Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi
Di dalam rumah dengan suasana tenang dan elegan, Elise, Mama Henry duduk dengan tenang.Jendela besar membiarkan cahaya matahari masuk. Aroma teh segar melengkapi suasana damai.Elise tiba-tiba saja teringat mengenai perceraian anatara Eva dan Henry. Dia merasa penasaran bagaimana kelanjutannya. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar kabar selanjutnya.Dengan cepat, tangannya meraih ponsel dan menghubungi Henry.Suara Henry terdengar di ujung telepon. “Halo, ada apa, Ma?”Sebelum menjawab, Elise melirik ke sekeliling. Namun, pada akhirnya dia melangkah pergi sedikit menjauh agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya.Elise bertanya dengan rasa ingin tahu. “Halo, Henry. Mama hanya ingin menanyakan bagaiamana perceraianmu dengan Eva? Apa ada kemajuan?”Di ujung telepon, Henry menjawab dengan tenang. “Semua masih dalam proses, Ma.”Elise kembali berbicara dengan nada mendesak. “Untuk apa kau menunda-nunda, Henry? Gunakan uang-uangmu untuk mengurus semuanya. Mama sudah muak melihat wanit
Eva menarik tangannya dari Henry. “Lepas, Henry!”Tangannya berhasil lepas dari genggaman tangan Henry.Henry memandang ke arah Eva tajam. Cukup lama dia memandang Eva. “Kau harus ikut aku sekarang.”Eva berbicara dengan nada tegas. “Kau tidak bisa memaksa orang begitu saja, Henry!”Henry menghela napasnya.Eva bisa melihat wajah Henry yang sangat menyebalkan saat ini.Dengan wajah datar Henry berkata, “Papa memintamu datang. Papa memintamu untuk menjelaskan perceraian yang kau ajukan.”Eva membeku ketika Henry mengatakan itu. Penjelasan apa yang akan ia katakan pada papa mertuanya?Henry meninggikan suaranya. “Kenapa kau terdiam?”Suara Henry membuatnya terkejut. “Emm … apakah tidak bisa lain waktu saja?”Eva meremas, memainkan jari-jarinya. Ia merasakan cemas yang medalam. Matanya juga menyiratkan rasa bingung.Henry tersenyum sinis melihat ekspresi Eva. “Bukankah ini keputusanmu? Kenapa kau terlihat cemas dan takut sendiri?”Eva menunduk.Henry kembali melanjutkan. “Kau jangan hany
NexGen Investments.Samuel duduk di kursi ujung ruang rapat. Memantau kemajuan dan berbicara dengan timnya mengenai bagaimana mereka dapat memperbaiki situasi yang mereka alami.Karena megalami masalah, membuat Samuel tidak bisa mengunjungi Eva sementara waktu. Di sana juga ada Mr. Thompson. Dia adalah klien utama dari perusahaan Samuel yang ikut melihat bagaimana perkambangan mengenai masalah kontrak.Samuel memulai pembicaraan. “Terima kasih telah memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki situasi ini , Mr. Thompson. Kami mengakui bahwa kami menghadapi beberapa masalah serius terkait kesalahan administratif dan teknis, tetapi kami telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikannya.” Mark, kepala departemen administrasi mengatakan kabar baik. “Kami telah memperbaiki sebagian besar dokumen dan data yang bermasalah, Mr. Thompson. Kami juga telah melakukan audit sistem untuk memastikan tidak ada kesalahan administratif yang tersisa.” Mr. Thompson menyimak dengan tenang.
“Permisi, Nona. Apa hari ini Eva tidak bekerja?” Luna, mendongak saat mendengar suara seorang pria. Ia bisa mengenali pria tersebut. Pria itu adalah Samuel, yang sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Samuel baru sempat datang berkunjung hari ini. Luna menyapa dengan sopan. “Senang bertemu Anda, Tuan. Sudah lama tidak bertemu. Eva, ya? Tadi dia bekerja, tapi dia izin dengan terburu-buru setelah saya lihat dia berbincang dengan salah satu pelanggan.” Samuel mengerutkan keningnya bingung. “Apa dia laki-laki?” Luna menggeleng cepat. “Tidak. Pelanggan perempuan. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah itu, Eva pergi dengan sangat terburu-buru.” Dengan cepat Samuel bertanya kembali. Dia bisa merasa hal yang tidak beres. “Apa Anda tahu ke mana perginya, Nona?” Luna kembali menggeleng. “Maaf, saya tidak tahu, Tuan. Eva tidak mengatakan pada saya. Dia hanya mengatakan ada urusan mendesak yang harus diurus.” “Baiklah, kalau begitu, terima kasih, Nona. Saya akan coba un
Henry menatap tajam ke arah Eva. Seolah menembus ke dalam hatinya.“Bercerai?” ujarnya dengan nada sinis. “Kau datang kemari dengan tuduhan tidak jelas. Bahkan aku tidak pernah melakukannya. Aku menjadi curiga jika kalian berdua memang benar-benar bermain di belakangku!”Henry melanjutkan dengan nada dingin. “Apa ini caramu agar kau bisa bercerai denganku?”Eva berusaha menahan emosinya yang meluap. “Ucapanmu memang tidak bisa dipercaya, Henry! Aku masih ingat jelas bagaimana ucapanku sebelum meninggalkan apartemenku!”Eva mulai mengeluarkan semua unek-uneknya yang lama terpendam. “Bukankah banyak uang dan memiliki kekuasaan sangat mudah bagimu untuk mengurus perceraian dengan wanita sepertiku? Kenapa kau justru mempersulitnya dan mengganggu orang yang tidak bersalah? Dia datang hanya untuk menolongku di saat orang lain tidak ada yang memperdulikanku, menghinaku, mencaciku bahkan mengasingkanku!”Air mata Eva mulai membanjiri pipinya. Dia menatap Henry dengan rasa sakit.Eva kembali me
Sementara itu, di apartemen Eva, ia terlihat sibuk mengemasi bajunya. Berkali-kali ia mengusap air mata. Eva berdiri, mengatur napas sejenak. Pikirannya kembali melayang mengenai rumah tangganya bersama Henry. Ia merasakan campuran keputusasaan dan tekad. Tak butuh waktu lama, Eva pergi meninggalkan apartemen dengan koper kecil di tangannya. Menempuh perjalanan dua jam, Eva telah tiba di Poughkeepsie Station. Helaan napas terdengar dari mulut Eva saat keluar dari pintu kereta. Ia turun dengan langkah hati-hati, menyeret koper kecilnya. Matahari mulai tenggelam. Menunjukkan suasana penuh keletihan. Eva berjalan menyusuri platform, dia mendekati taksi di sisi jalan. “Selamat sore, Tuan. Bisa antarkan saya ke Millbrook?” Sopir taksi duduk di kursi pengemudi tersenyum ramah. “Mari, Nona.” Eva membuka pintu dan duduk di kursi belakang. Taksi mulai melaju. Eva menghela napas dan memandang ke arah luar jendela. Pikirannya sangat berkecamuk. 30 menit kemudian, Eva tiba di rumah sede
Eva terbangun di pagi hari yang tenang. Cahaya matahari lembut menembus tirai jendela kamar tidurnya. Menciptakan pola-pola halus di atas lantai.Suasana Millbrook, tempat yang sudah lama ia tinggalkan terasa akrab dan menyegarkan. Eva meregangkan ototnya pelan lalu duduk di tempat tidur.Aroma masakan gurih merasuk ke dalam penciumannya. Dia turun dari tempat tidur dan melangkah masuk ke dapur.Eva mendekat dengan ekspresi penuh semangat. “Selamat pagi, Ma! Aroma masakan yang Mama buat membuat Eva jadi lapar.”Helen berbalik, tersenyum hangat pada Eva. Ia berjalan menyusun piring. “Ayo kita sarapan.”Eva menarik kursi dan duduk dengan penuh antusias.Helen duduk di seberang meja menyiapkan piringnya.Eva mengambil roti bakar, dengan selai raspberry. “Ini selai rasberry buatan Mama sendiri, ya? Eva masih ingat jelas bagaimana enaknya selai buatan Mama.”Satu gigitan masuk ke dalam mulutnya. Eva terlihat sangat menikmati masakan olahan sang mama.Helen tersenyum penuh arti. “Tiba-tiba
Henry tersenyum tipis, jari-jarinya mengetuk meja pelan. "Ya, Tuan Lawson ternyata sudah menjadwalkan liburan eksklusif ke Swiss untuk kita semua. Lusa kita berangkat."Eva membelalakkan mata, meletakkan sendoknya ke piring dengan pelan. "Tunggu! Liburan eksklusif? Ke Swiss? Lusa?"Henry mengangguk tenang, seolah kabar ini bukan sesuatu yang mengejutkan. "Benar. Dia sudah mengatur semuanya, penerbangan, penginapan mewah di pegunungan, dan berbagai aktivitas. Katanya, istrinya sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu.” “Istrinya?” Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Sebelumnya, dia tak pernah berinteraksi dengan teman ataupun istri dari kolega suaminya. Tangannya mendadak dingin, merasakan gugup. Henry memerhatikan perubahan ekspresi Eva. Dia tahu bahwa istrinya tengah dilanda kegugupan. “Tidak perlu gugup. Yang aku dengar, Istri Tuan Lawson orang yang ramah. Jadi gunakan waktu itu untuk berteman sekaligus liburan. Jangan membuatnya menjadi beban.”Kata-kata Henry terdengar menen
Pintu apartemen terbuka, membuat pandangan Eva mengikuti sumber suara. Matanya bertemu dengan mata Henry, dan seketika itu, senyum hangat muncul di wajahnya. Dia bangkit dan mendekat ke arah Henry. “Sudah pulang?” ujar Eva, matanya berbinar-binar. Henry tersenyum, menyelipkan anak rambut Eva ke sela telinganya. Mata Eva fokus pada kotak yang ada di tangan suaminya. “Apa lagi yang kau bawa kali ini? Apa kau membiarkan rumah ini menjadi toko dadakan?” “Aku bawa sesuatu untukmu,” jawabnya dengan perasaan bahagia. Dengan wajah penasaran dia bertanya, “Apa itu?” Henry menuntun Eva ke meja makan, dan mengeluarkan hidangan khusus di dalamnya, chicken hot pie.Mata Eva berbinar. Dia tahu betul bahwa suaminya yang sering kali bersikap keras dan arogan, bukan tipe orang yang menunjukkan kelembutan dengan mudah. Bahkan, untuk melakukan sesuatu sesederhana ini, pasti ada usaha yang besar di baliknya.“Kau membelinya untukku?” tanyanya, dengan nada antusias. Henry tersenyum saat melihat w
Apa aku harus mengatakannya?Mungkin lebih baik tidak!“Apa kejadian di rumah sakit itu memengaruhi mood-mu?” Henry kembali bersuara. “Aku pastikan jika hal itu tidak akan terjadi lagi.” Eva terdiam, tak menjawab ucapan Henry. Hari ini sepertinya memberi dampak cukup besar pada suasana hatinya. Semua yang terjadi membebani pikirannya, membuat mood nya kacau. Pelukan itu akhirnya terlepas. Henry sedikit membungkuk, menyetarakan tinggi badannya dengan Eva. “Sebentar lagi makan malam, aku mandi dulu sebelum kita makan malam.”Eva mengangguk pelan dan membiarkan Henry membersihkan diri. ***Hari demi hari berlalu, hubungan Henry dan Eva semakin membaik. Setelah melewati keraguan dan ketidakpastian yang menguras emosi, mereka akhirnya menemukan kenyamanan dalam kebersamaan. Henry yang sebelumnya sibuk di dunia kantornya, kini semakin giat dalam kelas memasaknya bersama Chef Miles. Dia memilih memperketat jadwal kelas memasaknya, dia berlatih tanpa henti. Demi memasak makanan kesukaan
“Aku ingin percaya, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa percaya denganmu.”Henry menatap Eva dalam-dalam, tak sedikitpun melepaskan pandangannya. Dia menggenggam tangan Eva semakin erat, menyalurkan semua ketulusannya. Dia melangkah satu langkah lebih dekat dengan Eva. Dengan satu tarikan napas, dia pun menjawab, “Apa keberadaanku di sini saat ini tidak cukup?” suaranya terdengar lebih tenang. Tangannya terangkat, menyentuh pipi lembut Eva. “Aku sadar, aku tidak bisa menghapus semua rasa sakit di masa lalu, tapi aku selalu mengusahakan agar tidak menambah luka itu. Tidak apa-apa jika kau belum bisa percaya padaku. Aku tidak memaksamu untuk melakukannya.”Eva terdiam cukup lama, mencoba meresapi kata-kata suaminya. Tak mendapat reaksi dari Eva, perlahan-lahan dia menarik Eva ke dalam pelukannya. Eva terkejut saat merasakan tangan kekar itu tiba-tiba melingkari tubuhnya. Setiap detiknya waktu terasa berhenti. Dia terdiam, tubuhnya mendadak kaku, mulutnya terkunci da
“Samuel?” gumamnya pelan, dengan perasaan campur aduk.Nyonya Rosie mengangguk. “Ya. Dia terlihat baik … tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit kujelaskan.”Jantung Eva berdetak lebih cepat. Sudah sekian lama dia tidak mendengar kabarnya, tapi cukup satu penyebutan namanya saja untuk membuat dadanya terasa sesak dan merasa bersalah. Selama ini, dia selalu berusaha menghubungi pria itu, tapi setiap usahanya hanya berakhir sia-sia. Tak ada balasan atau tanda-tanda bahwa pria itu menghubunginya. Setiap pesan yang dia kirim terasa terabaikan. Apa dia benar-benar menjauhiku?Kenapa dia lakukan itu?“Apa dia mengatakan sesuatu, Nyonya?” Eva bertanya dengan rasa penasaran. Nyonya Rosie memerhatikan wajah Eva yang dipenuhi kekhawatiran. Dia pun tersenyum lembut dan menjawab, “Dia memberitahuku jika operasimu berhasil. Dia juga terlihat senang saat mengatakan itu.”Nyonya Rosie memilih diam, tidak membocorkan pembicaraannya bersama Samuel pada hari itu. Sudah cukup tahu bagaimana k
Henry tiba di penthouse pada waktu senja. Tangannya penuh dengan paper bag besar, dan terlihat jelas tulisan di paper bag itu adalah merk ternama, dan meletakkan semua paper bag di atas meja. Matanya menatap sekeliling, menyadari suasana hening memenuhi ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. Apa dia di dalam kamar? “Di mana Nyonya kalian?” Suara beratnya itu mampu menghentikan pelayan yang tampak sibuk. Pelayan itu berbalik dan segera menjawab, “Tadi Nyonya bilang keluar sebentar, Tuan.” Henry dengan cepat menanggapi, “Ke mana?” “Kami tidak tahu, Tuan,” jawabnya dengan rasa ragu. “Nyonya tidak memberitahu kami.” Suaranya semakin terdengar pelan. Seketika wajah Henry memerah karena marah. “Kenapa kalian membiarkannya, hah?! Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau dia keluar?” Pelayan itu sedikit terjingkat karena terkejut dengan bentakan Henry. “Maaf, Tuan.” Henry mengusap wajahnya, lalu mengacak rambutnya dengan gerakan kasar. Pikirannya penuh deng
Henry melanjutkan dengan suara datar dan tegas. “Kalau Mama terus berbicara seperti itu, Henry akan menjaga jarak seterusnya! Eva adalah Istriku, dan aku tidak akan membiarkan Mama mengatakan itu lagi padanya!”Gigi Elise gemertak, mulutnya terkatup rapat. “Jadi kamu lebih memilih dan membelanya?” Suaranya bergetar penuh dengan kemarahan. Dia pun kembali menatap Eva dengan perasaan semakin membara. “Pasti kau sudah mencuci otak Henry, ’kan?” Sementara Eva, wajahnya tampak tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau tanda-tanda melawan. “Bisa dibilang seperti itu. Aku memiliki terlalu banyak waktu luang untuk melakukannya.”Dia melirik Henry sebentar, lalu kembali menatap Elise dengan tatapan datar. "Tapi Mama tenang saja, dia masih punya kemampuan untuk berpikir sendiri, walaupun aku tahu itu terlalu sulit dipahami oleh sebagian orang.”Elise terhenyak, wajahnya memerah karena tersinggung, dan kini kemarahannya semakin meluap. Henry pun terkejut mendengar jawaban Eva. Dia tak menyangk
Henry memerhatikan Eva yang terlihat memalingkan pandangannya, seolah tidak melihat kehadirannya. Biasanya dia paling tak peduli dengan reaksi Eva selama ini, dan sekarang, dadanya terasa sesak ketika istrinya tak melihat keberadaanya. “Ayo kita berangkat,” ajaknya dengan suara lembut. “Tidak perlu!” Eva berbalik. “Aku bisa berangkat sendiri.”Eva melangkah dengan mantap, bersiap pergi tanpa menoleh lagi. Namun, sebelum dia sempat menjauh, Henry dengan sigap meraih tangannya."Tidak ada penolakan!” tegasnya. Dia menggenggam tangan Eva erat, lalu menuntunnya menuju mobil.Eva ingin menolak, tetapi genggaman Henry terlalu kuat, membuatnya enggan berdebat lebih jauh. Akhirnya, dia membiarkan pria itu membawanya pergi.Selama perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara tatapan Eva terarah ke luar jendela. Henry, di sisi lain, sesekali meliriknya, ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Akhirnya bersuara, suaranya rendah dan penuh perhatian. "B
Henry duduk di kursi kebesarannya, matanya menatap layar proyektor yang sedang menampilkan presentasi. Rapat penting tidak bisa ditunda. Namun di tengah-tengah fokusnya, ponselnya berdering memenuhi ruangan. Semua yang ada di ruangan itu mengikuti asal suara ponsel itu. Tak ada yang berani melayangkan protes padanya. Henry melirik ke layar ponselnya dengan sedikit malas. Hanya satu orang yang berani mengganggunya dalam jam-jam seperti ini, yaitu mamanya. Dia meraih ponsel, kemudian bangkit dan meminta para karyawannya itu melanjutkan pembahasannya. “Halo, Ma,” jawabnya dengan setengah malas. Di ujung telepon, terdengar suara lembut, tapi begitu tegas. “Di mana kamu? Cepat datang ke rumah sakit! Julia sedang membutuhkanmu di sini!”“Kenapa harus Henry?” jawabnya dengan datar. “Dia sudah berbuat baik pada kita, Henry! Dia baru saja mengalami kecelakaan, kita harus balas kebaikannya. Mama mau kamu datang dan merawatnya.” Elise berbicara tanpa jeda, seolah tak membiarkan Henry meno