Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada.
"Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Talita. "Kita lanjutkan lagi besok," permintaan dingin Reynald dan di ikuti anggukan patuh istrinya tersebut. Talita berjalan kembali ke kamarnya masih dalam kepala tertunduk, menahan tangis lagi. "Tuhan. Aku tak sanggup lagi," curhatan perih Talita meringkuk dalam dekapan sendiri. "Kalau memang sudah nggak cinta lagi, kenapa kamu masih mau aku jadi istrimu, Rey!" pilunya Talita. Tak terhitung sudah air mata keluar, namun hanya satu kata Reynald yang terus teringat dalam pikirannya. Jawaban penolakannya untuk berpisah, membuat Talita dalam dilema hati. Tangisnya terjeda setelah menyadari ada panggilan dari ponselnya. "Iya, Van?" sahutan Talita ketika nomor sahabatnyalah jadi pengisi layar ponselnya. "Gue sudah di depan rumah lo. Cepet turun. Lo harus ikut gue. Ini penting!" "Penting apa maksud lo?" "Gue sudah baca semua chat curhatan lo, dan gue nggak mau kamu sedih terus. Ini ada acara penting buat lo." "Apa itu, Van?" "Ada hubungannya sama pernikahan lo, Ta." "Apa maksudmu?" "Sudah deh. Cepet dandan dan turun. Gue bisa jamuran nih nungguin lo disini!" Amarah Vani akhirnya luluhkan Talita. "Iya iya. Gue turun, tapi harus ijin Rey dulu ya." "Nggak usah ijin segala. Percaya deh. Sudah lebih dari 6 bulanan ini lo tersakiti terus, jadi lo berhak lakukan sedikit pemberontakan. Persetan label istri solehah. Lo juga perlu bahagia, girl!" Seperti biasa, Vani selalu berhasil meyakinkan Talita. Dalam hitungan tak sampai 5 menit, ia sudah berada di depan mobil pacar Vani bernama Dedi dan langsung masuk ke dalam dengan tergesa. "Emang lo mau ajak gue kemana?" tanya Talita seketika setelah menutup pintu mobil. "Ada orang yang pengen Dedi kenalin ke lo," jawab Vani setelah miringkan posisi duduknya menghadap ke belakang. "Siapa?" "Nanti juga tahu. Ini acara undangan dari teman Dedi satu gym, terus nggak sengaja kenal sama tuh orang." "Terus apa hubungannya sama masalah pernikahan gue?" Vani dan Dedi hanya saling bertatapan bersambut senyuman. Memberi jawaban mengambang sampai mereka tiba di sebuah club malam yang sudah di isi Clubbers beserta hiruk-pikuknya. "Asal kamu tahu, Ta. Dedi pernah lihat suami lo sama dedemit sok cantik itu di sini berduaan sampai malam. Waktu lo cerita Reynald lagi ke luar kota itu." Vani mengawali penjelasan seraya menggandeng erat lengan Talita. "Apa mereka lanjut menginap di hotel atau semacamnya, gitu?" Wajah Talita mulai pucat pasi dengan dugaan terburuknya ini. "Kalau itu biar Dedi yang cerita. Dia sampe bela-belain buntutin. Kamu memang benar. Selama ini sepertinya Reynald bohong kalau selama dia tidak menyentuhmu itu sebenarnya sudah tidur sama Celine, mantan laknatnya itu." Talita secara tak sadar menerima begitu saja tiap gelas berisi minuman yang sebenarnya berasa tak familiar di lidahnya, tapi entah kenapa sedikit membuatnya lebih baik ketika badannya terasa lebih ringan, pikirannya melayang tanpa beban, hingga akhirnya perlahan-lahan kedua matanya terpejam seiring hilangnya segala pembuat berat kesadaran otaknya ini. *** Setelah beberapa saat. "Talita Aryadna Dharmawan!" Panggilan menghentak ini sontak membuat Talita memaksakan diri membuka kedua matanya. Bukan hanya kini kepalanya terasa sangat berat, tapi suara yang memanggilnya itu sangatlah dia kenal. "Lihatlah dirimu. Semurah inikah dirimu sebenarnya?" Bukan suatu pertanyaan tapi lebih pada hinaan dari seorang Reynald. Talita terbelalak kaget sekaligus bingung ketika baru menyadari tatapan jijik Reynald padanya itu karena tubuhnya tengah polos dan hanya terbungkus selimut putih dari kasur dalam sebuah ruangan tidur hotel. "Aku tunggu di rumah dan kita bicara soal kesepakatan itu. Aku kira sudah yakin dengan keputusanku!" "Rey, tunggu!" hibah Talita sembari berusaha memakai pakaiannya dengan cepat. "Kamu nggak bisa ambil keputusan sepihak. Aku juga punyak hak atas kesepakatan itu dan kita bisa segera bercerai!" Baru saja akan meraih bagian celana panjangnya, ujung sepatu jadi penahan sehingga Talita terpaksa mendongak. "Jangan temui kakakku lagi!" ucap Vanessa lebih pada sebuah ancaman. "Kalau kamu masih keras kepala kembali ke rumah, akan aku sebar fotomu ini ke semua medsosku biar kamu malu!" Vanessa menunjukkan layar ponselnya yang berisi deretan foto Talita bersama seorang pria. "Aku nggak kenal cowok itu dan nggak lakuin semua itu. Aku berani bersumpah!" "Dasar nggak tahu malu. Sudah jelas-jelas begini masih berani bersumpah. Untung saja Kak Rey sama Kak Celine nggak sama orang-orang kayak kalian berdua. Cih, jijik bener aku lihatnya!" Vanessa menarik kakinya dari atas celana Talita lalu beranjak pergi. Baru setelah pintu tertutup itulah, seorang pria yang sama dengan foto dalam ponsel Vanessa tengah berdiri dengan raut serius menyapa. "Hai, Talita." "Siapa kamu?! Kenapa kamu bisa kesini? Dan kita ... Apa kita berdua ... Semalam apa kita berdua ..." Talita sampai tak sanggup teruskan ucapannya. "Tenang ... Take it easy, girl. Ini." Pria muda nan tampan itu kemudian mengambil sisa pakaian Talita, lalu memberikannya. "Namaku Mario. Ceritanya panjang, tapi untuk sementara aku akan keluar sampai kamu selesai berpakaian. Oke." Setelah berpakaian lengkap, Talita segera membuka pintu untuk memberi ruang bagi Mario masuk ke dalam. "Cepat jelaskan padaku ada apa sebenarnya? Karena aku harus temui suamiku. Siapa sebenarnya kamu? Apa yang sudah kita lakukan semalam? Bagaimana dengan Vani, temanku? Apa dia juga ada di balik semua kejadian ini? Cepat katakan!" Emosi Talita memuncak, ketika pikirannya ini sudah kacau-balau tak bisa berpikir jernih lagi. "Sebelumnya maafkan aku. Keberadaanku di sini adalah skenario untuk membantumu, sekaligus menjadikan kita berdua sebagai partner." "Apa maksudmu? Aku nggak ngerti. Mending sekarang aku pulang dan bicara dengan suamiku, karena aku cuma percaya sama dia!" "Talita!" Mario meraih tangan Talita, lalu memegang kedua lengannya dengan kuat. "Lepasin! Aku sudah bilang nggak akan mau percaya sama kamu. Aku akan laporkan kalau kamu jahat, karena aku benar-benar nggak merasa semalam bercinta sama kamu atau siapapun. Ingat ya. Aku punya suami, jadi aku tahu bedanya. Ini cuma jebakan jadul. Bikin muak!" "Bukan aku yang jahat, tapi suamimulah yang kejam. Suamimu jugalah orang di belakang semua ini!" "Apa?!!"Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
"Benar itu nama ibu kandung saya, tapi sepertinya saya bukan orang yang Anda cari." Talita buru-buru mengajak Anna agar masuk ke dalam rumah. "Maaf saya tidak ada waktu. Kami harus ngerjain seuatu!" ucap Talita ketakutan, kemudian berjalan cepat sampai di balik pintu gerbang. "Saya sudah tahu banyak tentang Anda. Percayalah." "Ibu saya cuma orang biasa. Mungkin cuma kebetulan sama nama saja." Talita cepat-cepat menggembok pintu gerbang tersebut. "Pergilah, Pak. Saya bisa teriak minta tolong atau panggil polisi." "Akan saya jelaskan. Tolong beri saya waktu sebentar." Pria itu masih berusaha memaksa. "Maaf, Pak. Saya harus masuk." "Mbak Talita. Saya tahu perasaan Anda sekarang, tapi pastikan akan ada kiriman pembuktian dari saya nanti!" Talita mengajak asisten rumah tangganya segera masuk ke dalam dan kemudian menanyainya. "Apa saja yang sudah orang itu katakan sama kamu, Mbak?" "Orang itu datang dua hari yang lalu terus cari Mbak, tapi sebelum-sebelumnya saya sudah pernah
Setelah beberapa hari berselang, Talita mulai membuka diri dengan menerima permintaan pertemuan dengan Mario. "Tersenyumlah Talita." Kalimat pertama yang Mario ucapkan pada tamu di hadapannya ini. Talita memang berikan senyuaman, tapi jelas terlihat kikuk. Tundukan malu-malunya ini akibat baru menyadari kalau Mario adalah pria yang sangat tampan. Tatapan lembut Mario cepat membuat lawan bicara merasa nyaman. "Nah gitu dong. Lampu aja kalah terang kalau kamunya lagi senyum begini." Wanita mana yang tak akan berbunga-bunga bila ucapan seperti ini meluncur dari pria yang selalu memperlakukan dirinya layaknya penjaga bagi mutiara dalam tempurung rapuh. "Terima kasih. Kamu selalu buat aku senang." "Masa? Tapi kok aku lihat kamunya masih suka murung, terus termenung kayak pikirannya lagi bawa barbel 5 kilo?" Mario berusaha menciptakan suasana cair. Setelah bertemu Talita beberapa kali, Mario sudah dapat menyimpulkan seperti apakah sifat serta karakternya. Talita tertawa tertah
"Iya, bener itu." Jawaban Vani jelas buat Talita semakin berusaha tanamkan perasaan benci pada Reynald. "Reynald pernah hubungi Mario dan atur pertemuan hanya berdua. Kata Mario, memang nggak lama mereka ngobrolnya tapi pada intinya Reynald meminta Mario melepaskan Celine secara gentleman. Sudah kelihatan banget, kan kalau Celine jelas-jelas pilih Reynald. Sebagai laki-laki yang punya harga diri, Mario juga jelas memilih mundur. Sialan banget emang suamimu itu!" "Terus kok jadi bisa Mario kepikiran deketin aku? Katamu Dedi nggak sengaja kenal dia lewat temen gym-nya?" Vani terdengar menguap sebelum berikan jawaban. "Gue nggak tahu jelasnya. Itu obrolan para pria. Dedi juga nggak banyak kasih detil ceritanya, tapi intinya terus para cowok ini kepikiran rencana sekarang ini dari bahasan random mereka." Vani lantas terdengar kesal. "Udahan ah, Ta. Lagian semua sudah kejadian, jadi jangan bahas-bahas yang kemarin-kemarin. Yang lo harus pikirin itu sekarang sama masa depan. Mantan
"Hai." Sapaan dingin Talita, sedingin suasana ruangan kerja Reynald yang lantas berdiri menyambut wanita yang masih sah jadi istrinya ini. "Duduklah." "Apa ada yang harus aku lakukan? Katakan saja. Aku tahu waktumu tidak banyak," jawaban Talita searah dengan Reynald, tapi tatapannya tetap menurun. Talita juga mengkatup rapat bibirnya, sekuat tenaga menahan sendu. "Aku tidak mau bercerai," jawaban yang baru Reynald berikan setelah beberapa lama pernah Talita tanyakan. "Hanya demi perusahaan, kan?" Urat syaraf dahi Reynald menegang, dekapan dua tangan dan sandaran pada meja kerjanya jadi usaha Reynald meretas kekakuan. "Celine hamil. Aku berada di posisi sulit. Ada beberapa lelang proyek besar masuk, tapi yang paling aku inginkan dari keluarga Tanjung." "Keluarga Tanjung? Lalu? Apa hubungannya dengan status pernikahanmu?" Mendengar nama keluarga konglomerat ini, tanpa sadar Talita mengangkat dagu dan menatap serius pada Reynald. "Lelang proyek itu menyisakan dua nama per
Acara telah di mulai. Talita memilih berdiri di pojok ruangan aula seorang diri. Baru kali ini berada di tengah-tengah para kolega perusahaan yang Ayahnya ikut andil mendirikannya, meski hanya sebatas konsultannya saja. Tak terbesit niatan bertemu Reynald lagi, tapi tetap saja suaminya itu menghiasi tatapannya. Sebagai Presdir utama, Reynald adalah pemegang pusat perhatian. "Bu Talita, mau saya bawakan sesuatu lagi?" Alika datang menyodorkan minuman disertai senyuman. "Oh, Mbak Alika. Minuman saja nggak apa-apa," terima Talita membalas dengan sebuah sunggingan manis, trenyuh setiap kali Alika bersimpati padanya. "Setelah ini waktunya laporan tahunan bagi para pemegang saham, apa Anda tidak duduk saja di kursi yang sudah di sediain?" "Tidak. Aku disini saja. Prosentase sahamku cuma remahan cup cake hidangan penutup, Mbak, jadi cukup dengerin dari sini saja. Para tamu juga nggak perhatian. Mereka kan nggak pernah lihat aku jadi istrinya Reynald." "Anda tidak bisa seperti i
Reynald itu jahat ... Reynald tidak pernah mencintaimu! Stigma-stigma atau settingan negatif seseorang oleh Mario pada Reynald itu terus memenuhi pikiran Talita. Reputasi Reynald? Nama baik perusahaan? Selama ini tak ada nama Talita di libatkan di dalamnya. "Saya adalah istri dari Presdir Reynald Christopher. Disini ... Saya harapkan kerjasama dan dukungan dari anda sekalian ... Terima kasih." Walaupun dengan terbata-bata, tapi Talita merasa telah sukses laksanakan permintaan Mario, sekaligus awal keberanian baru menunjukkan jati dirinya. Talita memberi anggukan hormat pada Reynald dan Veronica sejenak, baru kemudian membuang muka dan menutuni tangga panggung menuju ke arah pintu samping aula. Talita segera mempercepat langkah, toilet wanita jadi tujuannya selanjutnya. Bukan untuk panggilan alam, atau bahkan memperbaiki penampilan, tapi Talita hanya ingin menangis. "Aku memang istrinya ... Aku nggak salah," gumam Talita menguatkan diri di depan kaca. Sesenggukannya co
"Come on, Talita." "Selama ini aku cuma anak rumahan. Kuliah ke luar kota aja nggak boleh sama mamaku. Jadi gimana ya? Aku merasa akan sulit adaptasi di sana," jawaban polos Talita. Memang pada akhirnya Talita menyanggupi ajakan Mario mendatangi kampus integrasi Indonesia-New York, tapi hanya sebatas menutupi perasaan sungkan pada Mario. Mario tersenyum, tapi karena tak berminat banyak berikan bujukan untuk Talita, Mario menarik tangan Talita dengan sedikit paksaan. "Ayolah, kita masuk dulu. Kamu dengarkan dulu penjelasan dari mereka, aku yakin pasti tergugah." Mario membukakan pintu ruangan, sehingga Talita bisa melihat tatapan semua orang yang menjadikan mereka berdua perhatian baru. Niatan Talita untuk mengajak Mario ke tempat lain guna membicarakan ucapan Celine soal kehamilannya yang bocor, jadi teralih dengan deretan tulisan berupa pernyataan selamat datang untuk pendaftar baru. "Mario. Apa ini? Ini seminar perkenalan saja, kan?" Kali ini senyum Mario lebih pada kemena
Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
Sorot tajam Reynald pada Talita yang berdiri. Sudah kuasa bagi Talita bila harus terus di suruh menunggu aksi dan respon Reynald setelah permintaan cerainya tidak juga di gubris. "Talita. Duduk lagi. Jangan membuat gaduh. Ini bukan waktu yang tepat!" pinta Reynald tenang. Walaupun sikapnya tetap dingin, tapi kekaleman nada suaranya ini keluar setelah menyadari akan kedatangan Wira lagi. Begitu juga Talita. Terpaksa mengalah dengan menghela napas terlebih dulu, baru kemudian menuruti untuk duduk lagi. Wira seperti sosok yang seringkali jadi pembatas mereka berdua untuk berargumen lebih jauh. "Ada apa?" Tak di sangka Talita dan Reynald, Wira mencurigai akan adanya situasi tertentu. "Apa anda mau ke toilet juga, Nyonya?" Seperti biasa, Wira akan lebih perhatian terlebih dulu pada Talita. "Oh, tidak apa-apa Pak Wira. Saya cuma ... merapikan baju," sahut Talita. Sempat kebingungan, tapi jadi terpikir soal penampilan meski gelagapan sedikit. "Anda masih terlihat cantik, jadi nggak
"Nyonya Talita!" Semua pasang mata sontak menjadikan wanita muda dengan senyum mengembang itu menyambut berdiri. "Akhirnya. Saya sudah khawatir dengan kondisi anda, Nyonya." Wira meninggalkan kursi di ruangan private untuk memberi pelukan pada Talita. "Terima kasih, Pak Wira. Maaf kalau sudah buat khawatir." Talita sambut rangkulan kilat sebagai ungkapan pikiran Wira tidak kalah hangatnya. "Oh ya, kenalkan ini teman saya." Talita bergeser untuk berikan ruang pada Mario. "Selamat datang di New York, senang bertemu denganmu, Pak. Saya Mario." Wira mundur selangkah, memperhatikan sekilas penampilan Mario dan Talita di hadapannya. "Kalian berdua orang-orang yang luar biasa!" pekiknya senang. Meskipun belum tahu situasi seperti apa antara keduanya, tapi apa yang di kenakan keduanya sungguh membuat Wira kagum. "Wow. Saya seperti baru mengenal anda, Nyonya." Wira buru-buru menarik kursi di sampingnya untuk Talita, sedangkan Mario sengaja mencari meja lain. Setiap gerakannya berup
"Meminta Celine ikut ke Amerika juga maksudmu?" Talita mengulang untuk memastikan. "Yes," sahutan santai Mario. Satu gulungan mi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. Talita menatap Mario untuk menilai ekspresi yang di tunjukkan. Meskipun terlihat dingin, tapi ada guratan lain di kedua matanya yang menunduk. Talita membava ada kekecewaan bertumpuk menjadi bola kebencian yang kapan saja bisa jadi bom waktu. "Kenapa? Kayaknya kamu sedih?" "Hah? Sedih?" Mario angkat wajah. Makanan yang semula ada di dalam mulutnya telah tertelan. "Nggak. Aku justru pengen Celine lihat bagaimana perubahan yang sedang kita usahakan." "Progessmu yang bagus, tapi aku belum." Berganti Talita menunduk, tersenyum geli merutuki diri. "Gimana-gimana, aku masih belum bisa di sepadankan dengan Celine, tahu!" ujarnya tegas. Tak mau terlalu ikut berandai bersama Mario. "Siapa bilang? Dengan kamu berani ambil sekolah bisnis di sini, sudah buktikan kalau ada kemajuan juga." Hampir saja Mario secara refle
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa jam kemudian, setelah berbicara dengan Celine secara diam-diam. "Oke. Baiklah. Terpaksa aku setujui," gumamnya seraya mengeluarkan lagi koper yang semula sempat dia kembalikan ke bagian paling bawah dalam lemari wardrobenya. Talita lalu melongok ke arah jendela. Memastikan kalau Celine sudah memulai awal rencananya. Talita tak menyangka akan menuruti wanita bermuka dua yang berniat mengusirnya, tapi justru itulah yang dia harapkan kini. Suara mesin mobil terdengar di bagian depan jendela kamarnya. Itu adalah pertanda kalau dia harus segera turun dari kamar. Talita hela napas dalam, baru kemudian keluar dengan tunjukkan ekspresi biasa saja. Setelah melewati lorong menuju ke tangga, apa yang sudah dia duga terjadi. Saling menatap dengan sang tuan muda pemilik rumah tak bisa terelakkan. Bukan seperti biasanya, Talita berikan senyuman tipis. Cara yang terpaksa di lakukan demi bisa mencapai jalan keluar, menjauhi suaminya sendiri. *** Di tempat lain, setelah beberapa
Malam harinya. Tempat melamun Talita berganti di tempat tidurnya. Memang Mario tidak mengungkapkan secara gamblang, bahkan setelahnya di selingi gelak tawa seolah sebuah candaan, tapi Talita tak mau memungkiri situasi sore itu. "Apa aku bisa mencintai pria lain selain Reynald?" Talita bertanya pada dirinya sendiri, tanpa bisa berikan jawaban. Suara air dari kamar mandi Reynald terdengar. Talita sengaja ciptakan suasana hening. Sayup-sayup Talita bisa pastikan ada suara wanita sedang berbicara dengan Reynald. Talita menoleh pada sisi dinding, dimana di perkirakan tempat kemungkinan Reynald dan Celine berada. Terdengar cekikikan manja wanita yang sedang mengandung anak dari suaminya itu. Hati Talita terkoyak, lalu putuskan segera berdiri menuju lemari pakaian. Satu koper berisi sebagian besar baju dan barang-barang masih tertata rapi di dalamnya kemudian di seret keluar. Talita melirik ke arah dinding perbatasan antara kamarnya dan Reynald, lalu teguhkan diri untuk segera per
"Pembawa sial?" lirih Talita tersedu di depan kaca wastafel. Kalau hinaan soal ketidakbecusannya dalam segala hal, masihlah bisa dia terima. Menjadi orang yang di buat seolah pembawa sial, tentu sangat menyakitkan hati. "Memang sepertinya aku pembawa kekacauan." Setelah kejadian seharian ini, Talita jadi minder dan tak punya keberanian kembali ke tempat acara. Walaupun menyadari akan membuat Wira dan juga istrinya, Lina kecewa, namun penambahan derita batin dari Reynald semakin tak bisa buatnya kuasa kembali. Melalui pintu belakang kantor, Talita benar-benar memutuskan untuk pergi. Bukannya meminta antar sopir seperti sewaktu datang, Talita ingin memesan taxi online saja seperti biasa. "Tolong agak di percepat, ya Pak." Permintaan Talita, kali ini tidak seperti biasanya. Tak pernah Talita ingin cepat pergi menjauh dari kantor yang di besarkan oleh ayahnya juga ini. Rasanya diri sudah terpental oleh hinaan suaminya sendiri. Pembawa sial. Sebutan yang terus memenuhi pikiran Ta