Share

Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah
Author: pachirawidi

Bab 1

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:23:54

Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya.

"Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku.

Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup."

Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu."

Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita."

Dia tertawa kecil, suara yang selalu membuatku merasa lebih baik. "Aku yakin mereka akan menyukaiku. Kamu terlalu meremehkan pesonaku." Andrew mengedipkan matanya.

l

Aku memutar mata sambil tersenyum. Andrew selalu punya cara untuk meredakan kecemasanku, meskipun aku tahu, saat ini, aku butuh lebih dari sekadar kata-kata untuk menenangkan hati. Kepulanganku klau ini aku tidak memberitahu siapapun, untuk memberikan kejutan pada mereka semua.

Langit masih gelap ketika kami tiba di bandara. Andrew berjalan di depanku, mendorong troli koperku dengan tenang. Aku hanya mengikuti langkahnya sambil memandangi suasana sibuk bandara.

"Kamu yakin tidak ingin aku ikut hari ini?" Andrew menatapku dengan serius ketika kami berhenti di depan pintu keberangkatan.

Aku menggeleng pelan. "Kamu masih punya urusan di sini, Andrew. Lagipula, aku ingin memastikan semuanya siap untuk menyambutmu besok."

Dia terdiam sejenak, lalu mendekat dan meraih kedua tanganku. "Aku akan menyusul, Savannah. Besok, aku akan membuat ulang tahun ayahmu menjadi hari yang tak terlupakan."

Aku tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku percaya padamu."

Pengumuman penerbangan terdengar, mengingatkanku bahwa waktuku bersama Andrew sudah habis. Kami melangkah ke gerbang keberangkatan. Andrew menahan langkahku, lalu menangkup wajahku dengan tangannya.

"Hati-hati di jalan, oke? Jangan lupa beri kabar kalau sudah sampai."

Aku mengangguk pelan. "Aku pasti kabari kamu."

Dia mencium keningku, lembut dan penuh kehangatan. "Aku mencintaimu," bisiknya.

Aku balas tersenyum, meski hatiku berat meninggalkannya. Dengan langkah perlahan, aku masuk ke area pemeriksaan keamanan. Aku menoleh sekali lagi, melihat sosok Andrew yang tetap berdiri di tempatnya, mengawasiku dengan pandangan penuh kasih. Aku langsung melambaikan tangan padanya, sebagai perpisahan.

Di Pesawat aku duduk di kursiku, mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Namun, pikiranku terus kembali ke wajah ayahku. Bagaimana reaksinya saat melihatku? Apakah ia akan senang? Atau malah terkejut saat aku membicarakan Andrew?

Aku memejamkan mata, membayangkan senyuman ayah yang hangat menyambutku. Sejak ibuku meninggal, aku tahu aku adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya. Walaupun ayahku juga memiliki banyak anak lainnya.

"Dia pasti akan menyukai Andrew," gumamku pelan, mencoba menenangkan diri. Aku sedikit khawatir, ayah susah menerima Andrew karena pria itu hany berprofesi sebagai Photographer, ayah selalu ingin punya menantu pengusaha agar memudahkan dalam bisnisnya.

Tapi apa yang membuatku lebih gugup adalah momen saat aku menyampaikan kabar ini. Apakah aku sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan?

Langkahku melambat begitu aku keluar dari pintu kedatangan. Udara hangat Indonesia langsung menyapaku, membawa aroma yang terasa begitu familiar. Ada sesuatu tentang bau ini—perpaduan kelembapan, wangi kopi dari kedai dekat pintu keluar, dan suara bising keramaian bandara—yang membuat dadaku bergetar.

Mataku menyapu sekeliling, mencari sosok yang aku tunggu. Tidak lama, suara yang sudah sangat kukenal memecah keramaian.

l

"Savannah!"

Aku menoleh cepat ke arah suara itu, dan melihat Eleanor—sahabatku yang sudah bertahun-tahun tidak aku temui. Ia melambai heboh dari balik pagar pembatas, wajahnya cerah dengan senyuman lebar yang langsung menghangatkan hatiku.

"Eleanor!" Aku berlari kecil ke arahnya, menyeret kopernya di belakangku. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang!" serunya, suaranya sedikit bergetar karena emosi.

Aku tertawa, meski mataku mulai berkaca-kaca. "Aku pulang, El. Akhirnya."

Kami melepaskan pelukan, dan Eleanor menatapku dengan tatapan penuh rasa rindu. "Kamu tidak banyak berubah, tapi kenapa rasanya kamu semakin cantik?" godanya.

Aku terkekeh. "Kamu juga kelihatan luar biasa, El. Kita benar-benar harus mengejar semua waktu yang terlewat."

Eleanor menggenggam tanganku erat. "Dan itu dimulai sekarang. Aku sudah pesan tempat makan yang kamu suka. Tapi sebelum itu, aku yakin ayahmu sudah tidak sabar melihatmu."

Penyebutan ayah membuatku mengangguk pelan. "Benar. Aku sudah rindu sekali."

Di dalam mobil Eleanor, aku menatap keluar jendela, menikmati pemandangan kota yang terasa akrab tapi juga asing. Bangunan-bangunan, jalanan yang ramai, semuanya seperti memanggil kenangan masa lalu.

"Jadi, apa rencanamu sekarang setelah kembali?" tanya Eleanor sambil melirikku sesekali.

Aku menghela napas panjang, sejujurnya aku belum punya rencana matang. "Besok ulang tahun ayahku. Aku ingin membuatnya bahagia. Dan... aku juga akan membicarakan soal Andrew."

Eleanor tersenyum kecil. "Andrew. Jadi dia pria yang kamu ceritakan itu?"

Aku mengangguk. "Ya, dia. Dia akan menyusul besok karena masih ada urusan. Aku harap ayahku menyukainya."

Eleanor terkekeh. "Kalau dia sebaik yang kamu ceritakan, aku yakin ayahmu tidak akan keberatan."

Aku tersenyum, meski ada sedikit keraguan di hatiku. "Aku berharap begitu." Aku benar-benar berharap ayah benar-benar merestuinya dengan Andrew, bagaimana pun aku sangat mencintai pria itu.

Begitu mobil Eleanor memasuki halaman rumah, hatiku langsung berdebar. Rumah itu masih sama atap merah bata tua yang terbuat dari gentengg berkualitas tinggi, menciptakan kesan megah namun elegan. Pagar besi tempa yang tinggi dan kokoh mengelilingi rumah, dengan desain klasik yang memperlihatkan kemewahan tanpa terkesan berlebihan. Halaman depan luas, dipenuhi dengan tanaman-tanaman hijau yang rapi, seperti semak-semak boxwood yang dibentuk dengan presisi. Ada pohon ek besar di sudut halaman, menciptakan kesan teduh dan anggun. Rumah ini, dengan segala keindahannya, terasa seperti sebuah simbol warisan yang sudah bertahan selama bertahun-tahun—rumah milik keluarga yang tidak hanya kaya, tetapi juga dihormati.

Eleanor membantuku menurunkan koper. "Aku akan menemanimu sampai di dalam, oke?"

Aku mengangguk, meski sebenarnya aku sudah gemetar. Dengan langkah perlahan, aku menyeberangi halaman menuju pintu utama yang besar, terbuat dari kayu mahoni yang dipoles halus dan dihiasi ukiran halus yang tak lekang oleh waktu. Pintu itu membuka perlahan, dan di baliknya, aku disambut oleh ruang foyer yang luas dan dramatis. Langit-langit tinggi dengan ornamen klasik, dilapisi dengan wallpaper berbunga yang lembut namun menambah kesan mewah. Lampu gantung kristal besar tergantung dengan anggun, memantulkan cahaya lembut yang memberi suasana hangat namun tetap terkesan formal.

Lantai marmer hitam-putih mengkilap menambah kesan megah, sementara lukisan-lukisan antik menghiasi dinding-dinding besar, menciptakan ruang yang tampaknya tidak pernah berubah. Setiap sudut dipenuhi dengan furnitur kayu mahoni dan pelapis kulit halus, semuanya terlihat begitu terawat dan penuh perhatian.

"Savannah?" Suara berat yang familiar terdengar dari ruang tamu.

Aku menoleh dan melihat ayahku berdiri di sana, wajahnya tampak terkejut, namun ekspresinya segera berubah menjadi penuh kebahagiaan. Ayah berjalan mendekatiku.

"Papa!" Aku berlari ke arahnya, memeluknya erat.

"Kamu benar-benar pulang, Nak," bisiknya, suaranya bergetar. Tangan besarnya menyentuh rambutku, menyentuh pipiku, seolah memastikan aku benar-benar ada di sini. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya terwujud.

Air mataku akhirnya jatuh. "Aku rindu sekali, Pa."

Ayah melepaskan pelukannya dan menatapku dengan penuh kehangatan. "Selamat ulang tahun lebih awal, Pa," ucapku, mencoba bercanda untuk menyembunyikan emosiku.

Ayah tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. "Ini hadiah terbaik yang Papa bisa dapatkan."

Aku tersenyum, meski ada ketegangan yang tiba-tiba menyelinap di antara kami. "Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan. Tapi nanti saja, ya?"

Ayah mengangguk, memahami tanpa kata. "Tentu. Sekarang ayo kita makan malam bersama. Semua orang tidak sabar bertemu denganmu."

Aku mengangguk, menatap Eleanor yang berdiri di belakangku. Dia tersenyum, memberikan anggukan kecil, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun saat aku melangkah lebih dalam, mataku menangkap pemandangan yang mengejutkan.

Meja makan panjang yang biasanya hanya diisi beberapa orang, kini penuh dengan anggota keluarga semua orang duduk rapi, mengenakan pakaian formal yang elegan. Dari usia muda hingga yang lebih tua, semuanya hadir, seolah ada acara keluarga besar yang tak pernah aku ketahui. Aku merasa sedikit terkejut dan cemas—apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka semua ada di sini? Para sepupu dan anak-anak ayah yang lain juga ada disini. Aku berjalan dan menatap mereka dengan heran, beberapa orang lainnya mulai menatapku dengan sinis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 2

    Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 3

    Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, c

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 4

    Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa key

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Last Updated : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 52

    Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 51

    Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status