"Cepet bersihin luka Celine! Bawa sial aja bisanya!"
Talita mengangguk patuh atas perintah dari Veronica ini. "Baik, Ma." Talita segera berdiri meski sedikit susah payah. Rasa nyeri pada pinggang masih sering kali hilang timbul ketika melakukan perubahan gerakan mendadak seperti saat ini. Seorang pembantu rumah tangga masuk ke dalam ruang makan dengan tergopoh-gopoh bersama 2 lap basah dan kering. "Nyonya muda, biar saya yang bersihin," pintanya tapi di tanggapi Talita dengan gelengan kepala. "Nggak usah. Aku saja. Mama Vero pasti nggak akan ijinin kamu bantu kesalahanku. Ambilin pengki saja ya." Perintah Talita ini kemudian jadi gerak cepat pembantu rumah tangga bernama Sari ini ke area belakang rumah. Sedangkan Talita merunduk lagi untuk membersihkan punggung kaki Celine. "Maaf, Celine. Aku benar-benar nggak sengaja. Aww!" Berganti Talita menjerit tertahan karena tak melihat bagian yang di bersihkan, jadi sempat ada remahan pecahan menusuk dan hampir masuk ke dalam kulitnya. "Aduhh. Kok makin sakit? Rey tolong bawa aku ke dokter saja kalau begini. Kalau cuma bersihin gini doang aku juga bisa sendiri. Talita nggak mungkin bisa sembuhin," rengekan manja Celine kepada Reynald setelah tahu Talita juga terluka dan takut Reynald mengetahuinya. Reynald berjalan cepat mendekati, lalu membantu Celine berjalan. "Apa kira-kira ada luka dalam?" tanyanya penuh kekhawatiran. "Nggak tahu. Makanya bawa ke rumah sakit saja. Bisa gendong, nggak? Aku takut banget ada pecahan terus kalau buat jalan jadi semakin parah." Ketakutan Celine sambil jalan tertatih lewat bantuan rangkulan Reynald. "Iya, Rey. Gendong saja. Kasihan Celine. Tiap bagian tubuh dia itu berharga, jadi jangan sampai kenapa-kenapa. Lain sama dia." Veronica melirik ke arah Talita, lalu berjalan cepat mendekati Reynald agar segera membawa Celine keluar sebelum putranya tersebut melihat Talita yang sedang memegang salah satu jarinya yang berdarah. "Sekalian cek kehamilan. Semoga saja hasilnya memang positif. Mama nggak mau punya cucu dari dia, jadi Mama ikut dampingi Celine ," pinta Veronica berniat ikut serta, meski menahan sakit di bagian perutnya. Ruangan makan itu kemudian sepi, sehampa hati Talita yang hanya bisa melihat semua ini dari kejauhan tanpa bisa berbuat apa-apa. Perih dari goresan pencetus keluarnya cairan merah di jari telunjuknya sampai tidak di rasakan. "Nyonya muda. Ini lap keringnya buat bersihin luka anda, biar saya yang bersihin pecahan di bawah." Suara Sari memecah keheningan ruang makan. Talita yang baru menyadari kehadiran Sari, segera mengusap air matanya lalu meraih lap kering dari orang satu-satunya yang bisa dia jadikan teman bicara di rumah tersebut. "Makasih ya, Mbak." "Setelah di keringkan, basuh sama air kran bersih terus biar nanti saya ambilkan plester," sahut Sari lagi. Sejak kedatangan Talita di rumah ini, Sari sudah menaruh simpati pada Talita yang seringkali mendapatkan perlakuan berat sebelah di rumah. Talita tak begitu saja menuruti meski sudah tahu saran Sari yang harus dia lakukan. Ia pergi ke dalam kamarnya di lantai 2, menghambur ke tempat tidur lalu meluapkan segala sesak di dada ini dengan tangisan. Pemandangan Reynald menggendong Celine begitu menyayat hatinya, terlebih Celine tampak begitu manja dalam pelukan suaminya itu. Hal yang bahkan sudah tak bisa dia impikan lagi. Sudah beberapa bulan Reynald bersikap dingin padanya, terlebih dengan adanya kehadiran Celine kembali. Setelah beberapa saat, pintu kamarnya ini terdengar diketuk oleh Sari. "Nyonya muda. Anda baik-baik saja? Gimana lukanya? Ada yang bisa saya bantu?" rentetan pertanyaan Sari dengan nada belas kasih. "Tuan minta Anda ke bawah. Ini saya sudah bawain plester luka." Talita membalikkan tubuhnya dengan malas. Rasa kaku karena satu posisi memangkupkan wajah, harus Talita lawan setelah mendengar Reynald telah mencarinya. "Nyonya muda. Saya boleh masuk, kan?" pinta Sari masih setengah berteriak. "Iya masuklah," jawab Talita. "Maaf, Nyonya. Saya ada gosip dari dapur. Mbak Celine tadi sempat minta minuman hangat, karena tiba-tiba merasa mual. Apa benar dia hamil anak Pak Reynald? Terus Anda bagaimana, Nyonya?" Namun belum juga Talita berikan tanggapan, dibelakang Sari, Vanessa masuk lalu menutup pintu. Talita segera berdiri tak sempat menutupi keadaan kacau setelah menangis hebat sampai membuat bawah kedua matanya sembab. "Va Vanessa? Ada apa?" "Sebelum kamu turun, aku bilangin sesuatu dulu biar nggak kaget." Vanessa juga sengaja membiarkan Sari tetap berada di tempat biar sekalian saja dengar. "Pasti kamu sempet dengar kalau selama aku ke Aussie, Mama minta Celine yang jadi penjaga. Kak Rey tentu mau obrolin itu sama kamu, karena Mama nggak kuat naik ke atas sini jadi aku yang di kasih mandat kasih tahu permintaan Mama. "Apa itu?" Talita sampai tak begitu peduli akan rasa perih ketika Sari membersihkan lukanya kemudian baru menutupnya dengan plester. "Mama ingin Celine dan Kak Rey segera menikah sebelum anak dalam kandungannya itu lahir. Mama nggak mau acara resepsi nanti, perut Celine sudah kelihatan besar. Karena itu Kak Rey panggil kamu buat bicarain statusmu nanti. Paham!" "Apa yang kamu omongin ini benar?" polosnya Talita yang jadi semakin bingung. "Tentu saja aku nggak bohong. Nasibmu sekarang di tangan Kak Rey." "Maaf." Sari kembali datang masuk ke kamar Talita tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. "Tuan tanya soal Nyonya muda lagi. Di minta segera turun temui beliau." "Oke. Aku segera turun," sahut Talita sebelum kembali beralih pada Vanessa lagi. "Maaf Vanessa. Aku harus turun." "Eits, tunggu. Ada hal lain. Ini pesan Mama buatmu. Tolong pergi saja dari rumah ini, sekaligus kepemilikan saham di perusahaan. Mama akan beli semua, berapapun harganya asal kami nggak lihat wajahmu lagi." "Baiklah. Akan aku pertimbangkan." "Jangan bilang Kak Rey kalau kita lakukan negosiasi ini. Lakukan segala cara biar Kak Rey terbebas dari beban moralnya sama almarhum Papaku dan Ayahmu. Janji Talita?" Vanessa mencengkeram tangan Talita untuk berikan paksaan suatu kesepakatan. "Aku bicarakan dulu dengan Reynald. Aku tidak bisa begitu saja tinggalkan wasiat itu. Kamu tahu itu, Vanessa." Vanessa mengikuti dengan raut kesal. Misi yang di bebankan Veronica padanya agar bisa meyakinkan Talita pergi dari rumah ternyata tidak semudah mereka kira. Setelah berada di bawah menuju ke ruang keluarga, Vanessa memberikan isyarat berupa gelengan kepala pada Veronica dan membuatnya juga ikut kesal. "Talita. Kita bicara berdua di ruang kerjaku." Talita berikan anggukan. Celine sudah tidak berada di tengah-tengah mereka, jadi akan mempermudah pembicaraan intens mereka kali ini, pikirnya. Tapi baru saja akan melangkah, suara teriakan Vanessa jadi penjeda. Terlebih terlihat Veronica memegangi dada dengan raut seolah susah bernapas menuju kolaps.Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada. "Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Tal
Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini. "Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exac
"Benar itu nama ibu kandung saya, tapi sepertinya saya bukan orang yang Anda cari." Talita buru-buru mengajak Anna agar masuk ke dalam rumah. "Maaf saya tidak ada waktu. Kami harus ngerjain seuatu!" ucap Talita ketakutan, kemudian berjalan cepat sampai di balik pintu gerbang. "Saya sudah tahu banyak tentang Anda. Percayalah." "Ibu saya cuma orang biasa. Mungkin cuma kebetulan sama nama saja." Talita cepat-cepat menggembok pintu gerbang tersebut. "Pergilah, Pak. Saya bisa teriak minta tolong atau panggil polisi." "Akan saya jelaskan. Tolong beri saya waktu sebentar." Pria itu masih berusaha memaksa. "Maaf, Pak. Saya harus masuk." "Mbak Talita. Saya tahu perasaan Anda sekarang, tapi pastikan akan ada kiriman pembuktian dari saya nanti!" Talita mengajak asisten rumah tangganya segera masuk ke dalam dan kemudian menanyainya. "Apa saja yang sudah orang itu katakan sama kamu, Mbak?" "Orang itu datang dua hari yang lalu terus cari Mbak, tapi sebelum-sebelumnya saya sudah pernah
Setelah beberapa hari berselang, Talita mulai membuka diri dengan menerima permintaan pertemuan dengan Mario. "Tersenyumlah Talita." Kalimat pertama yang Mario ucapkan pada tamu di hadapannya ini. Talita memang berikan senyuaman, tapi jelas terlihat kikuk. Tundukan malu-malunya ini akibat baru menyadari kalau Mario adalah pria yang sangat tampan. Tatapan lembut Mario cepat membuat lawan bicara merasa nyaman. "Nah gitu dong. Lampu aja kalah terang kalau kamunya lagi senyum begini." Wanita mana yang tak akan berbunga-bunga bila ucapan seperti ini meluncur dari pria yang selalu memperlakukan dirinya layaknya penjaga bagi mutiara dalam tempurung rapuh. "Terima kasih. Kamu selalu buat aku senang." "Masa? Tapi kok aku lihat kamunya masih suka murung, terus termenung kayak pikirannya lagi bawa barbel 5 kilo?" Mario berusaha menciptakan suasana cair. Setelah bertemu Talita beberapa kali, Mario sudah dapat menyimpulkan seperti apakah sifat serta karakternya. Talita tertawa tertah
"Iya, bener itu." Jawaban Vani jelas buat Talita semakin berusaha tanamkan perasaan benci pada Reynald. "Reynald pernah hubungi Mario dan atur pertemuan hanya berdua. Kata Mario, memang nggak lama mereka ngobrolnya tapi pada intinya Reynald meminta Mario melepaskan Celine secara gentleman. Sudah kelihatan banget, kan kalau Celine jelas-jelas pilih Reynald. Sebagai laki-laki yang punya harga diri, Mario juga jelas memilih mundur. Sialan banget emang suamimu itu!" "Terus kok jadi bisa Mario kepikiran deketin aku? Katamu Dedi nggak sengaja kenal dia lewat temen gym-nya?" Vani terdengar menguap sebelum berikan jawaban. "Gue nggak tahu jelasnya. Itu obrolan para pria. Dedi juga nggak banyak kasih detil ceritanya, tapi intinya terus para cowok ini kepikiran rencana sekarang ini dari bahasan random mereka." Vani lantas terdengar kesal. "Udahan ah, Ta. Lagian semua sudah kejadian, jadi jangan bahas-bahas yang kemarin-kemarin. Yang lo harus pikirin itu sekarang sama masa depan. Mantan
"Hai." Sapaan dingin Talita, sedingin suasana ruangan kerja Reynald yang lantas berdiri menyambut wanita yang masih sah jadi istrinya ini. "Duduklah." "Apa ada yang harus aku lakukan? Katakan saja. Aku tahu waktumu tidak banyak," jawaban Talita searah dengan Reynald, tapi tatapannya tetap menurun. Talita juga mengkatup rapat bibirnya, sekuat tenaga menahan sendu. "Aku tidak mau bercerai," jawaban yang baru Reynald berikan setelah beberapa lama pernah Talita tanyakan. "Hanya demi perusahaan, kan?" Urat syaraf dahi Reynald menegang, dekapan dua tangan dan sandaran pada meja kerjanya jadi usaha Reynald meretas kekakuan. "Celine hamil. Aku berada di posisi sulit. Ada beberapa lelang proyek besar masuk, tapi yang paling aku inginkan dari keluarga Tanjung." "Keluarga Tanjung? Lalu? Apa hubungannya dengan status pernikahanmu?" Mendengar nama keluarga konglomerat ini, tanpa sadar Talita mengangkat dagu dan menatap serius pada Reynald. "Lelang proyek itu menyisakan dua nama per
Acara telah di mulai. Talita memilih berdiri di pojok ruangan aula seorang diri. Baru kali ini berada di tengah-tengah para kolega perusahaan yang Ayahnya ikut andil mendirikannya, meski hanya sebatas konsultannya saja. Tak terbesit niatan bertemu Reynald lagi, tapi tetap saja suaminya itu menghiasi tatapannya. Sebagai Presdir utama, Reynald adalah pemegang pusat perhatian. "Bu Talita, mau saya bawakan sesuatu lagi?" Alika datang menyodorkan minuman disertai senyuman. "Oh, Mbak Alika. Minuman saja nggak apa-apa," terima Talita membalas dengan sebuah sunggingan manis, trenyuh setiap kali Alika bersimpati padanya. "Setelah ini waktunya laporan tahunan bagi para pemegang saham, apa Anda tidak duduk saja di kursi yang sudah di sediain?" "Tidak. Aku disini saja. Prosentase sahamku cuma remahan cup cake hidangan penutup, Mbak, jadi cukup dengerin dari sini saja. Para tamu juga nggak perhatian. Mereka kan nggak pernah lihat aku jadi istrinya Reynald." "Anda tidak bisa seperti i
Reynald itu jahat ... Reynald tidak pernah mencintaimu! Stigma-stigma atau settingan negatif seseorang oleh Mario pada Reynald itu terus memenuhi pikiran Talita. Reputasi Reynald? Nama baik perusahaan? Selama ini tak ada nama Talita di libatkan di dalamnya. "Saya adalah istri dari Presdir Reynald Christopher. Disini ... Saya harapkan kerjasama dan dukungan dari anda sekalian ... Terima kasih." Walaupun dengan terbata-bata, tapi Talita merasa telah sukses laksanakan permintaan Mario, sekaligus awal keberanian baru menunjukkan jati dirinya. Talita memberi anggukan hormat pada Reynald dan Veronica sejenak, baru kemudian membuang muka dan menutuni tangga panggung menuju ke arah pintu samping aula. Talita segera mempercepat langkah, toilet wanita jadi tujuannya selanjutnya. Bukan untuk panggilan alam, atau bahkan memperbaiki penampilan, tapi Talita hanya ingin menangis. "Aku memang istrinya ... Aku nggak salah," gumam Talita menguatkan diri di depan kaca. Sesenggukannya co
Talita terhenyak, begitu juga dua orang pendamping mereka. Celine sampai berdiri, lalu berjalan mendekati keduanya. "Sayang. Ayo kita pergi dari sini!" pinta Celine agak memaksa. Awalnya Reynald bimbang. Beberapa pertimbangan di pikirkan. Sadar juga bila bisa saja akan ada kegaduhan bila permintaan Celine ini tidak di turuti. Reynald hela napas panjang, baru kemudian memutuskan. "Baiklah. Kita pergi dari sini." Mendengar jawaban Reynald, Celine tersenyum penuh kemenangan. Tarikan di sambut lingkarkan tangan manja pada Reynald, menjauhkan Reynald dari Talita. Talita terdiam, tapi ujung matanya terpatri pada gerakan Reynald dan Celine menuju ke pintu keluar restoran hotel sampai menghilang. "Bagus, Talita!" puji Mario di sertai tepukan tangan pelan. "Aku perhatikan kamu mulai ada keberanian buat nolak," lanjutnya dengan tatapan bangga. "Yeah, thanks." Talita lantas mengambil tasnya, ingin segera pergi dari tempat tersebut. Tidak mau tersiksa dengan pikiran bodohnya. Suda
Sorot tajam Reynald pada Talita yang berdiri. Sudah kuasa bagi Talita bila harus terus di suruh menunggu aksi dan respon Reynald setelah permintaan cerainya tidak juga di gubris. "Talita. Duduk lagi. Jangan membuat gaduh. Ini bukan waktu yang tepat!" pinta Reynald tenang. Walaupun sikapnya tetap dingin, tapi kekaleman nada suaranya ini keluar setelah menyadari akan kedatangan Wira lagi. Begitu juga Talita. Terpaksa mengalah dengan menghela napas terlebih dulu, baru kemudian menuruti untuk duduk lagi. Wira seperti sosok yang seringkali jadi pembatas mereka berdua untuk berargumen lebih jauh. "Ada apa?" Tak di sangka Talita dan Reynald, Wira mencurigai akan adanya situasi tertentu. "Apa anda mau ke toilet juga, Nyonya?" Seperti biasa, Wira akan lebih perhatian terlebih dulu pada Talita. "Oh, tidak apa-apa Pak Wira. Saya cuma ... merapikan baju," sahut Talita. Sempat kebingungan, tapi jadi terpikir soal penampilan meski gelagapan sedikit. "Anda masih terlihat cantik, jadi nggak
"Nyonya Talita!" Semua pasang mata sontak menjadikan wanita muda dengan senyum mengembang itu menyambut berdiri. "Akhirnya. Saya sudah khawatir dengan kondisi anda, Nyonya." Wira meninggalkan kursi di ruangan private untuk memberi pelukan pada Talita. "Terima kasih, Pak Wira. Maaf kalau sudah buat khawatir." Talita sambut rangkulan kilat sebagai ungkapan pikiran Wira tidak kalah hangatnya. "Oh ya, kenalkan ini teman saya." Talita bergeser untuk berikan ruang pada Mario. "Selamat datang di New York, senang bertemu denganmu, Pak. Saya Mario." Wira mundur selangkah, memperhatikan sekilas penampilan Mario dan Talita di hadapannya. "Kalian berdua orang-orang yang luar biasa!" pekiknya senang. Meskipun belum tahu situasi seperti apa antara keduanya, tapi apa yang di kenakan keduanya sungguh membuat Wira kagum. "Wow. Saya seperti baru mengenal anda, Nyonya." Wira buru-buru menarik kursi di sampingnya untuk Talita, sedangkan Mario sengaja mencari meja lain. Setiap gerakannya berup
"Meminta Celine ikut ke Amerika juga maksudmu?" Talita mengulang untuk memastikan. "Yes," sahutan santai Mario. Satu gulungan mi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya. Talita menatap Mario untuk menilai ekspresi yang di tunjukkan. Meskipun terlihat dingin, tapi ada guratan lain di kedua matanya yang menunduk. Talita membava ada kekecewaan bertumpuk menjadi bola kebencian yang kapan saja bisa jadi bom waktu. "Kenapa? Kayaknya kamu sedih?" "Hah? Sedih?" Mario angkat wajah. Makanan yang semula ada di dalam mulutnya telah tertelan. "Nggak. Aku justru pengen Celine lihat bagaimana perubahan yang sedang kita usahakan." "Progessmu yang bagus, tapi aku belum." Berganti Talita menunduk, tersenyum geli merutuki diri. "Gimana-gimana, aku masih belum bisa di sepadankan dengan Celine, tahu!" ujarnya tegas. Tak mau terlalu ikut berandai bersama Mario. "Siapa bilang? Dengan kamu berani ambil sekolah bisnis di sini, sudah buktikan kalau ada kemajuan juga." Hampir saja Mario secara refle
Beberapa minggu berlalu, bukan hal mudah bagi Talita untuk memulai suatu hal pertama dalam hidupnya. Walaupun memiliki teman-teman baru, termasuk Mario, tapi masih saja tidak menghindarkannya dari masalah yang masih tertinggal di Jakarta. "Iya, Mbak Alika?" Sudah beberapa kali sengaja menolak panggilan dari orang-orang yang dia kenal di Indonesia, tapi akhirnya Talita menyadari bahwa tidak akan mungkin seterusnya menghindar. Tanggungan dan beban tanggung jawab masih jadi pikulan yang harus di pertanggung jawabkan. "Bu Talita. Akhirnya anda menjawab panggilan saya," sahut Alika dengan desah sisa keputusasaan. "Maaf aku sibuk. Ada apa?" Talita menjawab sedikit dingin. "Ada yang kurang untuk anda tanda tangani waktu itu. Saya bisa kapan temui ibu?" Terdengar jelas ada harapan besar Alika, mengingat sudah sempat mengecewakan Reynald. Alika masih di bayangi rasa bersalah tak mengetahui terlebih dulu maksud Talita segera menandatangani dokumen waktu itu. "Apa urgent?" Talita turun
"Ayo kita ke Gilbartar." Ajakan Mario ini di balas Talita dengan senyuman. Bukan sepenuhnya karena senang, tapi ada langkah berat sebagai awal menuju kehidupan barunya. "Ayo, kenapa? Apa kamu sedang nungguin orang? Kan sudah pamitan sama Vani?" ajak Mario lagi, mencurigai akan gelagat Talita yang sesekali melihat ke arah belakang. "Oh, nggak ada apa-apa. Cuma takut ada tasku ketinggalan di lounge," alasan Talita menutup hal sebenarnya. Di depan sana sudah terdengar suara mesin pesawat meraung-raung seiring baling-balingnya berputar kencang. Hal berat buat Talita membayangkan kehidupan barunya di New York nanti, tapi saat menatap ke arah Mario, perasaan gamang itu jadi berangsur sirna. Ada keyakinan kalau dia akan memiliki seseorang yang bisa di andalkan. ** Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, sampailah Talita, Mario, serta para rombongan beberapa orang dengan tujuan sama sampai di New York. Sebagian calon mahasiswa adalah orang-orang dari kalangan menengah ke
Beberapa jam kemudian, setelah berbicara dengan Celine secara diam-diam. "Oke. Baiklah. Terpaksa aku setujui," gumamnya seraya mengeluarkan lagi koper yang semula sempat dia kembalikan ke bagian paling bawah dalam lemari wardrobenya. Talita lalu melongok ke arah jendela. Memastikan kalau Celine sudah memulai awal rencananya. Talita tak menyangka akan menuruti wanita bermuka dua yang berniat mengusirnya, tapi justru itulah yang dia harapkan kini. Suara mesin mobil terdengar di bagian depan jendela kamarnya. Itu adalah pertanda kalau dia harus segera turun dari kamar. Talita hela napas dalam, baru kemudian keluar dengan tunjukkan ekspresi biasa saja. Setelah melewati lorong menuju ke tangga, apa yang sudah dia duga terjadi. Saling menatap dengan sang tuan muda pemilik rumah tak bisa terelakkan. Bukan seperti biasanya, Talita berikan senyuman tipis. Cara yang terpaksa di lakukan demi bisa mencapai jalan keluar, menjauhi suaminya sendiri. *** Di tempat lain, setelah beberapa
Malam harinya. Tempat melamun Talita berganti di tempat tidurnya. Memang Mario tidak mengungkapkan secara gamblang, bahkan setelahnya di selingi gelak tawa seolah sebuah candaan, tapi Talita tak mau memungkiri situasi sore itu. "Apa aku bisa mencintai pria lain selain Reynald?" Talita bertanya pada dirinya sendiri, tanpa bisa berikan jawaban. Suara air dari kamar mandi Reynald terdengar. Talita sengaja ciptakan suasana hening. Sayup-sayup Talita bisa pastikan ada suara wanita sedang berbicara dengan Reynald. Talita menoleh pada sisi dinding, dimana di perkirakan tempat kemungkinan Reynald dan Celine berada. Terdengar cekikikan manja wanita yang sedang mengandung anak dari suaminya itu. Hati Talita terkoyak, lalu putuskan segera berdiri menuju lemari pakaian. Satu koper berisi sebagian besar baju dan barang-barang masih tertata rapi di dalamnya kemudian di seret keluar. Talita melirik ke arah dinding perbatasan antara kamarnya dan Reynald, lalu teguhkan diri untuk segera per
"Pembawa sial?" lirih Talita tersedu di depan kaca wastafel. Kalau hinaan soal ketidakbecusannya dalam segala hal, masihlah bisa dia terima. Menjadi orang yang di buat seolah pembawa sial, tentu sangat menyakitkan hati. "Memang sepertinya aku pembawa kekacauan." Setelah kejadian seharian ini, Talita jadi minder dan tak punya keberanian kembali ke tempat acara. Walaupun menyadari akan membuat Wira dan juga istrinya, Lina kecewa, namun penambahan derita batin dari Reynald semakin tak bisa buatnya kuasa kembali. Melalui pintu belakang kantor, Talita benar-benar memutuskan untuk pergi. Bukannya meminta antar sopir seperti sewaktu datang, Talita ingin memesan taxi online saja seperti biasa. "Tolong agak di percepat, ya Pak." Permintaan Talita, kali ini tidak seperti biasanya. Tak pernah Talita ingin cepat pergi menjauh dari kantor yang di besarkan oleh ayahnya juga ini. Rasanya diri sudah terpental oleh hinaan suaminya sendiri. Pembawa sial. Sebutan yang terus memenuhi pikiran Ta