Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.
Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”
Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.
Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.
“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.
Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.
Eva berjalan dengan lesu, tidak memiliki semangat sama sekali. Ucapan dokter selama di rumah sakit itu terngiang di pikirannya.
“Nyonya, kondisi glaukoma Anda semakin parah. Jika tidak segera ditangani, Anda bisa kehilangan penglihatan secara permanen.”
Sebelum kembali ke rumah, Eva mampir sejenak di rumah sakit untuk memeriksakan kondisi matanya. Dia harus segera mencari solusi untuk menangani kondisi matanya. Namun beban finansial yang besar membuatnya berpikir ulang.
Di dalam rumah, kedua matanya menangkap sosok yang ia kenal. Elise, mama mertuanya, duduk di kursi ruang tamu dengan anggunnya.
“Di mana Henry?” Nada suaranya terdengar dingin.
“Henry masih di pesta, Ma. Eva pulang dulu karena tidak enak badan.”
Elise menatap dingin ke arah Eva. “Aku tidak menanyakan keadaanmu.”
“Untuk apa kau ikut ke pesta? Harusnya diam saja di rumah, jangan membuat putraku malu dengan kehadiranmu di sana!” Elise memasang wajah penuh penghinaan pada Eva.
Eva berusaha tersenyum di depan mama mertuanya. Senyum itu terasa seperti topeng tipis yang menutupi rasa sakit di hatinya. Tak hanya kerabatnya, mama mertuanya sendiri pun selalu melontarkan kata-kata pedas padanya.
Eva menjawab dengan lembut. “Henry yang meminta Eva untuk ikut, Ma. Tidak enak juga jika Eva tidak ikut ke acara kerabat sendiri.”
Elise membalas Eva dengan sinis. “Kerabat siapa yang kau maksud?”
Mulut Eva terkatup rapat tidak bisa menjawab. Setiap kali dia menghadapi kata-kata seperti itu, dia merasa seolah bagian dari dirinya dihancurkan.
“Lain kali, pertimbangkanlah jika kau hadir di setiap acara-acara penting. Ingat juga bagaimana kondisimu. Jangan hanya merepotkan putraku!”
Eva menundukkan matanya, mengangguk lemah pada mama mertuanya. Kaa-kata sarkatik itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
“Aku harus pergi, aku tidak bisa berlama-lama di sini hanya untuk melihatmu!” Elise beranjak berdiri mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kediaman putranya.
Eva menatap kepergian Elise dengan tatapan kosong. Harus bagaimana lagi dia bersikap menghadapi keluarga suaminya. Seberapa banyak dia mencoba, dia akan tetap dia anggap hina dan tidak berguna di tengah-tengah keluarga Harrison.
Eva berganti baju dengan pakaian lebih santai menunggu kedatangan Henry. Ia kembali teringat interaksi antara Henry dan Julia yang begitu intens.
Segala ucapan dari Bibi Maria kembali memenuhi pikirannya. Harusnya memang menolak tawaran pada waktu itu.
Tepat 4 tahun yang lalu, Martin, Papa Henry, memintanya untuk menerima pernikahan antara dirinya dan Henry demi kesembuhan mamanya yang tengah berbaring di rumah sakit.
Waktu itu, tabungan Eva sangat menipis dan biaya rumah sakit semakin membengkak. Martin datang menawarkan solusi yang bisa mengatasi masalah finansialnya.
Eva yang menyadari betapa mendesaknya kebutuhan finansialnya itu menyetujui. Ia tidak tahu jika saat itu Henry sudah memiliki kekasih.
Eva mengambil ponsel miliknya, menekan nomor Henry dan menghubunginya untuk memastikan kapan suaminya tiba.
Namun, yang menjawab panggilan telepon di seberang sana bukanlah suara Henry. Melainkan suara perempuan yang terdengar lembut dan berkelas.
“Saya Julia, sekertaris Tuan Henry. Tuan Henry sedang tidak bisa menjawab telepon saat ini. Dia sedang memiliki banyak urusan. Apa ada yang ingin Anda sampaikan padanya? Biar saya yang membantu menyampaikannya.”
Eva tersenyum getir mendengar suara itu. “Tidak, Nona. Saya hanya ingin memastikan kapan Henry akan pulang.”
Julia yang berada di seberang sana kembali memberikan jawaban. “Saya akan menyampaikan pesan Anda padanya.”
Baru saja Eva ingin menjawab, telepon itu sudah terputus secara sepihak. Eva menggenggam ponselnya erat-erat.
Pikiran Eva semakin melayang tidak karuan. Kedua orang itu pasti saat ini tengah menikmati waktu bersama.
Waktu terus berlalu. Akhirnya Henry telah tiba dengan pakaian yang masih terlihat rapi seperti sebelum mereka pergi ke pesta.
Ia menerobos masuk ke dalam kamar, hingga membuat tubuh Eva terkejut.
“Apa yang kau katakan pada Julia?” Henry meninggikan suaranya hingga memenuhi ruangan.
Eva yang tidak tahu apa-apa pun bertanya-tanya. “Aku?”
Dengan gerakan cepat Henry mencengkeram dagu Eva. “Apa yang baru saja kau katakan pada Julia hingga dia menangis?”
Kening Eva berkerut, dia tampak bingung dengan perkataan suaminya.
Henry berteriak di dekat wajah Eva. “Jangan sampai perusahaan kehilangan orang sepertinya hanya karena sikap kekanak-kanakanmu!”
Tangan Eva dengan spontan menarik tangan Henry. Namun, tenaganya masih kalah kuat dengan tenaga Henry.
Eva menahan rasa sakitnya, sebab cengkeraman Henry begitu kuat. “A-aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya-”
“Kau memang wanita tidak berguna!” Henry menyela sebelum Eva menjawabnya. Henry melepaskan cengkeramannya dengan wajah memerah.
Eva mencoba menormalkan napasnya yang terengah-engah lalu kembali menjawab. “Tapi aku tidak mengatakan apa-apa padanya, Henry. Aku hanya memintanya menyampaikan pesanku memastikan kapan kau pulang.”
Henry tersenyum sinis tidak percaya. “Lalu, kau mengatakan jika Julia memfitnahmu dihadapanku? Kau memang wanita picik! Selain menikah karena uang, ternyata kau juga wanita yang pandai bersilat lidah dan munafik!”
Eva menggelengkan kepalanya cepat. Semua tentangnya itu tidak seperti yang dikatakan suaminya.
Henry memandang wajah Eva dengan tatapan hina. “Wajahmu memang terlihat polos. Tapi tidak dengan tindakanmu!”
Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain. Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. “Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.” “Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setia
Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”“Terima kasih.”Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.Ketika Julia melihat Eva, dia
“Henry.” Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. “Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu me
Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang
Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann
“Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a
Malam hari, sebelum tidur Eva termenung. Teringat dengan pertanyaan Samuel mengenai perceraiannya. Sampai sekarang, perceraiannya tidak ada kabar.Eva bergumam pelan. “Apa aku menghubunginya?”Eva menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Henry terpampang di layar. Selama dia pergi, sama sekali tidak terlibat komunikasi dengan Henry.Dengan satu sentuhan, Eva memanggil nomor Henry.Setelah beberapa deringan, suara Hnery terdengar di ujung telepon. “Hallo.”Eva berkesiap. Ia pikir jika Henry tidak akan menerima telepon darinya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu mengenai dokumen perceraian itu. Apa kau sudah menandatanganinya?”Eva bisa mendengar suara Henry yang tertawa keras di sana. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Henry saat ini.“Kau menanyakan ini karena aku menghambat jalanmu untuk dekat dengan laki-laki lain? Jangan harap kau menerima kemudahan.”“Henry, Ak-,”Belum juga dia menyelesaikan ucapannya. Henry sudah memutusk
Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi
“Eva …,” panggilnya, suaranya menunjukkan nada khawatir dan cemas karena tidak ada sahutan dari Eva sama sekali. Dalam hatinya selalu berdoa agar wanita itu baik-baik saja. Samuel dengan sabar menunggu pintu tua itu terbuka. Tak lama terdengar suara knop pintu terbuka, ada sedikit perasaan lega jika Eva ada di apartemen itu.Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Eva yang berdiri di tengahnya. Wajahnya terlihat sayu, dan matanya yang basah oleh sisa-sisa air mata. Eva menampilkan senyum cerahnya meski bayangan wajah pria di hadapannya itu tidak bisa lagi dia lihat. Dia mencoba untuk bersikap seperti biasanya, dan semoga Samuel tidak menyadari kondisi matanya. “Samuel?” Samuel bertanya, “Kau baik-baik saja?” Nada suaranya terdengar cemas. Eva terdiam sejenak, senyumnya sedikit memudar. Namun, dia segera mengangguk pelan, seolah ingin meyakinkan Samuel. “Aku baik-baik saja.”Samuel menatapnya dengan ragu, memperhatikan setiap gerak tubuh Eva. Dia merasakan ada sesuatu yang d
Ryan berdiri di luar gedung apartemen, dengan ponsel Eva di tangannya karena tertinggal di hotel saat pesta, dia menunggu kedatangan sang Nyonya untuk mengembalikannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, berharap Eva segera muncul. Namun, tak ada tanda-tanda kemunculannya. Pikiran Ryan masih dipenuhi dengan pesta kemarin, ditambah lagi dengan sikap Henry yang terlihat tidak suka dengan gaun yang dia pilihkan untuk Eva. “Apa Nyonya masih bekerja sampai hampir larut begini, ya?” gumamnya, berkali-kali memandang ke arah jalan bergantian ke arah apartemen tua itu. “Kasihan sekali.”Wajah cemasnya tidak bisa disembunyikan. Tanpa disadari, Eva kini sedang berada di rumah sakit, jauh dari ponselnya, dia tidak bisa mencari tahu kabarnya. Dia terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.Berbagai alasan yang Eva berikan, akhirnya membuat Dokter Tom menyerah. Dengan raut ragu, dokter itu setuju dia keluar tanpa rawat inap, namun mengingatkan untuk segera datang jika terjadi sesuatu
Henry menarik napas panjang, merasa kesal dengan sikap Eva yang dianggapnya terlalu berlebihan. Dia tidak bisa mengerti kenapa perempuan itu bisa begitu sulit diajak bicara, padahal dia sudah mencoba menunjukkan niat baiknya. Matanya menatap lurus ke jalan, meskipun pikirannya sama sekali tidak fokus pada rute yang diambil saat ini. Tangannya memukul setir mobil dengan sedikit keras. “Memangnya apa salahku kali ini?” katanya frustasi. “Dia tadi merasa kesakitan bukan? Memangnya apa salahku jika aku memerhatikannya?”“Tidak peduli, salah. Peduli, salah. Maunya apa sih?” Sepanjang perjalanan itu Henry tidak henti-hentinya mendumel kesal, merasa apa yang dia lakukan serba salah di mata Eva.Namun di selah-selah rasa kesalnya itu, perasaannya merasa seperti ada yang tidak beres. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.Tiba-tiba, dia mengambil keputusan. Gesekan ban mobil terdengar berdecit di aspal, Henry memutar setirnya, berbelok kembali ke arah yang tadi sempat dia tingga
Eva memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, kebencian terlanjur memenuhi hatinya. Dia menatap suaminya, dengan tatapan tajam yang penuh pertanyaan dan amarah yang tak bisa disembunyikan.“Apa sih sebenarnya tujuanmu, Henry?” suaranya bergetar, tapi dia mencoba menahannya. “Kenapa kau membeli restoran tempatku bekerja? Apa kau merasa punya kendali atas segalanya, termasuk hidupku?” Eva menarik napas, mencoba mengendalikan diri, tapi tetap saja emosinya keluar begitu saja. “Kau pikir kau bisa mengatur segala hal dalam hidupku, bahkan tempatku bekerja? Apa kau ingin menjadikan semuanya milikmu, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya? Tangannya mengepal semakin kuat di bawah meja, menahan diri untuk tidak meledak lebih jauh. “Kenapa? Apa yang sebenarnya kau cari, Hen? Aku tidak habis pikir lagi apa yang ada di pikiranmu itu! Atau ini hanya caramu untuk mengganggu hidupku lebih jauh?" Dengan suara yang lebih rendah tapi penuh emosi, Eva kembali bertanya, “Apa yang s
Tak mau berlama-lama, Eva berbalik dan berjalan cepat, menghindari tatapan Henry. Tak ada niat untuk mendekat ke mejanya. Dia memilih menghindar, sengaja menjauh agar tidak menimbulkan keributan.Hatinya berdebar, tapi dia berusaha menjaga langkahnya tetap terjaga. Tanpa melihat lagi, dia melangkah ke belakang, mencoba untuk tidak terbawa perasaan yang semakin kacau.Setelah sampai di dapur, Eva dengan cepat memberikan order slip kepada staf yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. Dia berharap bisa segera kembali ke area depan dan melanjutkan pekerjaannya tanpa gangguan. Namun, dia tampak ragu setelah melihat keberadaan Henry di Restoran itu.Tak biasanya Henry akan datang ke Restoran kecil seperti ini. Eva merasa bahwa Henry memang sengaja datang untuk mengganggu ketenangannya.Eva menarik napas panjang dan berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. Meski dia tidak ingin berhadapan dengan Henry, tapi dia harus profesional dalam menjalankan pekerjaan.Akan tetapi baru saja ia berbalik
Sehari setelah pesta, wajah Henry tampak merengut. Tatapannya hanya tertuju pada layar komputer di depannya. Wajahnya terlihat tegang, membuat Ryan berkeringat dingin melihatnya. Dia bisa merasakan gelombang ketegangan di ruangan itu. Itu pasti efek dari kericuhan yang terjadi saat acara pesta ulang tahun Elise yang melibatkannya langsung dan Samuel. “Ini laporan yang Anda minta, Tuan.” Ryan meletakkan berkas di atas meja Henry dengan hati-hati. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.Perlahan wajah Henry terangkat, menatap ke arahnya tajam. “Kau sengaja memilihkan baju itu untuk Eva?”Ryan meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia berpikir, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab Henry dengan tepat. “Emm … gaun itu adalah rekomendasi terbaik di sana, Tuan. Ryan memutar otaknya untuk menghindari kemarahan itu. Dia merasa bahwa gaun itu justru memicu emosi atasannya. Padahal niatnya agar bosnya itu lebih tertarik dengan istrinya
Di lorong sepi, suasana tak kalah mencekam. Eva dan Henry berdiri saling berhadapan, jauh dari keramaian aula. Eva menatap Henry dengan tajam, sementara Henry mengalihkan pandangannya acuh. Eva merasakan geram dan kesal dengan sikap Henry yang selalu dirasa seenaknya sendiri. “Apa yang kau lakukan pada Samuel?” Suara Eva terdengar sedikit meninggi, tapi tertahan.Rahang Henry mengeras, tidak terima dengan pembelaan Eva untuk Samuel. “Kau membelanya? Dia pantas mendapatkannya! Dia hanya seorang pengganggu yang tidak tahu diri!” jawabnya, nada suaranya datar dan penuh penekanan. “Dia tidak bersalah, Henry!” Ekspresi wajah Eva terlihat merah, menahan amarah. “Kapan kau bisa berpikir dan bertindak waras?”Eva merasa frustasi, cukup lelah menghadapi sikap Henry. Kali ini apa lagi yang ada dipikiran suaminya hingga memukul Samuel di hadapan para tamu. Bahkan dia sendiri tidak tahu jelas alasannya kenapa tiba-tiba saja Samuel mendapatkan pukulan itu. Henry melangkah maju, mendekatkan waj
Di saat pikiran Eva berkecamuk, tanpa dia tahu jika suasana di dalam aula itu sedikit riuh, sebab tindakan Henry memukul Samuel tiba-tiba.Tak sedikit dari tamu undangan terkejut melihatnya. Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi? Bukankah mereka masih saudara?Keluarga besar dari Henry dan Samuel pun tak kalah terkejut. Dengan panik kedua orang tua Samuel mendekat.Vivian, mama Samuel, memandang ke arah Henry dengan ekspresi kesal bercampur cemas. “Apa yang kau lakukan pada Putraku, Henry?” Nada kesalnya sedikit tertahan.Meski situasi sedikit memanas, Samuel tetap berusaha bersikap tenang tanpa terpancing emosi. Tangannya mengelap sudut bibirnya yang berdarah, matanya menatap ke arah sepupunya dengan sorot tajam.Samuel mengatur napasnya, mencoba menangkan diri meski merasakan sakit di bibirnya. “Aku baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir.”Vivian mengalihkan pandangannya dari Henry ke sudut bibir Samuel yang terluka. Dia tampak tidak terima, tapi harus tetap bersikap tenang
Eva yang berada di dalam kamar mandi itu segera mengeringkan tangannya menggunakan tisu dengan cepat. Dia merasakan ketidaknyamanan yang menggelayuti hatinya, tetapi dia harus tetap kembali ke pesta.Suasana riuh di dalam aula seolah memanggilnya untuk segera kembali. Dengan satu tarikan napas, ia berusaha menyingkirkan keraguan dan melangkah ke arah pintu.Tangannya terangkat menarik gagang pintu, tetapi pintu kamar mandi itu tidak bisa dibuka. Dia mencoba berkali-kali, tapi pintu itu tak kunjung terbuka.“Terkunci?” ucapnya terkejut.Eva menggedor pintu itu dari dalam kamar mandi, berharap ada seseorang di luar sana yang membukakan pintu untuknya. “Apa ada orang di luar?”“Halo! Apa ada orang di luar?” Dia melakukannya lagi. “Tolong bukakan pintu untukku. Siapapun itu.”Upaya yang dia lakukan tidak membuahkan hasil. Tak ada satu orangpun yang menyahutinya.Eva kembali menggedor pintu. Kali ini, dia melakukannya sedikit lebih keras. “Siapapun di luar, tolong bukakan pintu!” teriaknya