Share

Bab 5

Penulis: pachirawidi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 10:26:58

Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan.

Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!”

Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.”

Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.”

Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan anak buahnya pergi meninggalkan kami. Mereka tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga kehancuran mental yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku memandangi ruangan yang berantakan, benda-benda yang sebelumnya menjadi saksi kebahagiaan kecil keluarga kami kini berserakan di lantai.

Aku terdiam beberapa saat, tubuhku lemas, tak tahu harus berbuat apa. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan indah kini hancur, dan ayah serta paman masih terbaring lemah. Aku mencoba melangkah, tapi lututku terasa lemah. Rasanya seperti aku sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Aku mendekatkan tubuhku pada ayah yang berusaha bangkit dengan susah payah. “Ayah, kita harus ke rumah sakit. Kita harus perbaiki semuanya,” kataku dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutanku.

Ayah menatapku, lalu menggelengkan kepala dengan lemah. “Tidak, Savannah. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah.”

Aku menggenggam tangan ayah erat, berusaha memberikan kekuatan. “Tidak, ini bukan salah Ayah. Kita akan melalui semua ini bersama. Aku akan cari cara untuk melunasi hutangnya.”

Paman Dante yang terjatuh mencoba duduk dengan susah payah. Wajahnya terlihat suram, penuh rasa bersalah. “Savannah, ini sudah sangat parah. Kita harus segera mencari jalan keluar. Mereka tidak akan berhenti sampai hutang itu lunas.”

Aku hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, aku tidak punya solusi apa pun. Tetapi satu hal yang aku tahu, aku tidak akan membiarkan mereka merebut semuanya dari kami. Aku harus menemukan cara. Entah bagaimana caranya, aku akan melindungi keluargaku.

Aku menjadi cemas, kejadian tadi tidak bisa dianggap remeh. Ancaman pria itu terus terngiang di kepalaku, membuat dadaku sesak setiap kali mengingatnya. Rumah yang hancur, ayah dan paman yang terluka, serta hutang yang menggunung—semuanya terasa seperti beban yang terlalu berat untuk kutanggung. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku mengotak-atik ponselku dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi Andrew, satu-satunya orang yang mungkin bisa memberiku solusi. Nada sambung terdengar, tapi panggilanku tak juga dijawab. Berkali-kali aku mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Pesanku juga hanya menunjukkan centang satu, tak ada balasan sama sekali.

“Sepertinya dia sangat sibuk dengan pemotretan,” pikirku, mencoba memahami meskipun hatiku mulai dipenuhi rasa frustrasi. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi setiap tarikan napas hanya membuatku semakin sadar bahwa waktu terus berjalan, dan aku masih belum menemukan jalan keluar.

Aku meletakkan ponselku di atas meja dengan kasar, lalu menjatuhkan diriku ke sofa yang penuh debu akibat kekacauan tadi. Kepalaku terasa berat, pikiranku penuh dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami tidak melunasi hutang dalam waktu seminggu.

“Mungkin aku harus mencoba menghubungi orang lain,” gumamku pelan. Tapi siapa? Kami tidak punya banyak kenalan yang bisa dimintai bantuan. Keluarga besar Ayah sudah lama memutuskan hubungan dengan kami. Teman-temanku? Tidak mungkin mereka memiliki uang sebanyak itu.

Aku meraih ponselku lagi, membuka daftar kontak, berharap menemukan nama lain yang mungkin bisa membantu. Tapi setiap nama yang kulihat hanya menambah rasa putus asaku. Tidak ada yang cukup dekat, tidak ada yang bisa kumintai pertolongan sebesar ini.

Kepalaku bersandar ke sandaran sofa. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan. “Kenapa semuanya jadi seperti ini?” bisikku pelan. Rasanya aku ingin menyerah, ingin berhenti melawan. Tapi, di balik semua itu, bayangan wajah Ayah yang penuh penyesalan dan rasa sakit membuatku tidak bisa menyerah. Aku harus kuat, untuk Ayah dan Paman Dante.

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas. “Baiklah, Savannah. Kalau Andrew tidak bisa dihubungi, aku harus mencari cara lain,” kataku pada diriku sendiri. Aku bangkit perlahan, mengambil secarik kertas dan pena dari meja. Aku harus membuat daftar apa saja yang bisa kulakukan, siapa saja yang bisa kumintai bantuan, dan apa yang bisa kujual untuk mendapatkan uang. Tidak peduli seberapa kecil kemungkinannya, aku tidak akan berhenti mencoba.

Namun, semakin lama aku menatap kertas kosong itu, semakin besar rasa putus asa yang melingkupiku. Tidak ada ide yang terlintas. Tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas. Waktu terus berjalan, dan aku masih terjebak di tempat yang sama, tenggelam dalam ketidakpastian. Aku menggigit bibirku, para sepupuku yang lain juga menghilang entah kemana. Aku keluar dari kamar, langkahku berat meskipun rumah sudah terlihat rapi kembali. Bekas-bekas kekacauan tadi sudah dibersihkan, tetapi suasana suram masih terasa menghantui setiap sudut. Di ruang tengah, aku melihat ayah dan Paman Dante sedang duduk di sofa, mengompres luka-luka mereka sendiri dengan kain basah. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku yang masih penuh amarah.

“Di mana Paman Nicholas, Aurora, Laeticia, dan sepupu-sepupu yang lain?” tanyaku akhirnya, suara penuh nada tajam. Aku tidak bisa menyembunyikan kegeramanku. Bagaimana bisa mereka tidak terlihat saat kejadian sebesar tadi?

Paman Dante tersenyum kecil, tapi senyum itu jelas dipaksakan. “Mereka sudah kami suruh pergi mengamankan diri. Kamu lihat sendiri bagaimana kacaunya tadi, Savannah,” jawabnya sambil menatapku dengan sorot mata lelah.

Aku hanya mengangguk kecil, meskipun dalam hati aku masih merasa kesal. “Sepertinya hutang kalian lebih banyak dari yang kukira, dan ini pasti sudah terjadi sejak lama. Jadi pantas saja kalau semua ini sampai terjadi,” ujarku dengan nada malas, lebih kepada melampiaskan rasa frustrasi.

Ayah dan Paman Dante saling berpandangan sejenak, seolah berbicara tanpa kata-kata. Ayah akhirnya menghela napas berat dan menundukkan kepalanya. “Kami memang menyembunyikan ini darimu. Kami tidak ingin kamu khawatir,” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Tapi lihatlah sekarang,” potongku cepat, suara meninggi tanpa sadar. “Kalian pikir aku tidak khawatir sekarang? Ancaman mereka bukan main-main, Ayah! Kita punya waktu satu minggu, dan aku bahkan tidak tahu dari mana harus memulai untuk menyelesaikan semua ini.”

“Kami sedang mencari cara, Savannah. Percayalah,” jawab Paman Dante, berusaha menenangkanku. Tapi kata-katanya terdengar hampa, seperti janji yang tidak akan pernah terpenuhi.

Bab terkait

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 12

    Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 13

    Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 49

    Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 48

    Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 47

    Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 46

    Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 45

    Eleanor telah pulang. Aku sudah mengantarnya pagi tadi, lalu langsung bekerja. Rutinitas yang melelahkan, tetapi setidaknya pikiranku bisa teralihkan. Namun, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, aku merasa perlu udara segar. Pantai. Tempat itu selalu jadi pelarianku. Aku menghela napas panjang di depan cermin. “Hari baru, Savannah. Fokus untuk tenang,” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah berlalu. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Mengenakan dress putih selutut dan mengikat rambutku dengan sederhana, aku keluar dari kamar hotel. Udara sore terasa hangat, dengan angin laut berembus pelan. Jalanan sekitar resort ramai dengan turis yang sibuk mengambil foto atau sekadar menikmati suasana tropis. Aku berjalan pelan, membiarkan pikiranku melayang-layang, menikmati momen ini sendirian. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggil namaku. “Savannah?” Aku menoleh cepat, dan seketika mood-ku hancur. Theo. Lelaki

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 44

    Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 43

    Ketika memasuki rumah sewaanku, aku tertegun mendapati Eleanor sudah berdiri di belakangku dengan tangan bersedekap. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk, siap menginterogasiku. "Astaga, El! Kamu mengagetkanku," ucapku terkejut sambil menepuk dadaku. Rasanya seperti hampir kehilangan napas. Namun, dia tidak bereaksi seperti biasanya. Eleanor hanya menatapku tajam, kedua alisnya bertaut. "Kamu pergi lama sekali, dan dengan pria yang kamu tidak begitu kenal? " ucapnya, nada suaranya terdengar seperti interogasi. Apa yang diucapkan Eleanor sangat benar, tapi aku juga bingung untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Aku tertawa gugup, mencoba menyusun alasan sebelum menjawab. "Aku juga nggak nyangka bakal selama itu. Theo hanya minta ditemani makan," kataku, berusaha terdengar santai agar Eleanor tidak bertanya semakin banyak. Namun, Eleanor tidak termakan jawabanku. Dia menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. "Hanya makan? Sampai berjam-j

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 42

    Saat aku menelpon taksi online, langkah cepat Thomas mendekatiku. Lagi. Kali ini dengan sikap yang lebih memaksa, ia berusaha meyakinkanku untuk pulang bersama mereka. Namun, seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah. "Tuan Theo meminta maaf jika telah menyinggung Anda," katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku mendongak dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Sudah dimaafkan. Jadi, saya ingin pulang." Namun, alih-alih menyerah, Thomas tiba-tiba melakukan sesuatu yang benar-benar mengejutkanku. Ia berlutut di depanku, memohon dengan tatapan memelas yang sama sekali tak kuharapkan darinya. "Tolong, nona. Kami hanya ingin memastikan Anda pulang dengan aman. Tuan Theo sangat khawatir," katanya dengan suara yang nyaris terdengar seperti rayuan. Aku mendesah panjang, memutar bola mata. Apakah mereka pikir aku tidak mampu menjaga diriku sendiri? "Taksinya sudah dipesan. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot," balasku sambil menunjuk layar ponselku yang menunjukkan status taksi yang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status