Share

Bab 3

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:24:34

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya.

"Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita."

Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini.

Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, cucu dari Arnold Wiratama. Seorang pebisnis besar yang sudah lama berhubungan dengan keluarga kita. Dia sudah setuju membantu, tapi syaratnya... seperti yang ayah katakan."

Aku merasa dunia seakan berhenti berputar. Semuanya menjadi hening. Orang-orang di meja makan tampak terdiam, sementara detak jantungku berdentum keras, seakan menggema di seluruh tubuhku. Bagaimana aku bisa memilih antara pernikahan dan menyelamatkan keluarga? Bagaimana bisa ini jadi pilihan satu-satunya? Dan bagaimana dengan aku dan Andrew?

Aku mencoba untuk menenangkan diriku, mencari kekuatan dalam kebingunganku. Aku mengangkat wajahku, mencoba menyusun kata-kata yang lebih tegas, berharap bisa mencari jalan lain. "Bagaimana jika kita mencoba pendekatan lain, Ayah?" kataku, lebih yakin meskipun suara yang keluar masih bergetar.

Aku memandang satu per satu orang di meja itu. Laeticia, Mira, dan Aurora tampak terperangah, seperti tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Paman Dante dan Paman Nicholas hanya duduk diam, wajah mereka sulit dibaca, namun ketegangan di udara begitu terasa. Semua orang menunggu reaksiku, seperti menunggu jawaban dari pertanyaan besar yang tidak punya solusi.

"Pendekatan seperti apa maksudmu? Ini benar-benar akan bangkrut, Savannah!" suara Paman Nicholas terdengar tajam, memecah keheningan yang menyesakkan.

Aku menghela napas, menatap Paman Nicholas dengan mata yang menantang. "Kita harus coba sesuatu yang lebih dari sekadar menyerah begitu saja," jawabku dengan tegas. "Ini bukan hanya soal menyelamatkan perusahaan, ini juga tentang pilihan hidupku."

Ayah menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. "Ini satu-satunya jalan, kamu juga pasti tidak ingin kan semua ini terjadi?" suaranya terdengar tegas, tapi ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan, seperti ada sesuatu yang memaksanya berada di posisi ini.

Aku merasa amarahku mulai meluap, tak bisa menahan semuanya. "Ini juga karena hobi Ayah yang kawin cerai, hobi Paman yang suka judi dan foya-foya, jadi nggak ada yang becus! Semua ini bisa terjadi karena kalian yang nggak bisa mengurus keluarga ini dengan baik!" Aku berteriak, menggebrak meja, marah dengan kenyataan yang terungkap begitu saja. Kata-kataku terasa seperti peluru yang meluncur, menembus segala kebohongan dan ketidakadilan yang telah lama terpendam.

Suasana semakin panas. Aku bisa merasakan mataku mulai berair, namun aku berusaha untuk menahan diri. "Tentang pernikahan? Aku tidak setuju!" aku melanjutkan, suara semakin meninggi. "Lagi pula, pria itu tunangan Moana sejak kecil, kan? Jadi ini nggak akan pernah terjadi!" Aku tertawa miring, mencoba menahan tangis yang hampir meledak. Mataku beralih ke sepupuku, mereka menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Mereka tahu ini adalah perjuangan yang lebih besar daripada sekadar pernikahan yang direncanakan.

Dengan langkah cepat, aku bangkit dari kursi. Aku tidak peduli dengan tatapan mereka. Aku tidak bisa terus terjebak dalam permainan mereka yang kotor ini. Dengan keputusan yang sudah diambil oleh Ayah, aku tahu hidupku tidak akan sama lagi. Aku tidak akan menjadi pion dalam permainan mereka. Aku harus mencari jalan keluar sendiri, meskipun itu berarti harus menentang mereka.

Tentang Moana... sejak semalam dan hari ini, aku belum melihat gadis itu. Aku tidak tahu di mana dia berada, atau apa yang sedang dipikirkannya. Pertunangan mereka sudah direncanakan sejak lama, bahkan sejak kakek masih ada. Keluarga Wiratama dan keluarga Kesuma sudah menjalin hubungan sejak lama. Namun, semakin aku dewasa, semakin aku tak tahu kelanjutan hubungan mereka. Semua ini terasa begitu membingungkan dan kacau. Moana adalah anak dari Paman Dante, dan aku tidak mengerti bagaimana bisa semuanya berubah jadi seburuk ini. Rasanya seperti hidupku dipenuhi dengan intrik yang tak pernah aku inginkan.

Aku berjalan cepat menuju kamar, menekan ponselku dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku perlu berbicara dengan seseorang, mencari ketenangan dalam kekacauan ini. Aku menelepon Eleanor. "Tolong jemput aku," kataku, suara masih terengah-engah. "Aku butuh udara segar untuk menghilangkan semua pemikiran yang menyesakkan ini." Aku menutup mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Apalagi besok pagi, Andrew akan datang. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu lagi apa yang benar. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak bisa terus terjebak dalam rencana mereka. Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkan diriku sendiri.

“Savannah, ada apa?” suara Eleanor terdengar ketika aku memasuki, mobilnya. Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan perasaan yang hampir meledak. “Eleanor. Ayahku baru saja memberi tahu aku tentang pernikahan yang harus aku jalani. Itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan keluarga yang terancam bangkrut.”

Eleanor mengerem dengan mendadak.

“Pernikahan?” kata-katanya terdengar lebih terkejut daripada yang kuharapkan. “Siapa yang akan kamu nikahi?”

“Pria itu adalah Cucu dari Keluarga Wiratama. Aku berkata pelan, mencoba meresapi kata-kata itu sendiri. Aku menghela napas lelah.

“Cucu?!” suara Eleanor memecah keheningan, dan aku bisa mendengar betapa terkejutnya dia. “Tunggu, tunggu, siapa dia? Kenapa dia?” Suaranya semakin keras, seperti dia baru saja menemukan potongan teka-teki yang sangat besar.

Aku menutup mata, merasakan beban di dadaku semakin berat. "Aku tidak. begitu tahu siapa dia." Aku bisa merasakan napasku mulai terengah-engah, dan aku berusaha menenangkan diri.

"Keluarga mereka sudah setuju untuk membantu keluarga kami, tapi dengan syarat. Pernikahan ini menjadi satu-satunya jalan keluar."

Eleanor terdiam, mungkin berusaha mencerna semuanya. Aku bisa merasakan udara semakin berat,

aku mengacak-acak rambutku, frustrasi.

" Dan yang paling menyebalkan dia itu pria yang dijodohkan dengan Moana, " Eleanor menoleh kearah ku. Gadis itu terdiam, lalu mengurut tengkuknya.

" Dari rumor yang beredar pria itu berusia sangat matang, dia berusia 35 tahun. Hanya saja wajahnya aku juga tidak tahu, pria itu sangat sukses Savannah, wajar kalau hanya dia yang bersedia membantu keluargamu. Hanya saja syarat menikahimu, itu hanya dia yang tahu alasannya. " Ucapan Eleanor malah membuat kepalaku semakin pusing. Apa yang harus aku lakukan?

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 4

    Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa key

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 5

    Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 6

    Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin

    Last Updated : 2024-12-11
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 7

    Aku melangkah menuju lantai atas, tempat yang dulu penuh dengan kenangan, tempat kamar kakek berada. Setiap langkahku terasa semakin berat, seolah-olah aku tengah melangkah ke dalam kenangan yang sudah lama terkubur. Dulu, lantai ini adalah tempat yang penuh cerita, tempat di mana kakek sering duduk di kursi favoritnya, membaca koran pagi, atau berbincang-bincang dengan ayah tentang banyak hal. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Aku masuk ke ruang kerja kakek, sebuah ruangan yang dulu penuh dengan dokumen penting, buku-buku tua, dan barang-barang yang menjadi simbol kewibawaan keluargaku. Tapi kini, ruang itu terasa asing dan kosong. Meja kerjanya yang dulu selalu rapi dengan tumpukan kertas penting, kini tak lagi ada. Laci-laci yang biasa terbuka dengan berbagai dokumen yang tampaknya penuh dengan rahasia keluarga, kini terkunci rapat, seolah-olah bersembunyi dari kenyataan. Aku mengamati sekeliling dengan cermat, berharap menemukan sesuatu—apapun itu—yang bisa memberiku pet

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 8

    Di ruang tamu yang megah dan sunyi, hanya suara detak jam antik yang terdengar samar, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku duduk dengan punggung tegak di sofa berlapis beludru, jari-jariku saling menggenggam dengan kuat untuk menahan gemetar yang tak terhindarkan. Ayah berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan tatapan kosong, seolah mencari pelarian dari kenyataan yang ada di hadapannya. Suara lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk berbunyi pelan, tertiup angin malam yang masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Hembusan udara dingin membuat bulu kudukku meremang, namun ketegangan yang melingkupi ruangan ini lebih menusuk dari sekadar dingin malam. Ayah menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar tubuh dan menatapku dengan wajah yang tampak lebih tua dari biasanya. Guratan-guratan lelah di wajahnya semakin dalam, mencerminkan beban yang telah ia pikul bertahun-tahun. “Perjanjian bisnis,” katanya lirih, seolah kata-kata itu adalah duri yang m

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 9

    Hari ini aku tidak tidur nyenyak. Pikiranku terus dipenuhi oleh kejadian semalam—pengakuan Ayah, masa lalu kelam keluarga ini, dan nama Tuan Wiratama yang kini menjadi pusat dari segala kekacauan hidupku. Lagi lagi aku juga tidak mendapatkan kabar apapun dari Andrew, aku juga khawatir dengan semua ini. Rumah ini terasa kosong, sunyi seperti tidak ada kehidupan. Hanya suara detak jam dinding tua yang samar-samar terdengar di ruang tamu. Udara pagi yang dingin menusuk kulitku saat aku melangkah keluar dari kamar. Tidak terlihat ayah ataupun paman Dante. Aku berjalan menuju dapur yang sepi. Lemari kayu tua dan peralatan dapur yang sudah usang menjadi saksi bisu betapa keluarga ini telah kehilangan segalanya. Aku membuka kulkas, hanya ada beberapa butir telur, keju, dan sisa roti tawar yang hampir kadaluwarsa. “Setidaknya ini cukup untuk sarapan,” gumamku pelan. Aku memecahkan telur ke dalam mangkuk, menambahkan sedikit keju parut dan potongan paprika yang masih tersisa. Gerakan

    Last Updated : 2024-12-13
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 10

    Duniaku seolah berhenti berputar. Pernikahan? Mengapa? Bagaimana mungkin hidupku berubah begitu drastis dalam hitungan detik? Aku menarik napas kasar, mencoba menenangkan diri meskipun dadaku terasa sesak. Jantungku berdegup kencang, namun aku berusaha tetap tegar. Pandanganku terpaku pada pria yang duduk dengan tenang di hadapanku, seolah semua ini adalah urusan sepele baginya. “Hanya pernikahan?” tanyaku, berusaha mempertahankan nada suara yang stabil meskipun terasa bergetar. Tatapanku tak lepas darinya. Wajahnya tetap dingin, penuh keyakinan. “Benar, itu yang diinginkan Tuan kami,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun keraguan. Aku terdiam, membiarkan kata-kata itu bergema di pikiranku. Pernikahan... demi melunasi utang yang mustahil aku bayar. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku mengangguk pelan, merasakan bibirku yang kering seolah kehilangan tenaga untuk sekadar berbicara. Kegelisahan mencengkeram hatiku seperti duri yang menancap dalam. Aku melirik ke arah Ayah yang berdiri

    Last Updated : 2024-12-14
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 11

    Savannah menatap layar ponselnya dengan tatapan cemas. Sudah tiga hari Andrew tidak bisa dihubungi. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan-pesannya pun hanya centang satu. Savannah ingin membicarakan pernikahan atau perjanjian bisnis ayahnya hari ini. Ia ingin Andrew bisa membantunya untuk mencari solusi atas hal ini. Savannah sedikit menyesal dengan keputusan gegabahnya, tapi realita tidak ada yang mendukungnya. Savannah menghela napas panjang. Hatinya berperang antara khawatir dan marah. Andrew tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia selalu memberi kabar, bahkan di saat tersibuk sekalipun.“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di kamarnya, pikirannya semakin berkecamuk.Di belahan bumi yang lain, Di Liechtenstein Andrew tertawa ringan saat Clarissa menyentuh lengannya, menuntunnya menuju restoran berbintang di tengah pegunungan bersalju. Udara dingin membuat pipi mereka memerah, tetapi suasana hatinya tetap hangat.“Aku s

    Last Updated : 2024-12-17

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 49

    Theo baru saja tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan panjang dari Bali. Udara panas dan hiruk-pikuk ibu kota menyambutnya dengan tidak ramah. Berbeda dengan angin sepoi-sepoi dan ketenangan pantai yang baru saja ia tinggalkan, Jakarta terasa sesak, bising, dan penuh tekanan. Namun, yang lebih menyesakkan bukanlah cuaca atau kemacetan, melainkan kenyataan yang menantinya di rumah keluarga besar Wiratama. Ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi ini. Tapi tidak pernah ia menyangka akan secepat ini. Begitu kakinya melangkah masuk ke dalam rumah megah itu, hawa dingin segera menyergapnya bukan dari kesejukan pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam seseorang yang sudah menunggunya di sana.vPak Arnold Wiratama, kakeknya, duduk tegap di kursi besar di ruang tamu. Rambutnya telah memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh wibawa, dan sulit ditebak. Keheningan menyelimuti ruangan. Theo menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata, tetapi sebelum ia sempa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 48

    Aku menutup pintu apartemen dan menghela napas panjang. Keheningan menyambutku, begitu kontras dengan perdebatan yang terjadi tadi sore. Theo dan Adit… dua pria yang membuat kepalaku hampir meledak. Aku melepas sepatu dan berjalan ke dapur. Perutku kosong sejak siang, tetapi entah kenapa aku kehilangan selera makan. Aku tetap mengambil semangkuk sup yang sudah kupanaskan dan duduk di meja makan. Suapan pertama terasa hambar, bukan karena kurang bumbu, tetapi pikiranku terlalu kacau. Aku menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, tetapi bukannya memberi ketenangan, justru membuatku merasa lebih sepi. Saat aku baru akan mengambil suapan kedua, ponselku yang tergeletak di meja berbunyi pelan. Sebuah notifikasi email masuk. Aku mengernyit. Siapa yang mengirim email malam-malam begini? Dengan malas, aku meraih ponsel dan membuka layar. Ada Dua Email, sama-sama membuatku terbebani. Dari: Theodore RA Subjek: Undangan Ulang Tahun Kakek Tanganku menegang di atas

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 47

    Suara itu membuatku menoleh cepat. Napasku tercekat saat melihat sosok yang berdiri beberapa langkah dariku. Adit. Dia tampak sedikit terengah, seperti habis berjalan cepat. Matanya langsung tertuju padaku, lalu melirik ke arah Theo yang masih duduk di depanku. Ekspresinya sulit dibaca, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara kami bertiga.Theo mengangkat alisnya, jelas terkejut. Tatapannya berpindah dari Adit ke aku, lalu kembali ke Adit. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tetapi sorot matanya berubah tajam, penuh selidik."Adit?" Theo akhirnya bersuara, nada suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana.Adit mengangguk singkat. "Hai kak Theo."Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam interaksi mereka. Seperti ada komunikasi diam-diam yang hanya mereka berdua pahami. Theo menyilangkan tangannya di atas meja. "Apa yang membawamu ke sini?" pria itu benar-benar menatap Adit dengan tajam. Adit menatapku sebentar sebelum menjawab, "Aku hanya ingin berte

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 46

    Seminggu berlalu dan hariku berjalan dengan normal dan aku sangat bersyukur. Aku baru saja selesai membuat beberapa pesanan pelanggan ketika seorang rekan kerja menyenggol lenganku pelan. "Hei, ada yang nyariin kamu di luar," bisiknya dengan nada menggoda. Aku jadi penasaran, seingatku aku belum memberi tahu seorang pun tempat kerjaku. Aku mengernyit. "Siapa?" tanyaku heran. Dia mengedikkan dagu ke arah pintu masuk. "Cowok tinggi, pakai kemeja biru, tinggi 185 cm dan postur atletis. Ia memiliki wajah tegas, rahang kokoh, hidung mancung, serta mata abu-abu kebiruan yang tajam. Rambutnya cokelat gelap sedikit bergelombang, sering tertata kasual namun tetap stylish. Dari tadi dia nungguin kamu." Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tak perlu menebak siapa yang dimaksud. Hanya ada satu orang yang mungkin melakukan hal seperti itu. Andrew. Perasaan tak nyaman menyelimutiku. Sejak pertemuan kami di pantai kemarin, aku berpikir itu akan menjadi yang terakhir. Namun, kini dia kembali.

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 45

    Eleanor telah pulang. Aku sudah mengantarnya pagi tadi, lalu langsung bekerja. Rutinitas yang melelahkan, tetapi setidaknya pikiranku bisa teralihkan. Namun, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, aku merasa perlu udara segar. Pantai. Tempat itu selalu jadi pelarianku. Aku menghela napas panjang di depan cermin. “Hari baru, Savannah. Fokus untuk tenang,” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Apa pun yang terjadi semalam, biarlah berlalu. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Mengenakan dress putih selutut dan mengikat rambutku dengan sederhana, aku keluar dari kamar hotel. Udara sore terasa hangat, dengan angin laut berembus pelan. Jalanan sekitar resort ramai dengan turis yang sibuk mengambil foto atau sekadar menikmati suasana tropis. Aku berjalan pelan, membiarkan pikiranku melayang-layang, menikmati momen ini sendirian. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggil namaku. “Savannah?” Aku menoleh cepat, dan seketika mood-ku hancur. Theo. Lelaki

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 44

    Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 43

    Ketika memasuki rumah sewaanku, aku tertegun mendapati Eleanor sudah berdiri di belakangku dengan tangan bersedekap. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk, siap menginterogasiku. "Astaga, El! Kamu mengagetkanku," ucapku terkejut sambil menepuk dadaku. Rasanya seperti hampir kehilangan napas. Namun, dia tidak bereaksi seperti biasanya. Eleanor hanya menatapku tajam, kedua alisnya bertaut. "Kamu pergi lama sekali, dan dengan pria yang kamu tidak begitu kenal? " ucapnya, nada suaranya terdengar seperti interogasi. Apa yang diucapkan Eleanor sangat benar, tapi aku juga bingung untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Aku tertawa gugup, mencoba menyusun alasan sebelum menjawab. "Aku juga nggak nyangka bakal selama itu. Theo hanya minta ditemani makan," kataku, berusaha terdengar santai agar Eleanor tidak bertanya semakin banyak. Namun, Eleanor tidak termakan jawabanku. Dia menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. "Hanya makan? Sampai berjam-j

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 42

    Saat aku menelpon taksi online, langkah cepat Thomas mendekatiku. Lagi. Kali ini dengan sikap yang lebih memaksa, ia berusaha meyakinkanku untuk pulang bersama mereka. Namun, seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah. "Tuan Theo meminta maaf jika telah menyinggung Anda," katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku mendongak dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Sudah dimaafkan. Jadi, saya ingin pulang." Namun, alih-alih menyerah, Thomas tiba-tiba melakukan sesuatu yang benar-benar mengejutkanku. Ia berlutut di depanku, memohon dengan tatapan memelas yang sama sekali tak kuharapkan darinya. "Tolong, nona. Kami hanya ingin memastikan Anda pulang dengan aman. Tuan Theo sangat khawatir," katanya dengan suara yang nyaris terdengar seperti rayuan. Aku mendesah panjang, memutar bola mata. Apakah mereka pikir aku tidak mampu menjaga diriku sendiri? "Taksinya sudah dipesan. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot," balasku sambil menunjuk layar ponselku yang menunjukkan status taksi yang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status