Julia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Oke, Julia. Jangan panik. Kau harus tetap tenang.”Ia menyandarkan dirinya di dinding, berusaha berpikir keras. Memastikan Ryan tidak mengetahui apa yang dia lakukan. Julia mengangkat ponselnya. Namun ia urungkan saat terdengar suara langkah kaki disertai pembicaraan serius mendekat ke arahnya. Ia bisa mengenal jelas suara orang tersebut. Ryan, itu adalah suara Ryan. Dengan cepat Julia membalikkan tubuh, pura-pura untuk mengambil air di dispenser yang tidak jauh dari jangkauannya. “Saya baru saja dari ruang monitoring keamanan mengecek CCTV di depan gedung saat Nyonya Eva pergi meninggalkan gedung, Tuan. Nyonya menaiki taksi dengan plat nomor NYC-5432-,”Ryan terus berbicara sepanjang perjalanannya.Julia berusaha mencuri informasi dari Ryan. Kedengarannya sangat menarik.Dia tersenyum miring atas kekacauan yang terjadi menimpa Eva dan Henry saat ini. Julia berkata dengan nada remeh. “Heh, ternyata mudah sekali
Eva mengambil sebutir pil, meneguknya dengan sekali tegukan. Dia menunggu sebentar, sampai kondisi matanya berangsur-angsur membaik.Eva bernapas lega dan merasa sedikit tenang.Ia memandang obat miliknya di atas meja. Mengatasi glaukoma tidaklah hal mudah, memerlukan perhatian khusus.Eva berjalan ke arah cermin, memandang bayangan sendiri dengan mata menyipit. Tangannya terangkat, menyentuh matanya. “Bagaimana jika akhirnya aku benar-benar tidak bisa melihat lagi?”Eva sadar jika penyakit mata yang ia derita semakin parah. Penglihatan kabur dan nyeri semakin sering mengganggu hari-harinya.Meski kondisi matanya semakin memburuk, Eva memilih untuk tetap diam, tidak memberitahu siapa pun. Dia berusaha menutupi ketidaknyamanan dengan senyuman setiap harinya.Eva mengambil napas dalam-dalam berusaha tersenyum pada diri sendiri. “Jika memang hal itu terjadi, aku akan menggunakan waktuku dengan baik selama bersama Mama.”Eva melangkah ke arah tempat tidur, kembali meletakkan obat ke dalam
Di sisi Samuel, ia mendapatkan petunjuk mengenai kepergian Eva. Semua CCTV yang ia dapatkan saling berkaitan.Dia juga tidak menyangka jika sebelum pergi, Eva terlibat keributan dengan Henry atas kekacauan yang terjadi pada perusahaannya.Berselang beberapa detik, Dave menyerobot masuk ke dalam ruangannya dan berkata, “Tuan, saya mendapatkan informasi jika Nyonya Eva berada di Millbrook saat ini?”Samuel membenarkan posisi duduknya. “Millbrook?”Dave mengangguk. “Benar, Tuan. Saya mendengar jika Asiten Ryan datang ke Millbrook untuk menjemput Nyonya Eva. Tapi … dia datang ke Millbrok sendiri. Tuan Henry memilih mengantar Nona Julia ke rumah sakit.”Samuel marah mendengarnya. Seharusnya Henry ‘lah yang datang menjemput Eva, tetapi, justru Ryan-asistennya yang menjemput Eva.Samuel kesal dengan sikap sepupunya yang lebih memprioritaskan wanita lain, melupakan perannya sebagai seorang suami.Samuel berdiri. Dengan tekad bulat, ia mamutuskan mengambil tindakan. “Aku akan pergi ke Millbroo
“Pinggirkan mobilmu, Henry,” ucap Julia dengan pelan.Henry menoleh ke arah Julia dengan raut wajah cemas. “Kenapa kita harus menepi. Aku harus membawamu cepat ke rumah sakit.”“Tidak-tidak, jika Henry membawaku ke rumah sakit, semua pasti ketahuan,” pikir JuliaJulia menggelengkan kepala cepat. “Tidak perlu, Henry. Kita beli obat saja di apotek terdekat. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku cukup membeli obat biasa yang aku pakai.”Henry mengerutkan keningnya, menunjukkan rasa khawatir. “Tapi, Julia, kau terlihat sangat tidak nyaman. Apakah kau yakin hanya cukup dengan obat yang biasa kau beli? Sebaiknya kita memeriksakan kondisimu ke Dokter.”Julia menatap Henry dengan tatapan meyakinkan. “Henry, aku tahu bagaimana kondisi tubuhku. Ini hanya gejala gerd yang kambuh. Aku hanya perlu obat yang biasa aku pakai untuk meredakan asam lambungku. Lagipula, aku bisa mengatasinya dengan obat yang biasa aku gunakan.”Julia takut akan kebenaran yang terungkap. Dia terus membujuk Henry dengan alasan
Wassaic Station. Eva masuk ke dalam kereta, duduk sembari menunggu jam pemberangkatan 20 menit lagi. Dia duduk dengan tenang. 30 menit berlalu, Ryan dan Samuel akhirnya tiba di Wassaic. Keduanya terburu-buru mencari pemberangkatan menuju Grand Central Terminal, stasiun utama dan ikonik di New York City. Itu adalah terminal utama untuk kereta Metro-Nort Railroad yang menghubungkan Manhattan dengan wilayah utara lainnya. Sialnya, kereta tujuan Grand Central sudah meninggalkan stasiun 10 menit yang lalu. Satu-satunya rute yang tersedia menuju Harlem. Itupun mereka harus melakukan transit menuju Poughkeepsie Station lebih dulu sebelum tiba di Herlem. “Asisten Ryan, sepertinya kita sedang tidak beruntung hari ini,” ucap Samuel dengan terengah-engah karena berlari. Ryan menghela napasnya pasrah. Samuel kembali melanjutkan, memberikan saran pada Ryan. “Asisten Ryan, mungkin Anda bisa mencoba untuk menghubungi Henry untuk menjemput Eva di terminal.” Dengan cepat Ryan merogoh ponselny
Mobil Henry terparkir rapi di depan rumah megah memiliki halaman luas dan nyaman. Mereka tiba di sana saat awan gelap. Eva dan Henry sedari tadi menjawab tanpa ada yang bicara. Keduanya saling cuek. Henry menghela napas lalu berkata dengan nada dingin, “Papa sudah tahu kalau kau pergi melarikan diri. Jadi sebisa mungkin kau memberikan alasannya. Jangan berharap aku membantumu untuk berbicara. Kau tanggung sendiri resiko dari tindakanmu” Eva mengepalkan tangannya. Situasi ini bukanlah pertama kalinya untuknya. Namun hatinya tetap merasakan sakit dengan ucapan Henry. Eva menoleh ke arah Henry dengan memutar ulang. “Kalau kamu berpikir aku meminta bantuanmu, kamu salah, Henry! Aku sudah biasa berada dalam situasi seperti ini sendiri tanpa bantuanmu. Jadi tidak perlu kau membantuku.” Henry melebarkan kedua matanya, tidak menyangka jika Eva akan mengeluarkan kata-kata seperti itu. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak dengan kata-kata Eva seolah-olah dia tidak dibutuhkan. Eva
Samuel menutup pintu mobilnya, duduk di kursi pengemudi. Ia memandang gedung apartemen yang ada di sebelah mobilnya. “Apa dia bersama Henry.”Samuel merogoh ponsel dalam saku jasnya, ia menekan layar ponselnya yang tertera nama Eva. Nomor ponsel itu masih di luar jangkauan.Samuel menghela napasnya panjang. “Semoga benar jika Henry menjemputnya di terminal. Aku akan kembali besok, memastikan bagaimana keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.”Samuel menyalakan mobil, melajukan mobilnya di tengah hiruk pikuk kota yang tidak pernah tidur.Baru saja dia datang ke gedung apartemen yang ditempati oleh Eva. Namun apartemen kamar unit yang Eva tempati tampak kosong.Terpaksa ia harus kembali dan memastikan keesokan harinya.Sementara di sisi lain, Eva berdiri di depan pintu kamar, tatapannya tertuju pada Henry yang bersiap merebahkan diri di atas tempat tidur.Ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sebuah campuran antara ketikpercayaan dan kenyataan yang membanjiri pikirann
Eva meremas tangannya, ia kembali menundukkan kepala dengan perasaan bersalah yang mendalam. Eva berkata dengan pelan, “Itu karena aku. Maafkan aku, Sam.” Samuel menggelengkan kepala dan menjawab lembut, “Tidak, Eva, berhenti untuk terus-menerus meminta maaf. Kami masih menyelidiki semuanya memastikan kebenarannya. Meskipun Henry memiliki sikap yang egois, tapi aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu.” Mata Eva mulai berkaca-kaca, hatinya terasa berat. Samuel adalah orang baik. Seharusnya dia membalas dengan kebaikan pula, bukan dengan memberinya masalah seperti ini. “Coba katakan padaku, memang apa yang sudah kau lakukan? Kenapa kau harus merasa jika itu adalah salahmu?” Samuel bertanya denga nada rendah. Eva menarik napas dalam dan mencoba menenangkan diri. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Di dalam hatinya rasa perasaan campur aduk menyelimuti, rasa cemas sebab situasi yang rumit dan rasa bersalah yang menghimpit kerena melibatkan Samuel dalam masalah rum