Jangan lupa komen dan vote nya ya. terima kasih sudah mampir.
NexGen Investments.Samuel duduk di kursi ujung ruang rapat. Memantau kemajuan dan berbicara dengan timnya mengenai bagaimana mereka dapat memperbaiki situasi yang mereka alami.Karena megalami masalah, membuat Samuel tidak bisa mengunjungi Eva sementara waktu. Di sana juga ada Mr. Thompson. Dia adalah klien utama dari perusahaan Samuel yang ikut melihat bagaimana perkambangan mengenai masalah kontrak.Samuel memulai pembicaraan. “Terima kasih telah memberikan kami kesempatan untuk memperbaiki situasi ini , Mr. Thompson. Kami mengakui bahwa kami menghadapi beberapa masalah serius terkait kesalahan administratif dan teknis, tetapi kami telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikannya.” Mark, kepala departemen administrasi mengatakan kabar baik. “Kami telah memperbaiki sebagian besar dokumen dan data yang bermasalah, Mr. Thompson. Kami juga telah melakukan audit sistem untuk memastikan tidak ada kesalahan administratif yang tersisa.” Mr. Thompson menyimak dengan tenang.
“Permisi, Nona. Apa hari ini Eva tidak bekerja?” Luna, mendongak saat mendengar suara seorang pria. Ia bisa mengenali pria tersebut. Pria itu adalah Samuel, yang sering berkunjung ke kafe tempatnya bekerja. Samuel baru sempat datang berkunjung hari ini. Luna menyapa dengan sopan. “Senang bertemu Anda, Tuan. Sudah lama tidak bertemu. Eva, ya? Tadi dia bekerja, tapi dia izin dengan terburu-buru setelah saya lihat dia berbincang dengan salah satu pelanggan.” Samuel mengerutkan keningnya bingung. “Apa dia laki-laki?” Luna menggeleng cepat. “Tidak. Pelanggan perempuan. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah itu, Eva pergi dengan sangat terburu-buru.” Dengan cepat Samuel bertanya kembali. Dia bisa merasa hal yang tidak beres. “Apa Anda tahu ke mana perginya, Nona?” Luna kembali menggeleng. “Maaf, saya tidak tahu, Tuan. Eva tidak mengatakan pada saya. Dia hanya mengatakan ada urusan mendesak yang harus diurus.” “Baiklah, kalau begitu, terima kasih, Nona. Saya akan coba un
Henry menatap tajam ke arah Eva. Seolah menembus ke dalam hatinya.“Bercerai?” ujarnya dengan nada sinis. “Kau datang kemari dengan tuduhan tidak jelas. Bahkan aku tidak pernah melakukannya. Aku menjadi curiga jika kalian berdua memang benar-benar bermain di belakangku!”Henry melanjutkan dengan nada dingin. “Apa ini caramu agar kau bisa bercerai denganku?”Eva berusaha menahan emosinya yang meluap. “Ucapanmu memang tidak bisa dipercaya, Henry! Aku masih ingat jelas bagaimana ucapanku sebelum meninggalkan apartemenku!”Eva mulai mengeluarkan semua unek-uneknya yang lama terpendam. “Bukankah banyak uang dan memiliki kekuasaan sangat mudah bagimu untuk mengurus perceraian dengan wanita sepertiku? Kenapa kau justru mempersulitnya dan mengganggu orang yang tidak bersalah? Dia datang hanya untuk menolongku di saat orang lain tidak ada yang memperdulikanku, menghinaku, mencaciku bahkan mengasingkanku!”Air mata Eva mulai membanjiri pipinya. Dia menatap Henry dengan rasa sakit.Eva kembali me
Sementara itu, di apartemen Eva, ia terlihat sibuk mengemasi bajunya. Berkali-kali ia mengusap air mata. Eva berdiri, mengatur napas sejenak. Pikirannya kembali melayang mengenai rumah tangganya bersama Henry. Ia merasakan campuran keputusasaan dan tekad. Tak butuh waktu lama, Eva pergi meninggalkan apartemen dengan koper kecil di tangannya. Menempuh perjalanan dua jam, Eva telah tiba di Poughkeepsie Station. Helaan napas terdengar dari mulut Eva saat keluar dari pintu kereta. Ia turun dengan langkah hati-hati, menyeret koper kecilnya. Matahari mulai tenggelam. Menunjukkan suasana penuh keletihan. Eva berjalan menyusuri platform, dia mendekati taksi di sisi jalan. “Selamat sore, Tuan. Bisa antarkan saya ke Millbrook?” Sopir taksi duduk di kursi pengemudi tersenyum ramah. “Mari, Nona.” Eva membuka pintu dan duduk di kursi belakang. Taksi mulai melaju. Eva menghela napas dan memandang ke arah luar jendela. Pikirannya sangat berkecamuk. 30 menit kemudian, Eva tiba di rumah sede
Eva terbangun di pagi hari yang tenang. Cahaya matahari lembut menembus tirai jendela kamar tidurnya. Menciptakan pola-pola halus di atas lantai.Suasana Millbrook, tempat yang sudah lama ia tinggalkan terasa akrab dan menyegarkan. Eva meregangkan ototnya pelan lalu duduk di tempat tidur.Aroma masakan gurih merasuk ke dalam penciumannya. Dia turun dari tempat tidur dan melangkah masuk ke dapur.Eva mendekat dengan ekspresi penuh semangat. “Selamat pagi, Ma! Aroma masakan yang Mama buat membuat Eva jadi lapar.”Helen berbalik, tersenyum hangat pada Eva. Ia berjalan menyusun piring. “Ayo kita sarapan.”Eva menarik kursi dan duduk dengan penuh antusias.Helen duduk di seberang meja menyiapkan piringnya.Eva mengambil roti bakar, dengan selai raspberry. “Ini selai rasberry buatan Mama sendiri, ya? Eva masih ingat jelas bagaimana enaknya selai buatan Mama.”Satu gigitan masuk ke dalam mulutnya. Eva terlihat sangat menikmati masakan olahan sang mama.Helen tersenyum penuh arti. “Tiba-tiba
“Tapi, bukankah lebih baik kita mencari tahu yang sebenarnya lebih dulu sebelum percaya dengan ucapan orang lain, Tuan?” Henry menatap tajam, menentang ucapan Ryan. “Tidak ada gunanya mencari tahu lebih jauh. Kau sudah dengar sendiri saat dia datang kemari dan memutuskan bercerai begitu saja, ‘kan?”Ryan merasa percuma memberitahu Henry. Dia tidak menyalahkan Eva jika pada akhirnya meminta untuk berpisah. “Semua bisa dibicarakan baik-baik dengan Nyonya Eva, Tuan. Mungkin Nyonya dan Tuan memilih waktu berbicara dari hati ke hati.” Meski kesal, Ryan tetap sabar. Memberikan saran terbaik untuk Henry.Henry tersenyum sinis, menyilangkan tangan di dada. Menunjukkan kesombongan dan keegoisan. “Sebaiknya lakukan saja tugasmu dengan benar! Kau juga awasi pergerakan Samuel. Pasti wanita itu bersamanya saat ini. Temukan dia sebelum malam.”Tak mau banyak membantah. Ryan mengangguk, menyetujui perintah Henry. “Baik, Tuan.”Dengan langkah pasti, Ryan melangkah keluar ruangan Henry.Saat pintu k
Samuel menghela napas. Matanya menelusuri setiap sudut jalanan Manhattan melalui kaca mobilnya.Wajahnya cemas. Namun, sosok yang dia cari tidak ditemukan sama sekali.Bahkan dia rela menelurusi apartemen-apartemen kecil yang ada di kota demi mencari keberadaan Eva. Dia juga datang ke rumah sakit, memastikan apakah kondisi Eva baik-baik saja.Namun semua pencarian yang dia lakukan tidak membuahkan hasil hingga malam.“Dia sebenarnya ke mana? Apa terjadi sesuatu?” Pikirannya mulai melayang-layang. Ia juga menyalahkan diri sendiri. “Seharusnya aku tetap menghubunginya di saat sibukku memastikan dia baik-baik saja.”Tiba-tiba alis berkerut. Sesaat kemudian ide muncul di benaknya.Dia menepikan mobilnya, lalu merogoh ponsel. Nama Dave tertera di layar ponselnya.Suara Dave terdengar di ujung telepon. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”Samuel menjawab dengan cepat. “Dave, periksa CCTV kota. Mulai dari Lower East Side. Aku ingin mencari seseorang.” “CCTV kota?” Suara Dave ter
“Papa kenapa maksa sekali sih, Pa?” Tiba-tiba saja Elise menyahut dengan ketus. Dia duduk di sofa sebelah Henry. “Kalau memang maunya cerai, yaudah biarin mereka bercerai.”Martin semula bisa menahan emosi, justru dibuat emosi dengan ucapan Elise.Dengan nada tegas Martin berkata, “Hatimu benar-benar sudah dipenuhi dengan kebencian, Ma. Harusnya kamu bisa memberikan contoh yang baik untuk putramu ini!”Kening Elise berkerut marah. “Memangnya apa salah dari Mama? Mama ‘kan tidak mau memaksakan kehendak mereka. Untuk apa dipaksa jika memang tidak bisa dipertahankan lagi? Hanya membuat tersiksa saja!”“Sebaiknya Mama pergi saja dengan teman-teman sosialita Mama. Jangan membenarkan perceraian hanya karena hati benci Mama pada orang lain.” Martin beralih menatap Henry dengan wajah tegasnya. “Dan kau Henry, cepat cari keberadaan Eva sampai ketemu. Jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus kau tanggung.”Martin beranjak berdiri meninggalkan Henry dan Elise. Emosinya terasa ingin meledak d
“Samuel?” gumamnya pelan, dengan perasaan campur aduk.Nyonya Rosie mengangguk. “Ya. Dia terlihat baik … tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit kujelaskan.”Jantung Eva berdetak lebih cepat. Sudah sekian lama dia tidak mendengar kabarnya, tapi cukup satu penyebutan namanya saja untuk membuat dadanya terasa sesak dan merasa bersalah. Selama ini, dia selalu berusaha menghubungi pria itu, tapi setiap usahanya hanya berakhir sia-sia. Tak ada balasan atau tanda-tanda bahwa pria itu menghubunginya. Setiap pesan yang dia kirim terasa terabaikan. Apa dia benar-benar menjauhiku?Kenapa dia lakukan itu?“Apa dia mengatakan sesuatu, Nyonya?” Eva bertanya dengan rasa penasaran. Nyonya Rosie memerhatikan wajah Eva yang dipenuhi kekhawatiran. Dia pun tersenyum lembut dan menjawab, “Dia memberitahuku jika operasimu berhasil. Dia juga terlihat senang saat mengatakan itu.”Nyonya Rosie memilih diam, tidak membocorkan pembicaraannya bersama Samuel pada hari itu. Sudah cukup tahu bagaimana k
Henry tiba di penthouse pada waktu senja. Tangannya penuh dengan paper bag besar, dan terlihat jelas tulisan di paper bag itu adalah merk ternama, dan meletakkan semua paper bag di atas meja. Matanya menatap sekeliling, menyadari suasana hening memenuhi ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan istrinya. Apa dia di dalam kamar? “Di mana Nyonya kalian?” Suara beratnya itu mampu menghentikan pelayan yang tampak sibuk. Pelayan itu berbalik dan segera menjawab, “Tadi Nyonya bilang keluar sebentar, Tuan.” Henry dengan cepat menanggapi, “Ke mana?” “Kami tidak tahu, Tuan,” jawabnya dengan rasa ragu. “Nyonya tidak memberitahu kami.” Suaranya semakin terdengar pelan. Seketika wajah Henry memerah karena marah. “Kenapa kalian membiarkannya, hah?! Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau dia keluar?” Pelayan itu sedikit terjingkat karena terkejut dengan bentakan Henry. “Maaf, Tuan.” Henry mengusap wajahnya, lalu mengacak rambutnya dengan gerakan kasar. Pikirannya penuh deng
Henry melanjutkan dengan suara datar dan tegas. “Kalau Mama terus berbicara seperti itu, Henry akan menjaga jarak seterusnya! Eva adalah Istriku, dan aku tidak akan membiarkan Mama mengatakan itu lagi padanya!”Gigi Elise gemertak, mulutnya terkatup rapat. “Jadi kamu lebih memilih dan membelanya?” Suaranya bergetar penuh dengan kemarahan. Dia pun kembali menatap Eva dengan perasaan semakin membara. “Pasti kau sudah mencuci otak Henry, ’kan?” Sementara Eva, wajahnya tampak tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau tanda-tanda melawan. “Bisa dibilang seperti itu. Aku memiliki terlalu banyak waktu luang untuk melakukannya.”Dia melirik Henry sebentar, lalu kembali menatap Elise dengan tatapan datar. "Tapi Mama tenang saja, dia masih punya kemampuan untuk berpikir sendiri, walaupun aku tahu itu terlalu sulit dipahami oleh sebagian orang.”Elise terhenyak, wajahnya memerah karena tersinggung, dan kini kemarahannya semakin meluap. Henry pun terkejut mendengar jawaban Eva. Dia tak menyangk
Henry memerhatikan Eva yang terlihat memalingkan pandangannya, seolah tidak melihat kehadirannya. Biasanya dia paling tak peduli dengan reaksi Eva selama ini, dan sekarang, dadanya terasa sesak ketika istrinya tak melihat keberadaanya. “Ayo kita berangkat,” ajaknya dengan suara lembut. “Tidak perlu!” Eva berbalik. “Aku bisa berangkat sendiri.”Eva melangkah dengan mantap, bersiap pergi tanpa menoleh lagi. Namun, sebelum dia sempat menjauh, Henry dengan sigap meraih tangannya."Tidak ada penolakan!” tegasnya. Dia menggenggam tangan Eva erat, lalu menuntunnya menuju mobil.Eva ingin menolak, tetapi genggaman Henry terlalu kuat, membuatnya enggan berdebat lebih jauh. Akhirnya, dia membiarkan pria itu membawanya pergi.Selama perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara tatapan Eva terarah ke luar jendela. Henry, di sisi lain, sesekali meliriknya, ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Akhirnya bersuara, suaranya rendah dan penuh perhatian. "B
Henry duduk di kursi kebesarannya, matanya menatap layar proyektor yang sedang menampilkan presentasi. Rapat penting tidak bisa ditunda. Namun di tengah-tengah fokusnya, ponselnya berdering memenuhi ruangan. Semua yang ada di ruangan itu mengikuti asal suara ponsel itu. Tak ada yang berani melayangkan protes padanya. Henry melirik ke layar ponselnya dengan sedikit malas. Hanya satu orang yang berani mengganggunya dalam jam-jam seperti ini, yaitu mamanya. Dia meraih ponsel, kemudian bangkit dan meminta para karyawannya itu melanjutkan pembahasannya. “Halo, Ma,” jawabnya dengan setengah malas. Di ujung telepon, terdengar suara lembut, tapi begitu tegas. “Di mana kamu? Cepat datang ke rumah sakit! Julia sedang membutuhkanmu di sini!”“Kenapa harus Henry?” jawabnya dengan datar. “Dia sudah berbuat baik pada kita, Henry! Dia baru saja mengalami kecelakaan, kita harus balas kebaikannya. Mama mau kamu datang dan merawatnya.” Elise berbicara tanpa jeda, seolah tak membiarkan Henry meno
Tak Ada niatan untuk Henry mengalihkan pandangannya dari Eva. Dia bisa merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Istrinya itu penuh makna. Nada suaranya terdengar lembut, seolah tulus memberi saran untuknya. Akan tetapi, Henry bisa merasakan nada sarkasme yang tersimpan di dalamnya. “Kau terlihat begitu peduli padanya,” katanya pelan, nada suaranya terdengar datar, tetapi matanya menelisik ekspresi Eva. Eva mengangkat bahu dengan bersikap santai. “Aku hanya mengatakan faktanya. Bukankah memang itu yang terjadi? Kau selalu menjadi penyelamatnya. Atau mungkin … itu hanya kebetulan yang selalu terulang?” Henry menghela napasnya, mencoba menahan kesabarannya. Setiap perkataan Eva itu seperti belati untuknya. Kata-kata yang keluar itu menunjukkan bahwa dia sangat tidak becus berada di sisi Eva selama ini. Henry mengeram pelan, matanya lurus menatap Eva yang tampak santai menikmati makanan miliknya. Ingin sekali dia menyangkalnya, ingin sekali mengatakan jika istrinya itu terlalu be
Henry tersenyum penuh kemenangan, dia tak mau tahu, saat itu juga, kalung itu harus berada di tangannya. Setelah negosiasi panjang, akhirnya, kalung itu berada di tangan Henry. Tak mau menunggu, saat itu juga Henry memakaikan kalung itu pada Eva di depan semua orang. Semua tamu yang hadir dibuat terkejut, saat tahu dia memakaikan kalung itu pada seorang wanita. Apa itu Istrinya?Wajar dia bersikap seperti itu, Istrinya benar-benar cantik!Aku kira dia bersama Sekertarisnya tadi!Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi?Yang lebih mengejutkan mereka adalah kemunculan Eva di publik. Selama kedatangannya bersama Henry, banyak yang tidak menyadarinya. Mereka berpikir, dia adalah Julia. Akhirnya, mereka tahu bagaimana wajah Istri dari CEO perusahaan terkenal di kota mereka. "Henry…?" suara Eva sedikit ragu, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Namun, Henry tidak menjawab. Dia memandangi kalung yang terpasang di leher Eva, tidak peduli semua orang menatap ke arahnya. "Ini …
“Tuan Henry, mungkin lain kali kita harus bertemu. Saya akan membawa Istriku juga.” Pria itu begitu semangat. Istrinya, yang banyak menghabiskan waktu di rumah pasti akan senang bertemu dengan Eva. Henry terkekeh pelan. Dia pun menyetujui ucapan pria itu. “Saya setuju.”Pria itu tersenyum lebar, wajahnya begitu antusias. “Saya yang akan mengaturnya. Saya yakin para Istri pasti langsung akrab, dan pertemuan kita akan menyenangkan.” “Saya akan menunggu kabar Anda selanjutnya, Tuan.”“Kalau begitu, mari duduk dan nikmati acaranya, Tuan,” ujar pria itu sambil memberi jalan bagi mereka.“Terima kasih banyak,” kata Henry dengan nada halus, menyunggingkan senyum yang sedikit lebih santai.Pria itu membalas dengan senyum tipis, memandang mereka sejenak sebelum beranjak pergi, menyisakan mereka berdua di kursi VIP, dikelilingi oleh kemewahan acara yang sedang berlangsung. Suasana terasa nyaman dan eksklusif, meskipun Henry dan Eva tidak bisa mengabaikan tatapan-tatapan yang mulai tertuju pa
Eva duduk di sofa dengan terkulai, matanya terpaku pada ponsel yang ada di tangannya. Dia memandang pesan yang baru saja dia kirimkan pada Samuel. Pesan yang selalu dia kirim dengan penuh harapan, meski tak pernah mendapat balasan. Terakhir kali mereka berinteraksi melalui telepon Henry, sejak saat itu, tak ada tanda-tanda Samuel membalas pesannya. Orang yang dulu selalu ada untuknya, kini tiba-tiba berubah. Tak ada kata-kata, tak ada jawaban, hanya ruang hening yang menyelimuti keduanya. Eva hanya ingin melihat kondisi Samuel, dia merasa banyak hutang budi dengan pria itu di saat semua hidupnya terombang ambing dalam ketidakpastian. Eva tampak berpikir keras. Perasaannya bimbang, antara harus menghubungi Samuel, atau membiarkan pria itu dengan dunianya. Dia merasa bingung. Perubahan sikap Samuel begitu cepat dan tiba-tiba. Sekarang, terasa Samuel tengah menjauh. Wajahnya tampak lesu, dan perasaannya begitu berkecamuk. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Atau, dia beg