Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”
Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.” Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?” Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.” “Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin dia tahu cara mengatasi ini. Namun hampir setengah jam berlalu, dan Andrew tidak memberi jawaban. Aku hanya menggenggam ponselku erat, bingung harus mulai dari mana. Lalu, aku mengecek saldo tabunganku. Cukup untuk membangun bisnis, tapi tidak cukup untuk menutupi utang keluarga. Kadang aku benci diriku yang selalu memikirkan keluarga. Seharusnya aku bisa lebih egois, seperti sepupuku. Aku mencoba menghubungi Eleanor, namun tetap tidak ada jawaban. Aku menggigit bibir. Sepertinya, aku benar-benar akan menikah. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponsel. Pikiran terus berputar. Tidak ada jawaban dari Andrew, dan Eleanor pun menghilang entah ke mana. Dunia seakan memunggungiku. Saldo tabunganku semakin membuatku tertekan. Itu tidak cukup untuk menyelamatkan keluarga dari kehancuran. Berbagai cara muncul di pikiranku. Pinjaman? Tidak mungkin. Bunga yang mencekik hanya akan memperburuk keadaan. Menjual satu-satunya properti? Aku tidak sanggup. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, semua terasa begitu menyesakkan. Aku benci merasa tak berdaya. Aku benci menjadi lemah. Lalu, sebuah ide terlintas. Pernikahan. Aku terperanjat. Menikah? Dengan siapa? Aku mencintai Andrew, tapi aku tidak punya pilihan lain. Sepupuku pun menghilang begitu saja. Andrew juga tidak bisa dihubungi, menambah kegelisahan dalam hatiku. Aku mencoba semua sosial media da emailnya, aku menjelaskan semua keadaanku dan apa yang akan menjadi konsekuensinya. “Penebusan,” gumamku pelan. Anggap saja ini cara aku menebus kebaikan keluarga. Aku menarik napas dalam-dalam. Meskipun marah dan kecewa, aku tahu tidak ada jalan lain. Aku bisa memulai dengan ini, bermain dengan aturan yang ada, dan mungkin, jika aku cukup cerdik, aku bisa mengendalikan situasi. Aku harus bisa keluar dari situasi yang merugikan diriku. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul. Mungkin ini saatnya untuk mengambil kendali atas hidupku. Aku hanya perlu menikah. Tidak ada penjelasan lainnya. Aku tersenyum cerah. Rencanaku jelas: Aku akan menjalani pernikahan ini dengan cara yang tak pernah dia bayangkan. Aku akan menjadi istri yang patuh, mengikuti semua aturan, tapi di balik itu, aku sudah mempersiapkan rencana untuk menghilang setelah pernikahan. Aku mulai merencanakan langkah demi langkah. Apa yang perlu aku lakukan untuk memastikan semuanya berjalan mulus? Andrew? Mungkin. Tapi aku tak ingin melibatkan orang lain lebih jauh. Aku harus bisa melakukan ini sendiri. Aku tidak akan memberitahunya hal yang akan membuatnya patah hati. Aku mencoba menghubungi Eleanor lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Mungkin inilah saatnya untuk bertindak tanpa bergantung pada siapa pun. Waktu semakin sempit, dan aku harus segera membuat keputusan. Pikiranku terus merencanakan kemungkinan setelah pernikahan. Segera setelah upacara selesai, aku akan mencari celah untuk melarikan diri. Ada banyak tempat di dunia yang bisa aku tuju, jauh dari masalah yang menghantuiku. Aku bisa memulai hidup baru, bebas dari beban dan pengawasan. Aku bisa hidup bahagia bersama Andrew, terlepas dari bayang-bayang keluarga ini. Ini pernikahan bisnis. Tuan Wiratama pasti punya alasan kenapa mengajukan syarat ini, meskipun semua orang tahu dia seharusnya menikah dengan sepupuku. Aku tidak mungkin berunding dengan dia agar pernikahan ini batal, apalagi dia yang mengajukan syarat ini. Aku terus memandangi layar ponsel, menunggu respons yang tak kunjung datang. Setiap detik semakin menekan dada. Kenapa semuanya terasa begitu berat? Aku meraih gelas di samping tempat tidur dan meminumnya, berharap itu bisa sedikit menenangkan. Tapi semakin aku berpikir jernih, semakin banyak jalan buntu yang muncul. Waktu satu minggu yang diberikan oleh penagih hutang itu, belum tentu benar-benar satu minggu. Mungkin besok akan semakin banyak orang-orang yang datang mencari kami. Aku duduk tegak, menyadari bahwa hidupku akan berubah drastis dalam beberapa hari ke depan. Semua yang aku kenal akan hilang. Tapi setidaknya, ini kesempatan untuk bebas, untuk hidup sesuai keinginanku. Aku hanya perlu melewati pernikahan ini, dan setelah itu, aku akan menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang akan tahu ke mana aku pergi. Aku mulai merencanakan hal-hal kecil yang perlu dipersiapkan. Langkah pertama: membuat pernikahan ini tampak sah dan lancar. Ini pertunjukan, dan aku harus memainkannya dengan sempurna. Semua orang akan melihat kami sebagai pasangan bahagia, tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tersenyum, dan berjalan penuh keyakinan untuk menemui ayahku. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi ketika aku melangkah keluar dari kamarku. Suasana rumah begitu sepi, hanya terdengar detak jam dinding yang seolah mengingatkanku pada waktu yang terus berjalan. Langkahku pelan, mataku menyapu sekeliling, dan aku tak bisa menahan diri untuk mengamati setiap sudut rumah yang dulu begitu hidup. Sekarang, rumah ini terasa kosong, bahkan lebih sepi daripada malam-malam sebelumnya. Aku berjalan sedikit, merasakan perbedaan yang semakin terasa. Banyak furnitur yang dulu ada, kini menghilang. Tempat-tempat yang dulu penuh kenangan kini hanya menyisakan bayangan. Ruang tamu yang dulu penuh dengan tawa keluarga kini terasa hampa, tak ada lagi kursi panjang yang menjadi tempat berkumpul, hanya sisa-sisa barang yang tampaknya tidak lagi memiliki arti bagi mereka. Dinding-dinding yang dulu dipenuhi dengan foto-foto keluarga kini tampak kosong, seolah kehilangan jejak-jejak kenangan yang pernah ada. Aku mendengus pelan, kecewa dan bingung dengan apa yang terjadi. Aku tidak bisa memahami tindakan ayah dan para pamanku. Mereka seakan kehilangan arah. Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar menjual semua barang ini atau hanya sekadar menyembunyikannya, menghilangkan jejak-jejak yang seharusnya tetap ada. Semua ini terasa seperti pelarian, seolah mereka berusaha menyingkirkan masa lalu yang sudah tak bisa lagi mereka hindari. Aku terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan pikiranku. Kenapa semuanya berubah begitu cepat? Apa yang terjadi pada rumah ini, pada keluarga kami? Aku merasa ada yang hilang, tidak hanya dari rumah ini, tapi juga dari diriku. Rasanya, aku tak lagi mengenali tempat yang dulu penuh kenangan ini.Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu