Share

Chapter 4

Author: Sya Reefah
last update Last Updated: 2024-08-09 10:27:12

Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. 

Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”

“Terima kasih.”

Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.

“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” 

Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.

Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.

Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?

Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.

Ketika Julia melihat Eva, dia menyunggingkan senyum sinis. “Aku dengar, kau ingin bercerai dengan Henry.”

Eva mencoba mengatur ekspresinya. Tanpa banyak berpikir, ia tahu  dari mana Julia tahu masalah ini. Sepertinya Henry sangat terbuka dengan Julia.

“Aku tidak menyangka jika wanita sepertimu dengan beraninya meminta bercerai. Dapat keberanian dari mana kau?” Julia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Eva. “Sepertinya, matamu yang rabun itu juga membuat keputusanmu menjadi rabun, ya.”

Eva hanya diam, tidak tahu bagaimana menanggapi Julia. 

Julia menatap Eva terkekeh sinis. “Bagaimana rasanya menikah tapi kehadiranmu tidak diinginkan? Bahkan keluarganya juga tidak pernah menganggapmu.”

Eva merasakan campuran kemarahan dan kesedihan saat Julia melemparkan sindiran tajam. Kata-kata Julia, terutama menyinggung kondisi penglihatannya terasa seperti cambukan keras untuknya. 

Tak mau berhenti sampai di situ, Julia terus berbicara dengan tatapan mengejek. “Tapi, syukurlah jika kau sadar dengan kekuranganmu. Jika kau sudah memutuskan, lakukan dengan cepat. Buat apa kau bertahan dengan seseorang yang tidak pernah menganggap kehadiranmu?”

Tangan Eva mulai gemetar. Ia meremas ujung bajunya sendiri, melampiaskan semua perasaannya.

“Aku jadi kasihan denganmu. Selama bersamaku, dia tidak pernah mengabaikanku. Dia juga tidak mau jauh dariku, dia selalu mengutamakan kebutuhanku. Aku tahu rasanya menjadi prioritas, bukan hanya sekedar pelengkap sepertimu!” Julia melanjutkan ucapannya dengan sarkatik ke arah Eva.

Eva menjaga ketenangannya, meskipun sakit mulai menjalar di hati. 

Ejekan Julia mengenai bagaimana Henry selalu memanjakannya, dan bagaimana dia merasa dihargai membuatnya semakin tertekan dan terluka. 

Rasanya seperti dikhianati dan direndahkan, terutama ketika Julia mengatakan jika Henry selalu mengutamakan kebutuhannya. Perasaan tak dihargai dan diabaikan semakin membebani pikirannya.

Namun, Eva sendiri sadar akan kesalahannya. Dia tidak menyalahkan bagaimana sikap Henry padanya. Ia sadar bahwa dia sudah merebut Henry dari Julia. 

Dengan rasa tidak nyaman, Eva berkata dengan lembut. “Terima kasih atas sarannya, Nona Julia. Biarkan masalah ini kami yang menyelesaikan.” 

Julia menatap Eva dengan seringaian puas. Ia kembali berbicara dengan provokasinya. “Jangan biarkan dirimu terjebak terlalu lama. Apa kau mau aku membantu proses perceraianmu agar lebih cepat?”

Eva menatap ke arah Julia. Ia bisa melihat jelas bagaimana wajah licik Julia saat ini. Wajah Julia menunjukkan rasa tidak sabar dengan perceraiannya dengan Henry. 

“Terima kasih atas tawarannya, Nona. Tapi, sebaiknya kurang-kurangi ikut campur  rumah tangga orang lain.” Terdengar halus, tetapi kata-kata Eva penuh dengan sindiran.

Julia tertawa mengejek mendengar ucapan Eva. “Aku hanya menyadarkanmu, Eva. Agar kedua mata dan pikiranmu itu terbuka!”

“Ah, iya aku lupa, matamu ‘kan tidak normal. Jadi sulit untuk melihat kenyataan.” 

Setelah mengatakan itu, Julia pergi begitu saja meninggalkan bekas luka di hati Eva.

Eva mengusap air matanya yang mulai membasahi pipi. Apakah kondisi glaukoma itu begitu buruk di mata dunia? Apakah penderita glaukoma sepertinya tidak berhak bahagia?

Jika bisa memilih, ia juga tidak akan mau memiliki kondisi seperti ini. 

Eva segera bangkit, meninggalkan kafe. Meskipun kata-kata Julia terdengar sakit, ia harus tetap bersikap tegar. 

Satu jam perjalanan, Eva sampai di penthouse. Ia berjalan masuk, ternyata di dalam sana sudah ada Elise, mama mertuanya, yang duduk dengan angkuh menatap ke arahnya.

“Mama sudah lama?” 

Dengan nada sewotnya Elis berkata, “Tidak perlu bersikap sok baik kepadaku! Siapa kau? Berani-beraninya meminta cerai dengan putraku. Harusnya putrakulah yang pantas menceraikanmu!”

Eva terdiam mematung. Kabar perceraiannya sudah sampai di telinga mama mertuanya. 

“Wanita rendahan yang tidak sadar diri! Sudah untung putraku bisa membawamu masuk ke keluarga ini. Memangnya siapa yang bisa menerima wanita rendahan dan cacat mata sepertimu?” Elise kembali berkata dengan senyum sinis mengembang di wajahnya.

Ia geram dengan keberanian Eva, harga diri dari keluarganya merasa terinjak-injak. Namun, dia juga senang dan tidak sabar dengan kepergian Eva dari keluarganya.

Setelah kata-kata sarkastik dari Julia, sekarang kata-kata itu berasal dari mama mertuanya sendiri. Kata-kata dari mama mertuanya kali ini terasa lebih menyakitkan.

Eva berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Maaf jika keputusan Eva salah, Ma. Tapi Eva tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan Henry.”

Eva bisa melihat sorot tajam dari Elise. Pandangan matanya ke bawah, berusaha untuk menghindari tatapan tajam Elise padanya. 

Sekali lagi dia merasa tertekan. Dari luar dia menjaga penampilan tetap tenang dan penuh hormat. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.

“Dari awal kau sudah menghalangi kebahagiaan putraku! Kenapa kau baru sadar sekarang?” katanya. Tak henti-hentinya Elise memandang rendah ke arah Eva. 

“Maaf, Ma.” Dari sekian banyak kata, Eva hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’. Dia tidak tahu harus berkata apalagi saat menerima semua kata-kata sarkasme dari orang-orang.

Elise tersenyum remeh. “Baguslah jika kau mengambil keputusan sendiri. Karena aku tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk mengusirmu dari sini.”

Elis melangkah pergi.

Eva memandang punggung Elise yang semakin jauh dengan air mata berlinang. keputusan untuk bercerai dengan Henry semakin kuat. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Teh Nimaz
plng benci deh klw si ceweknya lemah bgtu ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 5

    “Henry.” Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. “Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu me

    Last Updated : 2024-08-09
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 6

    Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang

    Last Updated : 2024-08-09
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 7

    Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann

    Last Updated : 2024-08-11
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 8

    “Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a

    Last Updated : 2024-08-13
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 9 Kemarahan Henry

    Malam hari, sebelum tidur Eva termenung. Teringat dengan pertanyaan Samuel mengenai perceraiannya. Sampai sekarang, perceraiannya tidak ada kabar.Eva bergumam pelan. “Apa aku menghubunginya?”Eva menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Henry terpampang di layar. Selama dia pergi, sama sekali tidak terlibat komunikasi dengan Henry.Dengan satu sentuhan, Eva memanggil nomor Henry.Setelah beberapa deringan, suara Hnery terdengar di ujung telepon. “Hallo.”Eva berkesiap. Ia pikir jika Henry tidak akan menerima telepon darinya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu mengenai dokumen perceraian itu. Apa kau sudah menandatanganinya?”Eva bisa mendengar suara Henry yang tertawa keras di sana. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Henry saat ini.“Kau menanyakan ini karena aku menghambat jalanmu untuk dekat dengan laki-laki lain? Jangan harap kau menerima kemudahan.”“Henry, Ak-,”Belum juga dia menyelesaikan ucapannya. Henry sudah memutusk

    Last Updated : 2024-08-13
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 10 Rencana Terselubung Julia

    Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi

    Last Updated : 2024-08-14
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 11 Kemarahan Papa Henry

    Di dalam rumah dengan suasana tenang dan elegan, Elise, Mama Henry duduk dengan tenang.Jendela besar membiarkan cahaya matahari masuk. Aroma teh segar melengkapi suasana damai.Elise tiba-tiba saja teringat mengenai perceraian anatara Eva dan Henry. Dia merasa penasaran bagaimana kelanjutannya. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar kabar selanjutnya.Dengan cepat, tangannya meraih ponsel dan menghubungi Henry.Suara Henry terdengar di ujung telepon. “Halo, ada apa, Ma?”Sebelum menjawab, Elise melirik ke sekeliling. Namun, pada akhirnya dia melangkah pergi sedikit menjauh agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya.Elise bertanya dengan rasa ingin tahu. “Halo, Henry. Mama hanya ingin menanyakan bagaiamana perceraianmu dengan Eva? Apa ada kemajuan?”Di ujung telepon, Henry menjawab dengan tenang. “Semua masih dalam proses, Ma.”Elise kembali berbicara dengan nada mendesak. “Untuk apa kau menunda-nunda, Henry? Gunakan uang-uangmu untuk mengurus semuanya. Mama sudah muak melihat wanit

    Last Updated : 2024-08-15
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 12 Aku Tetap Ingin Bercerai

    Eva menarik tangannya dari Henry. “Lepas, Henry!”Tangannya berhasil lepas dari genggaman tangan Henry.Henry memandang ke arah Eva tajam. Cukup lama dia memandang Eva. “Kau harus ikut aku sekarang.”Eva berbicara dengan nada tegas. “Kau tidak bisa memaksa orang begitu saja, Henry!”Henry menghela napasnya.Eva bisa melihat wajah Henry yang sangat menyebalkan saat ini.Dengan wajah datar Henry berkata, “Papa memintamu datang. Papa memintamu untuk menjelaskan perceraian yang kau ajukan.”Eva membeku ketika Henry mengatakan itu. Penjelasan apa yang akan ia katakan pada papa mertuanya?Henry meninggikan suaranya. “Kenapa kau terdiam?”Suara Henry membuatnya terkejut. “Emm … apakah tidak bisa lain waktu saja?”Eva meremas, memainkan jari-jarinya. Ia merasakan cemas yang medalam. Matanya juga menyiratkan rasa bingung.Henry tersenyum sinis melihat ekspresi Eva. “Bukankah ini keputusanmu? Kenapa kau terlihat cemas dan takut sendiri?”Eva menunduk.Henry kembali melanjutkan. “Kau jangan hany

    Last Updated : 2024-08-16

Latest chapter

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 134

    Harrison Realty Partners. Pekerjaan yang menumpuk mulai berkurang, dan suasana di luar pun lebih sepi hari itu. Terkadang, kesibukan yang datang begitu mendalam membuat Henry merasa sesak, namun saat ini dia lebih bisa bernapas lega.Dia memeriksa beberapa dokumen di mejanya dengan tenang, tangannya sesekali menulis catatan di margin. Tentu saja, ada beberapa hal yang masih perlu ditindak lanjuti lebih matang, tetapi semuanya terasa lebih terkendali. Henry menikmati momen ini, waktu untuk menyusun langkah selanjutnya tanpa tergesa-gesa.Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk, dan suara Ryan terdengar dari luar, “Ini saya, Tuan."Tanpa menoleh Henry menjawab, "Masuklah."Pintu dibuka, dan Ryan memasuki ruangan dengan langkah ringan. Dia mengenakan jas hitam yang tampak rapi, meskipun hari itu tidak ada pertemuan penting yang mengharuskannya berpakaian seperti itu.“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Aku ingin berbicara mengenai bodyguard yang pernah kau utus saat di rumah sakit.” Henr

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 133

    Berlian kecil yang terdapat di kalung itu memancarkan setitik kilauan indah. Keindahan itu tampak sangat menyatu. Dia tak salah pilih, kalung itu benar-benar cocok di leher Eva. “Kenapa tiba-tiba sekali?” Eva menatap Henry dengan mata penuh kebingungan. “Apa kau ada maksud tertentu?” Henry sedikit terhenyak dengan pertanyaan Eva tampak mencurigainya. Dia menarik napas sejenak, berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Meskipun sedikit terkejut, dia berusaha menjaga ketenangannya dan menatap Eva dengan lembut.“Hadiah itu untukmu, karena akhirnya kau bisa melihat lagi,” jawabnya dengan tenang sabar. Eva terdiam sejenak, matanya sedikit melebar. Dia memandang Henry dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Sudah bertahun-tahun mereka menikah, dan ini adalah pertama kalinya dia menerima hadiah dari Henry. Ada perasaan campur aduk yang muncul, terkejut, haru, dan sedikit bingung.Apa dia benar-benar berubah? Eva masih merasa tidak percaya. Akan tetapi sorot mata Henry tidak menunjukk

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 132 Hadiah Kecil

    Dengan rasa ragu Eva berucap, “Aku ….”Ucapan itu dibuat menggantung, membuat Henry menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang tak terungkap, sesuatu yang mengambang di antara mereka, tetapi Eva tampak ragu untuk melanjutkannya. “Apa yang ingin kau katakan?” Henry bertanya pelan, berusaha tak mendesak, tapi cukup tegas agar Eva merasa dia siap mendengarkan.Eva menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian, matanya tak bisa menatap langsung ke arah Henry. Beberapa detik kemudian dia menggeleng, mengurungkan niatnya. “Tidak apa-apa, lupakan saja.”Eva kembali fokus pada piring di depannya. Takut jika apa yang dia katakan nanti hanya menjadi angin lalu bagi Henry. Lebih baik dia diam saja daripada harus membuang tenaganya. Sementara Henry, dia bisa merasakan keraguan di wajah Eva. Dia menyadari bahwa istrinya itu belum siap untuk berbicara tentang apa yang mengganggunya.Dia mencoba memberikan ruang tanpa menekan. "Aku tahu kau sedang memikirkan banyak hal," katanya dengan suara

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 131

    Eva menatap Henry dengan serius, sorot matanya menunjukkan keteguhan. Suasana hening sejenak, dia menunggu jawaban Henry, memastikan perubahan sikap suaminya.Henry membalas tatapan Eva, memikirkan kata-kata yang tepat. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri, tetapi juga gengsi untuk mengakui kesalahan secara langsung. Dengan ekspresi serius dan dengan nada ragu dia menjawab, "Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Aku … akan berusaha untuk melakukan yang terbaik kedepannya." Henry menatap Eva dengan sedikit gugup, berharap Eva bisa melihat bahwa dia benar-benar berniat berubah, meskipun sedikit malu mengakui kesalahannya.Eva terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Henry, mencerna kata-kata itu dengan benar. Ada gurat keraguan di wajahnya, tetapi dia mencoba untuk tenang. Matanya menatap ke dalam mata Henry, memastikan jawaban itu benar adanya. “Baiklah, aku harap itu bukan hanya sekedar kata-kata, karena aku tidak bisa terus-terusan begini. Aku hanya memberimu satu kali kes

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 130

    Meski hatinya berat melihat Samuel kesepian, dia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan terkadang, cinta tak harus memiliki. Dia hanya bisa tetap ada di sampingnya, memberikan dukungan dengan cara yang sederhana, karena, terkadang hal yang paling dibutuhkan adalah kehadiran dan doa yang tulus dari orang terdekatt.Samuel menghela napas panjang, menyadari dirinya terlalu larut dalam pikirannya. Dia mengalihkan pandangannya pada Dave sebelum akhirnya bertanya dengan suara tenang namun tegas, "Bagaimana kondisi di kantor selama aku tidak ada?"Dave segera menjawab, "Semuanya berjalan seperti biasa, Tuan. Beberapa klien menanyakan Anda, tapi sudah ditangani. Tidak ada masalah besar."Samuel mengangguk pelan. "Baik. Aku akan segera kembali. Kau urus semuanya."Dave hanya mengangguk samar. Tak lama kemudian memberikan tablet pada Samuel. "Tuan, ada pembaruan dari klien utama kita. Blackwood Capital ingin laporan performa terbaru sebelum akhir pekan. Mereka menekan soal proyek investa

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 129

    Samuel duduk di tempat tidurnya, kedua kakinya berselanjaran santai di atas kasur yang empuk. Laptop terbuka di pangkuannya, cahaya layar memantul di wajahnya yang terlihat serius, sementara suasana kamar yang tenang menciptakan kesan hening di sekelilingnya.Liliana menggelengkan kepala perlahan, matanya memandang putranya heran. Putranya itu tampak tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia duduk diam, fokus pada dunianya sendiri. “Mama benar-benar heran sama kamu,” katanya kesal sambil berkacak pinggang. “Baru juga pulang dari rumah sakit tapi masih saja kerja. Kamu tuh masih butuh banyak istirahat! Kondisi kamu masih belum pulih sepenuhnya.” Wajahnya tampak tegas, menunjukkan kekhawatiran dan keheranan yang tidak bisa dijelaskan. Samuel menatap mamanya sekilas dengan senyum tipis di wajahnya. “Samuel sudah jauh lebih baik, Ma,” jawabnya dengan santai. Matanya kembali fokus pada layar laptop di depannya. Langkah Liliana semakin dekat, wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. “Kamu

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 128 Kembali ke Penthouse

    2 hari kemudian. Mobil berjenis marcedes itu telah terparkir rapi di basement, berjejer dengan mobil mewah lainnya. Suasana di sana cukup hening, hanya terdengar suara pelan mesin ventilasi yang berputar. Eva menoleh ke arah kursi pengemudi, di sana terdapat Henry yang baru saja mematikan mesin mobilnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Aku ingin pulang, kenapa kau membawaku ke sini?” Keningnya berkerut, hingga alianya itu hampir menyatu. Henry melepas sabuk pengaman, menatap ke arah Eva sekilas. “Bukankah ini rumahmu?” jawabnya dengan santai.Henry tahu, bahwa Eva pasti akan menolak kembali ke penthouse, tempat tinggal mereka berdua sebelumnya. Dia memang sengaja membawa Eva kembali ke penthouse untuk memulai kehidupan mereka setelah drama perceraian. Eva menegang di tempat duduknya, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali ke sini," ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.Henry tersenyum kecil, bukan senyum yang hangat, mela

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 127

    Henry tertawa ringan, tapi ada nada ejekan di dalamnya. “Heh, Samuel?” gumamnya, menatap Eva yang masih duduk di brankar.Ada perasaan aneh saat Eva menyebutkan nama Samuel di depannya. Rasa seperti tak dihargai. Tapi dia tak bisa menyalahkan Eva, karena dia juga yang menutupinya. Eva mengerutkan kening, bingung dengan ekspresi di wajah suaminya. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Henry melipat tangannya, menyandarkannya di atas brankar milik Eva, posturnya tegak, tapi tetap santai. Kedua matanya menatap Eva, seperti menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. “Jadi, kau pikir operasi ini semua karena inisiatif Samuel?” katanya, suaranya terdengar datar namun tajam.Eva menatapnya, perlahan mulai memahami arah pembicaraan ini. “Bukankah begitu?”Henry mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Sebenarnya, semuanya terjadi atas perintahku.”Eva terdiam, menatap Henry lekat-lekat, mencoba memastikan apakah dia serius. “Maksudmu…?”Henry mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Aku yang mengur

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 126

    Bukan hanya Eva, rasa lega terpancar dari wajah para dokter itu. Operasi ini berhasil, dan dengan itu, karir mereka tetap utuh. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur. Eva tersenyum penuh haru, air matanya mulai menggenang. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, memerhatikan satu per satu dari mereka. Matanya berhenti pada sosok Henry yang berdiri tak jauh dari jangkauan para dokter. Wajahnya tampak tegas, tapi menunjukkan kelegaan dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja senyum di wajah Eva perlahan luntur. Hatinya merasa sesak ketika orang yang selalu ada untuknya tak berada di sana. Pada momen bahagia ini, seharusnya Samuel berada di sana, turut merayakan kebahagiaan yang ada. Namun, di sisi lain, ia teringat bahwa Samuel memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar kesehatannya kembali pulih. Meskipun hati ingin sekali bersama, kesadaran akan pentingnya istirahat membuatnya merelakan ketidakhadiran Samuel di momen tersebut."Senang sekali mendengar Anda bisa me

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status