Share

Chapter 2

Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.

Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”

Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.

Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.

“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.

Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju. 

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.

Eva berjalan dengan lesu, tidak memiliki semangat sama sekali. Ucapan dokter selama di rumah sakit itu terngiang di pikirannya. 

“Nyonya, kondisi glaukoma Anda semakin parah. Jika tidak segera ditangani, Anda bisa kehilangan penglihatan secara permanen.”

Sebelum kembali ke rumah, Eva mampir sejenak di rumah sakit untuk memeriksakan kondisi matanya. Dia harus segera mencari solusi untuk menangani kondisi matanya. Namun beban finansial yang besar membuatnya berpikir ulang.

Di dalam rumah, kedua matanya menangkap sosok yang ia kenal. Elise, mama mertuanya, duduk di kursi ruang tamu dengan anggunnya.

“Di mana Henry?” Nada suaranya terdengar dingin.

“Henry masih di pesta, Ma. Eva pulang dulu karena tidak enak badan.”

Elise menatap dingin ke arah Eva. “Aku tidak menanyakan keadaanmu.”

“Untuk apa kau ikut ke pesta? Harusnya diam saja di rumah, jangan membuat putraku malu dengan kehadiranmu di sana!” Elise memasang wajah penuh penghinaan pada Eva.

Eva berusaha tersenyum di depan mama mertuanya. Senyum itu terasa seperti topeng tipis yang menutupi rasa sakit di hatinya. Tak hanya kerabatnya, mama mertuanya sendiri pun selalu melontarkan kata-kata pedas padanya.

Eva menjawab dengan lembut. “Henry yang meminta Eva untuk ikut, Ma. Tidak enak juga jika Eva tidak ikut ke acara kerabat sendiri.”

Elise membalas Eva dengan sinis. “Kerabat siapa yang kau maksud?”

Mulut Eva terkatup rapat tidak bisa menjawab. Setiap kali dia menghadapi kata-kata seperti itu, dia merasa seolah bagian dari dirinya dihancurkan.

“Lain kali, pertimbangkanlah jika kau hadir di setiap acara-acara penting. Ingat juga bagaimana kondisimu. Jangan hanya merepotkan putraku!”

Eva menundukkan matanya, mengangguk lemah pada mama mertuanya. Kaa-kata sarkatik itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.

“Aku harus pergi, aku tidak bisa berlama-lama di sini hanya untuk melihatmu!” Elise beranjak berdiri mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kediaman putranya.

Eva menatap kepergian Elise dengan tatapan kosong.  Harus bagaimana lagi dia bersikap menghadapi keluarga suaminya. Seberapa banyak dia mencoba, dia akan tetap dia anggap hina dan tidak berguna di tengah-tengah keluarga Harrison.

Eva berganti baju dengan pakaian lebih santai menunggu kedatangan Henry. Ia kembali teringat interaksi antara Henry dan Julia yang begitu intens.

Segala ucapan dari Bibi Maria kembali memenuhi pikirannya. Harusnya memang menolak tawaran pada waktu itu.

Tepat 4 tahun yang lalu, Martin, Papa Henry, memintanya untuk menerima pernikahan antara dirinya dan Henry demi kesembuhan mamanya yang tengah berbaring di rumah sakit. 

Waktu itu, tabungan Eva sangat menipis dan biaya rumah sakit semakin membengkak. Martin datang menawarkan solusi yang bisa mengatasi masalah finansialnya. 

Eva yang menyadari betapa mendesaknya kebutuhan finansialnya itu menyetujui. Ia tidak tahu jika saat itu Henry sudah memiliki kekasih.

Eva mengambil ponsel miliknya, menekan nomor Henry dan menghubunginya untuk memastikan kapan suaminya tiba.

Namun, yang menjawab panggilan telepon di seberang sana bukanlah suara Henry. Melainkan suara perempuan yang terdengar lembut dan berkelas. 

“Saya Julia, sekertaris Tuan Henry. Tuan Henry sedang tidak bisa menjawab telepon saat ini. Dia sedang memiliki banyak urusan. Apa ada yang ingin Anda sampaikan padanya? Biar saya yang membantu menyampaikannya.” 

Eva tersenyum getir mendengar suara itu. “Tidak, Nona. Saya hanya ingin memastikan kapan Henry akan pulang.”

Julia yang berada di seberang sana kembali memberikan jawaban. “Saya akan menyampaikan pesan Anda padanya.”

Baru saja Eva ingin menjawab, telepon itu sudah terputus secara sepihak. Eva menggenggam ponselnya erat-erat.

Pikiran Eva semakin melayang tidak karuan. Kedua orang itu pasti saat ini tengah menikmati waktu bersama. 

Waktu terus berlalu. Akhirnya Henry telah tiba dengan pakaian yang masih terlihat rapi seperti sebelum mereka pergi ke pesta.

Ia menerobos masuk ke dalam kamar, hingga membuat tubuh Eva terkejut.  

“Apa yang kau katakan pada Julia?” Henry meninggikan suaranya hingga memenuhi ruangan.

Eva yang tidak tahu apa-apa pun bertanya-tanya. “Aku?”

Dengan gerakan cepat Henry mencengkeram dagu Eva. “Apa yang baru saja kau katakan pada Julia hingga dia menangis?” 

Kening Eva berkerut, dia tampak bingung dengan perkataan suaminya. 

Henry berteriak di dekat wajah Eva. “Jangan sampai perusahaan kehilangan orang sepertinya hanya karena sikap kekanak-kanakanmu!”

Tangan Eva dengan spontan menarik tangan Henry. Namun, tenaganya masih kalah kuat dengan tenaga Henry. 

Eva menahan rasa sakitnya, sebab cengkeraman Henry begitu kuat. “A-aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya-”

“Kau memang wanita tidak berguna!” Henry menyela sebelum Eva menjawabnya. Henry melepaskan cengkeramannya dengan wajah memerah.

Eva mencoba menormalkan napasnya yang terengah-engah lalu kembali menjawab. “Tapi aku tidak mengatakan apa-apa padanya, Henry. Aku hanya memintanya menyampaikan pesanku memastikan kapan kau pulang.”

Henry tersenyum sinis tidak percaya. “Lalu, kau mengatakan jika Julia memfitnahmu dihadapanku? Kau memang wanita picik! Selain menikah karena uang, ternyata kau juga wanita yang pandai bersilat lidah dan munafik!”

Eva menggelengkan kepalanya cepat. Semua tentangnya itu tidak seperti yang dikatakan suaminya.

Henry memandang wajah Eva dengan tatapan hina. “Wajahmu memang terlihat polos. Tapi tidak dengan tindakanmu!”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status