Lalu, dengan rasa kecewa, Savannah kembali membuka chat dengan Andrew, berharap ada balasan. Namun, seperti sebelumnya, layar itu tetap kosong tidak ada balasan sedikit pun.
Dia menghela napas panjang, menutup ponselnya dengan perlahan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? pikirnya, merasa ada perasaan yang sulit dijelaskan yang mulai menghantuinya. Dulu, setiap kali Andrew mengirim pesan, dia merasa seolah dunia berhenti sejenak. Tapi sekarang, ketika Andrew tidak mengajarinya ia menjadi biasa saja. Apa aku benar-benar kehilangan cinta ya? Dengan frustasi, Savannah kembali meletakkan ponselnya di meja, mencoba untuk mengalihkan perhatian. Pikirannya menerawang kemana-mana, masalah ayah, masalah Andrew dan cita-citanya sendiri. Dan para sepupunya yang kini menghilang, Tak berapa lama, ponselnya kembali berbunyi. Savannah melirik dengan malas, sudah bisa menebak siapa yang mungkin menggaSepanjang perjalanan menuju tempat fitting, Savannah terus mengumpat dalam hati. Setiap tindakan pria tidak berguna itu benar-benar merusak suasana hatinya. Wilson, asisten pribadi Tuan Wiratama, bukan hanya sombong, tetapi juga menyebalkan seperti keluarga pria itu. Seolah dunia harus tunduk pada kehendak mereka. “Dasar pria sombong! Kalau saja dia tahu tempatnya!” gumam Savannah geram, suaranya hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk jalanan kota yang sibuk. Langkah-langkahnya terdengar tegas di atas trotoar, mencerminkan kekesalan yang ia coba redam. Wilson yang berjalan setengah langkah di belakangnya, mendengar gumaman itu dengan jelas. Ia berdehem pelan, seolah memperingatkan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik. Savannah langsung menoleh tajam. “Apa? Mau mengadu? Silakan saja! Bos kamu itu memang menyebalkan!” semburnya, suaranya penuh ketidaksabaran. Wilson mengangkat alis, tetap tenang seperti biasanya. “Saya tidak perlu mengadu, Nona Kesuma. Tuan Wiratama sudah c
Setelah fitting semalam, Savannah pulang ke rumah dengan hati yang penuh amarah. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian tadi—gaun mewah, senyum palsu para desainer, dan yang terburuk, takdir yang menantinya. Begitu sampai di rumah, ia melempar tasnya ke sofa dan langsung menuju ruang kerja ayahnya. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dengan keras. Tuan Rajasa yang sedang duduk di balik meja kerjanya, mendongak dengan tatapan lelah. “Jadi, kapan pernikahannya?” suara Savannah terdengar dingin, penuh kemarahan yang tertahan. Tuan Rajasa menghela napas panjang, seolah sudah lelah menghadapi pertanyaan yang sama. Matanya yang biasanya tegas kini tampak redup, membawa beban yang tak terucapkan. “Seminggu lagi,” jawabnya dengan suara pelan namun tegas. Savannah terdiam. Dadanya terasa sesak, seolah semua udara di ruangan itu menghilang. Satu
Pagi ini, Savannah terbangun di sebuah kamar hotel mewah yang dipesannya secara spontan semalam. Perasaan kacau dan gelisah membuatnya memilih melarikan diri sejenak dari rumah, mencari ketenangan di tempat yang jauh dari ingar-bingar kehidupannya. Namun, meski berada di ruangan nyaman dengan pemandangan kota yang indah, hatinya tetap terasa hampa. Savannah bangkit dari tempat tidur, merapikan rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakan. Matanya yang besar dan teduh menatap lurus ke arah cermin di sudut kamar. Wajah cantiknya yang biasanya memancarkan semangat hidup kini tampak lelah dan kusut. Namun, pesona alami yang dimilikinya tetap terpancar meski ia tampak kurang tidur. “Apa yang akan aku lakukan pagi ini?” gumamnya lirih, menantang bayangan dirinya di cermin. Seakan menunggu jawaban yang tak pernah datang. Savannah menggigit bibir, ternyata melakukan sesuatu karena terpaksa itu sangat tidak enak.
Savannah duduk di sudut ruangan dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya menyimpan banyak emosi. Di hadapannya, Andrew berdiri, menunduk sedikit seolah mencari keberanian untuk melanjutkan kata-katanya. “Aku tidak ingin melibatkanmu dalam kekacauan itu, Savannah,” ucap Andrew lirih, tetapi nadanya tegas. “Aku pikir, jika aku menjauh, kamu akan lebih baik tanpaku. Aku takut membuatmu kecewa dengan semua beban yang harus kutanggung.” Savannah menghela napas panjang, mencoba memproses setiap kata yang keluar dari mulut Andrew. Dia menatap pria itu dengan pandangan terluka yang sulit disembunyikan. “Tapi kenapa kamu tidak pernah mengatakan apa pun? Satu pesan saja sudah cukup, Andrew. Aku menunggu... Setiap hari.” Andrew menatap lantai, menghindari tatapan Savannah yang seperti pisau menusuk. “Aku bodoh,” gumamnya dengan nada getir. “Aku takut kamu akan meningg
Sejak tadi aku masih menghela napas, berusaha meredam debaran yang tak terkendali di dadaku. Aku bahkan tak percaya pada kata-kata yang keluar dari bibirku sendiri. Apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku seolah memberikan harapan pada hubungan ini, padahal jelas kami tidak akan mungkin bersama? Andrew dan aku… kami adalah masa lalu yang seharusnya kubiarkan terkubur. Aku mengangkat pandangan, menatap Andrew yang berdiri tak jauh dariku. Wajahnya penuh dengan tekad, tetapi juga ada kebingungan yang sulit ia sembunyikan. Aku tahu, apa pun yang dia rasakan saat ini, tidak akan cukup untuk mengubah kenyataan. “Andrew,” panggilku akhirnya, mencoba membuat suaraku terdengar tegas. “Apa pun yang kamu pikirkan sekarang… apa sebaiknya kita berhenti? " Andrew menatapku, tatapannya yang penuh harapan seperti belati yang menusuk jiwaku. “Berhenti? Savannah, kamu tahu aku tidak bisa. Aku mencintaimu.”
Sejak bertemu Andre tadi siang, aku langsung pulang ke rumah dan mengunci diri di kamar. Rumah ini begitu sepi, seperti tak berpenghuni. Tak ada ayah, tak ada adik-adikku. Suasana benar-benar mati. Aku menghela napas panjang sambil merebahkan tubuh di ranjang. Sejenak, aku ingin melupakan semuanya. Namun malamnya, suara gedoran keras di pintu membangunkanku. Aku mengerutkan alis, merasa terganggu. Siapa yang mengetuk pintu di jam seperti ini? Dengan enggan, aku bangkit dan membuka pintu. Ayah berdiri di sana. Wajahnya tegang, matanya tajam menatapku. “Apa yang sudah kau lakukan lagi, Savannah?” tanyanya dengan nada penuh kecurigaan. Aku menghela napas, merasa tak punya tenaga untuk berdebat. “Aku tidak melakukan apa-apa, Ayah. Jadi kenapa Anda terlihat panik?” “Jangan bohong, Savannah. Kamu telah menyinggung keluarga Wiratama!” Aku mengerutkan dahi. “Ayah, aku bahkan tidak pernah bertemu pria menyebalkan itu lagi. Bagaimana mungkin aku menyinggungnya?” “Tapi dia menelepon
Pagi itu, Savannah berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah malas. Rumah yang biasanya tenang kini penuh dengan suara orang-orang. Keluarga besar dan kerabat yang jarang ia temui tampak sibuk mempersiapkan acara pernikahannya. Para pekerja katering berlalu-lalang di halaman, membawa peralatan untuk pesta yang akan diadakan malam nanti. Savannah menghela napas panjang. Pemandangan itu hanya membuatnya merasa semakin terjebak. Baginya, ini bukan pernikahan yang diinginkan, melainkan pernikahan yang dipaksakan. Langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang tak asing berdiri di teras. Moana. Savannah menyipitkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Gadis itu mengenakan gaun kasual yang mahal, rambutnya tergerai rapi, dan wajahnya dihiasi riasan tipis yang sempurna. Aura percaya diri Moana membuat darah Savannah mendidih. Savannah berjalan cepat menghampirinya. “Moana?” panggilnya dengan nada dingin. Moana menoleh perlahan, tersenyum kecil. “Savannah, akhirnya kita berte
Aku duduk di kursi penumpang, tangan menggenggam erat seatbelt. Perasaan campur aduk memenuhi pikiranku—gugup, gelisah, dan harapan yang mulai memudar menjadi satu dalam pusaran emosi. Jantungku berdegup kencang, selaras dengan deru pelan mesin mobil. Eleanor, sahabatku, duduk di belakang kemudi. Dia mengemudikan mobil dengan cekatan, tapi sesekali melirikku dengan tatapan penuh pertanyaan, seakan mencari alasan terakhir untuk menghentikan ini semua.“Kamu yakin mau lakukan ini, Savannah?” tanyanya akhirnya, memecah keheningan yang hampir mencekam. Suaranya terdengar serak, seperti menyimpan kekhawatiran yang tak terucapkan.Aku mengangkat bahu, tapi cengkeramanku pada tali seatbelt semakin erat. “Aku harus mencobanya, El. Aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini.”Eleanor mendesah panjang, begitu keras hingga terdengar jelas di dalam kabin mobil. “Kamu meninggalkan pernikahan demi Andrew?” Nada suaranya sedikit meninggi, meskipun dia tetap berusaha
Aku tidak ingin bertegur sapa dengan Theo, jadi aku segera berbalik menuju kamarku. Namun, langkahku terhenti saat mendengar derap langkah berat di belakangku, memaksa naluriku untuk berhenti. Suara langkah itu terasa mendesak, seolah memiliki maksud yang tidak bisa diabaikan."Maaf, ada apa, Pak Theo?" tanyaku tanpa menoleh, mencoba mengendalikan gemuruh di dadaku. Jantungku berdebar, menciptakan ketegangan yang sulit kuabaikan.Pria itu melangkah lebih dekat, hingga kini berdiri sejajar denganku. Wajahnya memancarkan keraguan, tetapi tatapannya tegas, membuatku waspada. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuatku merasa terpojok."Maaf, Savannah. Aku tadi mendengar percakapanmu," ucapnya pelan namun jelas. Nada suaranya membawa kehangatan yang aneh, meski tetap terkesan dingin.Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mengangguk singkat, aku menjaga jarak emosional. "Kalau begitu, Anda sudah tahu, kan? Tidak perlu kita bahas lagi," ujarku datar, berharap pembicaraan ini s
Angela mencolek lenganku, menyadarkan aku dari lamunan. "Hei, kamu kenapa? Wajahmu merah," bisiknya pelan. Aku hanya menggeleng, mencoba mengusir pikiran tentang Theo. Sepertinya aku harus benar-benar berhati-hati. Pria itu lalu berjalan melewati kami. Angela memegang lengannya, sontak pria itu berhenti. Pria itu menatap kami berdua dengan alis terangkat. "Bagaimana, apakah sahabatku bisa kerja di restoran milik kak Theo" Pria itu tertawa lagi, tidak ada kesinisan. Aku meremas jari Angela, kata-katanya tadi siang benar-benar menggangguku. Aku menarik Angela dengan perasaan tidak nyaman, namun gadis itu masih berdiri. " Walaupun kamu orang dalam yang sangat denganku, aku tidak bisa mengambil keputusan sesuka hati.Kalau dia bersedia, dia bisa mengikuti test seperti calon lainnya besok pagi. " Angela lalu mengangguk, gadis itu langsung memeluk kakak sepuounya itu dengan erat. Aku hanya menundukkan kepala, tidak tahu mau mengatakan apa. " Terimakasih kak, " Pria itu mengangguk da
Theo menatapku dengan tatapan tajam, seolah matanya mampu menembus setiap lapisan diriku yang paling tersembunyi. Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit, mempersempit jarak di antara kami, membuatku merasa seperti terpojok meski ruangan ini cukup luas. "Jadi, permainan anak muda, huh? Dengan pakaian seperti ini?" nada suaranya terdengar rendah, tetapi penuh sindiran yang membuat tengkukku meremang. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan gelisah yang mulai menguasai diriku. Tangannya yang terlipat di depan dada hanya mempertegas kesan dominan yang ia bawa. Tidak seharusnya dia mempertanyakan bajuku. Ini bukan urusannya. Tapi kata-kata itu tertahan di ujung lidahku. “Memangnya kenapa kalau aku berpakaian seperti ini?” Aku akhirnya memberanikan diri menjawab, meskipun suara yang keluar terdengar lebih lemah daripada yang aku harapkan. Matanya menyipit, seperti menilai setiap kata yang aku ucapkan. Theo menyeringai kecil, sebuah ekspresi yang lebih membuatku kesal daripada ta
Semua orang langsung terdiam, bahkan Theo yang tadinya tampak tidak peduli kini memasang tatapan tajam ke arah Thomas. Aku menahan napas, menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi momen yang panas. Thomas tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Yang paling menyebalkan dari Theo?” Dia menatap langsung ke arah pria itu sebelum melanjutkan. “Dia kejam dan terlalu misterius.” Ruangan langsung dipenuhi suara bisik-bisik dan gumaman. Theo yang duduk di sudut hanya menatap Thomas dengan dingin, tidak ada sedikit pun emosi di wajahnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. “Kejam gimana maksudnya?” tanya Angela, menambah bumbu pada situasi yang sudah cukup tegang. “Dia selalu memandang rendah orang lain, seolah semua orang di dunia ini tidak pernah cukup baik untuknya. Dan misterius? Ya, dia tidak pernah membiarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan atau rasakan. Itu sangat menyebalkan,” kata Thomas dengan nada tenang tapi tegas. “A
Tatapan pria itu menusuk, penuh arti, dan disertai dengan senyum miring yang membuatku semakin gelisah. Theo tidak berkata apa-apa, tapi pandangannya seolah menantangku untuk memberikan jawaban yang tepat. “Tidak,” ucapku akhirnya, singkat dan tegas. Arthur tampak terkejut, tapi dia tetap mempertahankan senyumnya. Dia menghela napas pelan, seperti sudah menduga jawaban itu namun masih berharap lebih. Semua orang di sekitar kami terdiam sejenak, sampai akhirnya Arthur memecah keheningan dengan pertanyaan lain yang membuatku semakin bingung. “Kenapa? Bukankah Andrew dan kamu juga sudah putus?” Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan Andrew? Apakah dia memantauku selama ini? “Arthur…” gumamku, mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara tajam memotong percakapan kami. “Itu sudah jelas, Arthur. Kamu tidak perlu alasan untuk tidak diinginkan. Jadi, cari perempuan lain saja.” Aku menole
Menjelang pukul tujuh malam, dapur hampir selesai dengan segala persiapannya. Bahan-bahan sudah rapi di atas nampan: daging ayam dan sapi yang sudah dimarinasi, sayuran yang sudah dipotong, dan jagung yang siap dibakar. Aroma bumbu dari marinade bercampur dengan wangi mentega yang menempel di jari-jari tanganku. Aku tersenyum puas, merasa semuanya akan berjalan sesuai rencana.Tiba-tiba, bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku. Aku melongok ke arah pintu depan, tapi sebelum sempat bergerak, Angela sudah melesat lebih dulu. Sepertinya tamu-tamu Angela sudah mulai berdatangan. "Aditya datang!" teriak Angela dari ruang tamu.Aku melepaskan apron dan berjalan ke arah pintu. Di sana, Aditya berdiri dengan senyum lebarnya yang khas, membawa tas belanja besar di tangan kanan dan sekotak es krim di tangan kiri."Aditya, akhirnya datang juga," Angela menyambutnya sambil merebut tas belanja di tangannya. "Apa saja yang kamu bawa? Jangan bilang cuma jagung." Angela manatap aditya dengan pura-pur
Setelah Angela dan Adit pergi, aku melangkah lemah ke kamarku. Pintu kututup perlahan, seolah takut suara sekecil apa pun akan merobohkan sisa kekuatanku. Aku berdiri di depan cermin, melihat bayangan diriku yang jauh dari kata berdaya. Aku menanggalkan kaca Mata hitam milikku. Mata sembab, rambut kusut, dan wajah yang penuh dengan kesedihan. Untung saja mereka tidak mempermasalahkan aku menamakan riben tadi, kalau mereka meminta aku membuka kacamataku pasti mata sembabku masih kelihatan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan membereskan kamar, tetapi setiap lipatan sprei, setiap benda yang kupindahkan, hanya mengingatkanku pada kekacauan di dalam hati. Ketika semua sudah rapi, tidak ada alasan lagi untuk terus menghindar dari kenyataan. Aku menghela napas panjang, berharap hatiku suasananya membaik. Alih-alih keluar atau mencari pelarian, aku malah terkulai di tepi tempat tidur. Duniaku yang dulu megah kini terasa seperti reruntuhan. Andrew, pria yang kucintai sepenuh hati, menin
Aku menghela napas panjang, merapikan rambutku yang sedikit berantakan akibat perjalanan panjang di pesawat. Bandara terasa ramai, suara pengumuman terus terdengar di kejauhan. Saat aku keluar dari area kedatangan, mataku segera menangkap sosok yang sudah tak asing Angela, sahabatku sejak SMA, berdiri sambil melambaikan tangan dengan senyum lebarnya. Walaupun kedatanganmu mendadak, aku sempat mengabarinya semalam. Namun, aku tidak menceritakan apa yang menjadi masalahku saat ini. Aku hanya bilang ingin mencari pekerjaan, dan ingin liburan. "Savannah!" teriaknya, menghampiriku dengan langkah cepat. aku berjalan dengan cepat kearahnya. Angela terlihat semakin cantik, sepertinya gadis ini bahagia hidup disini. "Angela!" Aku tersenyum lega, aku langsung berhambur kerarahnya, kami langsung berpelukan sejenak. "Selamat datang! Aduh, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu makin cantik aja!" katanya sambil memelukku erat. "Ah, lebay banget kamu. Kamu juga kelihatan segar banget,"
Aku melirik jam tanganku. Jarum pendeknya sudah mendekati angka delapan, dan aku masih terjebak di jalan yang macet. Jantungku berdegup kencang, seolah ikut menghitung detik-detik yang terasa begitu cepat berlalu. Kalau aku sampai terlambat, semua usahaku selama ini bisa sia-sia. Semua ini karena aku melakukan penerbangan kali ini secara mendadak. Menghilang dari kehidupan sebelumnya dan. memulai hidup baru. Tanpa Andrew, tanpa ayah, dan tanpa pria menyebalkan itu “Pak, tolong lebih cepat, ya? Saya sudah hampir telat!” pintaku dengan nada panik. Aku benar-benar takut ketinggalan pesawat. “Tenang saja, Mbak. Ini sudah jalan tercepat,” jawab sopir taksi itu tanpa sedikit pun rasa tergesa-gesa. Aku menghela napas keras. Mataku menatap jalanan di depan dengan putus asa. Aku tahu ini salahku, dan yang dikatakan sopir ini sudah benar. Begitu taksi akhirnya berhenti di depan bandara, aku hampir meloncat keluar sebelum mobil benar-benar berhenti. Tidak peduli pada sopir yang menyeb