Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku petunjuk. Mungkin ada dokumen tentang perusahaan, warisan, atau setidaknya informasi yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku membuka beberapa laci, mencari-cari di antara tumpukan kertas yang sudah usang, namun semuanya nihil. Tidak ada apa-apa. Semua yang ada hanyalah kekosongan yang semakin menambah rasa kecewaku. Aku benar-benar ingin melihat sendiri perjanjian pernikahan yang pernah dibuat kakek dengan keluarga Wiratama. Aku menghela napas panjang, merasa terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam. Ruangan ini, yang dulu penuh dengan kehidupan dan pengaruh, kini hanya menyisakan kesenyapan yang mencekam. Semua yang aku cari, semua yang aku harapkan, tak kunjung ditemukan. Bahkan, ruang di atas ini pun tampaknya sudah kehilangan segala artinya. Aku menelan kekecewaan yang semakin menggerogoti, dan perlahan, langkahku mundur. Sepertinya, pencarianku kali ini harus berhenti di sini. Benar-benar tidak ada petunjuk apapun. Aku melangkah kembali menuju kamar yang dulu milik Moana. Syukurlah pintunya tidak terkunci. Aku mendorongnya perlahan, dan aroma samar dari parfum khasnya masih tercium di udara, meskipun ruangan itu tampak sudah lama tidak ditempati. Mungkin saja Moana punya sesuatu yang bisa menjadi petunjuk, aku membuka lemari gadis itu. Aku memandang sekeliling dengan hati yang bercampur aduk. Kenapa aku yang harus menggantikan posisinya dalam hal ini? Sedangkan aku sudah punya Andrew. Tempat tidur dengan sprei putih yang rapi, meja rias dengan cermin besar yang kini berdebu, serta lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka. Semua tampak seperti membeku dalam waktu. Aku mendekati meja rias dan menyentuh permukaannya yang dingin. Ada beberapa benda yang masih tertinggal—sisir kayu miliknya, kotak perhiasan kecil yang pernah dia tunjukkan padaku, dan sebuah buku catatan kulit cokelat yang sedikit terbuka di sudut meja. Tanganku gemetar saat meraih buku itu, hati kecilku merasa ini bisa jadi petunjuk yang aku cari. Aku membuka halaman pertama dan melihat tulisan tangan Moana yang rapi namun tampak tergesa-gesa di beberapa bagian. Beberapa kalimat pertama membuat napasku tertahan: "Aku tidak punya pilihan, tapi akhirnya perjodohan ini berakhir." Dadaku berdebar keras. Aku membalik halaman demi halaman, berharap ada tulisan lain. Sial, tidak ada lagi tulisan apapun yang menarik, sisanya hanya tulisan catatan belanjaan Moana. Namun, sebelum aku mencari-cari petunjuk lain, suara langkah kaki samar terdengar dari koridor. Aku segera menutup buku itu dan menyembunyikannya di balik gaunku. Siapa yang berjalan di luar sana di tengah malam seperti ini? Apakah mereka tahu aku ada di sini? Aku berdiri mematung, menahan napas sambil mendengarkan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tubuhku menegang. Dalam sekejap, rasa penasaran yang menggelayut di pikiranku berubah menjadi rasa waspada yang tak terkendali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini? Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tadi kudengar semakin mendekat. Aku menahan napas, bersiap menghadapi siapa pun yang mungkin muncul. Apakah seseorang memergokiku di sini? Atau mungkin mereka sedang mencari sesuatu seperti yang kulakukan? “Savannah…” Aku tersentak mendengar suara berat yang familiar. Perlahan, aku meletakkan buku itu kembali di atas meja rias dan berbalik dengan hati-hati. “Ayah?” tanyaku, mencoba menenangkan debaran di dadaku. “Ayah mengagetkanku... Ada apa? Kenapa Ayah ada di kamar Moana?” Ayah menatapku dengan ekspresi lelah dan penuh beban yang sulit disembunyikan. Wajahnya terlihat lebih tua dari terakhir kali kulihat dengan jelas. Ada sesuatu yang aneh dalam sorot matanya—seperti penyesalan yang dalam, tapi juga sebuah keputusan yang sudah bulat. “Aku... hanya ingin memastikan sesuatu,” jawabnya pelan sambil melangkah masuk, mengamati kamar itu dengan sorot mata kosong. “Dulu, tempat ini sering menjadi tempatnya menyendiri… Aku pikir… mungkin dia meninggalkan sesuatu.” Aku mengerutkan kening, penasaran dengan nada suara Ayah yang terdengar berat dan penuh keraguan. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Moana pergi begitu saja? Kenapa aku harus menggantikan posisinya?” Ayah menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dariku. "Ini... bukan sesuatu yang mudah dijelaskan, Savannah. Ada banyak hal yang tidak kamu tahu... dan mungkin lebih baik kamu tidak tahu." Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. "Ayah selalu berkata seperti itu! Tapi lihat apa yang terjadi sekarang! Moana pergi, dan aku yang harus menanggung semua ini tanpa penjelasan. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Wajah Ayah menegang sesaat, tapi kemudian melunak, seolah menyadari bahwa aku tidak akan menyerah kali ini. “Ada alasan kenapa pertunangan Moana dibatalkan dan kenapa kamu yang dipilih untuk menggantikannya. Tapi percayalah, ini demi melindungi keluarga kita.” Aku hanya mencibir, sejak dulu semua kebaikan hanya untuk mereka semua. “Melindungi?” Aku tertawa pahit. “Apa yang sebenarnya Ayah coba lindungi? Reputasi keluarga atau rahasia yang kalian sembunyikan?” Ayah terdiam, seolah-olah sedang bergumul dengan pikirannya sendiri. Aku bisa melihat ada banyak yang ingin dia katakan, tapi entah kenapa dia menahannya. “Percayalah… semua yang kami lakukan adalah demi kebaikanmu,” katanya akhirnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Aku berdiri mematung di tengah kamar yang hampa, dadaku terasa sesak oleh ketidakpastian. Jika semua ini benar-benar demi kebaikanku, kenapa rasanya seolah-olah aku sedang dipaksa menjadi bidak dalam permainan yang tidak kumengerti? Aku segera keluar dari kamar Moana, dan berlari untuk menyusul ayah. Aku ingin ayah tahu, jika aku punya Andrew. Lagi pula masalah keluarga dan hutang piutang seharusnya tidak pernah menjadi tanggung jawabku. "Ayah, " aku memanggil ayah yang sudah berada di ruang tamu. Pria itu menoleh padaku, aku segera berjalan lebih cepat dan duduk disebelahnya. "Ayah, sebenarnya aku dan Andrew akan bertunangan dan akan menikah akhir tahun nanti. " aku mengucapkannya dengan sekali tarikan napas. Aku mengamati ayah yang kini hanya menatapku lurus. Ayah menghela napas panjang. Ayah menatapku dalam diam, seolah menimbang-nimbang apakah aku benar-benar siap untuk mendengar jawaban yang ada dipikirannya. “Lupakan, lagi pula ayah tidak pernah setuju dengan Andrew,” katanya akhirnya, suaranya parau. "Ayah, Aku mencintainya dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubah hal itu. " ucapku dengan tenang. Aku tahu aku dan Andrew bisa berjuang untuk masalah finansial jika itu yang dikhawatirkan ayahku. " Sebenarnya menjauh dari Andrew itu yang terbaik Savannah, karena ayah yakin tuan Wiratama juga tidak akan tinggal diam. " Aku mencetak, tertawa miring melihat ayah yang menatapku serius. "Aku tidak peduli, dan aku tidak akan berkorban walaupun aku juga kasihan pada ayah dan keluarga kita. " ujarku dengan berapi-api, ayah hanya diam. Ayah akhirnya menghela napas.Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m
Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan
Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri
Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s
Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek
Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d
Pria itu menatap Savannah dengan sorot mata penuh selidik, seolah berusaha membaca pikirannya. Wajahnya tetap datar, tetapi kewaspadaan terlihat jelas dari caranya berdiri, siap bergerak kapan saja. “Kami diperintah oleh calon suamimu untuk menjagamu,” ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, tanpa menunjukkan emosi. Savannah mendengus pelan, menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku hanya mau bertemu sahabatku, bukan melarikan diri. Jadi berhenti mengikutiku seperti bayangan,” katanya dengan nada tegas, menatap tajam ke arah pria-pria itu. Kedua pria itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mempertimbangkan langkah berikutnya. Namun, tak satu pun dari mereka bergerak atau memberi tanda akan membiarkan Savannah pergi tanpa pengawasan. “Perintahnya jelas, Nona,” jawab salah satu dari mereka akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Savannah menarik napas dalam
Savannah akhirnya tiba di apartemen Eleanor. Ia memarkir mobilnya dengan hati-hati, matanya masih waspada memeriksa sekeliling. Pandangannya menyapu area parkir, mencari tanda-tanda keberadaan dua pria yang tadi terus mengikutinya. Namun, kali ini, suasana tampak sepi. Tidak ada bayangan mereka sama sekali. Ia menghela napas lega, bahunya sedikit merosot saat ketegangan dalam dirinya mulai mengendur. “Ckckck, untung saja mereka tidak ikut sampai ke sini,” bisiknya dalam hati sambil menggeleng pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Bagaimana pun, ia tahu betul bahwa dua pria itu bukan tipe yang mudah menyerah. Savannah sebenarnya tidak menyangka jika pria itu sampai seperti ini padahal mereka belum juga bertemu. Savannah keluar dari mobil dengan langkah hati-hati, matanya masih sesekali melirik ke belakang, memastikan dirinya benar-benar aman. Udara malam yang dingin menyapa kulitnya, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan emosi yang masih tersisa di dadanya
Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat
Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa
Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,
Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa
Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas
Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte
Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.
Eleanor telah pulang. Aku sudah mengantarnya pagi tadi, lalu langsung bekerja. Rutinitas yang melelahkan, tetapi setidaknya pikiranku bisa teralihkan. Namun, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, aku merasa perlu udara segar. Pantai. Tempat itu selalu jadi pelarianku. Aku menghela napas panjang di depan cermin. “Hari baru, Savannah. Fokus untuk tenang,” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah berlalu. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Mengenakan dress putih selutut dan mengikat rambutku dengan sederhana, aku keluar dari kamar hotel. Udara sore terasa hangat, dengan angin laut berembus pelan. Jalanan sekitar resort ramai dengan turis yang sibuk mengambil foto atau sekadar menikmati suasana tropis. Aku berjalan pelan, membiarkan pikiranku melayang-layang, menikmati momen ini sendirian. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggil namaku. “Savannah?” Aku menoleh cepat, dan seketika mood-ku hancur. Theo. Lelaki
Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di