Share

Bab 52

Penulis: pachirawidi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-13 19:09:00

Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran.

Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?"

"Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak.Theo.Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah."Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku.Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini."Theo tertawa pelan, seolah sud

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 1

    Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 2

    Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 3

    Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, c

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 4

    Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa key

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11

Bab terbaru

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak.Theo.Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah."Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku.Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini."Theo tertawa pelan, seolah sud

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 52

    Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 51

    Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 49

    Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 48

    Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 47

    Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 46

    Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status