Share

Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Penulis: pachirawidi

Bab 1

Penulis: pachirawidi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 10:23:54

Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya.

"Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku.

Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup."

Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu."

Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita."

Dia tertawa kecil, suara yang selalu membuatku merasa lebih baik. "Aku yakin mereka akan menyukaiku. Kamu terlalu meremehkan pesonaku." Andrew mengedipkan matanya.

l

Aku memutar mata sambil tersenyum. Andrew selalu punya cara untuk meredakan kecemasanku, meskipun aku tahu, saat ini, aku butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menenangkan hati. Kepulanganku klau ini aku tidak memberitahu siapapun, untuk memberikan kejutan pada mereka semua.

Langit masih gelap ketika kami tiba di bandara. Andrew berjalan di depanku, mendorong troli koperku dengan tenang. Aku hanya mengikuti langkahnya sambil memandangi suasana sibuk bandara.

"Kamu yakin tidak ingin aku ikut hari ini?" Andrew menatapku dengan serius ketika kami berhenti di depan pintu keberangkatan.

Aku menggeleng pelan. "Kamu masih punya urusan di sini, Andrew. Lagipula, aku ingin memastikan semuanya siap untuk menyambutmu besok."

Dia terdiam sejenak, lalu mendekat dan meraih kedua tanganku. "Aku akan menyusul, Savannah. Besok, aku akan membuat ulang tahun ayahmu menjadi hari yang tak terlupakan."

Aku tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku percaya padamu."

Pengumuman penerbangan terdengar, mengingatkanku bahwa waktuku bersama Andrew sudah habis. Kami melangkah ke gerbang keberangkatan. Andrew menahan langkahku, lalu menangkup wajahku dengan tangannya.

"Hati-hati di jalan, oke? Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."

Aku mengangguk pelan. "Aku pasti kabari kamu."

Dia mencium keningku, lembut dan penuh kehangatan. "Aku mencintaimu," bisiknya.

Aku balas tersenyum, meski hatiku berat meninggalkannya. Dengan langkah perlahan, aku masuk ke area pemeriksaan keamanan. Aku menoleh sekali lagi, melihat sosok Andrew yang tetap berdiri di tempatnya, mengawasiku dengan pandangan penuh kasih. Aku langsung melambaikan tangan padanya, sebagai perpisahan.

Di Pesawat aku duduk di kursiku, mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Namun, pikiranku terus kembali ke wajah ayahku. Bagaimana reaksinya saat melihatku? Apakah ia akan senang? Atau malah terkejut saat aku membicarakan Andrew?

Aku memejamkan mata, membayangkan senyuman ayah yang hangat menyambutku. Sejak ibuku meninggal, aku tahu aku adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya. Walaupun ayahku juga memiliki banyak anak lainnya.

"Dia pasti akan menyukai Andrew," gumamku pelan, mencoba menenangkan diri. Aku sedikit khawatir, ayah susah menerima Andrew karena pria itu hany berprofesi sebagai Photographer, ayah selalu ingin punya menantu pengusaha agar memudahkan dalam bisnisnya.

Tapi apa yang membuatku lebih gugup adalah momen saat aku menyampaikan kabar ini. Apakah aku sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan?

Langkahku melambat begitu aku keluar dari pintu kedatangan. Udara hangat Indonesia langsung menyapaku, membawa aroma yang terasa begitu familiar. Ada sesuatu tentang bau ini—perpaduan kelembapan, wangi kopi dari kedai dekat pintu keluar, dan suara bising keramaian bandara—yang membuat dadaku bergetar.

Mataku menyapu sekeliling, mencari sosok yang aku tunggu. Tidak lama, suara yang sudah sangat kukenal memecah keramaian.

l

"Savannah!"

Aku menoleh cepat ke arah suara itu, dan melihat Eleanor—sahabatku yang sudah bertahun-tahun tidak aku temui. Ia melambai heboh dari balik pagar pembatas, wajahnya cerah dengan senyuman lebar yang langsung menghangatkan hatiku.

"Eleanor!" Aku berlari kecil ke arahnya, menyeret kopernya di belakangku. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang!" serunya, suaranya sedikit bergetar karena emosi.

Aku tertawa, meski mataku mulai berkaca-kaca. "Aku pulang, El. Akhirnya."

Kami melepaskan pelukan, dan Eleanor menatapku dengan tatapan penuh rasa rindu. "Kamu tidak banyak berubah, tapi kenapa rasanya kamu semakin cantik?" godanya.

Aku terkekeh. "Kamu juga kelihatan luar biasa, El. Kita benar-benar harus mengejar semua waktu yang terlewat."

Eleanor menggenggam tanganku erat. "Dan itu dimulai sekarang. Aku sudah pesan tempat makan yang kamu suka. Tapi sebelum itu, aku yakin ayahmu sudah tidak sabar melihatmu."

Penyebutan ayah membuatku mengangguk pelan. "Benar. Aku sudah rindu sekali."

Di dalam mobil Eleanor, aku menatap keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang terasa akrab tapi juga asing. Bangunan-bangunan, jalanan yang ramai, semuanya seperti memanggil kenangan masa lalu.

"Jadi, apa rencanamu sekarang setelah kembali?" tanya Eleanor sambil melirikku sesekali.

Aku menghela napas panjang, sejujurnya aku belum punya rencana matang. "Besok ulang tahun ayahku. Aku ingin membuatnya bahagia. Dan... aku juga akan membicarakan soal Andrew."

Eleanor tersenyum kecil. "Andrew. Jadi dia pria yang kamu ceritakan itu?"

Aku mengangguk. "Ya, dia. Dia akan menyusul besok karena masih ada urusan. Aku harap ayahku menyukainya."

Eleanor terkekeh. "Kalau dia sebaik yang kamu ceritakan, aku yakin ayahmu tidak akan keberatan."

Aku tersenyum, meski ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku berharap begitu." Aku benar-benar berharap ayah benar-benar merestuinya dengan Andrew, bagaimana pun aku sangat mencintai pria itu.

Begitu mobil Eleanor memasuki halaman rumah, hatiku langsung berdebar. Rumah itu masih sama atap merah bata tua yang terbuat dari gentengg berkualitas tinggi, menciptakan kesan megah namun elegan. Pagar besi tempa yang tinggi dan kokoh mengelilingi rumah, dengan desain klasik yang memperlihatkan kemewahan tanpa terkesan berlebihan. Halaman depan luas, dipenuhi dengan tanaman-tanaman hijau yang rapi, seperti semak-semak boxwood yang dibentuk dengan presisi. Ada pohon ek besar di sudut halaman, menciptakan kesan teduh dan anggun. Rumah ini, dengan segala keindahannya, terasa seperti sebuah simbol warisan yang sudah bertahan selama bertahun-tahun—rumah milik keluarga yang tidak hanya kaya, tetapi juga dihormati.

Eleanor membantuku menurunkan koper. "Aku akan menemanimu sampai di dalam, oke?"

Aku mengangguk, meski sebenarnya aku sudah gemetar. Dengan langkah perlahan, aku menyeberangi halaman menuju pintu utama yang besar, terbuat dari kayu mahoni yang dipoles halus dan dihiasi ukiran halus yang tak lekang oleh waktu. Pintu itu membuka perlahan, dan di baliknya, aku disambut oleh ruang foyer yang luas dan dramatis. Langit-langit tinggi dengan ornamen klasik, dilapisi dengan wallpaper berbunga yang lembut namun menambah kesan mewah. Lampu gantung kristal besar tergantung dengan anggun, memantulkan cahaya lembut yang memberi suasana hangat namun tetap terkesan formal.

Lantai marmer hitam-putih mengkilap menambah kesan megah, sementara lukisan-lukisan antik menghiasi dinding-dinding besar, menciptakan ruang yang tampaknya tidak pernah berubah. Setiap sudut dipenuhi dengan furnitur kayu mahoni dan pelapis kulit halus, semuanya terlihat begitu terawat dan penuh perhatian.

"Savannah?" Suara berat yang familiar terdengar dari ruang tamu.

Aku menoleh dan melihat ayahku berdiri di sana, wajahnya tampak terkejut, namun ekspresinya segera berubah menjadi penuh kebahagiaan. Ayah berjalan mendekatiku.

"Papa!" Aku berlari ke arahnya, memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang, Nak," bisiknya, suaranya bergetar. Tangan besarnya menyentuh rambutku, menyentuh pipiku, seolah memastikan aku benar-benar ada di sini. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya terwujud.

Air mataku akhirnya jatuh. "Aku rindu sekali, Pa."

Ayah melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kehangatan. "Selamat ulang tahun lebih awal, Pa," ucapku, mencoba bercanda untuk menyembunyikan emosiku.

Ayah tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. "Ini hadiah terbaik yang Papa bisa dapatkan."

Aku tersenyum, meski ada ketegangan yang tiba-tiba menyelinap di antara kami. "Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan. Tapi nanti saja, ya?"

Ayah mengangguk, memahami tanpa kata. "Tentu. Sekarang ayo kita makan malam bersama. Semua orang tidak sabar bertemu denganmu."

Aku mengangguk, menatap Eleanor yang berdiri di belakangku. Dia tersenyum, memberikan anggukan kecil, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun saat aku melangkah lebih dalam, mataku menangkap pemandangan yang mengejutkan.

Meja makan panjang yang biasanya hanya diisi beberapa orang, kini penuh dengan anggota keluarga semua orang duduk rapi, mengenakan pakaian formal yang elegan. Dari usia muda hingga yang lebih tua, semuanya hadir, seolah ada acara keluarga besar yang tak pernah aku ketahui. Aku merasa sedikit terkejut dan cemas—apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka semua ada di sini? Para sepupu dan anak-anak ayah yang lain juga ada disini. Aku berjalan dan menatap mereka dengan heran, beberapa orang lainnya mulai menatapku dengan sinis.

Bab terkait

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 2

    Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 3

    Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, c

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 4

    Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa key

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13

Bab terbaru

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 35

    Aku tidak ingin bertegur sapa dengan Theo, jadi aku segera berbalik menuju kamarku. Namun, langkahku terhenti saat mendengar derap langkah berat di belakangku, memaksa naluriku untuk berhenti. Suara langkah itu terasa mendesak, seolah memiliki maksud yang tidak bisa diabaikan."Maaf, ada apa, Pak Theo?" tanyaku tanpa menoleh, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku. Jantungku berdebar, menciptakan ketegangan yang sulit kuabaikan.Pria itu melangkah lebih dekat, hingga kini berdiri sejajar denganku. Wajahnya memancarkan keraguan, tetapi tatapannya tegas, membuatku waspada. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa terpojok."Maaf, Savannah. Aku tadi mendengar percakapanmu," ucapnya pelan namun jelas. Nada suaranya membawa kehangatan yang aneh, meski tetap terkesan dingin.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mengangguk singkat, aku menjaga jarak emosional. "Kalau begitu, Anda sudah tahu, kan? Tidak perlu kita bahas lagi," ujarku datar, berharap pembicaraan ini s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 34

    Angela mencolek lenganku, menyadarkan aku dari lamunan. "Hei, kamu kenapa? Wajahmu merah," bisiknya pelan. Aku hanya menggeleng, mencoba mengusir pikiran tentang Theo. Sepertinya aku harus benar-benar berhati-hati. Pria itu lalu berjalan melewati kami. Angela memegang lengannya, sontak pria itu berhenti. Pria itu menatap kami berdua dengan alis terangkat. "Bagaimana, apakah sahabatku bisa kerja di restoran milik kak Theo" Pria itu tertawa lagi, tidak ada kesinisan. Aku meremas jari Angela, kata-katanya tadi siang benar-benar menggangguku. Aku menarik Angela dengan perasaan tidak nyaman, namun gadis itu masih berdiri. " Walaupun kamu orang dalam yang sangat denganku, aku tidak bisa mengambil keputusan sesuka hati.Kalau dia bersedia, dia bisa mengikuti test seperti calon lainnya besok pagi. " Angela lalu mengangguk, gadis itu langsung memeluk kakak sepuounya itu dengan erat. Aku hanya menundukkan kepala, tidak tahu mau mengatakan apa. " Terimakasih kak, " Pria itu mengangguk da

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 33

    Theo menatapku dengan tatapan tajam, seolah matanya mampu menembus setiap lapisan diriku yang paling tersembunyi. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, mempersempit jarak di antara kami, membuatku merasa seperti terpojok meski ruangan ini cukup luas. "Jadi, permainan anak muda, huh? Dengan pakaian seperti ini?" nada suaranya terdengar rendah, tetapi penuh sindiran yang membuat tengkukku meremang. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan gelisah yang mulai menguasai diriku. Tangannya yang terlipat di depan dada hanya mempertegas kesan dominan yang ia bawa. Tidak seharusnya dia mempertanyakan bajuku. Ini bukan urusannya. Tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidahku. “Memangnya kenapa kalau aku berpakaian seperti ini?” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab, meskipun suara yang keluar terdengar lebih lemah daripada yang aku harapkan. Matanya menyipit, seperti menilai setiap kata yang aku ucapkan. Theo menyeringai kecil, sebuah ekspresi yang lebih membuatku kesal daripada ta

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 32

    Semua orang langsung terdiam, bahkan Theo yang tadinya tampak tidak peduli kini memasang tatapan tajam ke arah Thomas. Aku menahan napas, menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi momen yang panas. Thomas tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Yang paling menyebalkan dari Theo?” Dia menatap langsung ke arah pria itu sebelum melanjutkan. “Dia kejam dan terlalu misterius.” Ruangan langsung dipenuhi suara bisik-bisik dan gumaman. Theo yang duduk di sudut hanya menatap Thomas dengan dingin, tidak ada sedikit pun emosi di wajahnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. “Kejam gimana maksudnya?” tanya Angela, menambah bumbu pada situasi yang sudah cukup tegang. “Dia selalu memandang rendah orang lain, seolah semua orang di dunia ini tidak pernah cukup baik untuknya. Dan misterius? Ya, dia tidak pernah membiarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan atau rasakan. Itu sangat menyebalkan,” kata Thomas dengan nada tenang tapi tegas. “A

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 31

    Tatapan pria itu menusuk, penuh arti, dan disertai dengan senyum miring yang membuatku semakin gelisah. Theo tidak berkata apa-apa, tapi pandangannya seolah menantangku untuk memberikan jawaban yang tepat. “Tidak,” ucapku akhirnya, singkat dan tegas. Arthur tampak terkejut, tapi dia tetap mempertahankan senyumnya. Dia menghela napas pelan, seperti sudah menduga jawaban itu namun masih berharap lebih. Semua orang di sekitar kami terdiam sejenak, sampai akhirnya Arthur memecah keheningan dengan pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. “Kenapa? Bukankah Andrew dan kamu juga sudah putus?” Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan Andrew? Apakah dia memantauku selama ini? “Arthur…” gumamku, mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara tajam memotong percakapan kami. “Itu sudah jelas, Arthur. Kamu tidak perlu alasan untuk tidak diinginkan. Jadi, cari perempuan lain saja.” Aku menole

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 30

    Menjelang pukul tujuh malam, dapur hampir selesai dengan segala persiapannya. Bahan-bahan sudah rapi di atas nampan: daging ayam dan sapi yang sudah dimarinasi, sayuran yang sudah dipotong, dan jagung yang siap dibakar. Aroma bumbu dari marinade bercampur dengan wangi mentega yang menempel di jari-jari tanganku. Aku tersenyum puas, merasa semuanya akan berjalan sesuai rencana.Tiba-tiba, bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku. Aku melongok ke arah pintu depan, tapi sebelum sempat bergerak, Angela sudah melesat lebih dulu. Sepertinya tamu-tamu Angela sudah mulai berdatangan. "Aditya datang!" teriak Angela dari ruang tamu.Aku melepaskan apron dan berjalan ke arah pintu. Di sana, Aditya berdiri dengan senyum lebarnya yang khas, membawa tas belanja besar di tangan kanan dan sekotak es krim di tangan kiri."Aditya, akhirnya datang juga," Angela menyambutnya sambil merebut tas belanja di tangannya. "Apa saja yang kamu bawa? Jangan bilang cuma jagung." Angela manatap aditya dengan pura-pur

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 29

    Setelah Angela dan Adit pergi, aku melangkah lemah ke kamarku. Pintu kututup perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun akan merobohkan sisa kekuatanku. Aku berdiri di depan cermin, melihat bayangan diriku yang jauh dari kata berdaya. Aku menanggalkan kaca Mata hitam milikku. Mata sembab, rambut kusut, dan wajah yang penuh dengan kesedihan. Untung saja mereka tidak mempermasalahkan aku menamakan riben tadi, kalau mereka meminta aku membuka kacamataku pasti mata sembabku masih kelihatan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan membereskan kamar, tetapi setiap lipatan sprei, setiap benda yang kupindahkan, hanya mengingatkanku pada kekacauan di dalam hati. Ketika semua sudah rapi, tidak ada alasan lagi untuk terus menghindar dari kenyataan. Aku menghela napas panjang, berharap hatiku suasananya membaik. Alih-alih keluar atau mencari pelarian, aku malah terkulai di tepi tempat tidur. Duniaku yang dulu megah kini terasa seperti reruntuhan. Andrew, pria yang kucintai sepenuh hati, menin

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 28

    Aku menghela napas panjang, merapikan rambutku yang sedikit berantakan akibat perjalanan panjang di pesawat. Bandara terasa ramai, suara pengumuman terus terdengar di kejauhan. Saat aku keluar dari area kedatangan, mataku segera menangkap sosok yang sudah tak asing Angela, sahabatku sejak SMA, berdiri sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya. Walaupun kedatanganmu mendadak, aku sempat mengabarinya semalam. Namun, aku tidak menceritakan apa yang menjadi masalahku saat ini. Aku hanya bilang ingin mencari pekerjaan, dan ingin liburan. "Savannah!" teriaknya, menghampiriku dengan langkah cepat. aku berjalan dengan cepat kearahnya. Angela terlihat semakin cantik, sepertinya gadis ini bahagia hidup disini. "Angela!" Aku tersenyum lega, aku langsung berhambur kerarahnya, kami langsung berpelukan sejenak. "Selamat datang! Aduh, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu makin cantik aja!" katanya sambil memelukku erat. "Ah, lebay banget kamu. Kamu juga kelihatan segar banget,"

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 27

    Aku melirik jam tanganku. Jarum pendeknya sudah mendekati angka delapan, dan aku masih terjebak di jalan yang macet. Jantungku berdegup kencang, seolah ikut menghitung detik-detik yang terasa begitu cepat berlalu. Kalau aku sampai terlambat, semua usahaku selama ini bisa sia-sia. Semua ini karena aku melakukan penerbangan kali ini secara mendadak. Menghilang dari kehidupan sebelumnya dan. memulai hidup baru. Tanpa Andrew, tanpa ayah, dan tanpa pria menyebalkan itu “Pak, tolong lebih cepat, ya? Saya sudah hampir telat!” pintaku dengan nada panik. Aku benar-benar takut ketinggalan pesawat. “Tenang saja, Mbak. Ini sudah jalan tercepat,” jawab sopir taksi itu tanpa sedikit pun rasa tergesa-gesa. Aku menghela napas keras. Mataku menatap jalanan di depan dengan putus asa. Aku tahu ini salahku, dan yang dikatakan sopir ini sudah benar. Begitu taksi akhirnya berhenti di depan bandara, aku hampir meloncat keluar sebelum mobil benar-benar berhenti. Tidak peduli pada sopir yang menyeb

DMCA.com Protection Status