Share

Bab 4

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:25:48

Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi.

Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.

"Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan.

Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?"

Aku mengangguk kecil, meski tanpa keyakinan. Pemikiran kembali ke Swiss memang sempat terlintas, tetapi ada sesuatu di sini yang membuatku merasa perlu bertahan. Entah itu tentang Andrew atau misteri yang menyelimuti keluarga Moana dan warisan mereka.

"Kenapa kamu nggak coba hubungi Moana?" Eleanor melanjutkan dengan nada hati-hati. "Siapa tahu ada kesalahpahaman... atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari yang kita tahu."

Aku mendesah panjang, lalu mengetik nama Moana di kolom pencarian media sosial. "Aku nggak punya kontaknya, dan dia kelihatannya nggak aktif di medsos. Aku bahkan nggak tahu mulai dari mana."

Eleanor memandangku dengan tatapan simpati. "Kalau gitu, coba tanyakan ke paman Dante. Dia mungkin tahu sesuatu."

Aku mengangguk lagi, meski ragu. Paman Dante, satu-satunya anggota keluarga yang masih menunjukkan sikap ramah, bisa saja menjadi titik awal. Tetapi akankah jawaban yang kudapat membuat semuanya lebih baik?

Makanan kami tiba, tetapi aku hanya memandangi piringku tanpa selera. Eleanor mulai makan, sementara aku sibuk memainkan garpu dan sendok tanpa benar-benar menyentuh makanan. "Savannah," panggilnya pelan, memecah lamunanku. "Aku tahu ini sulit, tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu harus menghadapinya."

"Aku nggak menghindar," jawabku pelan, hampir berbisik. "Aku cuma... nggak tahu harus mulai dari mana."

Eleanor menarik napas panjang sebelum menjawab, "Mulai dari yang kecil. Tanyakan ke paman Dante dulu. Kalau dia nggak tahu apa-apa, kita pikirkan langkah berikutnya."

Kata-katanya masuk akal, tetapi hatiku tetap berat. Rasanya seperti melangkah di jalan gelap tanpa tahu di mana ujungnya. Namun, aku sadar Eleanor benar—aku harus mulai dari sesuatu.

Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil. Eleanor mencoba menghiburku sepanjang perjalanan dengan cerita-cerita ringan tentang kehidupannya di kampus. Aku berusaha tersenyum, meskipun pikiranku tetap penuh kecemasan.

Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan mengambil ponsel. Setelah beberapa saat ragu, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon paman Dante.

"Halo, Savannah. Ada apa?" Suara ramahnya terdengar di ujung telepon, memberikan sedikit kelegaan.

"Paman, aku mau tanya soal Moana. Apa paman tahu di mana aku bisa menemukannya?"

Ada jeda sesaat sebelum paman Dante menjawab. "Moana sekarang di Paris. Tapi kalau soal perjodohan... itu sudah dibatalkan tiga tahun lalu. Jadi, kalau itu yang mengganggu pikiranmu, sebenarnya..."

Aku menggenggam ponsel lebih erat. Jadi Moana membatalkan perjodohan, dan aku yang akhirnya menggantikan posisinya? Dadaku sesak oleh amarah bercampur bingung. "Paman, maaf, tapi aku rasa aku nggak harus menggantikan Moana," kataku, mencoba menjaga nada suaraku tetap tenang meski emosiku memuncak.

Paman Dante mendesah pelan. "Bukan Moana yang membatalkan perjodohan itu. Itu keputusan cucu Tuan Wiratama sendiri. Moana juga tidak keberatan karena dia memang tidak mencintai pria itu. Bahkan, mereka belum pernah bertemu."

Aku terdiam, tercengang oleh informasi itu. Jadi ini keinginan pihak pria? Tapi kenapa? Apa motif di balik semua ini?

"Paman, aku... aku harus mencari cara untuk keluar dari ini. Aku sudah punya Andrew," kataku, mencoba menegaskan.

Paman Dante hanya menjawab pelan, "Baiklah, Savannah. Tapi hati-hati dengan setiap langkah yang kamu ambil."

Aku mengakhiri panggilan dan menutup mata, berusaha menenangkan diriku. Semua ini terasa seperti teka-teki yang semakin rumit. Apa yang bisa kulakukan untuk keluar dari situasi ini tanpa harus menikah? Kepala terasa berat, dan akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan pikiran ini menghilang sejenak dalam tidur.

Setelah percakapan panjang dengan Paman Dante, aku terbaring di ranjang, tubuhku kelelahan. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Ketegangan tentang hutang yang menumpuk dan ancaman para rentenir terus menghantuiku. Meski mata ini ingin sekali terpejam, aku sulit tidur. Tiba-tiba, suara gaduh dari luar kamar membangunkanku. Pintu yang didobrak dengan keras, diikuti teriakan kasar yang menggema di seluruh rumah.

Jantungku berdebar cepat. Dengan gemetar, aku bangkit dan membuka pintu kamar sedikit. Apa yang kulihat di ruang tamu membuat darahku serasa membeku. Beberapa pria besar berdiri di tengah ruangan, wajah mereka dipenuhi amarah. Ayah dan Paman Dante terpojok, tubuh mereka terhuyung-huyung setelah beberapa pukulan yang dilayangkan oleh para rentenir itu.

“Kalian pikir kami main-main? Hutang itu harus dibayar malam ini!” teriak salah satu pria, suaranya penuh amarah.

Ayah berusaha berbicara, meskipun suaranya terdengar lemah. “Tolong beri kami waktu. Kami akan bayar, janji.”

“Janji? Sudah berapa tahun kami tunggu?” salah seorang pria mendekat dan melayangkan pukulan keras ke wajah ayah. Tubuh ayah terjatuh ke lantai.

“Berhenti!” Aku berteriak, keluar dari persembunyian dan berlari ke arah mereka. Semua mata kini tertuju padaku. Salah satu pria besar itu menatapku dengan tatapan penuh ejekan.

“Siapa ini? Anak kecil mau ikut campur urusan orang dewasa?” katanya dengan sinis.

“Aku anaknya,” jawabku, meski suaraku bergetar. “Tolong jangan perlakukan ayahku seperti itu. Kami akan melunasi hutangnya.”

Dia tertawa keras. “Janji kalian nggak akan menyelesaikan masalah ini. Rumah ini akan kami ambil malam ini juga!”

Aku berusaha untuk tetap tegar, namun ketakutan mulai menguasai diriku. “Tolong beri kami waktu!” pintaku lagi.

Namun, itu semua sia-sia. Pria itu memberi isyarat pada anak buahnya untuk terus mengacak-acak rumah. Mereka mulai membongkar perabotan, melempar barang-barang ke lantai dengan kasar. Salah satu dari mereka bahkan menarik lukisan dinding dan merobeknya tanpa ampun, sementara yang lainnya terus menekan ayah dan Paman Dante yang terjatuh.

Aku mencoba untuk menghalangi mereka, namun seorang pria besar mendorongku dengan kasar, membuatku terjatuh ke lantai. Aku menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tubuhku, tapi aku tak bisa membiarkan mereka begitu saja menyakiti keluargaku.

“Ayah!” Aku berteriak, berlari menghampiri ayahku yang tergeletak tak berdaya. “Ayah, bangun! Tolong, jangan diam saja!”

Ayah membuka matanya dengan susah payah. “Savannah… pergi ke kamar. Jangan di sini…” suaranya sangat lemah.

Tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Aku tetap berdiri di sampingnya, mencoba melindungi ayah dari serangan lebih lanjut. Namun, salah satu pria itu kembali mendekat dan menatapku dengan penuh kebencian.

“Anak kecil, kamu lebih baik mundur,” katanya, mengangkat tangannya dengan niat yang jelas.

Aku menggigit bibir, menahan rasa takut yang menguasai. “Aku tidak akan pergi. Jangan sentuh mereka lagi!” Aku bersuara dengan tegas, tapi dalam. hatiku dipenuhi dengan kecemasan. sepertinya ayahku dan paman tidak menceritakan jika masalah kebangkrutan ini separah ini. Namun melihat mereka yang seperti ini aku juga jadi tidak tega.

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Last Updated : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Last Updated : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 12

    Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek

    Last Updated : 2024-12-17

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 35

    Aku tidak ingin bertegur sapa dengan Theo, jadi aku segera berbalik menuju kamarku. Namun, langkahku terhenti saat mendengar derap langkah berat di belakangku, memaksa naluriku untuk berhenti. Suara langkah itu terasa mendesak, seolah memiliki maksud yang tidak bisa diabaikan."Maaf, ada apa, Pak Theo?" tanyaku tanpa menoleh, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku. Jantungku berdebar, menciptakan ketegangan yang sulit kuabaikan.Pria itu melangkah lebih dekat, hingga kini berdiri sejajar denganku. Wajahnya memancarkan keraguan, tetapi tatapannya tegas, membuatku waspada. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa terpojok."Maaf, Savannah. Aku tadi mendengar percakapanmu," ucapnya pelan namun jelas. Nada suaranya membawa kehangatan yang aneh, meski tetap terkesan dingin.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mengangguk singkat, aku menjaga jarak emosional. "Kalau begitu, Anda sudah tahu, kan? Tidak perlu kita bahas lagi," ujarku datar, berharap pembicaraan ini s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 34

    Angela mencolek lenganku, menyadarkan aku dari lamunan. "Hei, kamu kenapa? Wajahmu merah," bisiknya pelan. Aku hanya menggeleng, mencoba mengusir pikiran tentang Theo. Sepertinya aku harus benar-benar berhati-hati. Pria itu lalu berjalan melewati kami. Angela memegang lengannya, sontak pria itu berhenti. Pria itu menatap kami berdua dengan alis terangkat. "Bagaimana, apakah sahabatku bisa kerja di restoran milik kak Theo" Pria itu tertawa lagi, tidak ada kesinisan. Aku meremas jari Angela, kata-katanya tadi siang benar-benar menggangguku. Aku menarik Angela dengan perasaan tidak nyaman, namun gadis itu masih berdiri. " Walaupun kamu orang dalam yang sangat denganku, aku tidak bisa mengambil keputusan sesuka hati.Kalau dia bersedia, dia bisa mengikuti test seperti calon lainnya besok pagi. " Angela lalu mengangguk, gadis itu langsung memeluk kakak sepuounya itu dengan erat. Aku hanya menundukkan kepala, tidak tahu mau mengatakan apa. " Terimakasih kak, " Pria itu mengangguk da

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 33

    Theo menatapku dengan tatapan tajam, seolah matanya mampu menembus setiap lapisan diriku yang paling tersembunyi. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, mempersempit jarak di antara kami, membuatku merasa seperti terpojok meski ruangan ini cukup luas. "Jadi, permainan anak muda, huh? Dengan pakaian seperti ini?" nada suaranya terdengar rendah, tetapi penuh sindiran yang membuat tengkukku meremang. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan gelisah yang mulai menguasai diriku. Tangannya yang terlipat di depan dada hanya mempertegas kesan dominan yang ia bawa. Tidak seharusnya dia mempertanyakan bajuku. Ini bukan urusannya. Tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidahku. “Memangnya kenapa kalau aku berpakaian seperti ini?” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab, meskipun suara yang keluar terdengar lebih lemah daripada yang aku harapkan. Matanya menyipit, seperti menilai setiap kata yang aku ucapkan. Theo menyeringai kecil, sebuah ekspresi yang lebih membuatku kesal daripada ta

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 32

    Semua orang langsung terdiam, bahkan Theo yang tadinya tampak tidak peduli kini memasang tatapan tajam ke arah Thomas. Aku menahan napas, menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi momen yang panas. Thomas tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Yang paling menyebalkan dari Theo?” Dia menatap langsung ke arah pria itu sebelum melanjutkan. “Dia kejam dan terlalu misterius.” Ruangan langsung dipenuhi suara bisik-bisik dan gumaman. Theo yang duduk di sudut hanya menatap Thomas dengan dingin, tidak ada sedikit pun emosi di wajahnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. “Kejam gimana maksudnya?” tanya Angela, menambah bumbu pada situasi yang sudah cukup tegang. “Dia selalu memandang rendah orang lain, seolah semua orang di dunia ini tidak pernah cukup baik untuknya. Dan misterius? Ya, dia tidak pernah membiarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan atau rasakan. Itu sangat menyebalkan,” kata Thomas dengan nada tenang tapi tegas. “A

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 31

    Tatapan pria itu menusuk, penuh arti, dan disertai dengan senyum miring yang membuatku semakin gelisah. Theo tidak berkata apa-apa, tapi pandangannya seolah menantangku untuk memberikan jawaban yang tepat. “Tidak,” ucapku akhirnya, singkat dan tegas. Arthur tampak terkejut, tapi dia tetap mempertahankan senyumnya. Dia menghela napas pelan, seperti sudah menduga jawaban itu namun masih berharap lebih. Semua orang di sekitar kami terdiam sejenak, sampai akhirnya Arthur memecah keheningan dengan pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. “Kenapa? Bukankah Andrew dan kamu juga sudah putus?” Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan Andrew? Apakah dia memantauku selama ini? “Arthur…” gumamku, mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara tajam memotong percakapan kami. “Itu sudah jelas, Arthur. Kamu tidak perlu alasan untuk tidak diinginkan. Jadi, cari perempuan lain saja.” Aku menole

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 30

    Menjelang pukul tujuh malam, dapur hampir selesai dengan segala persiapannya. Bahan-bahan sudah rapi di atas nampan: daging ayam dan sapi yang sudah dimarinasi, sayuran yang sudah dipotong, dan jagung yang siap dibakar. Aroma bumbu dari marinade bercampur dengan wangi mentega yang menempel di jari-jari tanganku. Aku tersenyum puas, merasa semuanya akan berjalan sesuai rencana.Tiba-tiba, bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku. Aku melongok ke arah pintu depan, tapi sebelum sempat bergerak, Angela sudah melesat lebih dulu. Sepertinya tamu-tamu Angela sudah mulai berdatangan. "Aditya datang!" teriak Angela dari ruang tamu.Aku melepaskan apron dan berjalan ke arah pintu. Di sana, Aditya berdiri dengan senyum lebarnya yang khas, membawa tas belanja besar di tangan kanan dan sekotak es krim di tangan kiri."Aditya, akhirnya datang juga," Angela menyambutnya sambil merebut tas belanja di tangannya. "Apa saja yang kamu bawa? Jangan bilang cuma jagung." Angela manatap aditya dengan pura-pur

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 29

    Setelah Angela dan Adit pergi, aku melangkah lemah ke kamarku. Pintu kututup perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun akan merobohkan sisa kekuatanku. Aku berdiri di depan cermin, melihat bayangan diriku yang jauh dari kata berdaya. Aku menanggalkan kaca Mata hitam milikku. Mata sembab, rambut kusut, dan wajah yang penuh dengan kesedihan. Untung saja mereka tidak mempermasalahkan aku menamakan riben tadi, kalau mereka meminta aku membuka kacamataku pasti mata sembabku masih kelihatan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan membereskan kamar, tetapi setiap lipatan sprei, setiap benda yang kupindahkan, hanya mengingatkanku pada kekacauan di dalam hati. Ketika semua sudah rapi, tidak ada alasan lagi untuk terus menghindar dari kenyataan. Aku menghela napas panjang, berharap hatiku suasananya membaik. Alih-alih keluar atau mencari pelarian, aku malah terkulai di tepi tempat tidur. Duniaku yang dulu megah kini terasa seperti reruntuhan. Andrew, pria yang kucintai sepenuh hati, menin

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 28

    Aku menghela napas panjang, merapikan rambutku yang sedikit berantakan akibat perjalanan panjang di pesawat. Bandara terasa ramai, suara pengumuman terus terdengar di kejauhan. Saat aku keluar dari area kedatangan, mataku segera menangkap sosok yang sudah tak asing Angela, sahabatku sejak SMA, berdiri sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya. Walaupun kedatanganmu mendadak, aku sempat mengabarinya semalam. Namun, aku tidak menceritakan apa yang menjadi masalahku saat ini. Aku hanya bilang ingin mencari pekerjaan, dan ingin liburan. "Savannah!" teriaknya, menghampiriku dengan langkah cepat. aku berjalan dengan cepat kearahnya. Angela terlihat semakin cantik, sepertinya gadis ini bahagia hidup disini. "Angela!" Aku tersenyum lega, aku langsung berhambur kerarahnya, kami langsung berpelukan sejenak. "Selamat datang! Aduh, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu makin cantik aja!" katanya sambil memelukku erat. "Ah, lebay banget kamu. Kamu juga kelihatan segar banget,"

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 27

    Aku melirik jam tanganku. Jarum pendeknya sudah mendekati angka delapan, dan aku masih terjebak di jalan yang macet. Jantungku berdegup kencang, seolah ikut menghitung detik-detik yang terasa begitu cepat berlalu. Kalau aku sampai terlambat, semua usahaku selama ini bisa sia-sia. Semua ini karena aku melakukan penerbangan kali ini secara mendadak. Menghilang dari kehidupan sebelumnya dan. memulai hidup baru. Tanpa Andrew, tanpa ayah, dan tanpa pria menyebalkan itu “Pak, tolong lebih cepat, ya? Saya sudah hampir telat!” pintaku dengan nada panik. Aku benar-benar takut ketinggalan pesawat. “Tenang saja, Mbak. Ini sudah jalan tercepat,” jawab sopir taksi itu tanpa sedikit pun rasa tergesa-gesa. Aku menghela napas keras. Mataku menatap jalanan di depan dengan putus asa. Aku tahu ini salahku, dan yang dikatakan sopir ini sudah benar. Begitu taksi akhirnya berhenti di depan bandara, aku hampir meloncat keluar sebelum mobil benar-benar berhenti. Tidak peduli pada sopir yang menyeb

DMCA.com Protection Status