Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku.
Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di ruang itu. Namun, sebelum siapa pun sempat mengangkat sendok atau garpu, Paman Nicholas memotong dengan nada yang serius. "Tidak. Kita akan membahas masalah keluarga kita dulu. Itu tujuan kita berkumpul pagi ini." Aku menatap mereka datar, berusaha menahan diri agar tidak melontarkan komentar sinis. Diskusi keluarga semacam ini sudah terlalu sering aku hadapipenuh pembicaraan yang berputar-putar tanpa ujung dan jarang memberi manfaat bagi diriku. Sejak kecil, aku sudah terbiasa menjadi korban dari pertemuan-pertemuan seperti ini, merasa terpinggirkan dalam keputusan-keputusan yang tidak pernah aku mengerti. Tapi kali ini... entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Mungkin masalah kali ini lebih besar? Atau justru mereka punya sesuatu yang disembunyikan dariku? Ayah akhirnya membuka suara setelah beberapa detik hening yang terasa begitu lama. "Keluarga kita, keluarga Kesuma, sedang berada di ambang kebangkrutan." Ruang makan mendadak sunyi, dan detik jarum jam seolah terdengar lebih keras. Wajah mereka semua menatap serius, dan aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di udara. "Penggelapan dana yang dilakukan Arthur, ditambah kegagalan beberapa proyek besar akibat salah perhitungan biaya dan keterlambatan penyelesaian, terus menggerus keuangan perusahaan. Banyak klien yang kehilangan kepercayaan, sementara denda akibat keterlambatan membengkak di luar kendali. Kita hampir pailit," ujar Ayah dengan suara tenang, namun tatapannya yang tajam memberi kesan betapa seriusnya masalah ini. Aku tidak terkejut mendengarnya. Setelah kepergian Kakek, arah perusahaan memang sudah seperti kapal tanpa nahkoda. Para putranya lebih sibuk dengan ambisi dan ego masing-masing, tanpa ada yang benar-benar tahu bagaimana cara mengelola warisan besar yang telah ditinggalkan. Namun, ada satu hal yang membuatku merasa aneh. Kenapa mereka menatapku seperti itu? Seolah aku punya solusi atau jawaban untuk semua masalah ini. Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Apakah aku harus ikut terlibat dalam kekacauan ini, atau ada hal lain yang lebih besar yang sedang mereka sembunyikan? Aku duduk diam, mencoba mencerna semua yang baru saja disampaikan, sementara pikiranku mulai berputar, mencoba menebak apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. Kepala terasa sedikit pusing akibat jet lag, namun ketegangan di meja makan pagi ini sedikit mengurangi rasa sakit itu. "Itu urusan pribadi para pemimpin keluarga kita, sebaiknya tidak perlu dibahas di meja makan," kataku dengan nada dingin dan datar, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Aku juga setuju, apalagi Kak Savannah baru saja pulang, Ayah," Laeticia, adik tiriku, ikut bersuara. Aku meliriknya, agak terkejut. Tumben sekali dia sependapat denganku. Apa yang membuatnya tiba-tiba berpihak pada hal ini? Aku hanya bisa menatapnya sejenak, merasa semakin curiga dengan apa yang sedang terjadi di balik semua pertemuan ini. Mungkin ada lebih dari yang terlihat. "Bukan seperti itu," ujar Ayah, suaranya terdengar lelah, namun ada keteguhan di baliknya. "Kali ini, aku dan Paman Dante serta Paman Nicholas sudah berusaha keras. Kami mencari pinjaman dari donatur, klien, bahkan kerabat kita. Tapi, tidak ada yang mau membantu lagi. Semua menjauh." Aku hanya mengamati mereka semua, merasa sedikit jengah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Ayah terlihat tersenyum getir, senyum yang jauh dari kebahagiaan. Sementara Laeticia, Mira, dan Aurora terlihat semakin pucat, seolah benar-benar terpukul dengan berita itu. Mereka jelas lebih terlibat dalam situasi ini daripada aku. Aku hanya diam, menahan diri untuk tidak melontarkan komentar pedas. Aku tahu, hidupku mungkin tidak akan mudah, tapi aku bisa mencari jalan keluar dengan keterampilan yang aku punya. Mungkin perjuangan lebih berat, tapi setidaknya aku tak tergantung pada sesuatu yang tak bisa aku ubah. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Paman Dante, nada suaranya penuh keraguan. "Apakah ada jalan keluar?" Ayah menatap kami semua, seolah mencoba mencari kekuatan di tengah keputusasaan. "Kalian juga tahu, perusahaan warisan Kakek adalah satu-satunya yang menjadi tombak ekonomi keluarga kita. Tanpanya, kita tidak akan bisa hidup seperti ini. Inilah alasan mengapa kalian semua bisa hidup enak dan bersenang-senang selama ini," kata Ayah, suara lebih keras dan penuh penekanan. Aku mulai memainkan kuku jari tangan, malas dengan pembicaraan yang terasa berulang-ulang. Aku tidak butuh penjelasan lebih lanjut. Semua orang di sini tampaknya terlalu sibuk meratapi keadaan, sementara aku sudah berpikir untuk mencari cara lain. "Ayah, tidak ada yang bisa kita lakukan lagi, kan?" kataku, suara datar, sedikit kecewa. "Jika itu yang kalian maksud, mengapa kita masih membahas ini di meja makan?" Ayah diam sejenak, seolah mencerna kata-kataku. Lalu, matanya yang tajam menatapku, seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat. "Tidak sepenuhnya seperti itu. Ada satu cara," Ayah menelan ludah menatapku lalu mulai berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar lebih hati-hati. "Ada satu orang yang bersedia membantu kita. Tapi..." Ayah berhenti, menarik napas panjang, "Ada syarat yang harus kita penuhi." Sepertinya orang itu mengajukan syarat yang sangat serius, karena kalau tidak. Ayah tidak akan berbelit-belit sejak tadi. Aku langsung menatapnya, dengan tatapan aneh. "Syarat apa, Ayah?" tanyaku, sedikit curiga. Anggota keluarga yang lain juga sontak melirik pada ayah. Ayah mengalihkan pandangannya ke meja, tampak ragu sejenak. "Syaratnya adalah..." Ia menatapku, dan untuk pertama kalinya, tatapannya terasa begitu berat, "Pernikahan." Ayah bersuara pelan. Semua mata langsung tertuju padaku. Laeticia, Mira, dan Aurora terlihat kebingungan, sementara Paman Dante dan Paman Nicholas terdiam, seolah tidak tahu bagaimana harus merespon. Aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruang makan ini. "Pernikahan?" suaraku hampir tercekat, tidak percaya dengan apa yang baru saja Ayah katakan. "Pernikahan siapa?" Ayah menatapku dengan tatapan yang penuh makna. "Pernikahanmu, Savannah." Aku terkejut, tentu saja. Bagaimana bisa ada syarat yang seperti itu?Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu