“Ah!”
Suara desahan yang terdengar dari dalam kamar tidurnya membuat Amanda terperanjat. Di dalam sana, seharusnya hanya ada sang suami, sementara dia—Amanda, sedang menemani tamu undangan di acara pesta ulang tahunnya. Dengan jantung yang berpacu, Amanda mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa sadar, pergerakannya menimbulkan suara yang cukup gaduh. "Mas!" Pintu kamar Amanda buka dengan cukup kasar. Suasana kamar nampak temaram sebab lampu utama dimatikan. Dia tak bisa melihat dengan jelas seisi kamar ini. Amanda lantas masuk lebih dalam dan menyalakan lampu. "Apa yang sedang mas Evan lakukan?" tanya Amanda. Keningnya berkerut dalam ketika melihat sang suami terduduk di sofa sendiri dengan gestur gelisah. Tidak hanya itu, Amanda juga bisa melihat penampilan sang suami yang nampak berbeda, juga nafas yang terengah dan keringat di dahi. Seperti seseorang yang baru saja beraktivitas berat. "Tidak ada, tadi aku tertidur dan cukup terkejut saat kamu memanggil," jawab Evan dengan suara yang terdengar tenang. Mendengar hal itu, sebuah napas panjang Amanda keluarkan. Seketika, dia menjadi merasa tidak enak hati. "Maaf Mas, kamu pasti lelah sekali. Tapi harus tetap hadir di pesta ulang tahunku," balas Amanda, seketika hilang sudah semua prasangka buruknya setelah mendengar jawaban sang suami. Kini, Amanda berpikiran, Evan pasti telah lelah dengan semua pekerjaan di kantor, sampai tertidur di sofa dan sekarang dia mengagetkannya. Bangun dengan terkejut membuat sang suami sampai berkeringat seperti ini. Evan lantas bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Amanda, membelai lembut puncak kepala sang istri, "Tidak apa-apa,” katanya dengan senyum tipis. “Apa tuan Austin sudah datang?" tanya Evan lagi, menyebut seorang tamu agung yang mereka tunggu. Amanda mengangguk. "Tunggu sebentar, aku akan cuci muka lebih dulu," ucap Evan dan lagi-lagi Amanda hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Kemudian, Evan bergerak menuju kamar mandi dengan mata Amanda yang terus mengawasinya. Tidak lama, setelahnya Evan kembali keluar dengan keadaan yang lebih segar. Kedua pasangan itu kemudian bergandengan tangan dengan mesra, turun ke lantai satu di mana acara pesta berada. Dengan posisi yang begitu dekat, samar-samar Amanda mencium aroma parfum lain di tubuh sang suami. Amanda sontak menoleh ke belakang, melihat pintu kamar yang telah tertutup. Dia bertanya-tanya lagi dalam benaknya, ‘Apa mungkin ada orang lain di dalam sana?’ Namun, dia buru-buru menggelengkan kepala. Malam ini terlalu penting untuk dia kacaukan dengan keraguan yang tidak pasti. Menjadi menantu konglomerat, membuat Amanda menjadi wanita yang berkelas. Termasuk seperti saat ini, di mana dia harus mengesampingkan pikiran-pikiran buruknya karena acara pesta ulang tahun dan juga acara donasi untuk Yayasan yang dia pimpin. “Tuan Austin, selamat datang.” Evan menyapa Tuan Austin, salah satu donator terbesar untuk Yayasan Amanda. “Terima kasih telah bersedia hadir di pesta ulang tahun istriku,” lanjutnya sambil mengeratkan tangannya yang melingkari pinggul Amanda. Secara kasat mata, pernikahan mereka memang nampak begitu sempurna, tapi tidak seorang pun tahu di dalamnya begitu rusak. Mereka sudah tidak pernah lagi bermesraan, terhitung sejak mereka kehilangan anak mereka. Amanda yang masih trauma menolak disentuh, hal itulah yang membuat mereka tidur di ranjang berbeda meski masih tetap berada di kamar yang sama. "Tentu saja aku harus datang.” Tuan Austin menyambut tangan Evan. Senyum pria itu melebar, terlebih kala melirik ke arah Amanda. “Datang ke sini merupakan kehormatan untukku.” Sayangnya, di saat dua pria itu berbincang, tatapan Amanda tengah tertuju ke arah tangga. Dia melihat sesosok wanita yang dia kenal turun dari lantai 2. 'Seria,' batin Amanda, wanita itu adalah sekretaris sang suami. 'Kenapa dia dari atas? Apa yang dia lakukan di sana?' batin Amanda penuh tanya. Tatapan Amanda terus mengikuti ke mana arah perginya Seria, ternyata wanita itu menemui mama mertua dan juga adik iparnya. Amanda menghela napas panjang. Memang, dibandingkan dia yang merupakan menantu keluarga Sanjaya, Seria-lah yang justru lebih dekat dengan keluarga ini. Tidak jarang, Amanda selalu dibanding-bandingkan dengan Seria yang katanya lebih baik darinya. "Amanda, kenapa malah melamun?" tanya Evan yang akhirnya menyadari bahwa sang istri tidak fokus. Teguran itu membuat Amanda sontak tersenyum kikuk. “Ah, bukan apa-apa.” "Mungkin dia lelah, hari ini pasti hari yang sibuk untuknya, mempersiapkan pesta dan juga donasi untuk yayasan. Istri Anda benar-benar wanita yang hebat," puji Austin tak habis-habis, dia bahkan menatap Amanda dengan lekat, dengan tatapan penuh kekaguman. "Anda terlalu berlebihan, Tuan," balas Amanda pula. Rupanya, tatapan kekaguman dari Austin untuk Amanda membuat Evan tak nyaman. Tanpa aba-aba, dia mengetatkan pelukannya di pinggang sang istri dengan posesif. Percakapan ketiga orang itu terus berlangsung hingga pesta usai pada pukul 11 malam. Ketika semua tamu telah pulang, masih ada seorang ‘tamu’ yang tak Amanda kehendaki tengah duduk santai di tengah ruang keluarga. "Seria, kamu tidak pulang?”"Seria akan menginap di sini. Mama yang memintanya."Pertanyaan itu tidak dijawab Seria, melainkan sang mertua yang terlihat begitu melindungi sekretaris suaminya. Lengkap dengan nada angkuh, juga lirikan sinis yang ditujukan untuk Amanda."Menginap di sini?” Amanda meninggikan satu alisnya. “Apa Aska tidak mencarimu?" tanya Amanda, menyinggung anak tunggal Seria. "Tidak, Aska bersama dengan neneknya," jawab Seria dengan nada lembut dan penuh percaya diri.Amanda menatap lekat gadis itu, seperti menemukan niat tersembunyi. Namun, belum sempat Amanda mengajukan rasa keberatannya, titah sang mertua lebih dulu terdengar."Bi, antar Seria menuju kamarnya."Kehadiran dan pendapat Amanda memang tak pernah dianggap di rumah ini. Bahkan Evan sebagai suami pun tidak memberikan reaksi apa pun dan justru langsung melenggang menuju lantai 2.Amanda menahan emosi. Evan mungkin memang suami yang sangat baik, sangat mencintai Amanda. Tapi Evan tak pernah bisa membantah keinginan sang mama, selalu m
Sekitar jam 6 sore barulah Amanda memutuskan untuk pulang setelah seharian sibuk dengan urusan Yayasan.Di tengah-tengah perjalanan dia mendapatkan pesan dari sang suami. 'Malam ini aku akan lembur, tidurlah lebih dulu tidak perlu menungguku,' tulis Evan.Amanda menatapi pesan itu sekilas, sebelum akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ke kantor sang suami.Dalam perjalanan, Amanda merenung. Ucapan Mama Geni pagi tadi memang tidak sepenuhnya salah. Harusnya sekarang Amanda mulai melanjutkan hidup, bukan hanya terus berkubang di kesedihan atas meninggalnya sang anak.Meski masih ada sedikit keraguan di hatinya, namun Amanda mulai memberanikan diri untuk kembali bermesraan dengan sang suami.Karena itulah dia memutuskan untuk mengunjungi perusahaan Evan. Berharap bisa menikmati waktu romantis berdua di sana. karena jika di rumah pasti suasana hati Amanda makin buruk saat bertemu dengan mama Geni.Sekitar jam 7 lewat beberapa menit barulah Amanda tiba di perusahaan sang suami.
"Nyonya," sapa sang supir saat melihat nyonya Amanda keluar seorang diri dari perusahaan tersebut.Tadi nyonya Amanda memang telah memerintahkannya untuk pergi lebih dulu, tapi dia memutuskan untuk menunggu setidaknya selama 1 jam, karena itulah dia masih tetap berada di sini. Mobil masih terparkir di depan lobby perusahaan."Berikan kunci mobilnya," pinta Amanda dengan suara yang terdengar gusar.Supir tersebut lantas merogoh kunci mobil di saku celananya dan langsung dia serahkan pada sang nyonya.Tanpa basa-basi Amanda segera merebut kunci mobil tersebut dan masuk ke dalam mobil, lalu segera mengemudikan mobil tersebut pergi dari sana.Sampai membuat sang supir mendadak was-was, sebab nyonya Amanda pergi dengan kecepatan yang langsung tinggi.Keluar dari area perusahaan Amanda tanpa sadar membuat kekacauan di jalan raya, karena masuk tak melihat situasi kendaraan yang tengah ramai.Suara klakson mobil seketika menggema dari berbagai sudut, namun Amanda seperti tuli. Dia tidak men
'Aska adalah anak mereka berdua.' Mendengar kalimat itu Amanda seketika tergugu, tangan kanannya gemetar saking terkejutnya. Dia pikir pengkhianatan ini baru terjadi selama 2 tahun terakhir, tapi ternyata sudah sejak 6 tahun lalu. Bahkan usia Aska sama dengan sang anak, yaitu 5 tahun. Tangannya terkepal, namun dia coba untuk mengendalikan emosi, tak ingin terlihat semakin hancur. Bodohnya dia tak pernah menyadari bahwa anak itupun darah daging sang suami. Tidak hanya satu, namun keluarga ini telah begitu banyak mengkhianati dirinya. Bukan hanya sang suami, namun mama mertua beserta adik iparnya pun terlibat dalam penghianatan tersebut. "Kita harus bicara, Amanda. Ayo pergi," ucap Evan, dia segera menarik sang istri untuk meninggalkan ruang tengah. Dalam keadaan seperti ini mereka hanya perlu bicara berdua. Evan tak ingin Amanda semakin berpikir terlalu jauh. Karena nyatanya ini semua tak seperti yang Amanda kira. Di dalam hidup Evan, Seria hanyalah untuk bersenang-senang semen
Saat Seria menemui Amanda, mama Geni mendatangi Evan diruang kerja. Dilihatnya sang anak yang termenung duduk di kursi kerja, dihadapan Evan memang ada sebuah dokumen tapi sorot mata anaknya tersebut nampakkosong.Mama Geni bisa memahami kenapa Evan begini, dia pasti bingung ingin mengambilkeputusan apa sekarang."Evan," panggil mama Geni seraya masuk semakin dalam ke ruangan ini."Ma," balas Evan seadanya."Lebih baik kamu segera menceraikan Amanda, dia pasti juga setuju denganperceraian ini," ucap mama Geni. "Sebelum berpisah minta dia untukmengembalikan seluruh saham yang pernah papa beri, termasuk mengundurkan diridari yayasan," timpal mama Geni pula.Memberi solusi yang tepat agar anaknya tak perlu bingung-bingung lagi. Bagimama Geni Amanda tidak berhak mendapatkan sedikitpun kekayaan keluarga Sanjaya,apalagi wanita itu tidak memiliki keturunan dari Evan.Harusnya Amanda tahu diri, sebelum berpisah dia memang harus menyerahkansemuanya kembali pada keluarga ini.Namun di
"Luna sudah menyampaikan semuanya padaku, bahwa kamu tidak ingin bercerai." Amanda tengah membaca sebuah dokumen penting perusahaan saat Evan tiba-tiba masuk ke kamar mereka. Wanita itu tidak kaget, sebab tindakan ini sudah sesuai prediksinya. Atau yang lebih parah, mungkin mama mertuanya akan menyusul ke sini--jika tidak dihadang Luna, juga bodyguardnya di depan sana. Mendengar kalimat itu Amanda segera menutup dokumen di tangannya, lalu menatap sang suami. Pria yang kini seperti tak merasa bersalah sedikitpun, padahal luka yang diberikan padanya adalah luka yang tak main-main. Dokumen yang berisi data donasi yayasan itu kemudian Amanda letakkan di atas meja. "Apa Mas ingin aku mengajukan perceraian?" tanya Amanda kemudian, sorot matanya lurus ke arah sang suami. Bisakah Evan melihat luka di dalam hatinya yang begitu menganga? "Tidak, aku hanya penasaran apa alasanmu bertahan?" Amanda menunduk kecil, menyembunyikan senyum kecewa. Dibanding memahami tentang luka hatinya, Evan ju
"Apa maksudnya Mbak Amanda bicara seperti itu? Apa Mbak Amanda setuju jika aku dan Aska tinggal di sini?" tanya Seria, bicara menggebu dengan perasaan sedikit bingung. "Ingat batasanmu Seria, kamu harus memanggil ku apa?" Hening sesaat, percikan perselisihan itu nampak jelas dari sorot mata Amanda dan juga Seria. Namun akhirnya Seria yang lemah. "Maaf Nyonya," jawab Seria. "Setelah ini aku ingin bicara pada semua orang, tapi tidak di hadapan Aska. Kecuali kalian ingin Aska mengetahui bahwa dia adalah anak Har_" "Amanda!" bentak mama Geni. "Ma, kecilkan suara Mama. Amanda sudah berbaik hati untuk memaafkan aku, tidak bisakah kita sarapan dengan tenang?" sahut Evan pula. "Menyingkir, kursi yang kamu duduki adalah kursiku," titah Amanda pada jalang suaminya tersebut. Seria tak berkutik, padahal posisi ini begitu sempurna untuknya. Di sisi kanan dia berdekatan dengan Evan, sementara di sisi kiri dia berdekatan dengan sang anak. "Pelayan, ganti kursi ini dengan yang lain," perintah
"Aska," panggil Amanda, hingga membuat anak berusia 5 tahun itu langsung menoleh ke arahnya. Setelah berkeliling rumah ini, Aska duduk di taman sendirian. Sementara para pelayan hanya mengawasi Aska dari jarak aman. "Tante Amanda," balas Aska, dia juga langsung bangkit dari duduknya dan berdiri untuk memberi hormat. Hati Amanda yang bergemuruh dengan amarah coba dia redam sampai padam, tak ingin menunjukkan semua benci yang dia rasa pada anak tak berdosa tersebut. Yang salah hanya Evan dan Seria, sementara Aska tidak. Setelah berada di hadapan anak ini, Amanda berjongkok untuk menyejajarkan tubuh mereka. "Maaf Tante, di mana Mama?" tanya Aska, suaranya terdengar gemetar. Amanda menyadari Aska merasa tak nyaman saat berada di dekatnya. "Mama Seria sudah pergi bekerja, mulai sekarang Aska akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tante." "Kenapa?" "Bukankah Aska tahu bahwa Aska akan tinggal di rumah ini?" tanya Amanda dan bocah itu mengangguk kecil. "Kata Mama mulai sekara