Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya.
"Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, cucu dari Arnold Wiratama. Seorang pebisnis besar yang sudah lama berhubungan dengan keluarga kita. Dia sudah setuju membantu, tapi syaratnya... seperti yang ayah katakan." Aku merasa dunia seakan berhenti berputar. Semuanya menjadi hening. Orang-orang di meja makan tampak terdiam, sementara detak jantungku berdentum keras, seakan menggema di seluruh tubuhku. Bagaimana aku bisa memilih antara pernikahan dan menyelamatkan keluarga? Bagaimana bisa ini jadi pilihan satu-satunya? Dan bagaimana dengan aku dan Andrew? Aku mencoba untuk menenangkan diriku, mencari kekuatan dalam kebingunganku. Aku mengangkat wajahku, mencoba menyusun kata-kata yang lebih tegas, berharap bisa mencari jalan lain. "Bagaimana jika kita mencoba pendekatan lain, Ayah?" kataku, lebih yakin meskipun suara yang keluar masih bergetar. Aku memandang satu per satu orang di meja itu. Laeticia, Mira, dan Aurora tampak terperangah, seperti tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Paman Dante dan Paman Nicholas hanya duduk diam, wajah mereka sulit dibaca, namun ketegangan di udara begitu terasa. Semua orang menunggu reaksiku, seperti menunggu jawaban dari pertanyaan besar yang tidak punya solusi. "Pendekatan seperti apa maksudmu? Ini benar-benar akan bangkrut, Savannah!" suara Paman Nicholas terdengar tajam, memecah keheningan yang menyesakkan. Aku menghela napas, menatap Paman Nicholas dengan mata yang menantang. "Kita harus coba sesuatu yang lebih dari sekadar menyerah begitu saja," jawabku dengan tegas. "Ini bukan hanya soal menyelamatkan perusahaan, ini juga tentang pilihan hidupku." Ayah menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. "Ini satu-satunya jalan, kamu juga pasti tidak ingin kan semua ini terjadi?" suaranya terdengar tegas, tapi ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan, seperti ada sesuatu yang memaksanya berada di posisi ini. Aku merasa amarahku mulai meluap, tak bisa menahan semuanya. "Ini juga karena hobi Ayah yang kawin cerai, hobi Paman yang suka judi dan foya-foya, jadi nggak ada yang becus! Semua ini bisa terjadi karena kalian yang nggak bisa mengurus keluarga ini dengan baik!" Aku berteriak, menggebrak meja, marah dengan kenyataan yang terungkap begitu saja. Kata-kataku terasa seperti peluru yang meluncur, menembus segala kebohongan dan ketidakadilan yang telah lama terpendam. Suasana semakin panas. Aku bisa merasakan mataku mulai berair, namun aku berusaha untuk menahan diri. "Tentang pernikahan? Aku tidak setuju!" aku melanjutkan, suara semakin meninggi. "Lagi pula, pria itu tunangan Moana sejak kecil, kan? Jadi ini nggak akan pernah terjadi!" Aku tertawa miring, mencoba menahan tangis yang hampir meledak. Mataku beralih ke sepupuku, mereka menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Mereka tahu ini adalah perjuangan yang lebih besar daripada sekadar pernikahan yang direncanakan. Dengan langkah cepat, aku bangkit dari kursi. Aku tidak peduli dengan tatapan mereka. Aku tidak bisa terus terjebak dalam permainan mereka yang kotor ini. Dengan keputusan yang sudah diambil oleh Ayah, aku tahu hidupku tidak akan sama lagi. Aku tidak akan menjadi pion dalam permainan mereka. Aku harus mencari jalan keluar sendiri, meskipun itu berarti harus menentang mereka. Tentang Moana... sejak semalam dan hari ini, aku belum melihat gadis itu. Aku tidak tahu di mana dia berada, atau apa yang sedang dipikirkannya. Pertunangan mereka sudah direncanakan sejak lama, bahkan sejak kakek masih ada. Keluarga Wiratama dan keluarga Kesuma sudah menjalin hubungan sejak lama. Namun, semakin aku dewasa, semakin aku tak tahu kelanjutan hubungan mereka. Semua ini terasa begitu membingungkan dan kacau. Moana adalah anak dari Paman Dante, dan aku tidak mengerti bagaimana bisa semuanya berubah jadi seburuk ini. Rasanya seperti hidupku dipenuhi dengan intrik yang tak pernah aku inginkan. Aku berjalan cepat menuju kamar, menekan ponselku dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku perlu berbicara dengan seseorang, mencari ketenangan dalam kekacauan ini. Aku menelepon Eleanor. "Tolong jemput aku," kataku, suara masih terengah-engah. "Aku butuh udara segar untuk menghilangkan semua pemikiran yang menyesakkan ini." Aku menutup mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Apalagi besok pagi, Andrew akan datang. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu lagi apa yang benar. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak bisa terus terjebak dalam rencana mereka. Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkan diriku sendiri. “Savannah, ada apa?” suara Eleanor terdengar ketika aku memasuki, mobilnya. Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan perasaan yang hampir meledak. “Eleanor. Ayahku baru saja memberi tahu aku tentang pernikahan yang harus aku jalani. Itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan keluarga yang terancam bangkrut.” Eleanor mengerem dengan mendadak. “Pernikahan?” kata-katanya terdengar lebih terkejut daripada yang kuharapkan. “Siapa yang akan kamu nikahi?” “Pria itu adalah Cucu dari Keluarga Wiratama. Aku berkata pelan, mencoba meresapi kata-kata itu sendiri. Aku menghela napas lelah. “Cucu?!” suara Eleanor memecah keheningan, dan aku bisa mendengar betapa terkejutnya dia. “Tunggu, tunggu, siapa dia? Kenapa dia?” Suaranya semakin keras, seperti dia baru saja menemukan potongan teka-teki yang sangat besar. Aku menutup mata, merasakan beban di dadaku semakin berat. "Aku tidak. begitu tahu siapa dia." Aku bisa merasakan napasku mulai terengah-engah, dan aku berusaha menenangkan diri. "Keluarga mereka sudah setuju untuk membantu keluarga kami, tapi dengan syarat. Pernikahan ini menjadi satu-satunya jalan keluar." Eleanor terdiam, mungkin berusaha mencerna semuanya. Aku bisa merasakan udara semakin berat, aku mengacak-acak rambutku, frustrasi. " Dan yang paling menyebalkan dia itu pria yang dijodohkan dengan Moana, " Eleanor menoleh kearah ku. Gadis itu terdiam, lalu mengurut tengkuknya. " Dari rumor yang beredar pria itu berusia sangat matang, dia berusia 35 tahun. Hanya saja wajahnya aku juga tidak tahu, pria itu sangat sukses Savannah, wajar kalau hanya dia yang bersedia membantu keluargamu. Hanya saja syarat menikahimu, itu hanya dia yang tahu alasannya. " Ucapan Eleanor malah membuat kepalaku semakin pusing. Apa yang harus aku lakukan?Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku tertawa kecil, tanpa humor. “Mencari cara? Dengan luka-luka kalian seperti ini? Dengan rumah yang hampir mereka ambil? Apa kalian pikir waktu akan menunggu kita?”Ayah menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Kami tidak ingin kamu terlibat, Savannah. Kamu masih muda. Ini bukan tanggung jawabmu.”Aku menggertakkan gigi, menahan emosi. “Ayah, aku sudah terlibat. Mereka datang ke rumah ini, mengancam kita semua. Apa Ayah pikir aku bisa diam saja?”Paman Dante mendesah. “Kami tahu ini sulit, tapi kami tidak ingin kamu mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang menyelesaikan ini.”“Dan bagaimana kalian mau menyelesaikannya?” Aku menatap mereka satu per satu, air mata mulai menggenang. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa hanya duduk dan melihat semuanya runtuh!” Aku benci berada dalam posisi ini, merasa tidak berdaya. Tanpa berkata apa-apa, aku bergegas keluar dari ruangan itu. Sepertinya aku perlu berbicara dengan Andrew. Mungkin
Hidupku tak pernah sempurna, tapi setidaknya aku pernah merasakan kebahagiaan sederhana. Rumah ini, meskipun tak besar, adalah tempat di mana aku dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, malam ini, semua kenangan indah itu dihancurkan dalam sekejap. Dalam hitungan detik, aku menyaksikan dunia kecilku runtuh, menyisakan luka dan kepedihan yang terlalu sulit untuk disembuhkan. Namun, pria itu hanya tertawa kasar dan melanjutkan serangannya pada ayah dan paman. “Kalian harus belajar untuk membayar hutang kalian. Kalau tidak, kami ambil semuanya!” Paman Dante, yang sebelumnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun tubuhnya gemetar. “Kami akan bayar, tolong beri kami waktu.” Namun, waktu sudah habis. Pria itu menatapku dengan tatapan tajam. “Kalian cuma punya satu minggu. Kalau dalam waktu itu hutang ini tidak dilunasi, rumah ini milik kami. Dan kalau masih berani melawan, kami tak segan-segan menghancurkan lebih banyak hal di sini.” Setelah mengucapkan ancaman itu, pria tersebut dan ana
Aku memandang Eleanor yang duduk di depanku, sibuk memilih menu makan siang. Ia tampak tenang, kontras dengan hatiku yang terasa sesak setiap kali memikirkan pertunanganku dengan Andrew. Sesuatu yang seharusnya menjadi momen bahagia malah terasa seperti belenggu yang sulit kulepaskan. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memainkan ponselku, berharap ada kabar dari Andrew. Namun layar tetap kosong—tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Seolah aku sedang terjebak dalam ruang hampa yang sunyi. Eleanor akhirnya mengangkat wajah setelah selesai memesan. "Savannah, kamu nggak makan?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian. "Aku pesan sama seperti kamu aja," sahutku singkat. Selera makan benar-benar lenyap, dan aku tak punya energi untuk memikirkan makanan. Eleanor hanya mengangguk, lalu berkata pelan, "Aku tahu semua ini berat buat kamu. Tapi mungkin kamu bisa pertimbangkan untuk kembali ke Swiss. Kamu sudah terbiasa mandiri di sana, kan?" Aku mengangguk kecil, meski tanpa ke
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya. "Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita." Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini. Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama,
Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku. Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam. "Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di
Aku memandang pantulan diriku di cermin kamar hotel. Wajahku tampak cerah, tapi aku tahu, di balik riasan tipis ini, ada ketegangan yang tak bisa kusembunyikan. Hari ini aku kembali ke Indonesia, pulang ke rumah setelah bertahun-tahun. Namun, kali ini, aku membawa kabar besar yang mungkin akan mengubah segalanya. "Sudah siap?" Suara Andrew terdengar dari belakangku. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja biru yang rapi dengan dasi hitam. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa, dan itu sedikit menenangkan kegelisahanku. Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. "Ya, aku siap. Hanya... sedikit gugup." Andrew mendekat, menyentuh bahuku dengan lembut. "Savannah, mereka akan bahagia melihatmu. Kamu tidak perlu khawatir. Dan soal pertunangan kita, aku akan menyusul besok. Kita bicarakan nanti dengan ayahmu." Aku tersenyum kecil. "Aku tahu. Aku hanya tidak bisa membayangkan ekspresi mereka saat tahu tentang kita." Dia tertawa kecil, suara yang selalu