Sementara itu, di apartemen Eva, ia terlihat sibuk mengemasi bajunya. Berkali-kali ia mengusap air mata. Eva berdiri, mengatur napas sejenak. Pikirannya kembali melayang mengenai rumah tangganya bersama Henry. Ia merasakan campuran keputusasaan dan tekad. Tak butuh waktu lama, Eva pergi meninggalkan apartemen dengan koper kecil di tangannya. Menempuh perjalanan dua jam, Eva telah tiba di Poughkeepsie Station. Helaan napas terdengar dari mulut Eva saat keluar dari pintu kereta. Ia turun dengan langkah hati-hati, menyeret koper kecilnya. Matahari mulai tenggelam. Menunjukkan suasana penuh keletihan. Eva berjalan menyusuri platform, dia mendekati taksi di sisi jalan. “Selamat sore, Tuan. Bisa antarkan saya ke Millbrook?” Sopir taksi duduk di kursi pengemudi tersenyum ramah. “Mari, Nona.” Eva membuka pintu dan duduk di kursi belakang. Taksi mulai melaju. Eva menghela napas dan memandang ke arah luar jendela. Pikirannya sangat berkecamuk. 30 menit kemudian, Eva tiba di rumah sede
Eva terbangun di pagi hari yang tenang. Cahaya matahari lembut menembus tirai jendela kamar tidurnya. Menciptakan pola-pola halus di atas lantai.Suasana Millbrook, tempat yang sudah lama ia tinggalkan terasa akrab dan menyegarkan. Eva meregangkan ototnya pelan lalu duduk di tempat tidur.Aroma masakan gurih merasuk ke dalam penciumannya. Dia turun dari tempat tidur dan melangkah masuk ke dapur.Eva mendekat dengan ekspresi penuh semangat. “Selamat pagi, Ma! Aroma masakan yang Mama buat membuat Eva jadi lapar.”Helen berbalik, tersenyum hangat pada Eva. Ia berjalan menyusun piring. “Ayo kita sarapan.”Eva menarik kursi dan duduk dengan penuh antusias.Helen duduk di seberang meja menyiapkan piringnya.Eva mengambil roti bakar, dengan selai raspberry. “Ini selai rasberry buatan Mama sendiri, ya? Eva masih ingat jelas bagaimana enaknya selai buatan Mama.”Satu gigitan masuk ke dalam mulutnya. Eva terlihat sangat menikmati masakan olahan sang mama.Helen tersenyum penuh arti. “Tiba-tiba
“Tapi, bukankah lebih baik kita mencari tahu yang sebenarnya lebih dulu sebelum percaya dengan ucapan orang lain, Tuan?” Henry menatap tajam, menentang ucapan Ryan. “Tidak ada gunanya mencari tahu lebih jauh. Kau sudah dengar sendiri saat dia datang kemari dan memutuskan bercerai begitu saja, ‘kan?”Ryan merasa percuma memberitahu Henry. Dia tidak menyalahkan Eva jika pada akhirnya meminta untuk berpisah. “Semua bisa dibicarakan baik-baik dengan Nyonya Eva, Tuan. Mungkin Nyonya dan Tuan memilih waktu berbicara dari hati ke hati.” Meski kesal, Ryan tetap sabar. Memberikan saran terbaik untuk Henry.Henry tersenyum sinis, menyilangkan tangan di dada. Menunjukkan kesombongan dan keegoisan. “Sebaiknya lakukan saja tugasmu dengan benar! Kau juga awasi pergerakan Samuel. Pasti wanita itu bersamanya saat ini. Temukan dia sebelum malam.”Tak mau banyak membantah. Ryan mengangguk, menyetujui perintah Henry. “Baik, Tuan.”Dengan langkah pasti, Ryan melangkah keluar ruangan Henry.Saat pintu k
Samuel menghela napas. Matanya menelusuri setiap sudut jalanan Manhattan melalui kaca mobilnya.Wajahnya cemas. Namun, sosok yang dia cari tidak ditemukan sama sekali.Bahkan dia rela menelurusi apartemen-apartemen kecil yang ada di kota demi mencari keberadaan Eva. Dia juga datang ke rumah sakit, memastikan apakah kondisi Eva baik-baik saja.Namun semua pencarian yang dia lakukan tidak membuahkan hasil hingga malam.“Dia sebenarnya ke mana? Apa terjadi sesuatu?” Pikirannya mulai melayang-layang. Ia juga menyalahkan diri sendiri. “Seharusnya aku tetap menghubunginya di saat sibukku memastikan dia baik-baik saja.”Tiba-tiba alis berkerut. Sesaat kemudian ide muncul di benaknya.Dia menepikan mobilnya, lalu merogoh ponsel. Nama Dave tertera di layar ponselnya.Suara Dave terdengar di ujung telepon. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”Samuel menjawab dengan cepat. “Dave, periksa CCTV kota. Mulai dari Lower East Side. Aku ingin mencari seseorang.” “CCTV kota?” Suara Dave ter
“Papa kenapa maksa sekali sih, Pa?” Tiba-tiba saja Elise menyahut dengan ketus. Dia duduk di sofa sebelah Henry. “Kalau memang maunya cerai, yaudah biarin mereka bercerai.”Martin semula bisa menahan emosi, justru dibuat emosi dengan ucapan Elise.Dengan nada tegas Martin berkata, “Hatimu benar-benar sudah dipenuhi dengan kebencian, Ma. Harusnya kamu bisa memberikan contoh yang baik untuk putramu ini!”Kening Elise berkerut marah. “Memangnya apa salah dari Mama? Mama ‘kan tidak mau memaksakan kehendak mereka. Untuk apa dipaksa jika memang tidak bisa dipertahankan lagi? Hanya membuat tersiksa saja!”“Sebaiknya Mama pergi saja dengan teman-teman sosialita Mama. Jangan membenarkan perceraian hanya karena hati benci Mama pada orang lain.” Martin beralih menatap Henry dengan wajah tegasnya. “Dan kau Henry, cepat cari keberadaan Eva sampai ketemu. Jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus kau tanggung.”Martin beranjak berdiri meninggalkan Henry dan Elise. Emosinya terasa ingin meledak d
Samuel melamun sejenak, mengarungi pikirannya yang dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Dia tahu siapa Julia.“Kalau begitu, apa mungkin dia sedang melakukan sesuatu,” gumam Samuel pada diri sendiri. “Dave, mintalah rekaman CCTV di kafe sebelum Eva pergi. Salah satu dari mereka mengatakan jika Eva pergi terburu-buru setelah berbicara dengan salah satu pelanggan perempuan. Aku rasa jika pelanggan itu adalah Julia. Dan kemungkinan besar-,”Samuel menjeda ucapannya. Wajahnya terlihat banyak menyimpan sesuatu. Dia mulai menyambungkan informasi yang dia dapatkan sedikit demi sedikit. “Bukankah Nyonya Eva adalah Istri dari Tuan Henry, kenapa kita yang dibuat repot?” Dave mengeluarkan sedikit keluh kesahnya. Samuel menjawab, “Aku hanya membantunya saja. Ini hal serius. Datanglah ke Kafe dan mintalah rekaman CCTV itu.”Dave menunduk. “Laksanakan, Tuan.”Dave melangkah pergi, melaksanakan tugas dari Samuel. Setelah kepergian Dave, Samuel menghela napas panjang. Ada sesuatu yang tidak bisa i
Julia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Oke, Julia. Jangan panik. Kau harus tetap tenang.”Ia menyandarkan dirinya di dinding, berusaha berpikir keras. Memastikan Ryan tidak mengetahui apa yang dia lakukan. Julia mengangkat ponselnya. Namun ia urungkan saat terdengar suara langkah kaki disertai pembicaraan serius mendekat ke arahnya. Ia bisa mengenal jelas suara orang tersebut. Ryan, itu adalah suara Ryan. Dengan cepat Julia membalikkan tubuh, pura-pura untuk mengambil air di dispenser yang tidak jauh dari jangkauannya. “Saya baru saja dari ruang monitoring keamanan mengecek CCTV di depan gedung saat Nyonya Eva pergi meninggalkan gedung, Tuan. Nyonya menaiki taksi dengan plat nomor NYC-5432-,”Ryan terus berbicara sepanjang perjalanannya.Julia berusaha mencuri informasi dari Ryan. Kedengarannya sangat menarik.Dia tersenyum miring atas kekacauan yang terjadi menimpa Eva dan Henry saat ini. Julia berkata dengan nada remeh. “Heh, ternyata mudah sekali
Eva mengambil sebutir pil, meneguknya dengan sekali tegukan. Dia menunggu sebentar, sampai kondisi matanya berangsur-angsur membaik.Eva bernapas lega dan merasa sedikit tenang.Ia memandang obat miliknya di atas meja. Mengatasi glaukoma tidaklah hal mudah, memerlukan perhatian khusus.Eva berjalan ke arah cermin, memandang bayangan sendiri dengan mata menyipit. Tangannya terangkat, menyentuh matanya. “Bagaimana jika akhirnya aku benar-benar tidak bisa melihat lagi?”Eva sadar jika penyakit mata yang ia derita semakin parah. Penglihatan kabur dan nyeri semakin sering mengganggu hari-harinya.Meski kondisi matanya semakin memburuk, Eva memilih untuk tetap diam, tidak memberitahu siapa pun. Dia berusaha menutupi ketidaknyamanan dengan senyuman setiap harinya.Eva mengambil napas dalam-dalam berusaha tersenyum pada diri sendiri. “Jika memang hal itu terjadi, aku akan menggunakan waktuku dengan baik selama bersama Mama.”Eva melangkah ke arah tempat tidur, kembali meletakkan obat ke dalam
Ckiit!Mobil itu berhenti mendadak hingga membuat ban-ban depannya berdecit di atas aspal. Seorang pria yang duduk di kursi pengemudi itu tampak kesal. Dengan wajah memerah, dia memukul setir dengan keras. “Sial!” Dia memandang ke arah cermin dengan raut marah, yang memperlihatkan kedua orang yang berada di lampu merah itu mulai meninggalkan area. Rencananya malam ini gagal. Kedua orang itu berhasil menghindar dari mobilnya. Tak berselang lama, dia kembali melajukan mobilnya dan berbelok ke arah lain. Namun dia berjanji jika dia akan kembali lagi. Sementara di dalam Rumah Makan, Henry menarik kursi untuk Eva duduk. Keadaannya masih dalam keterkejutan. Hal yang terjadi beberapa menit lalu masih teringat jelas di dalam kepalanya. Dia tidak melihat asal mobil itu, tapi tiba-tiba saja dia hampir terserempet, beruntungnya Henry segera menariknya untuk menepi. Henry menekuk kakinya, menyetarakan tinggi badannya dengan Eva. “Kau tidak apa-apa, ‘kan?” Tangannya membelai pipi Eva dengan
Henry memandang Eva yang tampak terdiam, pikirannya jelas terfokus pada hal lain. Wajahnya yang tampak tenang, kini terlihat lebih serius. Ia bisa melihat Eva tampak merenungkan ide yang ia katakan tadi. Henry tahu bahwa Eva bukanlah tipe yang cepat merespon, ia memerlukan waktu untuk memikirkan segala sesuatu. Eva belum memberikan jawaban, tapi Henry bisa melihat bagaimana pikirannya bekerja. “Tidak mau?” Dia tetap menunggu. Eva beralih pada Henry, akhirnya, suaranya memecah keheningan dengan lembut, “Aku rasa … menyusuri kota ini saat malam hari bukanlah ide yang buruk.” Eva tersenyum kecil. “Aku mau, kita jalan-jalan malam ini.” Henry tersenyum lebar mendengar jawabannya. “Sekarang cepat bersiap.” ****Henry dan Eva mulai menyusuri jalanan kota Swiss pada malam hari. Keduanya bergandengan tangan dan memakai mantel panjang nan tebal untuk melindungi diri dari udara malam yang terasa lebih dingin. Udara sejuk terasa begitu segar, dan kota yang biasanya ramai pada siang hari,
Henry dan Eva kembali berhenti di salah satu kedai. Kali ini, mereka berhenti di kedai fondue keju, campuran keju leleh yang dihidangkan dalam pot khusus, di mana pot itu diletakkan di atas kompor kecil agar keju itu tetap meleleh dan hangat. Hidangan ini adalah khas Swiss yang ikonik. Orang-orang biasanya makan fondue menggunakan garpu panjang dan mencelupkan roti yang sudah dipotong dadu kecil ke dalamnya. Setelah menunggu, fondue mereka telah dihidangkan di atas meja. Eva terlihat semangat, tidak sabar untuk mencicipinya.Perjalanan mereka hari lebih dipenuhi dengan kunjungan ke berbagai kedai, sambil menikmati berbagai hidangan khas yang menggugah selera. Eva mulai mencelupkan roti ke dalamnya. Saat mencicipinya, dia mengangguk, ekspresinya tidak bisa bohong ketika mencicipinya. “Emm … makanan di sini tidak ada yang mengecewakan.” “Sepertinya, kau memiliki selera makan yang baik,” kata Henry dengan sedikit terhibur.Matanya menyiratkan kebahagiaan yang tak terucap. Selama ini
Henry dan Eva berjalan berdampingan di trotoar kota Swiss. Udara sejuk menyentuh kulit mereka, dan sinar matahari yang tidak terlalu terik membuat semakin nyaman. Suara langkah kaki mereka seirama dengan hiruk pikuk kota yang tenang. Di tangan mereka, terdapat sandwich, yang mereka beli untuk mengganjal perut saat di perjalanan. Di sepanjang jalan, kedai-kedai kecil berjejer rapi dengan aroma yang menggugah selera. Eva mengajak Henry untuk berhenti di depan salah satu kedai yang menjual rosti, kentang parut yang digoreng seperti hash brown. “Bolehkah aku membelinya?” Henry mengangguk. “Belilah apapun yang kau mau.”Eva tersenyum. Lalu memesan dua porsi, untuknya, dan untuk Henry. “Eh, satu saja, Tuan.” Henry menyela dengan cepat, memberitahu pada penjual itu. Penjual itu mengiyakan tanpa merasa keberatan. Eva menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. “Kenapa?” “Aku sudah kenyang.” Henry menjawab dengan santai. Kemudian, mereka menunggu beberapa menit hingga akhirnya mak
“Tuan Lawson baru saja mengabariku kalau mereka sudah berangkat lebih dulu. Nyonya Sophie menginginkan sesuatu katanya.” Henry menjelaskan pada Eva.Mulut Eva membentuk huruf O sempurna. “Sepertinya kita kesiangan.” Ucapannya terdengar seperti penyesalan. Henry mendekat, meletakkan kedua tangannya di pundak Eva. “Apa kau kesal?” Eva menggeleng cepat. “Tidak. Harusnya kita juga bangun dan bersiap-siap lebih awal agar kita bisa pergi bersama-sama dengan mereka.” “Tidak apa-apa.” Tangannya terangkat, mengelus pipi Eva dengan lembut. “Mungkin ada sesuatu yang mendesak yang diinginkan Nyonya Sophi. Sebaiknya kita sarapan dan menyusul mereka.”Tak ada penolakan dari Eva. Dia seperti sudah terbiasa dengan sentuhan-sentuhan yang diberikan Henry. “Emm ….” Eva ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada sedikit keraguan dalam hatinya. “Bagaimana kalau kita menyusul mereka sekarang juga. Aku ingin merasakan makanan yang ada di kedai-kedai yang aku lihat kemarin.”Henry sedikit terkejut saat Eva men
Tangannya secara perlahan turun di pinggang Eva. Dia tetap diam membiarkan Eva menyesuaikan dirinya dari apa yang baru saja terjadi di antara mereka.Keduanya tetap dalam posisi yang sama, membiarkan suasana mengalir tanpa buru-buru mengubahnya. Eva tak mengatakan apa-apa, tetapi sikapnya sudah cukup memberikan jawaban jika dia merasa malu dan tidak tahu harus berbuat apa. Matanya lurus ke depan, tak berani menoleh ke arah Henry. “Jadi kau menyukainya?” Mendengar pertanyaan Henry membuat hatinya semakin tak beraturan. “B-bukan … bukan begitu,” jawabnya dengan tergeragap. “Bukannya kau tidak marah? Berarti kau menyukainya. Bagaimana kalau kita melanjutkan yang tadi?” Pertanyaan Henry semakin berani, dan senyum nakal sangat terlihat jelas menghiasi wajahnya. Eva tidak percaya dengan kata-kata itu. “Kenapa pertanyaanmu sangat sembrono?” “Sembrono?” Henry terkekeh kecil. “Memangnya apa yang salah dari pertanyaanku? Aku memberikan kesempatan untukmu agar lebih dekat lagi denganku. A
Malam semakin larut dan terasa lebih sunyi. Setelah perjalanan di kapal dan makan siang yang canggung, sekarang hanya diisi dengan diam. Lampu kamar mulai redup, hanya menyisakan cahaya kecil dari lampu di samping tempat tidur. Eva duduk di tepi tempat tidur, sementara Henry berdiri di dekat jendela, menatap pemandangan kota di bawah sana sebelum akhirnya berbalik.“Eva …,” panggilnya pelan. Eva yang sedari tadi menunduk akhirnya menatapnya, dan menjawab singkat, “Ya.”“Bisakah kita bicara?” Henry diam sejenak, menunggu persetujuan Eva. Eva hanya diam.Sementara Henry masih di tempatnya, hatinya tidak sabar mendengar jawaban Eva. Rasanya tidak tenang. Setiap helaan napas terasa berat. Akhirnya, Eva mengangguk. Henry melangkah mendekat dan duduk di kursi di hadapannya. Kedua mata mereka bertemu. Namun, dia ingat apa yang ingin dia bicarakan pada Eva. “Aku tahu … mungkin tadi terlalu tiba-tiba. Tapi … aku tidak mau kita seperti ini. Sejak turun dari kapal, aku merasa aneh dan kit
“Hah ….?” Tanpa pikir panjang, Henry mengikis jarak di antara antara mereka dengan menarik lengan Eva. Dengan gerakan cepat bibir itu menempel di atas bibir Eva, tanpa membiarkan wanita itu mundur sedikitpun. Eva tidak bergerak. Henry semakin memperdalam ciumannya dengan kedua matanya terpejam. Tangannya turun ke pinggang, menarik Eva agar lebih dekat lagi. Dia tidak peduli dengan tatapan para pengunjung yang berada di atas kapal. Yang terpenting adalah momen mereka berdua. Kapal terus bergerak mengitari danau ke sisi lain, tapi Eva tetap di tempatnya. Dia tidak membalas ciuman Henry. Otaknya masih bekerja penuh mencerna semua yang terjadi secara tiba-tiba. Setiap detik terasa begitu lambat, hingga pada akhirnya, Henry mundur perlahan, melepaskan ciumannya. Napasnya masih sedikit memburu ketika matanya bertemu dengan bibir Eva. Dia menelan ludah, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Jari-jarinya masih berada di pipi Eva, tapi perlahan dia mulai melepaskan sentuhannya dan kemb
Tuan Lawson tergelak melihat ketidak sabaran istrinya. Wanita memang memiliki kesabaran seperti kapas yang terendam didalam air. “Ada legenda lokal yang mengatakan jika pasangan berciuman di atas kapal yang mengelilingi danau, mereka akan diberkati keberuntungan dan kelanggengan hubungan.” Tuan Lawson mulai menjelaskan, sedangkan Sophia mendengarkan dengan penasaran. “Dan aku rasa … Tuan Henry ingin memastikannya setelah mendengar percakapan pengunjung.” Perkataan itu diakhiri dengan kekehan renyah darinya.Selama di dermaga, mereka selalu berjalan beriringan mengawasi para istri yang berjalan lebih dulu. Percakapan itu juga bisa didengar olehnya. Dia tidak percaya jika seorang Henry, yang terkenal dengan keangkuhannya bisa begitu mudah percaya dengan mitos yang baru saja didengarnya. Henry yang selama ini selalu rasional pada hal-hal yang tidak masuk akal itu tiba-tiba saja tertarik. Dia mendengarkan dengan serius selama di dermaga, cerita itu seperti kebenaran yang tak terbantah