Share

Chapter 4

Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. 

Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”

“Terima kasih.”

Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.

“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” 

Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.

Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.

Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?

Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.

Ketika Julia melihat Eva, dia menyunggingkan senyum sinis. “Aku dengar, kau ingin bercerai dengan Henry.”

Eva mencoba mengatur ekspresinya. Tanpa banyak berpikir, ia tahu  dari mana Julia tahu masalah ini. Sepertinya Henry sangat terbuka dengan Julia.

“Aku tidak menyangka jika wanita sepertimu dengan beraninya meminta bercerai. Dapat keberanian dari mana kau?” Julia mencondongkan dirinya lebih dekat dengan Eva. “Sepertinya, matamu yang rabun itu juga membuat keputusanmu menjadi rabun, ya.”

Eva hanya diam, tidak tahu bagaimana menanggapi Julia. 

Julia menatap Eva terkekeh sinis. “Bagaimana rasanya menikah tapi kehadiranmu tidak diinginkan? Bahkan keluarganya juga tidak pernah menganggapmu.”

Eva merasakan campuran kemarahan dan kesedihan saat Julia melemparkan sindiran tajam. Kata-kata Julia, terutama menyinggung kondisi penglihatannya terasa seperti cambukan keras untuknya. 

Tak mau berhenti sampai di situ, Julia terus berbicara dengan tatapan mengejek. “Tapi, syukurlah jika kau sadar dengan kekuranganmu. Jika kau sudah memutuskan, lakukan dengan cepat. Buat apa kau bertahan dengan seseorang yang tidak pernah menganggap kehadiranmu?”

Tangan Eva mulai gemetar. Ia meremas ujung bajunya sendiri, melampiaskan semua perasaannya.

“Aku jadi kasihan denganmu. Selama bersamaku, dia tidak pernah mengabaikanku. Dia juga tidak mau jauh dariku, dia selalu mengutamakan kebutuhanku. Aku tahu rasanya menjadi prioritas, bukan hanya sekedar pelengkap sepertimu!” Julia melanjutkan ucapannya dengan sarkatik ke arah Eva.

Eva menjaga ketenangannya, meskipun sakit mulai menjalar di hati. 

Ejekan Julia mengenai bagaimana Henry selalu memanjakannya, dan bagaimana dia merasa dihargai membuatnya semakin tertekan dan terluka. 

Rasanya seperti dikhianati dan direndahkan, terutama ketika Julia mengatakan jika Henry selalu mengutamakan kebutuhannya. Perasaan tak dihargai dan diabaikan semakin membebani pikirannya.

Namun, Eva sendiri sadar akan kesalahannya. Dia tidak menyalahkan bagaimana sikap Henry padanya. Ia sadar bahwa dia sudah merebut Henry dari Julia. 

Dengan rasa tidak nyaman, Eva berkata dengan lembut. “Terima kasih atas sarannya, Nona Julia. Biarkan masalah ini kami yang menyelesaikan.” 

Julia menatap Eva dengan seringaian puas. Ia kembali berbicara dengan provokasinya. “Jangan biarkan dirimu terjebak terlalu lama. Apa kau mau aku membantu proses perceraianmu agar lebih cepat?”

Eva menatap ke arah Julia. Ia bisa melihat jelas bagaimana wajah licik Julia saat ini. Wajah Julia menunjukkan rasa tidak sabar dengan perceraiannya dengan Henry. 

“Terima kasih atas tawarannya, Nona. Tapi, sebaiknya kurang-kurangi ikut campur  rumah tangga orang lain.” Terdengar halus, tetapi kata-kata Eva penuh dengan sindiran.

Julia tertawa mengejek mendengar ucapan Eva. “Aku hanya menyadarkanmu, Eva. Agar kedua mata dan pikiranmu itu terbuka!”

“Ah, iya aku lupa, matamu ‘kan tidak normal. Jadi sulit untuk melihat kenyataan.” 

Setelah mengatakan itu, Julia pergi begitu saja meninggalkan bekas luka di hati Eva.

Eva mengusap air matanya yang mulai membasahi pipi. Apakah kondisi glaukoma itu begitu buruk di mata dunia? Apakah penderita glaukoma sepertinya tidak berhak bahagia?

Jika bisa memilih, ia juga tidak akan mau memiliki kondisi seperti ini. 

Eva segera bangkit, meninggalkan kafe. Meskipun kata-kata Julia terdengar sakit, ia harus tetap bersikap tegar. 

Satu jam perjalanan, Eva sampai di penthouse. Ia berjalan masuk, ternyata di dalam sana sudah ada Elise, mama mertuanya, yang duduk dengan angkuh menatap ke arahnya.

“Mama sudah lama?” 

Dengan nada sewotnya Elis berkata, “Tidak perlu bersikap sok baik kepadaku! Siapa kau? Berani-beraninya meminta cerai dengan putraku. Harusnya putrakulah yang pantas menceraikanmu!”

Eva terdiam mematung. Kabar perceraiannya sudah sampai di telinga mama mertuanya. 

“Wanita rendahan yang tidak sadar diri! Sudah untung putraku bisa membawamu masuk ke keluarga ini. Memangnya siapa yang bisa menerima wanita rendahan dan cacat mata sepertimu?” Elise kembali berkata dengan senyum sinis mengembang di wajahnya.

Ia geram dengan keberanian Eva, harga diri dari keluarganya merasa terinjak-injak. Namun, dia juga senang dan tidak sabar dengan kepergian Eva dari keluarganya.

Setelah kata-kata sarkastik dari Julia, sekarang kata-kata itu berasal dari mama mertuanya sendiri. Kata-kata dari mama mertuanya kali ini terasa lebih menyakitkan.

Eva berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Maaf jika keputusan Eva salah, Ma. Tapi Eva tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan Henry.”

Eva bisa melihat sorot tajam dari Elise. Pandangan matanya ke bawah, berusaha untuk menghindari tatapan tajam Elise padanya. 

Sekali lagi dia merasa tertekan. Dari luar dia menjaga penampilan tetap tenang dan penuh hormat. Namun, dalam hati, ia merasa hancur.

“Dari awal kau sudah menghalangi kebahagiaan putraku! Kenapa kau baru sadar sekarang?” katanya. Tak henti-hentinya Elise memandang rendah ke arah Eva. 

“Maaf, Ma.” Dari sekian banyak kata, Eva hanya bisa mengatakan kata ‘maaf’. Dia tidak tahu harus berkata apalagi saat menerima semua kata-kata sarkasme dari orang-orang.

Elise tersenyum remeh. “Baguslah jika kau mengambil keputusan sendiri. Karena aku tidak perlu susah-susah memikirkan cara untuk mengusirmu dari sini.”

Elis melangkah pergi.

Eva memandang punggung Elise yang semakin jauh dengan air mata berlinang. keputusan untuk bercerai dengan Henry semakin kuat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Teh Nimaz
plng benci deh klw si ceweknya lemah bgtu ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status