Evan sudah lebih dulu memutus sambungan telepon tersebut karena dia tak ingin kembali mendengar bantahan dari sang mama. Sejak beberapa waktu lalu dia memang sudah memutuskan untuk tidak mengikutsertakan sang mama dalam tiap keputusan yang akan dia ambil.Di masa lalu, Evan telah begitu patuh pada mama Geni. Semua hal yang diperintahkan oleh mamanya pasti dia teruti. Evan tak pernah berpikir panjang, asal sang mama yang memberinya perintah pasti akan dia lakukan.Tapi sekarang dia tidak ingin hidup seperti itu lagi, terlebih setelah menyadari bahwa semua hal yang dilakukan oleh Mama Geni selama ini adalah salah.Demi memperbaiki hidupnya yang sudah hancur, Evan akan memilih jalan yang baginya sendiri adalah yang terbaik.Hari ini Evan memutuskan untuk tetap datang ke perusahaan di tengah-tengah kondisi yang semakin memanas. Namun dia masih memilih untuk diam, tidak mengeluarkan satu katapun sebagai pembelaan."Tuan, beberapa klien membatalkan kerjasama karena skandal ini. Apa yang har
"Seria! Keluar kamu!" pekik mama Geni, dia juga langsung masuk semakin dalam ke rumah tersebut tanpa memerlukan izin. Sampai akhirnya mama Geni melihat Seria yang berdiri di ruang tengah rumah ini.Tatapan mereka saling terkunci, seperti tak ada yang ingin mengalah dalam perselisihan ini. Meski semuanya nampak kacau bagi Seria, namun dia tak ingin mengaku salah. Apalagi sampai menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.Tidak, Seria tidak akan pernah melakukan itu. Sebab baginya ini semua sudah benar.Saat itu bertepatan dengan mama Seria yang juga mendatangi ruang tengah kerena mendengar keributan."Dasar wanita tidak tahu diri! Berani-beraninya kamu mempermalukan Evan!" bentak mama Geni, suaranya yang menggelegar bergema di dalam rumah tersebut. Mama Geni maju dengan cepat dan menjambak rambut Seria."Hentikan Geni! jangan sakiti anakku!" ucap mama Seria, dia juga berusaha keras melepaskan perkelahian, menarik Geni agar melepaskan jambakannya sampai akhirnya Seria yang terlempar ke s
"Amanda," panggil Kaginda yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja.Luna yang awalnya tengah berbincang dengan atasannya itu pun sontak mundur, berniat keluar dan meninggalkan dua wanita ini."Ada apa? kenapa mendadak datang ke sini?" tanya Amanda pula, menatap bingung atas kedatangan sahabatnya tersebut. Biasanya mereka selalu membuat janji temu lebih dulu sebelum ada pertemuan. Tapi kini secara mendadak Kaginda muncul di hadapannya."Ada apa? katamu ada apa? Astaga," Kaginda sampai kehabisan kata-kata. "Aku bahkan sangat sulit untuk masuk ke sini tadi, di depan sana banyak wartawan yang mengerubungi Yayasan," jelas Kaginda kemudian, raut wajahnya nampak cemas.Menatap Amanda dengan begitu intens, menelisik kesedihan macam apa yang dirasakan oleh sang sahabat. Hancur yang mungkin sampai membuatnya sesak untuk bernafas.Sementara Luna telah benar-benar keluar dari ruangan ini, Kaginda berdiri di depan meja kerja Amanda. Dan malah melihat Amanda yang masih sibuk dengan semua pekerjaan
"Kamu serius akan datang?" tanya Kaginda setelah Amanda mengakhiri panggilan teleponnya dengan sang mertua."Hem, konferensi pers akan diadakan malam nanti. Sekarang aku masih bisa bekerja, jadi tidak menganggu waktuku," balas Amanda, lalu tersenyum seperti biasa.Kaginda seperti melihat jika sekarang Amanda memiliki dua kepribadian, satu Amanda yang dia kenal selama ini sementara satu sisi Amanda yang penuh dengan dendam."Aku akan mendampingi mu," ucap Kaginda lalu menghela nafasnya dengan kasar."Tidak apa-apa, datanglah saat pukul 7 malam di Sanjaya Group. Kita bertemu di sana," jawab Amanda dan Kaginda menganggukkan kepalanya setuju.Kaginda juga bangkit berdiri siap pergi dari sana, namun sebelum benar-benar pergi dia kembali menatap Amanda dengan intens. Memastikan sekali lagi benarkah Amanda baik-baik saja. Benarkah semua luka itu telah sembuh, karena pengkhianatan keluarganya tak main-main."Aku baik-baik saja, berhenti menatapku dengan tatapan mengasihani seperti itu," ucap
“Ah!”Suara desahan yang terdengar dari dalam kamar tidurnya membuat Amanda terperanjat. Di dalam sana, seharusnya hanya ada sang suami, sementara dia—Amanda, sedang menemani tamu undangan di acara pesta ulang tahunnya.Dengan jantung yang berpacu, Amanda mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam kamar. Tanpa sadar, pergerakannya menimbulkan suara yang cukup gaduh."Mas!" Pintu kamar Amanda buka dengan cukup kasar. Suasana kamar nampak temaram sebab lampu utama dimatikan. Dia tak bisa melihat dengan jelas seisi kamar ini.Amanda lantas masuk lebih dalam dan menyalakan lampu. "Apa yang sedang mas Evan lakukan?" tanya Amanda. Keningnya berkerut dalam ketika melihat sang suami terduduk di sofa sendiri dengan gestur gelisah.Tidak hanya itu, Amanda juga bisa melihat penampilan sang suami yang nampak berbeda, juga nafas yang terengah dan keringat di dahi. Seperti seseorang yang baru saja beraktivitas berat."Tidak ada, tadi aku tertidur dan cukup terkejut saat kamu memanggil," jawab E
"Seria akan menginap di sini. Mama yang memintanya."Pertanyaan itu tidak dijawab Seria, melainkan sang mertua yang terlihat begitu melindungi sekretaris suaminya. Lengkap dengan nada angkuh, juga lirikan sinis yang ditujukan untuk Amanda."Menginap di sini?” Amanda meninggikan satu alisnya. “Apa Aska tidak mencarimu?" tanya Amanda, menyinggung anak tunggal Seria. "Tidak, Aska bersama dengan neneknya," jawab Seria dengan nada lembut dan penuh percaya diri.Amanda menatap lekat gadis itu, seperti menemukan niat tersembunyi. Namun, belum sempat Amanda mengajukan rasa keberatannya, titah sang mertua lebih dulu terdengar."Bi, antar Seria menuju kamarnya."Kehadiran dan pendapat Amanda memang tak pernah dianggap di rumah ini. Bahkan Evan sebagai suami pun tidak memberikan reaksi apa pun dan justru langsung melenggang menuju lantai 2.Amanda menahan emosi. Evan mungkin memang suami yang sangat baik, sangat mencintai Amanda. Tapi Evan tak pernah bisa membantah keinginan sang mama, selalu m
Sekitar jam 6 sore barulah Amanda memutuskan untuk pulang setelah seharian sibuk dengan urusan Yayasan.Di tengah-tengah perjalanan dia mendapatkan pesan dari sang suami. 'Malam ini aku akan lembur, tidurlah lebih dulu tidak perlu menungguku,' tulis Evan.Amanda menatapi pesan itu sekilas, sebelum akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ke kantor sang suami.Dalam perjalanan, Amanda merenung. Ucapan Mama Geni pagi tadi memang tidak sepenuhnya salah. Harusnya sekarang Amanda mulai melanjutkan hidup, bukan hanya terus berkubang di kesedihan atas meninggalnya sang anak.Meski masih ada sedikit keraguan di hatinya, namun Amanda mulai memberanikan diri untuk kembali bermesraan dengan sang suami.Karena itulah dia memutuskan untuk mengunjungi perusahaan Evan. Berharap bisa menikmati waktu romantis berdua di sana. karena jika di rumah pasti suasana hati Amanda makin buruk saat bertemu dengan mama Geni.Sekitar jam 7 lewat beberapa menit barulah Amanda tiba di perusahaan sang suami.
"Nyonya," sapa sang supir saat melihat nyonya Amanda keluar seorang diri dari perusahaan tersebut.Tadi nyonya Amanda memang telah memerintahkannya untuk pergi lebih dulu, tapi dia memutuskan untuk menunggu setidaknya selama 1 jam, karena itulah dia masih tetap berada di sini. Mobil masih terparkir di depan lobby perusahaan."Berikan kunci mobilnya," pinta Amanda dengan suara yang terdengar gusar.Supir tersebut lantas merogoh kunci mobil di saku celananya dan langsung dia serahkan pada sang nyonya.Tanpa basa-basi Amanda segera merebut kunci mobil tersebut dan masuk ke dalam mobil, lalu segera mengemudikan mobil tersebut pergi dari sana.Sampai membuat sang supir mendadak was-was, sebab nyonya Amanda pergi dengan kecepatan yang langsung tinggi.Keluar dari area perusahaan Amanda tanpa sadar membuat kekacauan di jalan raya, karena masuk tak melihat situasi kendaraan yang tengah ramai.Suara klakson mobil seketika menggema dari berbagai sudut, namun Amanda seperti tuli. Dia tidak men