakan itu?" Aku mengangguk. "Ya, dia. Dia akan menyusul besok karena masih ada urusan. Aku harap ayahku menyukainya." Eleanor terkekeh. "Kalau dia sebaik yang kamu ceritakan, aku yakin ayahmu tidak akan keberatan." Aku tersenyum, meski ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku berharap begitu." Aku benar-benar berharap ayah benar-benar merestuinya dengan Andrew, bagaimana pun aku sangat mencintai pria itu. Begitu mobil Eleanor memasuki halaman rumah, hatiku langsung berdebar. Rumah itu masih sama—atap merah bata tua yang terbuat dari genteng berkualitas tinggi, menciptakan kesan megah namun elegan. Pagar besi tempa yang tinggi dan kokoh mengelilingi rumah, dengan desain klasik yang memperlihatkan kemewahan tanpa terkesan berlebihan. Halaman depan luas, dipenuhi dengan tanaman-tanaman hijau yang rapi, seperti semak-semak boxwood yang dibentuk dengan presisi. Ada pohon ek besar di sudut halaman, menciptakan kesan teduh dan anggun. Rumah ini, dengan segala keindahannya, terasa seperti sebuah simbol warisan yang sudah bertahan selama bertahun-tahun—rumah milik keluarga yang tidak hanya kaya, tetapi juga dihormati. Eleanor membantuku menurunkan koper. "Aku akan menemanimu sampai di dalam, oke?" Aku mengangguk, meski sebenarnya aku sudah gemetar. Dengan langkah perlahan, aku menyeberangi halaman menuju pintu utama yang besar, terbuat dari kayu mahoni yang dipoles halus dan dihiasi ukiran halus yang tak lekang oleh waktu. Pintu itu membuka perlahan, dan di baliknya, aku disambut oleh ruang foyer yang luas dan dramatis. Langit-langit tinggi dengan ornamen klasik, dilapisi dengan wallpaper berbunga yang lembut namun menambah kesan mewah. Lampu gantung kristal besar tergantung dengan anggun, memantulkan cahaya lembut yang memberi suasana hangat namun tetap terkesan formal. Lantai marmer hitam-putih mengkilap menambah kesan megah, sementara lukisan-lukisan antik menghiasi dinding-dinding besar, menciptakan ruang yang tampaknya tidak pernah berubah. Setiap sudut dipenuhi dengan furnitur kayu mahoni dan pelapis kulit halus, semuanya terlihat begitu terawat dan penuh perhatian. "Savannah?" Suara berat yang familiar terdengar dari ruang tamu. Aku menoleh dan melihat ayahku berdiri di sana, wajahnya tampak terkejut, namun ekspresinya segera berubah menjadi penuh kebahagiaan. Ayah berjalan mendekatiku. "Papa!" Aku berlari ke arahnya, memeluknya erat. "Kamu benar-benar pulang, Nak," bisiknya, suaranya bergetar. Tangan besarnya menyentuh rambutku, menyentuh pipiku, seolah memastikan aku benar-benar ada di sini. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya terwujud. Air mataku akhirnya jatuh. "Aku rindu sekali, Pa." Ayah melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kehangatan. "Selamat ulang tahun lebih awal, Pa," ucapku, mencoba bercanda untuk menyembunyikan emosiku. Ayah tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. "Ini hadiah terbaik yang Papa bisa dapatkan." Aku tersenyum, meski ada ketegangan yang tiba-tiba menyelinap di antara kami. "Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan. Tapi nanti saja, ya?" Ayah mengangguk, memahami tanpa kata. "Tentu. Sekarang ayo kita makan malam bersama. Semua orang tidak sabar bertemu denganmu." Aku mengangguk, menatap Eleanor yang berdiri di belakangku. Dia tersenyum, memberikan anggukan kecil, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun saat aku melangkah lebih dalam, mataku menangkap pemandangan yang mengejutkan. Meja makan panjang yang biasanya hanya diisi beberapa orang, kini penuh dengan anggota keluarga—semua orang duduk rapi, mengenakan pakaian formal yang elegan. Dari usia muda hingga yang lebih tua, semuanya hadir, seolah ada acara keluarga besar yang tak pernah aku ketahui. Aku merasa sedikit terkejut dan cemas—apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka semua ada di sini? Para sepupu dan anak-anak ayah yang lain juga ada disini. Aku berjalan dan menatap mereka dengan heran, beberapa orang lainnya mulai menatapku dengan sinis.Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu