"Apa? Kenapa dadakan?!" Dahi Mario berkerut. Tas koper kecil Talita kini jadi perhatiannya. "Kamu ke Indonesia cuma bentaran doang, kan?" tebaknya. "Iya. Nggak mungkin juga aku ijin nggak kuliah sama kerja part time lama-lama." Talita menutup resleting tas tentengnya. Memakai cara klasik ala-ala anak remaja, baru bercerita atau ijin bila mendekati hari yang di tuju. Berharap orang yang di pamiti tidak punya pilihan mencegah, selain harus menuruti. "Ada urusan apa ke Indonesia?" Mario bersandar pada lemari pantry dengan kedua tangan bertaut, satu kaki maju sebagai penopang. "Pak Wira minta aku datang, karena ada dokumen yang harus aku tanda tangani." "Pak Wira?" tanya Mario, tapi kemudian di jawab sendiri setelah teringat. "Oh, yang orang dari Tanjung, corp. itu?" "Iya, dia. Aku harus pergi ke bandara. Kamu nggak perlu anter, aku naik yellow cabs aja." Talita telah siap dengan kepergiannya. Dua tas yang di bawa merupakan cerminan harap Talita berkunjung ke Indonesia dalam wa
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?
"Kamu memang cantik, tapi tidak akan pernah seperti Celine. Tidak pernah!" Netra Talita berkilat. Sentuhan tangan Reynald, suaminya, yang sudah terlepas dari dagunya adalah awal dari tekanan batinnya kali ini. Sudah berusaha keras memulas wajah dengan persiapan beberapa hari sebelumnya, masih saja tak menarik perhatian suaminya itu. Malam ini adalah pesta rutin tahunan perusahaan keluarga Christopher dalam rangka penghormatan kepada para kolega dan pemegang sahamnya. Setelah kematian Reymond Christoper setahun yang lalu, secara estafet tapuk pimpinan otomatis beralih pada Reynald, putra sulungnya."Aku sudah selesai. Tinggal memilih kalung mana yang cocok. Bantu aku ya. Tunggu sebentar." Talita berusaha kesampingkan harga dirinya yang sudah seperti tak bernilai lagi di hadapan Reynald dengan berbalik. Talita berniat mengambil 2 benda dari mutiara itu untuk di tunjukkan pada Reynald."Itu hanya hal kecil bagi wanita, tapi kenapa seperti sesuatu yang berat buatmu?" Tak habis pikirn
"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi." Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil den
"Cepet bersihin luka Celine! Bawa sial aja bisanya!" Talita mengangguk patuh atas perintah dari Veronica ini. "Baik, Ma." Talita segera berdiri meski sedikit susah payah. Rasa nyeri pada pinggang masih sering kali hilang timbul ketika melakukan perubahan gerakan mendadak seperti saat ini. Seorang pembantu rumah tangga masuk ke dalam ruang makan dengan tergopoh-gopoh bersama 2 lap basah dan kering. "Nyonya muda, biar saya yang bersihin," pintanya tapi di tanggapi Talita dengan gelengan kepala. "Nggak usah. Aku saja. Mama Vero pasti nggak akan ijinin kamu bantu kesalahanku. Ambilin pengki saja ya." Perintah Talita ini kemudian jadi gerak cepat pembantu rumah tangga bernama Sari ini ke area belakang rumah. Sedangkan Talita merunduk lagi untuk membersihkan punggung kaki Celine. "Maaf, Celine. Aku benar-benar nggak sengaja. Aww!" Berganti Talita menjerit tertahan karena tak melihat bagian yang di bersihkan, jadi sempat ada remahan pecahan menusuk dan hampir masuk ke dalam kulitnya. "A
Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada. "Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Tal
Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
"Benar itu nama ibu kandung saya, tapi sepertinya saya bukan orang yang Anda cari." Talita buru-buru mengajak Anna agar masuk ke dalam rumah. "Maaf saya tidak ada waktu. Kami harus ngerjain seuatu!" ucap Talita ketakutan, kemudian berjalan cepat sampai di balik pintu gerbang. "Saya sudah tahu banyak tentang Anda. Percayalah." "Ibu saya cuma orang biasa. Mungkin cuma kebetulan sama nama saja." Talita cepat-cepat menggembok pintu gerbang tersebut. "Pergilah, Pak. Saya bisa teriak minta tolong atau panggil polisi." "Akan saya jelaskan. Tolong beri saya waktu sebentar." Pria itu masih berusaha memaksa. "Maaf, Pak. Saya harus masuk." "Mbak Talita. Saya tahu perasaan Anda sekarang, tapi pastikan akan ada kiriman pembuktian dari saya nanti!" Talita mengajak asisten rumah tangganya segera masuk ke dalam dan kemudian menanyainya. "Apa saja yang sudah orang itu katakan sama kamu, Mbak?" "Orang itu datang dua hari yang lalu terus cari Mbak, tapi sebelum-sebelumnya saya sudah pernah
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?
"Apa? Kenapa dadakan?!" Dahi Mario berkerut. Tas koper kecil Talita kini jadi perhatiannya. "Kamu ke Indonesia cuma bentaran doang, kan?" tebaknya. "Iya. Nggak mungkin juga aku ijin nggak kuliah sama kerja part time lama-lama." Talita menutup resleting tas tentengnya. Memakai cara klasik ala-ala anak remaja, baru bercerita atau ijin bila mendekati hari yang di tuju. Berharap orang yang di pamiti tidak punya pilihan mencegah, selain harus menuruti. "Ada urusan apa ke Indonesia?" Mario bersandar pada lemari pantry dengan kedua tangan bertaut, satu kaki maju sebagai penopang. "Pak Wira minta aku datang, karena ada dokumen yang harus aku tanda tangani." "Pak Wira?" tanya Mario, tapi kemudian di jawab sendiri setelah teringat. "Oh, yang orang dari Tanjung, corp. itu?" "Iya, dia. Aku harus pergi ke bandara. Kamu nggak perlu anter, aku naik yellow cabs aja." Talita telah siap dengan kepergiannya. Dua tas yang di bawa merupakan cerminan harap Talita berkunjung ke Indonesia dalam wa
"Ada apa ini? Siapa dia, Talita?" Mario datang, berjalan cepat untuk memposisikan diri di antara Talita dan Robby. Bersiap pasang badan. Dari kejauhan sudah di lihatnya Talita tampak seperti sedang bersitegang dengan pria di hadapannya. Talita menuntut dirinya berpikir cepat, tapi setidaknya tidak sampai membuat gesekan dengan Mario. "Ehm, dia orang Indonesia. Kami nggak sengaja ketemu di perempatan situ. Hanya ngobrol, iya kan Pak Robby?" Mata Talita membulat penuh makna. Berharap Robby mengerti maksud drama yang sedang dia narasikan secara tersirat. "Iya. Saya Robby." Pria berpostur tinggi, tapi buncit pada perutnya menunjukkan sisa seorang pegawai keamanan, namun telah berstatus bapak-bapak. "Nggak sengaja ketemu Mbak Talita," penjelasan singkat Robby di sertai jabatan tangan berkenalan. "Oh, kamu kerja di New York?" "Iya, pastinya." "Dimana?" "Konsultan bisnis di salah satu gedung itu." "Oh, sudah lama?" Talita bergantian memperhatikan Robby dan Mario, ada sediki
Seharusnya jawabannya mudah. 'Iya, san aku juga mencintaimu.' Tapi tidak semudah itu buat Talita. Senyuman penuh harap pengertian dari Mario dia berikan. "Sabar. Kita bukan Reynald atau Celine. Aku ingin hubungan kita bisa terlepas dari bayang-bayang mereka dulu. Kamu tahu maksudku, kan?" "Maksudmu, kamu mau sudah benar-benar pegang status bercerai dari Reynald?" "Iya," sahut Talita membenarkan. "Tapi jangan kamu kira aku masih terbayang-bayang Celine. Nggak banget itu." "Kamu tahu kabar Celine sekarang? Apa dia masih aktif sosial media? Tahu sendiri, kan sekarang lagi hamil, apa dia berani tampil jualan produk kecantikan sama nge-vlog dalam kondisi begitu?" Mario kerutkan bibir, berpikir sebentar. "Hm, sepertinya sudah 2 bulanan ini dia nggak aktif. Isi sosmed dia cuma berisi iklan dan ada foto-foto terbaru, tapi cuma bagian wajah doang. Selebihnya, nggak ada live lagi." "Tuh, kan. Kamu aja kesannya masih kebayang-bayang mantan. Buktinya, tahu aja update-an sosmednya
Hari selanjutnya setelah jam pulang bekerja. Talita sudah berdiri menunggu Mario menjemput di depan cafe. Belum ada tanda-tanda keberadaan pria manis yang kini menjadi kekasihnya itu, sehingga Talita putuskan mengambil ponsel sebagai pengisi waktu. Terinspirasi gaya fashion kota modern New York, Talita sengaja tampil berbeda malam minggu ini. Atasan lengan panjang bergaya crop top, di padu rok jeans di atas lutut jadi pelengkap saat menata rambut panjangnya bergelombang besar di biarkan terurai. Talita sedang ingin mencari suasana baru dalam hidupnya. Sebuah notifikasi pesan mulai mengganggu Talita. Nama Wira tertera di sana. Penuh degupan kencang, Talita timang-timang ponsel. "Aku buka sekarang atau nanti ya?" gumaman bimbang Talita. Bisa saja dia hanya mengintip isi pesan dari pesan tersebut, dan membalasnya nanti-nanti. Selain itu ada pikiran untuk segera membuka dan membalasnya sebagai pencitraan baik. "Aku gugup kalau ketemu Pak Wira." Sisi rapuh Talita, tapi Tuhan selalu
Talita tarik tangan secara kasar dari genggaman Reynald. "Aku ... masih belum berani," ucap Talita baru satu anak tangga. "Aku masih dalam masa recovery." Keadaan medis jadi harapan Talita agar tidak berduaan saja dengan Reynald. "Masih suka sakit?" Dua kaki Reynald satu di bawah dan satu di anak tangga atasnya. Sempatkan berhenti untuk penuhi rasa ingin tahu. "Sudah tidak terlalu. Cuma kemarin malam sudah minum obat pereda nyeri, jadi aku nggak mau nanti terlalu tergantung sama pain killer kalau sakitnya kumat lagi." "Masih rutin kontrol, kan?" selidik Reynald. Talita gelengkan kepala. "Nggak lagi. Masih bisa aku atasi sendiri, karena itu harus hemat-hemat obat." "Kartu hitam itu, milik siapa?" "Kartu hitam? Yang mana?" Talita kerutkan dahi. "Aku pernah lihat kamu jatuhkan kartu hitam Kamu buat transaksi waktu kita ketemu di rumah sakit." "Oh itu ..." Talita hampir saja lupa dengan benda yang sudah di masukkan ke dalam kotak penyimpanan, dan tak pernah dia gunaka
"Itu hakmu." Setelah berikan jawaban, Reynald kembali berjalan. Langkahnya cepat lagi, tapi beberapa langkah berbalik. "Putar balik sana. Aku antar kamu pulang," perintahnya dingin. Keduanya berdiri berhadapan dalam kebekuan. Berikan waktu buat sepasang kekasih yang lewat. Dua sejoli warga New york itu awalnya bergandengan tangan, lalu berpelukan dan kemudian berciuman. Suasana canggung terjadi saat sang pria menyinggung lengan Reynald seraya berujar godaan. "Cium dia juga, Dude. Bawa pulang ke tempat tidurmu, jangan di tengah jalan begini." Reynald salah tingkah, jadi hanya senyum tipis buat jawaban. Setelah sejoli itu berlalu, ia angkat dagu tertuju pada Talita. "Keburu malam. Sudah berani kabur ke New York, masa pulang kerja malam dikit gitu malah takut," sindirnya. "Ngeselin!" Kedua pipi Talita menggelembung. Sepanjang langkah terus picingkan mata. Hatinya berat penuh kedongkolan. Memang sih, baru-baru ini bisa ekspresikan diri di hadapan Reynald, tapi kesannya kok b
"Maaf." "Apa?!" tanggap Sophie. Tubuhnya bergeser, mengintip ke tulisan dari secarik kertas dalam genggaman Talita. "Itu artinya apa?" Rasa ingin tahu Sophie. Bagaimana bisa satu kata, tapi bisa membuat Talita termenung lumayan lama. "Sorry. Itu artinya." "Oh, My God!" Sophie takjub. Selagi belum ada pengunjung baru masuk, Sophie bergeser menempel ke Talita. "Manis sekali. Dia juga sepertinya seorang gentleman. Apa hubungan kalian sangat spesial dulunya?" koreknya. Awalnya Talita ragu. Selama ini, yang jadi tumpuan curahan hati adalah Mario. Sejak tinggal di New York dan jauh dari Vani, memang berat buat Talita untuk menyimpan setiap kegalauan seorang diri. Tapi kini, ia berharap Sophie bisa jadi penggantinya. "Dia suamiku ... Sampai sekarang masih suamiku." "What!!" Sophie tutup bibirnya yang ternganga. "Karena itu kamu pernah bilang hubungan kalian berdua rumit?" Sorot simpati Sophie layangkan. "Iya," anggukan Talita. "Dan pria pengantar kamu tadi pagi? Siapa dia?"
Kau menjauh saat ku butuh. Kini, kamu mendekat saat pilar cintaku runtuh. Talita balik pergelangan kirinya. Jam bergelang silver menunjukkannya pada waktu. "Ini belum juga jam 5, kamu kok sudah datang ke sini?" Terlihat jelas, Talita sedang tidak bersahabat. "Aku sudah lapar," jawaban santai Reynald. "Apa yang harus aku makan kalau jam segini?" Di hadapannya telah tersuguh buku daftar menu, tapi Reynald tak sekalipun menyentuh, alih-alih membukanya. Talita berkacak pinggang. Wajahnya tertekuk, biburnya berkerut. "Kemarin malam-malam kesini, sekarang bahkan belum waktu lazimnya makan malam. Apa tunanganmu itu nggak kasih kamu makan? Atau restoran hotel kalian masih tutup? Urusan bisnis kita sudah selesai, kenapa kamu nggak juga balik ke Indonesia?" Bibir Reynald membuka, tubuhnya tergerak ke belakang seolah terkena imbas pusaran kemarahan Talita tepat di depan wajahnya ini. "Mbak. Aku pelanggan baru cafe ini. Masa cuma pesen makanan aja, pake di kasih bonus bentak-bentak