Share

Bab 6

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-11 22:45:36

Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”

Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”

Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”

Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”

“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin dia tahu cara mengatasi ini.

Namun hampir setengah jam berlalu, dan Andrew tidak memberi jawaban. Aku hanya menggenggam ponselku erat, bingung harus mulai dari mana. Lalu, aku mengecek saldo tabunganku. Cukup untuk membangun bisnis, tapi tidak cukup untuk menutupi utang keluarga. Kadang aku benci diriku yang selalu memikirkan keluarga. Seharusnya aku bisa lebih egois, seperti sepupuku.

Aku mencoba menghubungi Eleanor, namun tetap tidak ada jawaban. Aku menggigit bibir. Sepertinya, aku benar-benar akan menikah.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponsel. Pikiran terus berputar. Tidak ada jawaban dari Andrew, dan Eleanor pun menghilang entah ke mana. Dunia seakan memunggungiku. Saldo tabunganku semakin membuatku tertekan. Itu tidak cukup untuk menyelamatkan keluarga dari kehancuran.

Berbagai cara muncul di pikiranku. Pinjaman? Tidak mungkin. Bunga yang mencekik hanya akan memperburuk keadaan. Menjual satu-satunya properti? Aku tidak sanggup.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, semua terasa begitu menyesakkan. Aku benci merasa tak berdaya. Aku benci menjadi lemah.

Lalu, sebuah ide terlintas. Pernikahan.

Aku terperanjat. Menikah? Dengan siapa? Aku mencintai Andrew, tapi aku tidak punya pilihan lain. Sepupuku pun menghilang begitu saja. Andrew juga tidak bisa dihubungi, menambah kegelisahan dalam hatiku. Aku mencoba semua sosial media da emailnya, aku menjelaskan semua keadaanku dan apa yang akan menjadi konsekuensinya.

“Penebusan,” gumamku pelan. Anggap saja ini cara aku menebus kebaikan keluarga. Aku menarik napas dalam-dalam. Meskipun marah dan kecewa, aku tahu tidak ada jalan lain. Aku bisa memulai dengan ini, bermain dengan aturan yang ada, dan mungkin, jika aku cukup cerdik, aku bisa mengendalikan situasi. Aku harus bisa keluar dari situasi yang merugikan diriku.

Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul. Mungkin ini saatnya untuk mengambil kendali atas hidupku. Aku hanya perlu menikah. Tidak ada penjelasan lainnya. Aku tersenyum cerah.

Rencanaku jelas: Aku akan menjalani pernikahan ini dengan cara yang tak pernah dia bayangkan. Aku akan menjadi istri yang patuh, mengikuti semua aturan, tapi di balik itu, aku sudah mempersiapkan rencana untuk menghilang setelah pernikahan.

Aku mulai merencanakan langkah demi langkah. Apa yang perlu aku lakukan untuk memastikan semuanya berjalan mulus? Andrew? Mungkin. Tapi aku tak ingin melibatkan orang lain lebih jauh. Aku harus bisa melakukan ini sendiri. Aku tidak akan memberitahunya hal yang akan membuatnya patah hati.

Aku mencoba menghubungi Eleanor lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Mungkin inilah saatnya untuk bertindak tanpa bergantung pada siapa pun. Waktu semakin sempit, dan aku harus segera membuat keputusan.

Pikiranku terus merencanakan kemungkinan setelah pernikahan. Segera setelah upacara selesai, aku akan mencari celah untuk melarikan diri. Ada banyak tempat di dunia yang bisa aku tuju, jauh dari masalah yang menghantuiku. Aku bisa memulai hidup baru, bebas dari beban dan pengawasan. Aku bisa hidup bahagia bersama Andrew, terlepas dari bayang-bayang keluarga ini.

Ini pernikahan bisnis. Tuan Wiratama pasti punya alasan kenapa mengajukan syarat ini, meskipun semua orang tahu dia seharusnya menikah dengan sepupuku. Aku tidak mungkin berunding dengan dia agar pernikahan ini batal, apalagi dia yang mengajukan syarat ini.

Aku terus memandangi layar ponsel, menunggu respons yang tak kunjung datang. Setiap detik semakin menekan dada. Kenapa semuanya terasa begitu berat? Aku meraih gelas di samping tempat tidur dan meminumnya, berharap itu bisa sedikit menenangkan. Tapi semakin aku berpikir jernih, semakin banyak jalan buntu yang muncul.

Waktu satu minggu yang diberikan oleh penagih hutang itu, belum tentu benar-benar satu minggu. Mungkin besok akan semakin banyak orang-orang yang datang mencari kami.

Aku duduk tegak, menyadari bahwa hidupku akan berubah drastis dalam beberapa hari ke depan. Semua yang aku kenal akan hilang. Tapi setidaknya, ini kesempatan untuk bebas, untuk hidup sesuai keinginanku. Aku hanya perlu melewati pernikahan ini, dan setelah itu, aku akan menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang akan tahu ke mana aku pergi.

Aku mulai merencanakan hal-hal kecil yang perlu dipersiapkan. Langkah pertama: membuat pernikahan ini tampak sah dan lancar. Ini pertunjukan, dan aku harus memainkannya dengan sempurna. Semua orang akan melihat kami sebagai pasangan bahagia, tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tersenyum, dan berjalan penuh keyakinan untuk menemui ayahku.

Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi ketika aku melangkah keluar dari kamarku. Suasana rumah begitu sepi, hanya terdengar detak jam dinding yang seolah mengingatkanku pada waktu yang terus berjalan. Langkahku pelan, mataku menyapu sekeliling, dan aku tak bisa menahan diri untuk mengamati setiap sudut rumah yang dulu begitu hidup. Sekarang, rumah ini terasa kosong, bahkan lebih sepi daripada malam-malam sebelumnya.

Aku berjalan sedikit, merasakan perbedaan yang semakin terasa. Banyak furnitur yang dulu ada, kini menghilang. Tempat-tempat yang dulu penuh kenangan kini hanya menyisakan bayangan. Ruang tamu yang dulu penuh dengan tawa keluarga kini terasa hampa, tak ada lagi kursi panjang yang menjadi tempat berkumpul, hanya sisa-sisa barang yang tampaknya tidak lagi memiliki arti bagi mereka. Dinding-dinding yang dulu dipenuhi dengan foto-foto keluarga kini tampak kosong, seolah kehilangan jejak-jejak kenangan yang pernah ada.

Aku mendengus pelan, kecewa dan bingung dengan apa yang terjadi. Aku tidak bisa memahami tindakan ayah dan para pamanku. Mereka seakan kehilangan arah. Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar menjual semua barang ini atau hanya sekadar menyembunyikannya, menghilangkan jejak-jejak yang seharusnya tetap ada. Semua ini terasa seperti pelarian, seolah mereka berusaha menyingkirkan masa lalu yang sudah tak bisa lagi mereka hindari.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan pikiranku. Kenapa semuanya berubah begitu cepat? Apa yang terjadi pada rumah ini, pada keluarga kami? Aku merasa ada yang hilang, tidak hanya dari rumah ini, tapi juga dari diriku. Rasanya, aku tak lagi mengenali tempat yang dulu penuh kenangan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Last Updated : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 12

    Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 13

    Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d

    Last Updated : 2024-12-18
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 14

    Pria itu menatap Savannah dengan sorot mata penuh selidik, seolah berusaha membaca pikirannya. Wajahnya tetap datar, tetapi kewaspadaan terlihat jelas dari caranya berdiri, siap bergerak kapan saja. “Kami diperintah oleh calon suamimu untuk menjagamu,” ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, tanpa menunjukkan emosi. Savannah mendengus pelan, menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku hanya mau bertemu sahabatku, bukan melarikan diri. Jadi berhenti mengikutiku seperti bayangan,” katanya dengan nada tegas, menatap tajam ke arah pria-pria itu. Kedua pria itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mempertimbangkan langkah berikutnya. Namun, tak satu pun dari mereka bergerak atau memberi tanda akan membiarkan Savannah pergi tanpa pengawasan. “Perintahnya jelas, Nona,” jawab salah satu dari mereka akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Savannah menarik napas dalam

    Last Updated : 2024-12-18

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 52

    Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 51

    Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status