Share

Bab 4

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:25:48

Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi.

Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.

"Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan.

Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?"

Aku mengangguk kecil, meski tanpa keyakinan. Pemikiran kembali ke Swiss memang sempat terlintas, tetapi ada sesuatu di sini yang membuatku merasa perlu bertahan. Entah itu tentang Andrew atau misteri yang menyelimuti keluarga Moana dan warisan mereka.

"Kenapa kamu nggak coba hubungi Moana?" Eleanor melanjutkan dengan nada hati-hati. "Siapa tahu ada kesalahpahaman... atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari yang kita tahu."

Aku mendesah panjang, lalu mengetik nama Moana di kolom pencarian media sosial. "Aku nggak punya kontaknya, dan dia kelihatannya nggak aktif di medsos. Aku bahkan nggak tahu mulai dari mana."

Eleanor memandangku dengan tatapan simpati. "Kalau gitu, coba tanyakan ke paman Dante. Dia mungkin tahu sesuatu."

Aku mengangguk lagi, meski ragu. Paman Dante, satu-satunya anggota keluarga yang masih menunjukkan sikap ramah, bisa saja menjadi titik awal. Tetapi akankah jawaban yang kudapat membuat semuanya lebih baik?

Makanan kami tiba, tetapi aku hanya memandangi piringku tanpa selera. Eleanor mulai makan, sementara aku sibuk memainkan garpu dan sendok tanpa benar-benar menyentuh makanan. "Savannah," panggilnya pelan, memecah lamunanku. "Aku tahu ini sulit, tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu harus menghadapinya."

"Aku nggak menghindar," jawabku pelan, hampir berbisik. "Aku cuma... nggak tahu harus mulai dari mana."

Eleanor menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mulai dari yang kecil. Tanyakan ke paman Dante dulu. Kalau dia nggak tahu apa-apa, kita pikirkan langkah berikutnya."

Kata-katanya masuk akal, tetapi hatiku tetap berat. Rasanya seperti melangkah di jalan gelap tanpa tahu di mana ujungnya. Namun, aku sadar Eleanor benar—aku harus mulai dari sesuatu.

Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil. Eleanor mencoba menghiburku sepanjang perjalanan dengan cerita-cerita ringan tentang kehidupannya di kampus. Aku berusaha tersenyum, meskipun pikiranku tetap penuh kecemasan.

Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan mengambil ponsel. Setelah beberapa saat ragu, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon paman Dante.

"Halo, Savannah. Ada apa?" Suara ramahnya terdengar di ujung telepon, memberikan sedikit kelegaan.

"Paman, aku mau tanya soal Moana. Apa paman tahu di mana aku bisa menemukannya?"

Ada jeda sesaat sebelum paman Dante menjawab. "Moana sekarang di Paris. Tapi kalau soal perjodohan... itu sudah dibatalkan tiga tahun lalu. Jadi, kalau itu yang mengganggu pikiranmu, sebenarnya..."

Aku menggenggam ponsel lebih erat. Jadi Moana membatalkan perjodohan, dan aku yang akhirnya menggantikan posisinya? Dadaku sesak oleh amarah bercampur bingung. "Paman, maaf, tapi aku rasa aku nggak harus menggantikan Moana," kataku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang meski emosiku memuncak.

Paman Dante mendesah pelan. "Bukan Moana yang membatalkan perjodohan itu. Itu keputusan cucu Tuan Wiratama sendiri. Moana juga tidak keberatan karena dia memang tidak mencintai pria itu. Bahkan, mereka belum pernah bertemu."

Aku terdiam, tercengang oleh informasi itu. Jadi ini keinginan pihak pria? Tapi kenapa? Apa motif di balik semua ini?

"Paman, aku... aku harus mencari cara untuk keluar dari ini. Aku sudah punya Andrew," kataku, mencoba menegaskan.

Paman Dante hanya menjawab pelan, "Baiklah, Savannah. Tapi hati-hati dengan setiap langkah yang kamu ambil."

Aku mengakhiri panggilan dan menutup mata, berusaha menenangkan diriku. Semua ini terasa seperti teka-teki yang semakin rumit. Apa yang bisa kulakukan untuk keluar dari situasi ini tanpa harus menikah? Kepala terasa berat, dan akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan pikiran ini menghilang sejenak dalam tidur.

Setelah percakapan panjang dengan Paman Dante, aku terbaring di ranjang, tubuhku kelelahan. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Ketegangan tentang hutang yang menumpuk dan ancaman para rentenir terus menghantuiku. Meski mata ini ingin sekali terpejam, aku sulit tidur. Tiba-tiba, suara gaduh dari luar kamar membangunkanku. Pintu yang didobrak dengan keras, diikuti teriakan kasar yang menggema di seluruh rumah.

Jantungku berdebar cepat. Dengan gemetar, aku bangkit dan membuka pintu kamar sedikit. Apa yang kulihat di ruang tamu membuat darahku serasa membeku. Beberapa pria besar berdiri di tengah ruangan, wajah mereka dipenuhi amarah. Ayah dan Paman Dante terpojok, tubuh mereka terhuyung-huyung setelah beberapa pukulan yang dilayangkan oleh para rentenir itu.

“Kalian pikir kami main-main? Hutang itu harus dibayar malam ini!” teriak salah satu pria, suaranya penuh amarah.

Ayah berusaha berbicara, meskipun suaranya terdengar lemah. “Tolong beri kami waktu. Kami akan bayar, janji.”

“Janji? Sudah berapa tahun kami tunggu?” salah seorang pria mendekat dan melayangkan pukulan keras ke wajah ayah. Tubuh ayah terjatuh ke lantai.

“Berhenti!” Aku berteriak, keluar dari persembunyian dan berlari ke arah mereka. Semua mata kini tertuju padaku. Salah satu pria besar itu menatapku dengan tatapan penuh ejekan.

“Siapa ini? Anak kecil mau ikut campur urusan orang dewasa?” katanya dengan sinis.

“Aku anaknya,” jawabku, meski suaraku bergetar. “Tolong jangan perlakukan ayahku seperti itu. Kami akan melunasi hutangnya.”

Dia tertawa keras. “Janji kalian nggak akan menyelesaikan masalah ini. Rumah ini akan kami ambil malam ini juga!”

Aku berusaha untuk tetap tegar, namun ketakutan mulai menguasai diriku. “Tolong beri kami waktu!” pintaku lagi.

Namun, itu semua sia-sia. Pria itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk terus mengacak-acak rumah. Mereka mulai membongkar perabotan, melempar barang-barang ke lantai dengan kasar. Salah satu dari mereka bahkan menarik lukisan dinding dan merobeknya tanpa ampun, sementara yang lainnya terus menekan ayah dan Paman Dante yang terjatuh.

Aku mencoba untuk menghalangi mereka, namun seorang pria besar mendorongku dengan kasar, membuatku terjatuh ke lantai. Aku menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tubuhku, tapi aku tak bisa membiarkan mereka begitu saja menyakiti keluargaku.

“Ayah!” Aku berteriak, berlari menghampiri ayahku yang tergeletak tak berdaya. “Ayah, bangun! Tolong, jangan diam saja!”

Ayah membuka matanya dengan susah payah. “Savannah… pergi ke kamar. Jangan di sini…” suaranya sangat lemah.

Tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Aku tetap berdiri di sampingnya, mencoba melindungi ayah dari serangan lebih lanjut. Namun, salah satu pria itu kembali mendekat dan menatapku dengan penuh kebencian.

“Anak kecil, kamu lebih baik mundur,” katanya, mengangkat tangannya dengan niat yang jelas.

Aku menggigit bibir, menahan rasa takut yang menguasai. “Aku tidak akan pergi. Jangan sentuh mereka lagi!” Aku bersuara dengan tegas, tapi dalam. hatiku dipenuhi dengan kecemasan. sepertinya ayahku dan paman tidak menceritakan jika masalah kebangkrutan ini separah ini. Namun melihat mereka yang seperti ini aku juga jadi tidak tega.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Last Updated : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Last Updated : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 12

    Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek

    Last Updated : 2024-12-17

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 52

    Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 51

    Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status