Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan.
Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan anak buahnya pergi meninggalkan kami. Mereka tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga kehancuran mental yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku memandangi ruangan yang berantakan, benda-benda yang sebelumnya menjadi saksi kebahagiaan kecil keluarga kami kini berserakan di lantai. Aku terdiam beberapa saat, tubuhku lemas, tak tahu harus berbuat apa. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan indah kini hancur, dan ayah serta paman masih terbaring lemah. Aku mencoba melangkah, tapi lututku terasa lemah. Rasanya seperti aku sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Aku mendekatkan tubuhku pada ayah yang berusaha bangkit dengan susah payah. “Ayah, kita harus ke rumah sakit. Kita harus perbaiki semuanya,” kataku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutanku. Ayah menatapku, lalu menggelengkan kepala dengan lemah. “Tidak, Savannah. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah.” Aku menggenggam tangan ayah erat, berusaha memberikan kekuatan. “Tidak, ini bukan salah Ayah. Kita akan melalui semua ini bersama. Aku akan cari cara untuk melunasi hutangnya.” Paman Dante yang terjatuh mencoba duduk dengan susah payah. Wajahnya terlihat suram, penuh rasa bersalah. “Savannah, ini sudah sangat parah. Kita harus segera mencari jalan keluar. Mereka tidak akan berhenti sampai hutang itu lunas.” Aku hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, aku tidak punya solusi apa pun. Tetapi satu hal yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka merebut semuanya dari kami. Aku harus menemukan cara. Entah bagaimana caranya, aku akan melindungi keluargaku. Aku menjadi cemas, kejadian tadi tidak bisa dianggap remeh. Ancaman pria itu terus terngiang di kepalaku, membuat dadaku sesak setiap kali mengingatnya. Rumah yang hancur, ayah dan paman yang terluka, serta hutang yang menggunung—semuanya terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kutanggung. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus melakukan sesuatu. Aku mengotak-atik ponselku dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Andrew, satu-satunya orang yang mungkin bisa memberiku solusi. Nada sambung terdengar, tapi panggilanku tak juga dijawab. Berkali-kali aku mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Pesanku juga hanya menunjukkan centang satu, tak ada balasan sama sekali. “Sepertinya dia sangat sibuk dengan pemotretan,” pikirku, mencoba memahami meskipun hatiku mulai dipenuhi rasa frustrasi. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi setiap tarikan napas hanya membuatku semakin sadar bahwa waktu terus berjalan, dan aku masih belum menemukan jalan keluar. Aku meletakkan ponselku di atas meja dengan kasar, lalu menjatuhkan diriku ke sofa yang penuh debu akibat kekacauan tadi. Kepalaku terasa berat, pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami tidak melunasi hutang dalam waktu seminggu. “Mungkin aku harus mencoba menghubungi orang lain,” gumamku pelan. Tapi siapa? Kami tidak punya banyak kenalan yang bisa dimintai bantuan. Keluarga besar Ayah sudah lama memutuskan hubungan dengan kami. Teman-temanku? Tidak mungkin mereka memiliki uang sebanyak itu. Aku meraih ponselku lagi, membuka daftar kontak, berharap menemukan nama lain yang mungkin bisa membantu. Tapi setiap nama yang kulihat hanya menambah rasa putus asaku. Tidak ada yang cukup dekat, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan sebesar ini. Kepalaku bersandar ke sandaran sofa. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. “Kenapa semuanya jadi seperti ini?” bisikku pelan. Rasanya aku ingin menyerah, ingin berhenti melawan. Tapi, di balik semua itu, bayangan wajah Ayah yang penuh penyesalan dan rasa sakit membuatku tidak bisa menyerah. Aku harus kuat, untuk Ayah dan Paman Dante. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. “Baiklah, Savannah. Kalau Andrew tidak bisa dihubungi, aku harus mencari cara lain,” kataku pada diriku sendiri. Aku bangkit perlahan, mengambil secarik kertas dan pena dari meja. Aku harus membuat daftar apa saja yang bisa kulakukan, siapa saja yang bisa kumintai bantuan, dan apa yang bisa kujual untuk mendapatkan uang. Tidak peduli seberapa kecil kemungkinannya, aku tidak akan berhenti mencoba. Namun, semakin lama aku menatap kertas kosong itu, semakin besar rasa putus asa yang melingkupiku. Tidak ada ide yang terlintas. Tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas. Waktu terus berjalan, dan aku masih terjebak di tempat yang sama, tenggelam dalam ketidakpastian. Aku menggigit bibirku, para sepupuku yang lain juga menghilang entah kemana. Aku keluar dari kamar, langkahku berat meskipun rumah sudah terlihat rapi kembali. Bekas-bekas kekacauan tadi sudah dibersihkan, tetapi suasana suram masih terasa menghantui setiap sudut. Di ruang tengah, aku melihat ayah dan Paman Dante sedang duduk di sofa, mengompres luka-luka mereka sendiri dengan kain basah. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang masih penuh amarah. “Di mana Paman Nicholas, Aurora, Laeticia, dan sepupu-sepupu yang lain?” tanyaku akhirnya, suara penuh nada tajam. Aku tidak bisa menyembunyikan kegeramanku. Bagaimana bisa mereka tidak terlihat saat kejadian sebesar tadi? Paman Dante tersenyum kecil, tapi senyum itu jelas dipaksakan. “Mereka sudah kami suruh pergi mengamankan diri. Kamu lihat sendiri bagaimana kacaunya tadi, Savannah,” jawabnya sambil menatapku dengan sorot mata lelah. Aku hanya mengangguk kecil, meskipun dalam hati aku masih merasa kesal. “Sepertinya hutang kalian lebih banyak dari yang kukira, dan ini pasti sudah terjadi sejak lama. Jadi pantas saja kalau semua ini sampai terjadi,” ujarku dengan nada malas, lebih kepada melampiaskan rasa frustrasi. Ayah dan Paman Dante saling berpandangan sejenak, seolah berbicara tanpa kata-kata. Ayah akhirnya menghela napas berat dan menundukkan kepalanya. “Kami memang menyembunyikan ini darimu. Kami tidak ingin kamu khawatir,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi lihatlah sekarang,” potongku cepat, suara meninggi tanpa sadar. “Kalian pikir aku tidak khawatir sekarang? Ancaman mereka bukan main-main, Ayah! Kita punya waktu satu minggu, dan aku bahkan tidak tahu dari mana harus memulai untuk menyelesaikan semua ini.” “Kami sedang mencari cara, Savannah. Percayalah,” jawab Paman Dante, berusaha menenangkanku. Tapi kata-katanya terdengar hampa, seperti janji yang tidak akan pernah terpenuhi.Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu