Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya.
Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang menyakitinya setiap kali diucapkan. “Pernikahan ini... hanyalah transaksi untuk menyelamatkan perusahaan keluarga kita dari kehancuran.” Jantungku seolah berhenti berdetak. Pernikahan? Transaksi? Seolah-olah hidupku hanyalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan sesuka hati. “Ayah bisa meminta orang lain? Lagi pula aku punya Andrew” ucapku dengan suara serak. Wajah Ayah semakin meredup. “Aku tidak punya pilihan, Savannah.” Suaranya pecah oleh keputusasaan yang membuat dadaku terasa sesak. “Perusahaan ini... keluarga kita... semua akan hancur jika aku tidak menyetujuinya.” Ayah menarik napas, lalu kembali menatapku dengan dalam. " Andrew tidak akan bisa membantu keluarga kita Savannah. Jadi lupakan pria itu. " Aku menggigit bibir. Menatap ayah yang serius aku tertawa sumbang. " Aku tidak semudah itu melupakan seseorang ayah. Aku bukan seperti ayah yang dengan mudahnya melupakan orang lain, mengganti ganti istri dan berfoya-foya dengan banyak hutang. " Ayah hanya mengepalkan tangannya tidak membalasku. Aku mendengus sinis, merasakan gelombang kemarahan yang meluap-luap di dalam dadaku. “Dan Ayah pikir menjual anak sendiri adalah solusi terbaik?” “Ini bukan soal menjual!” Ayah membantah dengan nada putus asa. “Ini tentang menyelamatkan masa depanmu... masa depan kita semua.” Aku tertawa kecil, pahit. “Masa depan? Masa depan seperti apa yang Ayah bicarakan? Menjadi istri dari seseorang yang bahkan tidak kukenal? Menjadi tameng kalian?” Ayah terdiam, wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang dalam. Untuk pertama kalinya, aku melihat pria yang pernah kukagumi itu tampak begitu rapuh dan tak berdaya. “Tuan Wiratama, bersamanya hidupmu tidak akan susah Savannah dan yang terpenting perusahaan milik kakekku tidak akan hilang dari kejayaannya.” jawab Ayah lirih. Jawaban ayah sudah sesuai prediksiku, tetapi entah kenapa, dadaku terasa lebih berat begitu mendengarnya. Seakan-akan sebuah beban tak terlihat tiba-tiba menghantamku. “Kenapa aku?” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. “Apa yang membuat pria itu menginginkan aku?” Ayah menggelengkan kepala, matanya dipenuhi kesedihan yang dalam. “Aku tidak tahu... Dia hanya menyebutkan namamu. Seolah-olah dia telah merencanakan ini sejak lama.” Aku berdiri, merasa udara di ruangan ini semakin menyesakkan. Tiba-tiba semua terasa terlalu nyata, terlalu mengerikan untuk bisa diterima. Aku tiba-tiba menjadi pesimis, tidak mungkin ada kebetulan yang seperti ini. Pasti ayah sudah melakukan hutang piutang lagi, aku hanya mendengus. “Apa ini semua ada hubungannya dengan hutang kalian?” Aku menatap Ayah dengan penuh tuntutan. “Katakan yang sebenarnya.” Ayah menunduk, seolah malu mengakui kebenaran yang sudah lama kusangka. “Perusahaan ini... sudah berada di ambang kehancuran sejak kakekmu meninggal. Kami terpaksa menerima bantuan dari keluarga mereka.” “Tapi kalian tidak pernah berhenti, kan?” desisku penuh amarah. “Kalian terus menumpuk hutang hingga mereka bisa menuntut apa pun dari kalian.” Ayah tidak membantah. Wajahnya memucat, dan aku tahu aku telah menyentuh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan. “Apa Ayah bahkan berusaha melawan?” Aku mendekat dengan langkah pasti. “Atau kalian menerima semuanya dengan dalih melindungi keluarga?” “Savannah...” Ayah berbisik putus asa. “Kami hanya ingin kau tetap hidup. Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa semua ini akan berakhir seperti ini.” Kata-kata yang ayah ucapkan terdengar sangat mulia, tapi sebenarnya sangat menjijikkan. Seolah-olah semua demi keluarga, padahal demi mereka semua. Aku tertawa pahit, mengejek dirinya dan keadaan yang sedang kami hadapi. “Tetap hidup? Seperti apa? Menjadi pion dalam permainan yang Ayah ciptakan?” Ayah memejamkan matanya, seolah berdoa agar semua ini hanyalah mimpi buruk. Tapi ini adalah kenyataan, dan aku terjebak di dalamnya. "Jangan seperti ini Savannah, setelah hari ini hidup kita semua bisa kembali, adik-adikmu bisa sekolah dengan baik. " Aku hanya memutar bola mataku. Ayah seperti tidak punya perasaan. " Dan Andrew, ayah pikir dia bukan pria yang tepat untuk kamu Savannah. Entah bagaimana ayah tidak. pernah srek dengan pria itu. " Aku hanya diam menatap ayah, dan tersenyum mengejek. "Setidaknya dia tidak pernah menggunakan kurikulum untuk kepentingan pribadinya ataupun kepentingan keluarganya. " Aku melihat kemarahan di wajah ayah. Tapi ayah memilih tidak mengatakan apapun. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik menuju pintu, mengabaikan panggilan lirih Ayah yang masih memohon pengertianku. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh, membasahi pipiku saat aku berlari ke kamarku. Semua ini karena kesenangan mereka berfoya-foya, berpesta dan tidak benar-benar mengurus perusahaan, pantas saja kalau Begitu sampai di dalam, aku menutup pintu dengan keras hingga engselnya berderit. Nafasku memburu, sementara pikiranku terus dipenuhi oleh kata-kata Ayah yang menghancurkan harapanku. Dengan frustrasi, aku memukul meja rias hingga beberapa botol parfum jatuh dan pecah di lantai. Aroma manis yang menyengat memenuhi ruangan, namun aku tidak peduli. “Kenapa aku?” bisikku di antara isak tangis yang tak terbendung. “Kenapa aku harus membayar kesalahan mereka?” Aku terjatuh ke lantai, merasakan dinginnya ubin yang menusuk kulitku. Air mata terus mengalir, membawa semua rasa sakit dan ketidakberdayaan yang selama ini kutahan. Aku mendongak, memandang ke langit-langit kamar yang tinggi, seolah mencari jawaban dari takdir kejam yang sedang menjeratku. Namun yang kutemukan hanyalah kekosongan yang menakutkan, seperti lubang hitam yang siap menelanku kapan saja. Sejak. kepergian kakek memang keluarga ini sudah hancur, dan aku tidak punya tempat lagi. Keluarga ibu, dan keluarga ayah sama saja. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, sedangkan aku harus berusaha melewati sendiri hal-hal yang menyedihkan dalam. setiap perjalanan hidupku. Hidupku yang sebelumnya kuanggap sulit, kini terasa seperti neraka yang tak berujung. Semua yang kuimpikan, semua yang kucintai, direnggut paksa oleh kekuasaan yang tidak bisa kulawan. Aku pun tahu jika. besok semua akan berubah, mungkin akan semakin banyak penagih hutang dan para rentenir yang ada menagih hutang ayah. Sebaiknya aku memikirkan untuk segera pergi dari sini.Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan
Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri
Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s
Raharja Kesuma melangkah dengan keyakinan semu menuju kediaman megah keluarga Wiratama, tempat segala konflik bisnis yang menghimpit hidupnya bermula. Hutang yang menumpuk membuatnya terpojok tanpa pilihan. Tawaran terakhir yang dia hindari selama ini kini menjadi satu-satunya jalan keluar—pernikahan putrinya, Savannah Maheswari Kesuma, dengan pria yang menjadi sumber dari segala ketakutannya: Tuan Wiratama, pria berkuasa yang tak hanya disegani tetapi juga ditakuti di dunia bisnis. Di bawah langit mendung, langkah Raharja menggema di aula megah yang dihiasi ukiran kayu mahal. Pelayan rumah yang sudah menunggu sejak pagi membawanya ke ruang kerja Tuan Wiratama, sebuah ruangan yang memancarkan kekuasaan dan kendali. Pria itu duduk dengan wibawa yang tak tergoyahkan di balik meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan gelap yang rapi, menciptakan aura intimidasi yang tak terbantahkan. “Raharja,” sapa Tuan Wiratama tanpa senyum. Suaranya dalam dan berat, menggetarkan udara di sek
Sepanjang perjalanan, Wilson berkali-kali melirik Tuan Wiratama yang duduk dengan tenang di kursinya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel dan laptop miliknya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. "Kenapa melihatku seperti itu? Ada yang ingin kamu tanyakan?" suara Tuan Wiratama terdengar tenang, namun tegas. Wilson tersenyum kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya. "Mohon maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman, Tuan." Alis Tuan Wiratama terangkat sedikit. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu menghela napas berat. "Apakah Anda benar-benar yakin dengan pernikahan ini?" tanyanya, nada suaranya datar namun penuh arti. Wilson menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab, "Saya tidak memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan Anda, Tuan. Namun, saya hanya khawatir... apakah ini yang terbaik untuk Anda?" Tuan Wiratama memandangi Wilson sejenak, matanya tajam seperti sedang menilai ketulusan di balik pertanyaan itu. "Kekhawatiranmu tidak diperlukan. Semua sudah d
Pria itu menatap Savannah dengan sorot mata penuh selidik, seolah berusaha membaca pikirannya. Wajahnya tetap datar, tetapi kewaspadaan terlihat jelas dari caranya berdiri, siap bergerak kapan saja. “Kami diperintah oleh calon suamimu untuk menjagamu,” ucap salah satu dari mereka dengan nada tegas, tanpa menunjukkan emosi. Savannah mendengus pelan, menahan rasa kesal yang membuncah di dadanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya tetap tenang, meskipun kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku hanya mau bertemu sahabatku, bukan melarikan diri. Jadi berhenti mengikutiku seperti bayangan,” katanya dengan nada tegas, menatap tajam ke arah pria-pria itu. Kedua pria itu saling berpandangan sejenak, seolah-olah mempertimbangkan langkah berikutnya. Namun, tak satu pun dari mereka bergerak atau memberi tanda akan membiarkan Savannah pergi tanpa pengawasan. “Perintahnya jelas, Nona,” jawab salah satu dari mereka akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Savannah menarik napas dalam
Savannah akhirnya tiba di apartemen Eleanor. Ia memarkir mobilnya dengan hati-hati, matanya masih waspada memeriksa sekeliling. Pandangannya menyapu area parkir, mencari tanda-tanda keberadaan dua pria yang tadi terus mengikutinya. Namun, kali ini, suasana tampak sepi. Tidak ada bayangan mereka sama sekali. Ia menghela napas lega, bahunya sedikit merosot saat ketegangan dalam dirinya mulai mengendur. “Ckckck, untung saja mereka tidak ikut sampai ke sini,” bisiknya dalam hati sambil menggeleng pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Bagaimana pun, ia tahu betul bahwa dua pria itu bukan tipe yang mudah menyerah. Savannah sebenarnya tidak menyangka jika pria itu sampai seperti ini padahal mereka belum juga bertemu. Savannah keluar dari mobil dengan langkah hati-hati, matanya masih sesekali melirik ke belakang, memastikan dirinya benar-benar aman. Udara malam yang dingin menyapa kulitnya, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan emosi yang masih tersisa di dadanya
Lalu, dengan rasa kecewa, Savannah kembali membuka chat dengan Andrew, berharap ada balasan. Namun, seperti sebelumnya, layar itu tetap kosong tidak ada balasan sedikit pun. Dia menghela napas panjang, menutup ponselnya dengan perlahan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? pikirnya, merasa ada perasaan yang sulit dijelaskan yang mulai menghantuinya. Dulu, setiap kali Andrew mengirim pesan, dia merasa seolah dunia berhenti sejenak. Tapi sekarang, ketika Andrew tidak mengajarinya ia menjadi biasa saja. Apa aku benar-benar kehilangan cinta ya? Dengan frustasi, Savannah kembali meletakkan ponselnya di meja, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Pikirannya menerawang kemana-mana, masalah ayah, masalah Andrew dan cita-citanya sendiri. Dan para sepupunya yang kini menghilang, Tak berapa lama, ponselnya kembali berbunyi. Savannah melirik dengan malas, sudah bisa menebak siapa yang mungkin mengga
Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel
Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu
Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,
Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap
Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,
Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s
Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat
Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa
Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,