Share

Bab 8

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-13 07:47:14

Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya.

Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam.

Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun.

“Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang menyakitinya setiap kali diucapkan. “Pernikahan ini... hanyalah transaksi untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita dari kehancuran.”

Jantungku seolah berhenti berdetak. Pernikahan? Transaksi? Seolah-olah hidupku hanyalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan sesuka hati.

“Ayah bisa meminta orang lain? Lagi pula aku punya Andrew” ucapku dengan suara serak.

Wajah Ayah semakin meredup. “Aku tidak punya pilihan, Savannah.” Suaranya pecah oleh keputusasaan yang membuat dadaku terasa sesak. “Perusahaan ini... keluarga kita... semua akan hancur jika aku tidak menyetujuinya.” Ayah menarik napas, lalu kembali menatapku dengan dalam.

" Andrew tidak akan bisa membantu keluarga kita Savannah. Jadi lupakan pria itu. " Aku menggigit bibir. Menatap ayah yang serius aku tertawa sumbang.

" Aku tidak semudah itu melupakan seseorang ayah. Aku bukan seperti ayah yang dengan mudahnya melupakan orang lain, mengganti ganti istri dan berfoya-foya dengan banyak hutang. " Ayah hanya mengepalkan tangannya tidak membalasku. Aku mendengus sinis, merasakan gelombang kemarahan yang meluap-luap di dalam dadaku. “Dan Ayah pikir menjual anak sendiri adalah solusi terbaik?”

“Ini bukan soal menjual!” Ayah membantah dengan nada putus asa. “Ini tentang menyelamatkan masa depanmu... masa depan kita semua.”

Aku tertawa kecil, pahit. “Masa depan? Masa depan seperti apa yang Ayah bicarakan? Menjadi istri dari seseorang yang bahkan tidak kukenal? Menjadi tameng kalian?”

Ayah terdiam, wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang dalam. Untuk pertama kalinya, aku melihat pria yang pernah kukagumi itu tampak begitu rapuh dan tak berdaya.

“Tuan Wiratama, bersamanya hidupmu tidak akan susah Savannah dan yang terpenting perusahaan milik kakekku tidak akan hilang dari kejayaannya.” jawab Ayah lirih. Jawaban ayah sudah sesuai prediksiku, tetapi entah kenapa, dadaku terasa lebih berat begitu mendengarnya. Seakan-akan sebuah beban tak terlihat tiba-tiba menghantamku.

“Kenapa aku?” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. “Apa yang membuat pria itu menginginkan aku?”

Ayah menggelengkan kepala, matanya dipenuhi kesedihan yang dalam. “Aku tidak tahu... Dia hanya menyebutkan namamu. Seolah-olah dia telah merencanakan ini sejak lama.”

Aku berdiri, merasa udara di ruangan ini semakin menyesakkan. Tiba-tiba semua terasa terlalu nyata, terlalu mengerikan untuk bisa diterima. Aku tiba-tiba menjadi pesimis, tidak mungkin ada kebetulan yang seperti ini. Pasti ayah sudah melakukan hutang piutang lagi, aku hanya mendengus.

“Apa ini semua ada hubungannya dengan hutang kalian?” Aku menatap Ayah dengan penuh tuntutan. “Katakan yang sebenarnya.”

Ayah menunduk, seolah malu mengakui kebenaran yang sudah lama kusangka. “Perusahaan ini... sudah berada di ambang kehancuran sejak kakekmu meninggal. Kami terpaksa menerima bantuan dari keluarga mereka.”

“Tapi kalian tidak pernah berhenti, kan?” desisku penuh amarah. “Kalian terus menumpuk hutang hingga mereka bisa menuntut apa pun dari kalian.”

Ayah tidak membantah. Wajahnya memucat, dan aku tahu aku telah menyentuh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan.

“Apa Ayah bahkan berusaha melawan?” Aku mendekat dengan langkah pasti. “Atau kalian menerima semuanya dengan dalih melindungi keluarga?”

“Savannah...” Ayah berbisik putus asa. “Kami hanya ingin kau tetap hidup. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa semua ini akan berakhir seperti ini.” Kata-kata yang ayah ucapkan terdengar sangat mulia, tapi sebenarnya sangat menjijikkan. Seolah-olah semua demi keluarga, padahal demi mereka semua.

Aku tertawa pahit, mengejek dirinya dan keadaan yang sedang kami hadapi. “Tetap hidup? Seperti apa? Menjadi pion dalam permainan yang Ayah ciptakan?”

Ayah memejamkan matanya, seolah berdoa agar semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi ini adalah kenyataan, dan aku terjebak di dalamnya.

"Jangan seperti ini Savannah, setelah hari ini hidup kita semua bisa kembali, adik-adikmu bisa sekolah dengan baik. " Aku hanya memutar bola mataku. Ayah seperti tidak punya perasaan.

" Dan Andrew, ayah pikir dia bukan pria yang tepat untuk kamu Savannah. Entah bagaimana ayah tidak. pernah srek dengan pria itu. " Aku hanya diam menatap ayah, dan tersenyum mengejek.

"Setidaknya dia tidak pernah menggunakan kurikulum untuk kepentingan pribadinya ataupun kepentingan keluarganya. " Aku melihat kemarahan di wajah ayah. Tapi ayah memilih tidak mengatakan apapun.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik menuju pintu, mengabaikan panggilan lirih Ayah yang masih memohon pengertianku. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh, membasahi pipiku saat aku berlari ke kamarku. Semua ini karena kesenangan mereka berfoya-foya, berpesta dan tidak benar-benar mengurus perusahaan, pantas saja kalau

Begitu sampai di dalam, aku menutup pintu dengan keras hingga engselnya berderit. Nafasku memburu, sementara pikiranku terus dipenuhi oleh kata-kata Ayah yang menghancurkan harapanku.

Dengan frustrasi, aku memukul meja rias hingga beberapa botol parfum jatuh dan pecah di lantai. Aroma manis yang menyengat memenuhi ruangan, namun aku tidak peduli.

“Kenapa aku?” bisikku di antara isak tangis yang tak terbendung. “Kenapa aku harus membayar kesalahan mereka?”

Aku terjatuh ke lantai, merasakan dinginnya ubin yang menusuk kulitku. Air mata terus mengalir, membawa semua rasa sakit dan ketidakberdayaan yang selama ini kutahan.

Aku mendongak, memandang ke langit-langit kamar yang tinggi, seolah mencari jawaban dari takdir kejam yang sedang menjeratku. Namun yang kutemukan hanyalah kekosongan yang menakutkan, seperti lubang hitam yang siap menelanku kapan saja. Sejak. kepergian kakek memang keluarga ini sudah hancur, dan aku tidak punya tempat lagi. Keluarga ibu, dan keluarga ayah sama saja. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, sedangkan aku harus berusaha melewati sendiri hal-hal yang menyedihkan dalam. setiap perjalanan hidupku.

Hidupku yang sebelumnya kuanggap sulit, kini terasa seperti neraka yang tak berujung. Semua yang kuimpikan, semua yang kucintai, direnggut paksa oleh kekuasaan yang tidak bisa kulawan.

Aku pun tahu jika. besok semua akan berubah, mungkin akan semakin banyak penagih hutang dan para rentenir yang ada menagih hutang ayah. Sebaiknya aku memikirkan untuk segera pergi dari sini.

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Last Updated : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 12

    Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek

    Last Updated : 2024-12-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 13

    Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d

    Last Updated : 2024-12-18
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 14

    Pria itu menatap Savannah dengan sorot mata penuh selidik, seolah berusaha membaca pikirannya. Wajahnya tetap datar, tetapi kewaspadaan terlihat jelas dari caranya berdiri, siap bergerak kapan saja. “Kami diperintah oleh calon suamimu untuk menjagamu,” ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, tanpa menunjukkan emosi. Savannah mendengus pelan, menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku hanya mau bertemu sahabatku, bukan melarikan diri. Jadi berhenti mengikutiku seperti bayangan,” katanya dengan nada tegas, menatap tajam ke arah pria-pria itu. Kedua pria itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mempertimbangkan langkah berikutnya. Namun, tak satu pun dari mereka bergerak atau memberi tanda akan membiarkan Savannah pergi tanpa pengawasan. “Perintahnya jelas, Nona,” jawab salah satu dari mereka akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Savannah menarik napas dalam

    Last Updated : 2024-12-18
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 15

    Savannah akhirnya tiba di apartemen Eleanor. Ia memarkir mobilnya dengan hati-hati, matanya masih waspada memeriksa sekeliling. Pandangannya menyapu area parkir, mencari tanda-tanda keberadaan dua pria yang tadi terus mengikutinya. Namun, kali ini, suasana tampak sepi. Tidak ada bayangan mereka sama sekali. Ia menghela napas lega, bahunya sedikit merosot saat ketegangan dalam dirinya mulai mengendur. “Ckckck, untung saja mereka tidak ikut sampai ke sini,” bisiknya dalam hati sambil menggeleng pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Bagaimana pun, ia tahu betul bahwa dua pria itu bukan tipe yang mudah menyerah. Savannah sebenarnya tidak menyangka jika pria itu sampai seperti ini padahal mereka belum juga bertemu. Savannah keluar dari mobil dengan langkah hati-hati, matanya masih sesekali melirik ke belakang, memastikan dirinya benar-benar aman. Udara malam yang dingin menyapa kulitnya, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan emosi yang masih tersisa di dadanya

    Last Updated : 2024-12-18
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 16

    Lalu, dengan rasa kecewa, Savannah kembali membuka chat dengan Andrew, berharap ada balasan. Namun, seperti sebelumnya, layar itu tetap kosong tidak ada balasan sedikit pun. Dia menghela napas panjang, menutup ponselnya dengan perlahan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? pikirnya, merasa ada perasaan yang sulit dijelaskan yang mulai menghantuinya. Dulu, setiap kali Andrew mengirim pesan, dia merasa seolah dunia berhenti sejenak. Tapi sekarang, ketika Andrew tidak mengajarinya ia menjadi biasa saja. Apa aku benar-benar kehilangan cinta ya? Dengan frustasi, Savannah kembali meletakkan ponselnya di meja, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Pikirannya menerawang kemana-mana, masalah ayah, masalah Andrew dan cita-citanya sendiri. Dan para sepupunya yang kini menghilang, Tak berapa lama, ponselnya kembali berbunyi. Savannah melirik dengan malas, sudah bisa menebak siapa yang mungkin mengga

    Last Updated : 2024-12-19

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 35

    Aku tidak ingin bertegur sapa dengan Theo, jadi aku segera berbalik menuju kamarku. Namun, langkahku terhenti saat mendengar derap langkah berat di belakangku, memaksa naluriku untuk berhenti. Suara langkah itu terasa mendesak, seolah memiliki maksud yang tidak bisa diabaikan."Maaf, ada apa, Pak Theo?" tanyaku tanpa menoleh, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku. Jantungku berdebar, menciptakan ketegangan yang sulit kuabaikan.Pria itu melangkah lebih dekat, hingga kini berdiri sejajar denganku. Wajahnya memancarkan keraguan, tetapi tatapannya tegas, membuatku waspada. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa terpojok."Maaf, Savannah. Aku tadi mendengar percakapanmu," ucapnya pelan namun jelas. Nada suaranya membawa kehangatan yang aneh, meski tetap terkesan dingin.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mengangguk singkat, aku menjaga jarak emosional. "Kalau begitu, Anda sudah tahu, kan? Tidak perlu kita bahas lagi," ujarku datar, berharap pembicaraan ini s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 34

    Angela mencolek lenganku, menyadarkan aku dari lamunan. "Hei, kamu kenapa? Wajahmu merah," bisiknya pelan. Aku hanya menggeleng, mencoba mengusir pikiran tentang Theo. Sepertinya aku harus benar-benar berhati-hati. Pria itu lalu berjalan melewati kami. Angela memegang lengannya, sontak pria itu berhenti. Pria itu menatap kami berdua dengan alis terangkat. "Bagaimana, apakah sahabatku bisa kerja di restoran milik kak Theo" Pria itu tertawa lagi, tidak ada kesinisan. Aku meremas jari Angela, kata-katanya tadi siang benar-benar menggangguku. Aku menarik Angela dengan perasaan tidak nyaman, namun gadis itu masih berdiri. " Walaupun kamu orang dalam yang sangat denganku, aku tidak bisa mengambil keputusan sesuka hati.Kalau dia bersedia, dia bisa mengikuti test seperti calon lainnya besok pagi. " Angela lalu mengangguk, gadis itu langsung memeluk kakak sepuounya itu dengan erat. Aku hanya menundukkan kepala, tidak tahu mau mengatakan apa. " Terimakasih kak, " Pria itu mengangguk da

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 33

    Theo menatapku dengan tatapan tajam, seolah matanya mampu menembus setiap lapisan diriku yang paling tersembunyi. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, mempersempit jarak di antara kami, membuatku merasa seperti terpojok meski ruangan ini cukup luas. "Jadi, permainan anak muda, huh? Dengan pakaian seperti ini?" nada suaranya terdengar rendah, tetapi penuh sindiran yang membuat tengkukku meremang. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan gelisah yang mulai menguasai diriku. Tangannya yang terlipat di depan dada hanya mempertegas kesan dominan yang ia bawa. Tidak seharusnya dia mempertanyakan bajuku. Ini bukan urusannya. Tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidahku. “Memangnya kenapa kalau aku berpakaian seperti ini?” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab, meskipun suara yang keluar terdengar lebih lemah daripada yang aku harapkan. Matanya menyipit, seperti menilai setiap kata yang aku ucapkan. Theo menyeringai kecil, sebuah ekspresi yang lebih membuatku kesal daripada ta

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 32

    Semua orang langsung terdiam, bahkan Theo yang tadinya tampak tidak peduli kini memasang tatapan tajam ke arah Thomas. Aku menahan napas, menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi momen yang panas. Thomas tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Yang paling menyebalkan dari Theo?” Dia menatap langsung ke arah pria itu sebelum melanjutkan. “Dia kejam dan terlalu misterius.” Ruangan langsung dipenuhi suara bisik-bisik dan gumaman. Theo yang duduk di sudut hanya menatap Thomas dengan dingin, tidak ada sedikit pun emosi di wajahnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. “Kejam gimana maksudnya?” tanya Angela, menambah bumbu pada situasi yang sudah cukup tegang. “Dia selalu memandang rendah orang lain, seolah semua orang di dunia ini tidak pernah cukup baik untuknya. Dan misterius? Ya, dia tidak pernah membiarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan atau rasakan. Itu sangat menyebalkan,” kata Thomas dengan nada tenang tapi tegas. “A

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 31

    Tatapan pria itu menusuk, penuh arti, dan disertai dengan senyum miring yang membuatku semakin gelisah. Theo tidak berkata apa-apa, tapi pandangannya seolah menantangku untuk memberikan jawaban yang tepat. “Tidak,” ucapku akhirnya, singkat dan tegas. Arthur tampak terkejut, tapi dia tetap mempertahankan senyumnya. Dia menghela napas pelan, seperti sudah menduga jawaban itu namun masih berharap lebih. Semua orang di sekitar kami terdiam sejenak, sampai akhirnya Arthur memecah keheningan dengan pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. “Kenapa? Bukankah Andrew dan kamu juga sudah putus?” Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan Andrew? Apakah dia memantauku selama ini? “Arthur…” gumamku, mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara tajam memotong percakapan kami. “Itu sudah jelas, Arthur. Kamu tidak perlu alasan untuk tidak diinginkan. Jadi, cari perempuan lain saja.” Aku menole

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 30

    Menjelang pukul tujuh malam, dapur hampir selesai dengan segala persiapannya. Bahan-bahan sudah rapi di atas nampan: daging ayam dan sapi yang sudah dimarinasi, sayuran yang sudah dipotong, dan jagung yang siap dibakar. Aroma bumbu dari marinade bercampur dengan wangi mentega yang menempel di jari-jari tanganku. Aku tersenyum puas, merasa semuanya akan berjalan sesuai rencana.Tiba-tiba, bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku. Aku melongok ke arah pintu depan, tapi sebelum sempat bergerak, Angela sudah melesat lebih dulu. Sepertinya tamu-tamu Angela sudah mulai berdatangan. "Aditya datang!" teriak Angela dari ruang tamu.Aku melepaskan apron dan berjalan ke arah pintu. Di sana, Aditya berdiri dengan senyum lebarnya yang khas, membawa tas belanja besar di tangan kanan dan sekotak es krim di tangan kiri."Aditya, akhirnya datang juga," Angela menyambutnya sambil merebut tas belanja di tangannya. "Apa saja yang kamu bawa? Jangan bilang cuma jagung." Angela manatap aditya dengan pura-pur

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 29

    Setelah Angela dan Adit pergi, aku melangkah lemah ke kamarku. Pintu kututup perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun akan merobohkan sisa kekuatanku. Aku berdiri di depan cermin, melihat bayangan diriku yang jauh dari kata berdaya. Aku menanggalkan kaca Mata hitam milikku. Mata sembab, rambut kusut, dan wajah yang penuh dengan kesedihan. Untung saja mereka tidak mempermasalahkan aku menamakan riben tadi, kalau mereka meminta aku membuka kacamataku pasti mata sembabku masih kelihatan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan membereskan kamar, tetapi setiap lipatan sprei, setiap benda yang kupindahkan, hanya mengingatkanku pada kekacauan di dalam hati. Ketika semua sudah rapi, tidak ada alasan lagi untuk terus menghindar dari kenyataan. Aku menghela napas panjang, berharap hatiku suasananya membaik. Alih-alih keluar atau mencari pelarian, aku malah terkulai di tepi tempat tidur. Duniaku yang dulu megah kini terasa seperti reruntuhan. Andrew, pria yang kucintai sepenuh hati, menin

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 28

    Aku menghela napas panjang, merapikan rambutku yang sedikit berantakan akibat perjalanan panjang di pesawat. Bandara terasa ramai, suara pengumuman terus terdengar di kejauhan. Saat aku keluar dari area kedatangan, mataku segera menangkap sosok yang sudah tak asing Angela, sahabatku sejak SMA, berdiri sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya. Walaupun kedatanganmu mendadak, aku sempat mengabarinya semalam. Namun, aku tidak menceritakan apa yang menjadi masalahku saat ini. Aku hanya bilang ingin mencari pekerjaan, dan ingin liburan. "Savannah!" teriaknya, menghampiriku dengan langkah cepat. aku berjalan dengan cepat kearahnya. Angela terlihat semakin cantik, sepertinya gadis ini bahagia hidup disini. "Angela!" Aku tersenyum lega, aku langsung berhambur kerarahnya, kami langsung berpelukan sejenak. "Selamat datang! Aduh, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu makin cantik aja!" katanya sambil memelukku erat. "Ah, lebay banget kamu. Kamu juga kelihatan segar banget,"

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 27

    Aku melirik jam tanganku. Jarum pendeknya sudah mendekati angka delapan, dan aku masih terjebak di jalan yang macet. Jantungku berdegup kencang, seolah ikut menghitung detik-detik yang terasa begitu cepat berlalu. Kalau aku sampai terlambat, semua usahaku selama ini bisa sia-sia. Semua ini karena aku melakukan penerbangan kali ini secara mendadak. Menghilang dari kehidupan sebelumnya dan. memulai hidup baru. Tanpa Andrew, tanpa ayah, dan tanpa pria menyebalkan itu “Pak, tolong lebih cepat, ya? Saya sudah hampir telat!” pintaku dengan nada panik. Aku benar-benar takut ketinggalan pesawat. “Tenang saja, Mbak. Ini sudah jalan tercepat,” jawab sopir taksi itu tanpa sedikit pun rasa tergesa-gesa. Aku menghela napas keras. Mataku menatap jalanan di depan dengan putus asa. Aku tahu ini salahku, dan yang dikatakan sopir ini sudah benar. Begitu taksi akhirnya berhenti di depan bandara, aku hampir meloncat keluar sebelum mobil benar-benar berhenti. Tidak peduli pada sopir yang menyeb

DMCA.com Protection Status