Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”
Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.” Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?” Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.” “Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin dia tahu cara mengatasi ini. Namun hampir setengah jam berlalu, dan Andrew tidak memberi jawaban. Aku hanya menggenggam ponselku erat, bingung harus mulai dari mana. Lalu, aku mengecek saldo tabunganku. Cukup untuk membangun bisnis, tapi tidak cukup untuk menutupi utang keluarga. Kadang aku benci diriku yang selalu memikirkan keluarga. Seharusnya aku bisa lebih egois, seperti sepupuku. Aku mencoba menghubungi Eleanor, namun tetap tidak ada jawaban. Aku menggigit bibir. Sepertinya, aku benar-benar akan menikah. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponsel. Pikiran terus berputar. Tidak ada jawaban dari Andrew, dan Eleanor pun menghilang entah ke mana. Dunia seakan memunggungiku. Saldo tabunganku semakin membuatku tertekan. Itu tidak cukup untuk menyelamatkan keluarga dari kehancuran. Berbagai cara muncul di pikiranku. Pinjaman? Tidak mungkin. Bunga yang mencekik hanya akan memperburuk keadaan. Menjual satu-satunya properti? Aku tidak sanggup. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, semua terasa begitu menyesakkan. Aku benci merasa tak berdaya. Aku benci menjadi lemah. Lalu, sebuah ide terlintas. Pernikahan. Aku terperanjat. Menikah? Dengan siapa? Aku mencintai Andrew, tapi aku tidak punya pilihan lain. Sepupuku pun menghilang begitu saja. Andrew juga tidak bisa dihubungi, menambah kegelisahan dalam hatiku. Aku mencoba semua sosial media da emailnya, aku menjelaskan semua keadaanku dan apa yang akan menjadi konsekuensinya. “Penebusan,” gumamku pelan. Anggap saja ini cara aku menebus kebaikan keluarga. Aku menarik napas dalam-dalam. Meskipun marah dan kecewa, aku tahu tidak ada jalan lain. Aku bisa memulai dengan ini, bermain dengan aturan yang ada, dan mungkin, jika aku cukup cerdik, aku bisa mengendalikan situasi. Aku harus bisa keluar dari situasi yang merugikan diriku. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul. Mungkin ini saatnya untuk mengambil kendali atas hidupku. Aku hanya perlu menikah. Tidak ada penjelasan lainnya. Aku tersenyum cerah. Rencanaku jelas: Aku akan menjalani pernikahan ini dengan cara yang tak pernah dia bayangkan. Aku akan menjadi istri yang patuh, mengikuti semua aturan, tapi di balik itu, aku sudah mempersiapkan rencana untuk menghilang setelah pernikahan. Aku mulai merencanakan langkah demi langkah. Apa yang perlu aku lakukan untuk memastikan semuanya berjalan mulus? Andrew? Mungkin. Tapi aku tak ingin melibatkan orang lain lebih jauh. Aku harus bisa melakukan ini sendiri. Aku tidak akan memberitahunya hal yang akan membuatnya patah hati. Aku mencoba menghubungi Eleanor lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Mungkin inilah saatnya untuk bertindak tanpa bergantung pada siapa pun. Waktu semakin sempit, dan aku harus segera membuat keputusan. Pikiranku terus merencanakan kemungkinan setelah pernikahan. Segera setelah upacara selesai, aku akan mencari celah untuk melarikan diri. Ada banyak tempat di dunia yang bisa aku tuju, jauh dari masalah yang menghantuiku. Aku bisa memulai hidup baru, bebas dari beban dan pengawasan. Aku bisa hidup bahagia bersama Andrew, terlepas dari bayang-bayang keluarga ini. Ini pernikahan bisnis. Tuan Wiratama pasti punya alasan kenapa mengajukan syarat ini, meskipun semua orang tahu dia seharusnya menikah dengan sepupuku. Aku tidak mungkin berunding dengan dia agar pernikahan ini batal, apalagi dia yang mengajukan syarat ini. Aku terus memandangi layar ponsel, menunggu respons yang tak kunjung datang. Setiap detik semakin menekan dada. Kenapa semuanya terasa begitu berat? Aku meraih gelas di samping tempat tidur dan meminumnya, berharap itu bisa sedikit menenangkan. Tapi semakin aku berpikir jernih, semakin banyak jalan buntu yang muncul. Waktu satu minggu yang diberikan oleh penagih hutang itu, belum tentu benar-benar satu minggu. Mungkin besok akan semakin banyak orang-orang yang datang mencari kami. Aku duduk tegak, menyadari bahwa hidupku akan berubah drastis dalam beberapa hari ke depan. Semua yang aku kenal akan hilang. Tapi setidaknya, ini kesempatan untuk bebas, untuk hidup sesuai keinginanku. Aku hanya perlu melewati pernikahan ini, dan setelah itu, aku akan menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang akan tahu ke mana aku pergi. Aku mulai merencanakan hal-hal kecil yang perlu dipersiapkan. Langkah pertama: membuat pernikahan ini tampak sah dan lancar. Ini pertunjukan, dan aku harus memainkannya dengan sempurna. Semua orang akan melihat kami sebagai pasangan bahagia, tapi aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tersenyum, dan berjalan penuh keyakinan untuk menemui ayahku. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi ketika aku melangkah keluar dari kamarku. Suasana rumah begitu sepi, hanya terdengar detak jam dinding yang seolah mengingatkanku pada waktu yang terus berjalan. Langkahku pelan, mataku menyapu sekeliling, dan aku tak bisa menahan diri untuk mengamati setiap sudut rumah yang dulu begitu hidup. Sekarang, rumah ini terasa kosong, bahkan lebih sepi daripada malam-malam sebelumnya. Aku berjalan sedikit, merasakan perbedaan yang semakin terasa. Banyak furnitur yang dulu ada, kini menghilang. Tempat-tempat yang dulu penuh kenangan kini hanya menyisakan bayangan. Ruang tamu yang dulu penuh dengan tawa keluarga kini terasa hampa, tak ada lagi kursi panjang yang menjadi tempat berkumpul, hanya sisa-sisa barang yang tampaknya tidak lagi memiliki arti bagi mereka. Dinding-dinding yang dulu dipenuhi dengan foto-foto keluarga kini tampak kosong, seolah kehilangan jejak-jejak kenangan yang pernah ada. Aku mendengus pelan, kecewa dan bingung dengan apa yang terjadi. Aku tidak bisa memahami tindakan ayah dan para pamanku. Mereka seakan kehilangan arah. Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar menjual semua barang ini atau hanya sekadar menyembunyikannya, menghilangkan jejak-jejak yang seharusnya tetap ada. Semua ini terasa seperti pelarian, seolah mereka berusaha menyingkirkan masa lalu yang sudah tak bisa lagi mereka hindari. Aku terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan pikiranku. Kenapa semuanya berubah begitu cepat? Apa yang terjadi pada rumah ini, pada keluarga kami? Aku merasa ada yang hilang, tidak hanya dari rumah ini, tapi juga dari diriku. Rasanya, aku tak lagi mengenali tempat yang dulu penuh kenangan ini.Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet
Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m
Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan
Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri
Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s
Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek
Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d
Pria itu menatap Savannah dengan sorot mata penuh selidik, seolah berusaha membaca pikirannya. Wajahnya tetap datar, tetapi kewaspadaan terlihat jelas dari caranya berdiri, siap bergerak kapan saja. “Kami diperintah oleh calon suamimu untuk menjagamu,” ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, tanpa menunjukkan emosi. Savannah mendengus pelan, menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku hanya mau bertemu sahabatku, bukan melarikan diri. Jadi berhenti mengikutiku seperti bayangan,” katanya dengan nada tegas, menatap tajam ke arah pria-pria itu. Kedua pria itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mempertimbangkan langkah berikutnya. Namun, tak satu pun dari mereka bergerak atau memberi tanda akan membiarkan Savannah pergi tanpa pengawasan. “Perintahnya jelas, Nona,” jawab salah satu dari mereka akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Savannah menarik napas dalam
Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,
Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa
Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas
Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte
Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.
Eleanor telah pulang. Aku sudah mengantarnya pagi tadi, lalu langsung bekerja. Rutinitas yang melelahkan, tetapi setidaknya pikiranku bisa teralihkan. Namun, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, aku merasa perlu udara segar. Pantai. Tempat itu selalu jadi pelarianku. Aku menghela napas panjang di depan cermin. “Hari baru, Savannah. Fokus untuk tenang,” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah berlalu. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Mengenakan dress putih selutut dan mengikat rambutku dengan sederhana, aku keluar dari kamar hotel. Udara sore terasa hangat, dengan angin laut berembus pelan. Jalanan sekitar resort ramai dengan turis yang sibuk mengambil foto atau sekadar menikmati suasana tropis. Aku berjalan pelan, membiarkan pikiranku melayang-layang, menikmati momen ini sendirian. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggil namaku. “Savannah?” Aku menoleh cepat, dan seketika mood-ku hancur. Theo. Lelaki
Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di
Ketika memasuki rumah sewaanku, aku tertegun mendapati Eleanor sudah berdiri di belakangku dengan tangan bersedekap. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk, siap menginterogasiku. "Astaga, El! Kamu mengagetkanku," ucapku terkejut sambil menepuk dadaku. Rasanya seperti hampir kehilangan napas. Namun, dia tidak bereaksi seperti biasanya. Eleanor hanya menatapku tajam, kedua alisnya bertaut. "Kamu pergi lama sekali, dan dengan pria yang kamu tidak begitu kenal? " ucapnya, nada suaranya terdengar seperti interogasi. Apa yang diucapkan Eleanor sangat benar, tapi aku juga bingung untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Aku tertawa gugup, mencoba menyusun alasan sebelum menjawab. "Aku juga nggak nyangka bakal selama itu. Theo hanya minta ditemani makan," kataku, berusaha terdengar santai agar Eleanor tidak bertanya semakin banyak. Namun, Eleanor tidak termakan jawabanku. Dia menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. "Hanya makan? Sampai berjam-j
Saat aku menelpon taksi online, langkah cepat Thomas mendekatiku. Lagi. Kali ini dengan sikap yang lebih memaksa, ia berusaha meyakinkanku untuk pulang bersama mereka. Namun, seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah. "Tuan Theo meminta maaf jika telah menyinggung Anda," katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku mendongak dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Sudah dimaafkan. Jadi, saya ingin pulang." Namun, alih-alih menyerah, Thomas tiba-tiba melakukan sesuatu yang benar-benar mengejutkanku. Ia berlutut di depanku, memohon dengan tatapan memelas yang sama sekali tak kuharapkan darinya. "Tolong, nona. Kami hanya ingin memastikan Anda pulang dengan aman. Tuan Theo sangat khawatir," katanya dengan suara yang nyaris terdengar seperti rayuan. Aku mendesah panjang, memutar bola mata. Apakah mereka pikir aku tidak mampu menjaga diriku sendiri? "Taksinya sudah dipesan. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot," balasku sambil menunjuk layar ponselku yang menunjukkan status taksi yang