Share

Chapter 5

Penulis: Sya Reefah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-09 10:28:43

“Henry.” 

Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.

Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. 

“Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.

“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.

Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. 

Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”

Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” 

Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu mengungkit masalah uang. 

Namun, tidak bisa dipungkiri jika ia menikah dengan Henry waktu itu karena keterbatasan finansial saat ibunya berada di rumah sakit.

Meski pada awalnya terpaksa. Dirinya selalu berusaha menjadi seorang istri yang baik dan benar. 

Henry tersenyum sinis. “Setelah aku membantu biaya pengobatan Ibumu dan menikahimu, ini balasanmu? Benar kata Julia, kau memang wanita picik yang hanya bisa memanfaatkan orang sepertiku!”

Eva merasa tertampar dengan kata-kata Henry. Namun, perasaannya juga lelah. Tak diinginkan, direndahkan dan rasa bersalah memenuhi hatinya.

Eva tersenyum getir saat Henry lebih percaya pada perkataan Julia. Julia dengan cepat mengambil kesempatan dalam situasi saat ini.

“Terima kasih sudah menjadi penolong dalam hidupku. Maaf jika aku tidak bisa menjadi istri sempurna untukmu.”

Eva meletakkan sebuah kartu hitam di depan Henry. “Aku kembalikan kartu ini. Rasanya aku tidak berhak menerimanya. Aku menggunakan sedikit dari jumlah di dalamnya. Tapi, kau tenang saja, aku akan mengganti uang itu.”

Henry mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak bisa menahan emosi yang menguasai dirinya.

“Baiklah jika itu keputusanmu. Aku pastikan kau akan menyesal dan memohon kembali padaku!” 

Eva tersenyum, lalu berkata, “Aku pergi. Bahagia selalu untukmu. Aku tunggu di pengadilan nanti.” 

Eva melangkahkan kaki keluar, dengan koper kecil di tangannya. 

Henry menatap Eva yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. Wajahnya dipenuhi dengan amarah.

Bukankah ini adalah hal bagus untuknya? Namun dalam hatinya terselip rasa enggan dengan keputusan Eva.

Di luar, udara malam yang dingin menyapu kulit Eva. Seolah mencerminkan suasana hatinya.

Di tengah hiruk-pikuk Manhattan, ia menyusuri trotoar yang sibuk. Mencari tempat tinggal untuk ia tempati selama proses perceraiannya. 

Eva menunggu lampu berubah, agar ia bisa melanjutkan perjalanan. Namun, di tengah-tengah perjalanan, glaukoma yang ia derita kambuh.

Pandangannya semakin kabur, seolah dunia tertutupi kabut putih. Cahaya terang dari lampu-lampu kota membuat matanya terasa terbakar disertai rasa pusing. Memperburuk pandangannya yang buram, dan mengkaburkan batas trotoar.

Ia berusaha melihat dengan jelas. Namun semakin banyak cahaya yang masuk membuatnya tidak bisa melihat pergerakan mobil yang mulai melintas dan berjalan ke sembarang arah.

Suara klarkson mobil  membuatnya panik. Ia sadar jika sebuah mobil melaju dengan cepat. 

Pengemudi yang cekatan mengerem mendadak. Menghasilkan suara gesekan ban mobil dan aspal yang menakutkan. 

Suasana menjadi tidak kondusif. 

Pengemudi itu bergegas keluar dengan perasaan kesal. “Apa yang kau lakukan, Nona? Apa kau ingin mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini?” 

“Eva!” Pengendara itu ternyata mengenali Eva. Dia adalah Samuel, sepupu Henry. 

Suara itu sangat tidak asing di telinga Eva. Dengan sekuat tenaga dia menormalkan pandagannya.

“Apa yang kau lakukan di tengah jalan seperti ini?” Samuel bisa melihat koper kecil di samping Eva.

“Ayo ikut denganku.” Tanpa pikir panjang, Samuel membawa Eva ke dalam mobilnya. Sebelum itu, Samuel meminta maaf pada pengendara lain atas kekacauan yang terjadi.

“Apa yang kau lakukan di tengah jalan seperti itu dengan membawa koper?” Samuel bertanya di sepanjang perjalanan.

“Samuel?” Perlahan-lahan pandangan Eva mulai membaik.

Samuel menarik napasnya panjang. “Ya, aku Samuel. Kenapa kau berada di tengah jalan? Itu bisa membahayakanmu.”

“Aku tidak berniat seperti itu. Tiba-tiba saja pandanganku buram.” Eva menjawab lesu, menatap ke arah luar jendela.

“Apa terjadi sesuatu dengan kondisi matamu? Bagaimana jika aku mengantarkanmu ke rumah sakit?” Samuel cemas dengan kondisi Eva. Dia tahu mengenai kondisi mata Eva saat ini.

Dengan cepat Eva menolak. “Terima kasih atas tawarannya. Tapi itu tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu.”

Eva sedikit menghangat dengan perhatian kecil Samuel. Namun ia menganggap jika perhatian Samuel hanya sekedar basa-basi semata.

“Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu pulang. Malam sudah sangat larut.”

“Tidak!” 

Eva bersuara dengan keras hingga membuat Samuel terkejut. 

“Antarkan saja aku ke kawasan Lower East Side yang tidak jauh dari sini.” Eva mengatakan dengan ragu-ragu.

Samuel mengerutkan keningnya bingung. Namun ia tetap menuruti permintaan Eva.

“Terima kasih atas tumpangannya.” 

“Apa kau yakin akan tinggal di sini?” Samuel memastikan. 

Sepanjang perjalanan, Eva sudah menceritakan bagaimana nasib rumah tangganya. Ia merasa iba dan tidak tega melihat kondisi istri dari sepupunya itu.

“Aku tidak mau merepotkan banyak orang. Terima kasih sebelumnya.” 

“Baiklah.” Samuel tidak memaksa kehendak Eva. “Jika memerlukan sesuatu, kau bisa menghubungiku.”

Eva mengangguk saja. 

Samuel kembali melajukan mobilnya.

Sementara Eva mencari apartemen kecil dan murah di kawasan itu. 

Keesokan harinya, di Central Park Tower Penthouse

Henry merasakan perasaan yang tidak biasa. Perasaan kekosongan yang tidak bisa diisi dengan hal apapun. 

Namun, Henry tidak memusingkannya. Itu pasti hanya perasaan adaptasi pertama kali Eva meninggalkan penthouse.

Dengan pakaian rapi, Henry bergegas pergi ke perusahaannya. Saat tiba di sana, Henry duduk dengan tenang di kursi kebesarannya. Berkutat dengan dokumen-dokumen di meja. 

Hari demi hari berganti, Henry tetap disibukkan dengan pekerjaannya. Ia bekerja seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. 

Dengan ada atau tidak adanya Eva, hari-harinya dihabiskan hanya dengan bekerja.

“Masuk.” Henry bersuara keras ketika mendengar pintu ruangannya diketuk dari luar.

Ryan masuk membawa dokumen di tangannya. 

Pandangan Henry terfokuskan pada dokumen yang ada di tangan Ryan. “Apa yang kau bawa?”

Ryan memberikan dokumen itu pada Henry. “Ada dokumen yang harus Anda tanda tangani, Tuan.”

Henry membuka dokumen tersebut. Dia membisu ketika melihat isi dokumen itu.

Bab terkait

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 6

    Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-09
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 7

    Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 8

    “Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 9 Kemarahan Henry

    Malam hari, sebelum tidur Eva termenung. Teringat dengan pertanyaan Samuel mengenai perceraiannya. Sampai sekarang, perceraiannya tidak ada kabar.Eva bergumam pelan. “Apa aku menghubunginya?”Eva menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Henry terpampang di layar. Selama dia pergi, sama sekali tidak terlibat komunikasi dengan Henry.Dengan satu sentuhan, Eva memanggil nomor Henry.Setelah beberapa deringan, suara Hnery terdengar di ujung telepon. “Hallo.”Eva berkesiap. Ia pikir jika Henry tidak akan menerima telepon darinya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu mengenai dokumen perceraian itu. Apa kau sudah menandatanganinya?”Eva bisa mendengar suara Henry yang tertawa keras di sana. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Henry saat ini.“Kau menanyakan ini karena aku menghambat jalanmu untuk dekat dengan laki-laki lain? Jangan harap kau menerima kemudahan.”“Henry, Ak-,”Belum juga dia menyelesaikan ucapannya. Henry sudah memutusk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 10 Rencana Terselubung Julia

    Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 11 Kemarahan Papa Henry

    Di dalam rumah dengan suasana tenang dan elegan, Elise, Mama Henry duduk dengan tenang.Jendela besar membiarkan cahaya matahari masuk. Aroma teh segar melengkapi suasana damai.Elise tiba-tiba saja teringat mengenai perceraian anatara Eva dan Henry. Dia merasa penasaran bagaimana kelanjutannya. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar kabar selanjutnya.Dengan cepat, tangannya meraih ponsel dan menghubungi Henry.Suara Henry terdengar di ujung telepon. “Halo, ada apa, Ma?”Sebelum menjawab, Elise melirik ke sekeliling. Namun, pada akhirnya dia melangkah pergi sedikit menjauh agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya.Elise bertanya dengan rasa ingin tahu. “Halo, Henry. Mama hanya ingin menanyakan bagaiamana perceraianmu dengan Eva? Apa ada kemajuan?”Di ujung telepon, Henry menjawab dengan tenang. “Semua masih dalam proses, Ma.”Elise kembali berbicara dengan nada mendesak. “Untuk apa kau menunda-nunda, Henry? Gunakan uang-uangmu untuk mengurus semuanya. Mama sudah muak melihat wanit

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-15
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 12 Aku Tetap Ingin Bercerai

    Eva menarik tangannya dari Henry. “Lepas, Henry!”Tangannya berhasil lepas dari genggaman tangan Henry.Henry memandang ke arah Eva tajam. Cukup lama dia memandang Eva. “Kau harus ikut aku sekarang.”Eva berbicara dengan nada tegas. “Kau tidak bisa memaksa orang begitu saja, Henry!”Henry menghela napasnya.Eva bisa melihat wajah Henry yang sangat menyebalkan saat ini.Dengan wajah datar Henry berkata, “Papa memintamu datang. Papa memintamu untuk menjelaskan perceraian yang kau ajukan.”Eva membeku ketika Henry mengatakan itu. Penjelasan apa yang akan ia katakan pada papa mertuanya?Henry meninggikan suaranya. “Kenapa kau terdiam?”Suara Henry membuatnya terkejut. “Emm … apakah tidak bisa lain waktu saja?”Eva meremas, memainkan jari-jarinya. Ia merasakan cemas yang medalam. Matanya juga menyiratkan rasa bingung.Henry tersenyum sinis melihat ekspresi Eva. “Bukankah ini keputusanmu? Kenapa kau terlihat cemas dan takut sendiri?”Eva menunduk.Henry kembali melanjutkan. “Kau jangan hany

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 13 Terkejut

    NexGen Investments.Samuel duduk di kursi ujung ruang rapat. Memantau kemajuan dan berbicara dengan timnya mengenai bagaimana mereka dapat memperbaiki situasi yang mereka alami.Karena megalami masalah, membuat Samuel tidak bisa mengunjungi Eva sementara waktu. Di sana juga ada Mr. Thompson. Dia adalah klien utama dari perusahaan Samuel yang ikut melihat bagaimana perkambangan mengenai masalah kontrak.Samuel memulai pembicaraan. “Terima kasih telah memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki situasi ini , Mr. Thompson. Kami mengakui bahwa kami menghadapi beberapa masalah serius terkait kesalahan administratif dan teknis, tetapi kami telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikannya.” Mark, kepala departemen administrasi mengatakan kabar baik. “Kami telah memperbaiki sebagian besar dokumen dan data yang bermasalah, Mr. Thompson. Kami juga telah melakukan audit sistem untuk memastikan tidak ada kesalahan administratif yang tersisa.” Mr. Thompson menyimak dengan tenang.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-18

Bab terbaru

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 95

    Satu per satu pakaian milik Eva itu dia masukkan ke dalam tas dengan rapi. Dia mengenali setiap sentuhan kain, tiap tekstur yang berbeda, mulai dari kaos lembut yang sering dikenakan Eva saat santai, hingga pakaian tidur yang nyaman.Di sudut lain, seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut tampak sibuk menyiapkan apa saja yang diperlukan. Dialah Nyonya Rosie, dengan telaten dia memastikan setiap detail sebelum keberangkatan Eva ke rumah sakit.“Eva, aku tidak bisa menemanimu di sana. Aku sudah menyiapkan semuanya, jaga dirimu baik-baik. Ikuti apa kata Samuel.” Suaranya lembut penuh perhatian.Eva tersenyum, meski matanya tidak bisa melihat, dia bisa merasakan ketulusan wanita paruh baya itu. “Terima kasih, Nyonya. Anda sudah banyak membantu. Tidak apa-apa, Nyonya, doakan saja agar semuanya berjalan lancar.”Nyonya Rosie mendekat, memberikan pelukan hangat sebelum keberangkatan Eva.Samuel yang sibuk memasukkan baju, memandang dua wanita itu sekilas dengan perasaan hangat. Matanya,

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 94 Merelakan

    Malam itu semakin terasa dingin, tapi bukan karena angin, melainkan kekosongan yang menguasai hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Akan tetapi rasanya tidak cukup untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Bayangan wajah Eva kembali muncul di benaknya. Senyumnya yang lembut dengan semangat juang yang tidak pernah pudar selalu membuatnya tenang dan lebih asik menjalani hari. Akan tetapi Samuel tahu dan sadar diri, Eva bukan miliknya. Lagi-lagi kenyataan itu menamparnya keras. “Sejak kapan kau menyukainya?” Pertanyaan Henry itu terus berputar-putar dalam pikirannya. Entah kapan itu, dia tidak tahu jelas. Karena kian hari simpatinya itu menuntunnya semakin jauh untuk lebih dekat dengan Eva.Hatinya selalu tergerak untuk mendekati Eva. Hingga akhirnya rasa simpati itu berubah menjadi rasa yang tidak biasa.Samuel terkekeh pelan. Tawa itu menunjukkan ejekan pada dirinya sendiri. “Begitu banyak wanita di luar sana, Sam. Bagaimana bisa k

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 93 Sulit Menunjukkan Perasaannya

    Malam itu, di balkon apartemen Samuel, angin malam menyapu dengan perlahan membawa udara sejuk yang menyejukkan kulit. Kota di bawah sana terdengar riuh, suara kendaraan terdengar samar dari kejauhan. Meski kota itu terlihat hidup, tetapi di balkon itu terasa sepi dan sunyi. Henry berdiri di sudut balkon, matanya menatap jauh, pandangannya kosong seperti tidak melihat apa-apa. Wajahnya yang angkuh dan arogan itu kini terlihat sedikit sayu. Seperti kehilangan jati dirinya.Tiba-tiba saja terdengar langkah kaki yang mendekat dari arah belakang. Tanpa Henry menoleh, dia tahu jika itu adalah Samuel. Beberapa detik kemudian Samuel muncul dengan membawa dua gelas Champagne di tangannya. Samuel memberikan satu gelas itu pada Henry, kemudian dia berkata, “Tidak biasanya kau datang ke mari? Apa yang membuatmu datang tiba-tiba?” Samuel meneguk champagne miliknya, dia memutar tubuhnya beralih memandang pemandangan kota di bawah sana, dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.“Bagai

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 92 Perasaan Mengubah Segalanya

    Henry sedang duduk tenang di ruang kerjanya, ia tidak terpengaruh meski Ryan masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah Ryan tampak serius, dan ada secercah kegelisahan yang sulit disembunyikan."Tuan," panggil Ryan dengan nada berat.Henry mendongak, meletakkan dokumen yang tengah dia baca. "Ada apa?"“Nexus Group menghubungi saya setelah pembatalan pertemuan Anda dengan mereka. Mereka meminta kejelasan pasti. Jika tidak ….”“Jika tidak, apa?” Suara Henry terdengar berat. “Jika mereka ingin memberikan proyek itu pada orang lain dan meminta pinalti, berikan saja pada mereka.” “Tapi, Tuan … bagaimana jika klien yang lain tidak mempercayai kita lagi?” ucapnya dengan cemas. Ryan memerhatikan Henry dengan lekat. Dia bisa melihat perubahan Henry setelah mengetahui kondisi Eva. Dalam hatinya, dia senang jika Tuan-nya akhirnya bisa sadar dan melakukan segala upaya. Namun, semua pekerjaan terbengkalai. Hingga membuat Julia frustasi dan marah. Pekerjaannya bertambah, ditambah lagi dia semakin terja

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 91 Kasihan Sekali si Ular

    Julia menerobos pintu ruangan Henry dengan langkah cepat, heels-nya beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema di sepanjang ruangan. Henry yang sedang berdiri di depan jendela besarnya, menoleh, melihat kedatangan Julia dengan ekspresi yang tidak bersahabat.“Henry!” suara Julia memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Kau tahu sudah berapa kali kau membatalkan pertemuan dengan klien tanpa pemberitahuan yang jelas? Ini bukan hanya membuatku kewalahan, tapi juga mencoreng reputasi perusahaan!”Henry melangkah pelan, mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangan disilangkan di dada. Tatapan tenangnya membuat emosi Julia semakin memuncak.“Kau tahu apa yang terjadi tadi pagi? Klien dari Nexus Group marah besar karena kau membatalkan pertemuan lima menit sebelum waktu yang dijadwalkan! Aku harus memohon pada mereka agar tidak memutuskan kerja sama!” Julia melanjutkan dengan nada yang lebih tinggi.Henry menghela napas pelan, tangannya bergerak

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 90

    Henry berdiri di ruang konferensi rumah sakit, menghadap deretan dokter ahli yang dipanggil khusus untuk menangani kondisi Eva. Jas mahalnya tampak berantakan, dasinya longgar, namun sorot matanya penuh tekanan yang tak terbantahkan. "Ini bukan permintaan, ini perintah," ujar Henry tegas, suaranya bergema di ruangan itu. Dia memandang satu per satu wajah para dokter di depannya. "Aku tidak peduli apa yang kalian butuhkan, peralatan, teknologi, atau bahkan tenaga ahli lain. Aku akan memberikannya pada kalian. Tapi kalian harus menyembuhkan matanya." Dokter Collins, seorang spesialis saraf, menghela napas panjang. "Tuan Henry, kami memahami keinginan Anda, tapi glaukoma yang dialami nyonya Eva sudah mencapai tahap yang tidak bisa dipulihkan. Kerusakan saraf optik dan ototnya bersifat permanen." "Jangan beri aku alasan!" Henry memotong dengan suara meninggi. "Kalian semua di sini karena aku percaya kalian adalah yang terbaik. Kalau ada yang bisa dilakukan, maka lakukan. Kalau tidak,

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 89 "Aku Hanya Inging Dia Bahagia"

    "Aku akan menanggung kesembuhan Eva, tapi ada syaratnya..." Henry mengucapkannya dengan nada santai, tatapannya mengarah ke Samuel.Samuel, yang awalnya duduk santai, seketika mengerutkan kening. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Henry dengan sorot mata penuh tanda tanya."Syarat?" tanyanya, mencoba memahami maksud Henry. "Apa syaratnya?"Henry menyeringai lebar, melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tidak berubah. "Aku akan menanggung semuanya tapi kau harus menjauhinya."Samuel membeku di tempat. Kata-kata Henry menghantamnya seperti pukulan keras mengenai kepalanya.Matanya melebar menatap Henry dengan tatapan tidak percaya. Menjauhinya? Kata-kata Henry terngiang-ngiang di kepalanya. “A-apa maksudmu?” Samuel menahan suaranya yang gemetar. Henry tetap di posisi yang sama, menyeringai tanpa ragu sedikitpun di wajahnya. “Kau pasti mendengar apa yang aku katakan, Sam. Aku akan menanggung semua biaya kesembuhan Eva, tapi kau ha

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 88 Pada Akhirnya Mengalah

    Midtown Manhattan. Samuel memijat pelipisnya, menatap layar komputernya yang sudah tidak lagi menampilkan email pekerjaannya. Semua email masuk selesai dicek, semua tanggung jawab sudah dituntaskan, tapi hatinya masih terasa sesak. Dia bersandar pada kursi yang sepertinya sudah menjadi bagian dari dirinya. Pemandangan kota yang luas terbentang di luar jendela, tapi dia merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu dalam. Samuel memandang ke luar jendela cukup lama. Pikirannya kembali melayang pada Eva. Wajahnya, senyum lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh harapan. Dia tahu perasaannya terhadap Eva lebih dari sekadar simpati. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang dia rasakan. Namun, seperti halnya dengan banyak hal dalam hidupnya, Samuel tahu bahwa ada saat-saat di mana perasaan itu harus dipendam. Dalam keheningan apartemennya ini, Samuel hanya bisa berharap. Dia berharap agar operasi itu berjalan lancar, agar Eva bisa merasakan kebahagiaan yang layak dia dapatkan. N

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 87

    “Kalau kau merasa bisa membantunya, kenapa tidak kau yang menyembuhkannya dengan uang milikmu itu?” Ekspresi wajahnya tetap sama, mencerminkan sikap yang sama sekali tidak peduli.“Bukankah kau yang paling peduli dengannya?” jawabnya dingin, nada suaranya tak menunjukkan sedikit pun empati. “Dia tidak terlalu penting sampai-sampai harus menghabiskan waktu dan uangku.”Samuel menggertakkan gigi-giginya. Dengan gerakan kasar dia menarik kerah baju Henry dan berteriak, “Sebenarnya apa maumu, Hen? Dia menjadi seperti ini karena keegoisanmu, tapi kau tidak merasa bersalah sama sekali! Di mana letak hatimu, hah?” Suaranya terdengar gemetar, antara marah dan kecewa.Samuel melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sikap Henry lama-lama membuatnya muak. Dia mundur selangkah, menatap pria di depannya dengan mata yang penuh kebencian. Samuel menunjuk ke arah Henry, nadanya semakin meninggi. “Kau itu benar-benar munafik! Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana dirimu sebenarnya jika mengenai Eva!

DMCA.com Protection Status