Share

Chapter 3

Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.

Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. 

Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain. 

Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. 

“Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.” 

“Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”

Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setiap harinya, matahari seperti redup.

Eva berjalan ke arah laci yang ada di kamarnya. Di dalam laci itu terdapat sebuah buku tergeletak. Buku itu berisi catatan anggaran biaya pengobatan sang ibu, dan selembar foto terakhir mereka berdua yang dia miliki.

Ia merindukan hari-hari ketika dia dan ibunya melewati masa-masa mudah dan sulit dalam kehidupan mereka. Saat pikirannya tenggelam, ponsel miliknya berbunyi berulang-ulang. Yang artinya dia tengah menerima banyak pesan.

Pesan itu berasal dari nomor tidak dikenal. Dengan rasa penasaran, ia segera membuka pesan tersebut.

Kedua matanya membulat ketika membuka isi pesan tersebut. Hatinya berdegup kencang, perasaannya bercampur aduk.

“Tidak mungkin.” Suara Eva sangat kecil, hingga hampir tidak terdengar di pendengaran.

Tangan Eva gemetar, air matanya mulai membasahi pipinya. 

Pesan tersebut ternyata berisi foto mesra Julia dan Henry dari nomor yang tidak dikenal. 

Ia memutar kembali waktu sebelum-sebelumnya, tidak ada satupun foto dirinya dan Henry selama menikah sampai sekarang. Bahkan selama ini Henry tidak pernah seceria itu saat bersamanya. 

Malam semakin dingin, tetapi Henry belum kunjung kembali. 

Eva tengah berbaring, kedua matanya itu tetap terjaga. Memikirkan suatu keputusan besar yang akan ia ambil dalam hidupnya. Rasanya sudah lelah terjebak dalam suasana seperti ini selama bertahun-tahun.

Cahaya matahari lembut mulai merayap di celah-celah jendela. 

Suasana di ruang makan di kediaman Henry tenang dan sunyi. Hingga akhirnya, Eva memulai pembicaraan.

“Henry, aku ingin membicarakan sesuatu.” 

“Memang apa yang ingin kau bicarakan?” Henry menanggapi dengan dingin dan tampak tidak peduli.

Eva mengumpulkan keberanian, lalu berkata dengan tegas. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin kita bercerai, dan menikahlah dengan Julia.” 

Henry yang mendengar itu membeku. Matanya membulat lebar ke arah Eva. 

Eva bisa melihat raut wajah dari suaminya. Namun, ia mencoba untuk tenang menghadapi situasi ini. Ini sudah menjadi keputusannya. 

Henry bersuara dengan nada dinginnya. “Apa yang kau katakan? Katakan sekali lagi!”

Henry masih tidak percaya dengan kata ‘cerai’ yang keluar dari mulut Eva. 

Henry memerhatikan Eva yang terlihat rileks. Apa yang dikatakan itu seperti tidak membebani dirinya.

Eva mendongak, menatap wajah Henry. “Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tidak perlu mengatakan kedua kalinya.” 

Rahang Henry menegang. Sorot matanya tajam, menatap Eva dengan penuh amarah. 

Suasana tenang mendadak tegang.

Apalagi saat Henry melihat jika Eva seperti sedang menantangnya.

Henry berdiri, mendekat ke arah Eva lalu bersuara dengan nada tinggi. “Apa kau sadar apa yang kau katakan? Apa ini tentang uang?”

Eva menggeleng. “Tidak.” 

Meski dalam hatinya terselip rasa takut, tetapi Eva tetap berusaha memberanikan diri melawan kemarahan Henry.

Henry menggertakkan gigi-giginya. “Jika tidak, kenapa kau ingin bercerai? Apa uang yang aku berikan selama ini sudah cukup kau dapatkan dariku? Apa kau memiliki target lain?”

Eva mengambil napas dalam-dalam lalu menjawab, “Ini bukan tentang uang, Henry. Tapi aku tidak ingin menghalangi hubunganmu dengan Julia.” 

Henry mendekat wajahnya ke wajah Eva lalu berbicara dengan penuh kekesalan. “Jangan harap kau bisa lepas dariku begitu saja!”

Henry berdiri tegak. Tanpa berkata, ia meraih jas  dan meninggalkan penthouse dengan langkah tegas. 

Eva yang masih duduk mencoba bangkit. Namun, hampir saja dia terjatuh, sebab pandangan matanya yang buram.

Mobil McLaren 7205 hitam melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalanan Manhattan yang sibuk. Mobil itu berhenti di depan gedung pencakar langit tempat Harrison Realty Partners beroperasi. 

Henry keluar dari mobil dengan langkah cepat, tampak tenang, tetapi terdapat ketegangan di wajahnya. Ia melintasi lobi, mengabaikan para karyawan yang menyapanya.

Sesampainya di ruang kerja, ia duduk di kursi kebesarannya dengan tenang. Seolah-olah tidak ada yang mengganggu pikirannya. 

Ryan, asisten Henry, datang menemuinya. “Tuan, makan siang nanti kita ada pertemuan dengan Group Empire.”

“Hmm ….” Henry hanya menyahuti dengan deheman seperti tidak minat.

Ryan mengamati wajah Henry. Pikiran dari Tuannya itu seperti tidak berada di tempat. “Apa ada masalah, Tuan?”

“Apa kau tahu, Ryan, wanita itu menggertakku dengan cara meminta cerai dariku.” Smirk terlihat jelas di wajah Henry. “Aku penasaran, dari mana dia mendapat keberanian seperti itu?”

Ryan tampak sedikit terkejut. Namun, ia harus tetap profesional. “Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Tuan? Apa Anda menerima keputusan Nyonya Eva?”

Henry tertawa, lalu dia menjawab. “Apa kau percaya dengan kata-katanya? Kita lihat saja, sejauh mana dia berani melangkah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status