Bukk!! "Talita!" Pekikan secara bersamaan antara Reynald dan Mario, tapi Reynaldlah yang pertama menjadi penopang tubuh Talita yang tiba-tiba lunglai dan matanya terpejam. "Lu apain Talita?!" gelegar suara tanya Mario. Ada ketidakterimaan darinya pada Reynald. Reynald yang memang memiliki sifat dasar dingin, tak menggubris pertanyaan Mario. Tubuh Talita telah berada dalam gendongannya. Masih memakai sepatu, Reynald terpaksa masuk ke ruang tamu. Di rebahkan Talita di atas sofa, kemudian di goyang-goyangkan seraya ucapkan panggilan. "Talita ... Talita ... Buka matamu," usaha Reynald dalam kepanikan. Wajahnya pucat, menatap gusar pada wajah cantik istrinya ini. "Minggir!" bentak Mario kasar. Sedianya tangan Reynald akan memegang pipi Talita, tapi telah di tangkis Mario. "Lu sudah nggak berhak sama hidup, Talita!" sentaknya serasa kepemilikan atas diri Talita. "Dia istriku." "Bukan lagi!" Mario dorong tubuh Reynald yang berjongkok, sehingga dengan mudah menjatuhkannya di a
Ke esokan harinya. "Hayo melamun!" Gertakan Mario pada Talita yang termenung menatap kosong layar laptop. "Mikirin apa, sih? Sudah baikan, belum?" "Iya, begitulah." Talita lantas menutup laptop, lalu melipat kedua tangan di atas meja di salah satu meja gazebo. "Maaf, tadi aku langsung jalan ke kampus sendirian. Bangunku kesiangan, jadi ku pikir kamu pasti sudah jalan duluan," penjelasan tak enak hati Talita. Sudah jadi kebiasaan jalan bersamaan, tapi pagi ini ternyata pengecualian. "Pantesan aku gedor-gedor, telpon, kamunya nggak ada respon. But it's oke. Kamu pasti butuh istirahat gara-gara semalam. Apa kamu mau libur kerja part time? Kali aja masih kecapean." Talita gelengkan kepala. "Nggak apa-apa, aku masuk kerja aja. Itu juga buat hiburan, biar nggak keingetan." "Keingetan? Sama siapa? Reynald?" Talita terlambat nyadar. Tak sengaja ungkapkan pikiran, dan sialnya Mario sudah terlanjur menangkap gelagatnya ini. "Eh, ehm ... Itu, nggak begitu ..." "Hayo. Masih kepik
Kau menjauh saat ku butuh. Kini, kamu mendekat saat pilar cintaku runtuh. Talita balik pergelangan kirinya. Jam bergelang silver menunjukkannya pada waktu. "Ini belum juga jam 5, kamu kok sudah datang ke sini?" Terlihat jelas, Talita sedang tidak bersahabat. "Aku sudah lapar," jawaban santai Reynald. "Apa yang harus aku makan kalau jam segini?" Di hadapannya telah tersuguh buku daftar menu, tapi Reynald tak sekalipun menyentuh, alih-alih membukanya. Talita berkacak pinggang. Wajahnya tertekuk, biburnya berkerut. "Kemarin malam-malam kesini, sekarang bahkan belum waktu lazimnya makan malam. Apa tunanganmu itu nggak kasih kamu makan? Atau restoran hotel kalian masih tutup? Urusan bisnis kita sudah selesai, kenapa kamu nggak juga balik ke Indonesia?" Bibir Reynald membuka, tubuhnya tergerak ke belakang seolah terkena imbas pusaran kemarahan Talita tepat di depan wajahnya ini. "Mbak. Aku pelanggan baru cafe ini. Masa cuma pesen makanan aja, pake di kasih bonus bentak-bentak
"Maaf." "Apa?!" tanggap Sophie. Tubuhnya bergeser, mengintip ke tulisan dari secarik kertas dalam genggaman Talita. "Itu artinya apa?" Rasa ingin tahu Sophie. Bagaimana bisa satu kata, tapi bisa membuat Talita termenung lumayan lama. "Sorry. Itu artinya." "Oh, My God!" Sophie takjub. Selagi belum ada pengunjung baru masuk, Sophie bergeser menempel ke Talita. "Manis sekali. Dia juga sepertinya seorang gentleman. Apa hubungan kalian sangat spesial dulunya?" koreknya. Awalnya Talita ragu. Selama ini, yang jadi tumpuan curahan hati adalah Mario. Sejak tinggal di New York dan jauh dari Vani, memang berat buat Talita untuk menyimpan setiap kegalauan seorang diri. Tapi kini, ia berharap Sophie bisa jadi penggantinya. "Dia suamiku ... Sampai sekarang masih suamiku." "What!!" Sophie tutup bibirnya yang ternganga. "Karena itu kamu pernah bilang hubungan kalian berdua rumit?" Sorot simpati Sophie layangkan. "Iya," anggukan Talita. "Dan pria pengantar kamu tadi pagi? Siapa dia?"
"Itu hakmu." Setelah berikan jawaban, Reynald kembali berjalan. Langkahnya cepat lagi, tapi beberapa langkah berbalik. "Putar balik sana. Aku antar kamu pulang," perintahnya dingin. Keduanya berdiri berhadapan dalam kebekuan. Berikan waktu buat sepasang kekasih yang lewat. Dua sejoli warga New york itu awalnya bergandengan tangan, lalu berpelukan dan kemudian berciuman. Suasana canggung terjadi saat sang pria menyinggung lengan Reynald seraya berujar godaan. "Cium dia juga, Dude. Bawa pulang ke tempat tidurmu, jangan di tengah jalan begini." Reynald salah tingkah, jadi hanya senyum tipis buat jawaban. Setelah sejoli itu berlalu, ia angkat dagu tertuju pada Talita. "Keburu malam. Sudah berani kabur ke New York, masa pulang kerja malam dikit gitu malah takut," sindirnya. "Ngeselin!" Kedua pipi Talita menggelembung. Sepanjang langkah terus picingkan mata. Hatinya berat penuh kedongkolan. Memang sih, baru-baru ini bisa ekspresikan diri di hadapan Reynald, tapi kesannya kok b
Talita tarik tangan secara kasar dari genggaman Reynald. "Aku ... masih belum berani," ucap Talita baru satu anak tangga. "Aku masih dalam masa recovery." Keadaan medis jadi harapan Talita agar tidak berduaan saja dengan Reynald. "Masih suka sakit?" Dua kaki Reynald satu di bawah dan satu di anak tangga atasnya. Sempatkan berhenti untuk penuhi rasa ingin tahu. "Sudah tidak terlalu. Cuma kemarin malam sudah minum obat pereda nyeri, jadi aku nggak mau nanti terlalu tergantung sama pain killer kalau sakitnya kumat lagi." "Masih rutin kontrol, kan?" selidik Reynald. Talita gelengkan kepala. "Nggak lagi. Masih bisa aku atasi sendiri, karena itu harus hemat-hemat obat." "Kartu hitam itu, milik siapa?" "Kartu hitam? Yang mana?" Talita kerutkan dahi. "Aku pernah lihat kamu jatuhkan kartu hitam Kamu buat transaksi waktu kita ketemu di rumah sakit." "Oh itu ..." Talita hampir saja lupa dengan benda yang sudah di masukkan ke dalam kotak penyimpanan, dan tak pernah dia gunaka
Hari selanjutnya setelah jam pulang bekerja. Talita sudah berdiri menunggu Mario menjemput di depan cafe. Belum ada tanda-tanda keberadaan pria manis yang kini menjadi kekasihnya itu, sehingga Talita putuskan mengambil ponsel sebagai pengisi waktu. Terinspirasi gaya fashion kota modern New York, Talita sengaja tampil berbeda malam minggu ini. Atasan lengan panjang bergaya crop top, di padu rok jeans di atas lutut jadi pelengkap saat menata rambut panjangnya bergelombang besar di biarkan terurai. Talita sedang ingin mencari suasana baru dalam hidupnya. Sebuah notifikasi pesan mulai mengganggu Talita. Nama Wira tertera di sana. Penuh degupan kencang, Talita timang-timang ponsel. "Aku buka sekarang atau nanti ya?" gumaman bimbang Talita. Bisa saja dia hanya mengintip isi pesan dari pesan tersebut, dan membalasnya nanti-nanti. Selain itu ada pikiran untuk segera membuka dan membalasnya sebagai pencitraan baik. "Aku gugup kalau ketemu Pak Wira." Sisi rapuh Talita, tapi Tuhan selalu
Seharusnya jawabannya mudah. 'Iya, san aku juga mencintaimu.' Tapi tidak semudah itu buat Talita. Senyuman penuh harap pengertian dari Mario dia berikan. "Sabar. Kita bukan Reynald atau Celine. Aku ingin hubungan kita bisa terlepas dari bayang-bayang mereka dulu. Kamu tahu maksudku, kan?" "Maksudmu, kamu mau sudah benar-benar pegang status bercerai dari Reynald?" "Iya," sahut Talita membenarkan. "Tapi jangan kamu kira aku masih terbayang-bayang Celine. Nggak banget itu." "Kamu tahu kabar Celine sekarang? Apa dia masih aktif sosial media? Tahu sendiri, kan sekarang lagi hamil, apa dia berani tampil jualan produk kecantikan sama nge-vlog dalam kondisi begitu?" Mario kerutkan bibir, berpikir sebentar. "Hm, sepertinya sudah 2 bulanan ini dia nggak aktif. Isi sosmed dia cuma berisi iklan dan ada foto-foto terbaru, tapi cuma bagian wajah doang. Selebihnya, nggak ada live lagi." "Tuh, kan. Kamu aja kesannya masih kebayang-bayang mantan. Buktinya, tahu aja update-an sosmednya
Seharusnya jawabannya mudah. 'Iya, san aku juga mencintaimu.' Tapi tidak semudah itu buat Talita. Senyuman penuh harap pengertian dari Mario dia berikan. "Sabar. Kita bukan Reynald atau Celine. Aku ingin hubungan kita bisa terlepas dari bayang-bayang mereka dulu. Kamu tahu maksudku, kan?" "Maksudmu, kamu mau sudah benar-benar pegang status bercerai dari Reynald?" "Iya," sahut Talita membenarkan. "Tapi jangan kamu kira aku masih terbayang-bayang Celine. Nggak banget itu." "Kamu tahu kabar Celine sekarang? Apa dia masih aktif sosial media? Tahu sendiri, kan sekarang lagi hamil, apa dia berani tampil jualan produk kecantikan sama nge-vlog dalam kondisi begitu?" Mario kerutkan bibir, berpikir sebentar. "Hm, sepertinya sudah 2 bulanan ini dia nggak aktif. Isi sosmed dia cuma berisi iklan dan ada foto-foto terbaru, tapi cuma bagian wajah doang. Selebihnya, nggak ada live lagi." "Tuh, kan. Kamu aja kesannya masih kebayang-bayang mantan. Buktinya, tahu aja update-an sosmednya
Hari selanjutnya setelah jam pulang bekerja. Talita sudah berdiri menunggu Mario menjemput di depan cafe. Belum ada tanda-tanda keberadaan pria manis yang kini menjadi kekasihnya itu, sehingga Talita putuskan mengambil ponsel sebagai pengisi waktu. Terinspirasi gaya fashion kota modern New York, Talita sengaja tampil berbeda malam minggu ini. Atasan lengan panjang bergaya crop top, di padu rok jeans di atas lutut jadi pelengkap saat menata rambut panjangnya bergelombang besar di biarkan terurai. Talita sedang ingin mencari suasana baru dalam hidupnya. Sebuah notifikasi pesan mulai mengganggu Talita. Nama Wira tertera di sana. Penuh degupan kencang, Talita timang-timang ponsel. "Aku buka sekarang atau nanti ya?" gumaman bimbang Talita. Bisa saja dia hanya mengintip isi pesan dari pesan tersebut, dan membalasnya nanti-nanti. Selain itu ada pikiran untuk segera membuka dan membalasnya sebagai pencitraan baik. "Aku gugup kalau ketemu Pak Wira." Sisi rapuh Talita, tapi Tuhan selalu
Talita tarik tangan secara kasar dari genggaman Reynald. "Aku ... masih belum berani," ucap Talita baru satu anak tangga. "Aku masih dalam masa recovery." Keadaan medis jadi harapan Talita agar tidak berduaan saja dengan Reynald. "Masih suka sakit?" Dua kaki Reynald satu di bawah dan satu di anak tangga atasnya. Sempatkan berhenti untuk penuhi rasa ingin tahu. "Sudah tidak terlalu. Cuma kemarin malam sudah minum obat pereda nyeri, jadi aku nggak mau nanti terlalu tergantung sama pain killer kalau sakitnya kumat lagi." "Masih rutin kontrol, kan?" selidik Reynald. Talita gelengkan kepala. "Nggak lagi. Masih bisa aku atasi sendiri, karena itu harus hemat-hemat obat." "Kartu hitam itu, milik siapa?" "Kartu hitam? Yang mana?" Talita kerutkan dahi. "Aku pernah lihat kamu jatuhkan kartu hitam Kamu buat transaksi waktu kita ketemu di rumah sakit." "Oh itu ..." Talita hampir saja lupa dengan benda yang sudah di masukkan ke dalam kotak penyimpanan, dan tak pernah dia gunaka
"Itu hakmu." Setelah berikan jawaban, Reynald kembali berjalan. Langkahnya cepat lagi, tapi beberapa langkah berbalik. "Putar balik sana. Aku antar kamu pulang," perintahnya dingin. Keduanya berdiri berhadapan dalam kebekuan. Berikan waktu buat sepasang kekasih yang lewat. Dua sejoli warga New york itu awalnya bergandengan tangan, lalu berpelukan dan kemudian berciuman. Suasana canggung terjadi saat sang pria menyinggung lengan Reynald seraya berujar godaan. "Cium dia juga, Dude. Bawa pulang ke tempat tidurmu, jangan di tengah jalan begini." Reynald salah tingkah, jadi hanya senyum tipis buat jawaban. Setelah sejoli itu berlalu, ia angkat dagu tertuju pada Talita. "Keburu malam. Sudah berani kabur ke New York, masa pulang kerja malam dikit gitu malah takut," sindirnya. "Ngeselin!" Kedua pipi Talita menggelembung. Sepanjang langkah terus picingkan mata. Hatinya berat penuh kedongkolan. Memang sih, baru-baru ini bisa ekspresikan diri di hadapan Reynald, tapi kesannya kok b
"Maaf." "Apa?!" tanggap Sophie. Tubuhnya bergeser, mengintip ke tulisan dari secarik kertas dalam genggaman Talita. "Itu artinya apa?" Rasa ingin tahu Sophie. Bagaimana bisa satu kata, tapi bisa membuat Talita termenung lumayan lama. "Sorry. Itu artinya." "Oh, My God!" Sophie takjub. Selagi belum ada pengunjung baru masuk, Sophie bergeser menempel ke Talita. "Manis sekali. Dia juga sepertinya seorang gentleman. Apa hubungan kalian sangat spesial dulunya?" koreknya. Awalnya Talita ragu. Selama ini, yang jadi tumpuan curahan hati adalah Mario. Sejak tinggal di New York dan jauh dari Vani, memang berat buat Talita untuk menyimpan setiap kegalauan seorang diri. Tapi kini, ia berharap Sophie bisa jadi penggantinya. "Dia suamiku ... Sampai sekarang masih suamiku." "What!!" Sophie tutup bibirnya yang ternganga. "Karena itu kamu pernah bilang hubungan kalian berdua rumit?" Sorot simpati Sophie layangkan. "Iya," anggukan Talita. "Dan pria pengantar kamu tadi pagi? Siapa dia?"
Kau menjauh saat ku butuh. Kini, kamu mendekat saat pilar cintaku runtuh. Talita balik pergelangan kirinya. Jam bergelang silver menunjukkannya pada waktu. "Ini belum juga jam 5, kamu kok sudah datang ke sini?" Terlihat jelas, Talita sedang tidak bersahabat. "Aku sudah lapar," jawaban santai Reynald. "Apa yang harus aku makan kalau jam segini?" Di hadapannya telah tersuguh buku daftar menu, tapi Reynald tak sekalipun menyentuh, alih-alih membukanya. Talita berkacak pinggang. Wajahnya tertekuk, biburnya berkerut. "Kemarin malam-malam kesini, sekarang bahkan belum waktu lazimnya makan malam. Apa tunanganmu itu nggak kasih kamu makan? Atau restoran hotel kalian masih tutup? Urusan bisnis kita sudah selesai, kenapa kamu nggak juga balik ke Indonesia?" Bibir Reynald membuka, tubuhnya tergerak ke belakang seolah terkena imbas pusaran kemarahan Talita tepat di depan wajahnya ini. "Mbak. Aku pelanggan baru cafe ini. Masa cuma pesen makanan aja, pake di kasih bonus bentak-bentak
Ke esokan harinya. "Hayo melamun!" Gertakan Mario pada Talita yang termenung menatap kosong layar laptop. "Mikirin apa, sih? Sudah baikan, belum?" "Iya, begitulah." Talita lantas menutup laptop, lalu melipat kedua tangan di atas meja di salah satu meja gazebo. "Maaf, tadi aku langsung jalan ke kampus sendirian. Bangunku kesiangan, jadi ku pikir kamu pasti sudah jalan duluan," penjelasan tak enak hati Talita. Sudah jadi kebiasaan jalan bersamaan, tapi pagi ini ternyata pengecualian. "Pantesan aku gedor-gedor, telpon, kamunya nggak ada respon. But it's oke. Kamu pasti butuh istirahat gara-gara semalam. Apa kamu mau libur kerja part time? Kali aja masih kecapean." Talita gelengkan kepala. "Nggak apa-apa, aku masuk kerja aja. Itu juga buat hiburan, biar nggak keingetan." "Keingetan? Sama siapa? Reynald?" Talita terlambat nyadar. Tak sengaja ungkapkan pikiran, dan sialnya Mario sudah terlanjur menangkap gelagatnya ini. "Eh, ehm ... Itu, nggak begitu ..." "Hayo. Masih kepik
Bukk!! "Talita!" Pekikan secara bersamaan antara Reynald dan Mario, tapi Reynaldlah yang pertama menjadi penopang tubuh Talita yang tiba-tiba lunglai dan matanya terpejam. "Lu apain Talita?!" gelegar suara tanya Mario. Ada ketidakterimaan darinya pada Reynald. Reynald yang memang memiliki sifat dasar dingin, tak menggubris pertanyaan Mario. Tubuh Talita telah berada dalam gendongannya. Masih memakai sepatu, Reynald terpaksa masuk ke ruang tamu. Di rebahkan Talita di atas sofa, kemudian di goyang-goyangkan seraya ucapkan panggilan. "Talita ... Talita ... Buka matamu," usaha Reynald dalam kepanikan. Wajahnya pucat, menatap gusar pada wajah cantik istrinya ini. "Minggir!" bentak Mario kasar. Sedianya tangan Reynald akan memegang pipi Talita, tapi telah di tangkis Mario. "Lu sudah nggak berhak sama hidup, Talita!" sentaknya serasa kepemilikan atas diri Talita. "Dia istriku." "Bukan lagi!" Mario dorong tubuh Reynald yang berjongkok, sehingga dengan mudah menjatuhkannya di a
Reynald tertegun sesaat. Talita sudah semakin berani mengutarakan isi hati. "Ma maaf. Mungkin aku no respect." Talita lepaskan jaket dan sepatu, lalu di taruh tempat khusus sebelum masuk ke dalam terlebih dulu. Reynald masih berdiri mematung, kedua tangannya terangkat di pinggang. Tatapannya tertuju pada Talita. dengan kepala manggut-manggut. Semakin yakin kalau mulai saat ini tidak bisa memandang Talita sebagai wanita lemah dengan segala kerapuhannya. "Katakan apa yang pengen kamu bahas sama aku? Surat cerai? Saham? Apa? Bagiku kok sudah beres semua. Kamunya aja mungkin yang problematik, anggap semua itu belum kelar-kelar." Perlahan, Reynald lepas sepatu booth setengahnya untuk di sejajarkan di samping milik Talita. Hal yang baru kini dia lakukan, tanpa gerak pelayanan Talita seperti masih jadi istrinya. "Soal dirimu," jawab Reynald singkat, karena selanjutnya tidak ada penjelasan lebih sampai beberapa detik. Talita mengambil lap kering untuk membasuh air dari sisa mencuc