"Cepet bersihin luka Celine! Bawa sial aja bisanya!"
Talita mengangguk patuh atas perintah dari Veronica ini. "Baik, Ma." Talita segera berdiri meski sedikit susah payah. Rasa nyeri pada pinggang masih sering kali hilang timbul ketika melakukan perubahan gerakan mendadak seperti saat ini. Seorang pembantu rumah tangga masuk ke dalam ruang makan dengan tergopoh-gopoh bersama 2 lap basah dan kering. "Nyonya muda, biar saya yang bersihin," pintanya tapi di tanggapi Talita dengan gelengan kepala. "Nggak usah. Aku saja. Mama Vero pasti nggak akan ijinin kamu bantu kesalahanku. Ambilin pengki saja ya." Perintah Talita ini kemudian jadi gerak cepat pembantu rumah tangga bernama Sari ini ke area belakang rumah. Sedangkan Talita merunduk lagi untuk membersihkan punggung kaki Celine. "Maaf, Celine. Aku benar-benar nggak sengaja. Aww!" Berganti Talita menjerit tertahan karena tak melihat bagian yang di bersihkan, jadi sempat ada remahan pecahan menusuk dan hampir masuk ke dalam kulitnya. "Aduhh. Kok makin sakit? Rey tolong bawa aku ke dokter saja kalau begini. Kalau cuma bersihin gini doang aku juga bisa sendiri. Talita nggak mungkin bisa sembuhin," rengekan manja Celine kepada Reynald setelah tahu Talita juga terluka dan takut Reynald mengetahuinya. Reynald berjalan cepat mendekati, lalu membantu Celine berjalan. "Apa kira-kira ada luka dalam?" tanyanya penuh kekhawatiran. "Nggak tahu. Makanya bawa ke rumah sakit saja. Bisa gendong, nggak? Aku takut banget ada pecahan terus kalau buat jalan jadi semakin parah." Ketakutan Celine sambil jalan tertatih lewat bantuan rangkulan Reynald. "Iya, Rey. Gendong saja. Kasihan Celine. Tiap bagian tubuh dia itu berharga, jadi jangan sampai kenapa-kenapa. Lain sama dia." Veronica melirik ke arah Talita, lalu berjalan cepat mendekati Reynald agar segera membawa Celine keluar sebelum putranya tersebut melihat Talita yang sedang memegang salah satu jarinya yang berdarah. "Sekalian cek kehamilan. Semoga saja hasilnya memang positif. Mama nggak mau punya cucu dari dia, jadi Mama ikut dampingi Celine ," pinta Veronica berniat ikut serta, meski menahan sakit di bagian perutnya. Ruangan makan itu kemudian sepi, sehampa hati Talita yang hanya bisa melihat semua ini dari kejauhan tanpa bisa berbuat apa-apa. Perih dari goresan pencetus keluarnya cairan merah di jari telunjuknya sampai tidak di rasakan. "Nyonya muda. Ini lap keringnya buat bersihin luka anda, biar saya yang bersihin pecahan di bawah." Suara Sari memecah keheningan ruang makan. Talita yang baru menyadari kehadiran Sari, segera mengusap air matanya lalu meraih lap kering dari orang satu-satunya yang bisa dia jadikan teman bicara di rumah tersebut. "Makasih ya, Mbak." "Setelah di keringkan, basuh sama air kran bersih terus biar nanti saya ambilkan plester," sahut Sari lagi. Sejak kedatangan Talita di rumah ini, Sari sudah menaruh simpati pada Talita yang seringkali mendapatkan perlakuan berat sebelah di rumah. Talita tak begitu saja menuruti meski sudah tahu saran Sari yang harus dia lakukan. Ia pergi ke dalam kamarnya di lantai 2, menghambur ke tempat tidur lalu meluapkan segala sesak di dada ini dengan tangisan. Pemandangan Reynald menggendong Celine begitu menyayat hatinya, terlebih Celine tampak begitu manja dalam pelukan suaminya itu. Hal yang bahkan sudah tak bisa dia impikan lagi. Sudah beberapa bulan Reynald bersikap dingin padanya, terlebih dengan adanya kehadiran Celine kembali. Setelah beberapa saat, pintu kamarnya ini terdengar diketuk oleh Sari. "Nyonya muda. Anda baik-baik saja? Gimana lukanya? Ada yang bisa saya bantu?" rentetan pertanyaan Sari dengan nada belas kasih. "Tuan minta Anda ke bawah. Ini saya sudah bawain plester luka." Talita membalikkan tubuhnya dengan malas. Rasa kaku karena satu posisi memangkupkan wajah, harus Talita lawan setelah mendengar Reynald telah mencarinya. "Nyonya muda. Saya boleh masuk, kan?" pinta Sari masih setengah berteriak. "Iya masuklah," jawab Talita. "Maaf, Nyonya. Saya ada gosip dari dapur. Mbak Celine tadi sempat minta minuman hangat, karena tiba-tiba merasa mual. Apa benar dia hamil anak Pak Reynald? Terus Anda bagaimana, Nyonya?" Namun belum juga Talita berikan tanggapan, dibelakang Sari, Vanessa masuk lalu menutup pintu. Talita segera berdiri tak sempat menutupi keadaan kacau setelah menangis hebat sampai membuat bawah kedua matanya sembab. "Va Vanessa? Ada apa?" "Sebelum kamu turun, aku bilangin sesuatu dulu biar nggak kaget." Vanessa juga sengaja membiarkan Sari tetap berada di tempat biar sekalian saja dengar. "Pasti kamu sempet dengar kalau selama aku ke Aussie, Mama minta Celine yang jadi penjaga. Kak Rey tentu mau obrolin itu sama kamu, karena Mama nggak kuat naik ke atas sini jadi aku yang di kasih mandat kasih tahu permintaan Mama. "Apa itu?" Talita sampai tak begitu peduli akan rasa perih ketika Sari membersihkan lukanya kemudian baru menutupnya dengan plester. "Mama ingin Celine dan Kak Rey segera menikah sebelum anak dalam kandungannya itu lahir. Mama nggak mau acara resepsi nanti, perut Celine sudah kelihatan besar. Karena itu Kak Rey panggil kamu buat bicarain statusmu nanti. Paham!" "Apa yang kamu omongin ini benar?" polosnya Talita yang jadi semakin bingung. "Tentu saja aku nggak bohong. Nasibmu sekarang di tangan Kak Rey." "Maaf." Sari kembali datang masuk ke kamar Talita tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. "Tuan tanya soal Nyonya muda lagi. Di minta segera turun temui beliau." "Oke. Aku segera turun," sahut Talita sebelum kembali beralih pada Vanessa lagi. "Maaf Vanessa. Aku harus turun." "Eits, tunggu. Ada hal lain. Ini pesan Mama buatmu. Tolong pergi saja dari rumah ini, sekaligus kepemilikan saham di perusahaan. Mama akan beli semua, berapapun harganya asal kami nggak lihat wajahmu lagi." "Baiklah. Akan aku pertimbangkan." "Jangan bilang Kak Rey kalau kita lakukan negosiasi ini. Lakukan segala cara biar Kak Rey terbebas dari beban moralnya sama almarhum Papaku dan Ayahmu. Janji Talita?" Vanessa mencengkeram tangan Talita untuk berikan paksaan suatu kesepakatan. "Aku bicarakan dulu dengan Reynald. Aku tidak bisa begitu saja tinggalkan wasiat itu. Kamu tahu itu, Vanessa." Vanessa mengikuti dengan raut kesal. Misi yang di bebankan Veronica padanya agar bisa meyakinkan Talita pergi dari rumah ternyata tidak semudah mereka kira. Setelah berada di bawah menuju ke ruang keluarga, Vanessa memberikan isyarat berupa gelengan kepala pada Veronica dan membuatnya juga ikut kesal. "Talita. Kita bicara berdua di ruang kerjaku." Talita berikan anggukan. Celine sudah tidak berada di tengah-tengah mereka, jadi akan mempermudah pembicaraan intens mereka kali ini, pikirnya. Tapi baru saja akan melangkah, suara teriakan Vanessa jadi penjeda. Terlebih terlihat Veronica memegangi dada dengan raut seolah susah bernapas menuju kolaps.Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada. "Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Tal
Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
"Kamu memang cantik, tapi tidak akan pernah seperti Celine. Tidak pernah!" Netra Talita berkilat. Sentuhan tangan Reynald, suaminya, yang sudah terlepas dari dagunya adalah awal dari tekanan batinnya kali ini. Sudah berusaha keras memulas wajah dengan persiapan beberapa hari sebelumnya, masih saja tak menarik perhatian suaminya itu. Malam ini adalah pesta rutin tahunan perusahaan keluarga Christopher dalam rangka penghormatan kepada para kolega dan pemegang sahamnya. Setelah kematian Reymond Christoper setahun yang lalu, secara estafet tapuk pimpinan otomatis beralih pada Reynald, putra sulungnya."Aku sudah selesai. Tinggal memilih kalung mana yang cocok. Bantu aku ya. Tunggu sebentar." Talita berusaha kesampingkan harga dirinya yang sudah seperti tak bernilai lagi di hadapan Reynald dengan berbalik. Talita berniat mengambil 2 benda dari mutiara itu untuk di tunjukkan pada Reynald."Itu hanya hal kecil bagi wanita, tapi kenapa seperti sesuatu yang berat buatmu?" Tak habis pikirn
"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi." Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil den
Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada. "Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Tal
"Cepet bersihin luka Celine! Bawa sial aja bisanya!" Talita mengangguk patuh atas perintah dari Veronica ini. "Baik, Ma." Talita segera berdiri meski sedikit susah payah. Rasa nyeri pada pinggang masih sering kali hilang timbul ketika melakukan perubahan gerakan mendadak seperti saat ini. Seorang pembantu rumah tangga masuk ke dalam ruang makan dengan tergopoh-gopoh bersama 2 lap basah dan kering. "Nyonya muda, biar saya yang bersihin," pintanya tapi di tanggapi Talita dengan gelengan kepala. "Nggak usah. Aku saja. Mama Vero pasti nggak akan ijinin kamu bantu kesalahanku. Ambilin pengki saja ya." Perintah Talita ini kemudian jadi gerak cepat pembantu rumah tangga bernama Sari ini ke area belakang rumah. Sedangkan Talita merunduk lagi untuk membersihkan punggung kaki Celine. "Maaf, Celine. Aku benar-benar nggak sengaja. Aww!" Berganti Talita menjerit tertahan karena tak melihat bagian yang di bersihkan, jadi sempat ada remahan pecahan menusuk dan hampir masuk ke dalam kulitnya. "A
"Sebaiknya kamu periksakan kesehatan mentalmu juga. Sepertinya kamu mulai berhalusinasi." Mulut Talita ternganga. Tak menyangka akan tanggapn Reynald, tapi tak sanggup membantah. Ada beban moral yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak akan bisa serta-merta dia kesampingkan begitu saja. "Aku baik-baik saja. Baiklah kita pulang sekarang." "Aku harus antar Celine ke apartemennya. Dia mengeluh mual, tapi nggak mau periksa ke dokter. Aku tahu Celine nggak mau bebani aku karena keadaanmu, jadi tolong kerjasamanya." Dengan mudahnya Reynald berkata demikian, sedangkan isi pikiran Talita semakin kalut. "Apa ... Apa Celine ... Hamil?" terlontar begitu saja pertanyaan ini dari bibir Talita. "Kalau memang seperti itu, kamu sudah tahu kan siapa yang lebih aku khawatirkan sekarang," jawaban enteng Reynald. "Cepatlah. Mama sama Clarissa sudah menunggu. Mereka tidak akan menyukai itu." Belum juga sanggup mencerna sepenuhnya pernyataan Reynald, kini di tambah bayangan akan satu mobil den
"Kamu memang cantik, tapi tidak akan pernah seperti Celine. Tidak pernah!" Netra Talita berkilat. Sentuhan tangan Reynald, suaminya, yang sudah terlepas dari dagunya adalah awal dari tekanan batinnya kali ini. Sudah berusaha keras memulas wajah dengan persiapan beberapa hari sebelumnya, masih saja tak menarik perhatian suaminya itu. Malam ini adalah pesta rutin tahunan perusahaan keluarga Christopher dalam rangka penghormatan kepada para kolega dan pemegang sahamnya. Setelah kematian Reymond Christoper setahun yang lalu, secara estafet tapuk pimpinan otomatis beralih pada Reynald, putra sulungnya."Aku sudah selesai. Tinggal memilih kalung mana yang cocok. Bantu aku ya. Tunggu sebentar." Talita berusaha kesampingkan harga dirinya yang sudah seperti tak bernilai lagi di hadapan Reynald dengan berbalik. Talita berniat mengambil 2 benda dari mutiara itu untuk di tunjukkan pada Reynald."Itu hanya hal kecil bagi wanita, tapi kenapa seperti sesuatu yang berat buatmu?" Tak habis pikirn