Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.
Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”
Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.
Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.
“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.
Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.
Eva berjalan dengan lesu, tidak memiliki semangat sama sekali. Ucapan dokter selama di rumah sakit itu terngiang di pikirannya.
“Nyonya, kondisi glaukoma Anda semakin parah. Jika tidak segera ditangani, Anda bisa kehilangan penglihatan secara permanen.”
Sebelum kembali ke rumah, Eva mampir sejenak di rumah sakit untuk memeriksakan kondisi matanya. Dia harus segera mencari solusi untuk menangani kondisi matanya. Namun beban finansial yang besar membuatnya berpikir ulang.
Di dalam rumah, kedua matanya menangkap sosok yang ia kenal. Elise, mama mertuanya, duduk di kursi ruang tamu dengan anggunnya.
“Di mana Henry?” Nada suaranya terdengar dingin.
“Henry masih di pesta, Ma. Eva pulang dulu karena tidak enak badan.”
Elise menatap dingin ke arah Eva. “Aku tidak menanyakan keadaanmu.”
“Untuk apa kau ikut ke pesta? Harusnya diam saja di rumah, jangan membuat putraku malu dengan kehadiranmu di sana!” Elise memasang wajah penuh penghinaan pada Eva.
Eva berusaha tersenyum di depan mama mertuanya. Senyum itu terasa seperti topeng tipis yang menutupi rasa sakit di hatinya. Tak hanya kerabatnya, mama mertuanya sendiri pun selalu melontarkan kata-kata pedas padanya.
Eva menjawab dengan lembut. “Henry yang meminta Eva untuk ikut, Ma. Tidak enak juga jika Eva tidak ikut ke acara kerabat sendiri.”
Elise membalas Eva dengan sinis. “Kerabat siapa yang kau maksud?”
Mulut Eva terkatup rapat tidak bisa menjawab. Setiap kali dia menghadapi kata-kata seperti itu, dia merasa seolah bagian dari dirinya dihancurkan.
“Lain kali, pertimbangkanlah jika kau hadir di setiap acara-acara penting. Ingat juga bagaimana kondisimu. Jangan hanya merepotkan putraku!”
Eva menundukkan matanya, mengangguk lemah pada mama mertuanya. Kaa-kata sarkatik itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
“Aku harus pergi, aku tidak bisa berlama-lama di sini hanya untuk melihatmu!” Elise beranjak berdiri mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kediaman putranya.
Eva menatap kepergian Elise dengan tatapan kosong. Harus bagaimana lagi dia bersikap menghadapi keluarga suaminya. Seberapa banyak dia mencoba, dia akan tetap dia anggap hina dan tidak berguna di tengah-tengah keluarga Harrison.
Eva berganti baju dengan pakaian lebih santai menunggu kedatangan Henry. Ia kembali teringat interaksi antara Henry dan Julia yang begitu intens.
Segala ucapan dari Bibi Maria kembali memenuhi pikirannya. Harusnya memang menolak tawaran pada waktu itu.
Tepat 4 tahun yang lalu, Martin, Papa Henry, memintanya untuk menerima pernikahan antara dirinya dan Henry demi kesembuhan mamanya yang tengah berbaring di rumah sakit.
Waktu itu, tabungan Eva sangat menipis dan biaya rumah sakit semakin membengkak. Martin datang menawarkan solusi yang bisa mengatasi masalah finansialnya.
Eva yang menyadari betapa mendesaknya kebutuhan finansialnya itu menyetujui. Ia tidak tahu jika saat itu Henry sudah memiliki kekasih.
Eva mengambil ponsel miliknya, menekan nomor Henry dan menghubunginya untuk memastikan kapan suaminya tiba.
Namun, yang menjawab panggilan telepon di seberang sana bukanlah suara Henry. Melainkan suara perempuan yang terdengar lembut dan berkelas.
“Saya Julia, sekertaris Tuan Henry. Tuan Henry sedang tidak bisa menjawab telepon saat ini. Dia sedang memiliki banyak urusan. Apa ada yang ingin Anda sampaikan padanya? Biar saya yang membantu menyampaikannya.”
Eva tersenyum getir mendengar suara itu. “Tidak, Nona. Saya hanya ingin memastikan kapan Henry akan pulang.”
Julia yang berada di seberang sana kembali memberikan jawaban. “Saya akan menyampaikan pesan Anda padanya.”
Baru saja Eva ingin menjawab, telepon itu sudah terputus secara sepihak. Eva menggenggam ponselnya erat-erat.
Pikiran Eva semakin melayang tidak karuan. Kedua orang itu pasti saat ini tengah menikmati waktu bersama.
Waktu terus berlalu. Akhirnya Henry telah tiba dengan pakaian yang masih terlihat rapi seperti sebelum mereka pergi ke pesta.
Ia menerobos masuk ke dalam kamar, hingga membuat tubuh Eva terkejut.
“Apa yang kau katakan pada Julia?” Henry meninggikan suaranya hingga memenuhi ruangan.
Eva yang tidak tahu apa-apa pun bertanya-tanya. “Aku?”
Dengan gerakan cepat Henry mencengkeram dagu Eva. “Apa yang baru saja kau katakan pada Julia hingga dia menangis?”
Kening Eva berkerut, dia tampak bingung dengan perkataan suaminya.
Henry berteriak di dekat wajah Eva. “Jangan sampai perusahaan kehilangan orang sepertinya hanya karena sikap kekanak-kanakanmu!”
Tangan Eva dengan spontan menarik tangan Henry. Namun, tenaganya masih kalah kuat dengan tenaga Henry.
Eva menahan rasa sakitnya, sebab cengkeraman Henry begitu kuat. “A-aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya-”
“Kau memang wanita tidak berguna!” Henry menyela sebelum Eva menjawabnya. Henry melepaskan cengkeramannya dengan wajah memerah.
Eva mencoba menormalkan napasnya yang terengah-engah lalu kembali menjawab. “Tapi aku tidak mengatakan apa-apa padanya, Henry. Aku hanya memintanya menyampaikan pesanku memastikan kapan kau pulang.”
Henry tersenyum sinis tidak percaya. “Lalu, kau mengatakan jika Julia memfitnahmu dihadapanku? Kau memang wanita picik! Selain menikah karena uang, ternyata kau juga wanita yang pandai bersilat lidah dan munafik!”
Eva menggelengkan kepalanya cepat. Semua tentangnya itu tidak seperti yang dikatakan suaminya.
Henry memandang wajah Eva dengan tatapan hina. “Wajahmu memang terlihat polos. Tapi tidak dengan tindakanmu!”
Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain. Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. “Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.” “Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setia
Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”“Terima kasih.”Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.Ketika Julia melihat Eva, dia
“Henry.” Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. “Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu me
Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang
Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann
“Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a
Malam hari, sebelum tidur Eva termenung. Teringat dengan pertanyaan Samuel mengenai perceraiannya. Sampai sekarang, perceraiannya tidak ada kabar.Eva bergumam pelan. “Apa aku menghubunginya?”Eva menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Henry terpampang di layar. Selama dia pergi, sama sekali tidak terlibat komunikasi dengan Henry.Dengan satu sentuhan, Eva memanggil nomor Henry.Setelah beberapa deringan, suara Hnery terdengar di ujung telepon. “Hallo.”Eva berkesiap. Ia pikir jika Henry tidak akan menerima telepon darinya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu mengenai dokumen perceraian itu. Apa kau sudah menandatanganinya?”Eva bisa mendengar suara Henry yang tertawa keras di sana. Bisa dibayangkan bagaimana wajah Henry saat ini.“Kau menanyakan ini karena aku menghambat jalanmu untuk dekat dengan laki-laki lain? Jangan harap kau menerima kemudahan.”“Henry, Ak-,”Belum juga dia menyelesaikan ucapannya. Henry sudah memutusk
Henry keluar dari mobilnya. Berjalan tegap menuju pethouse miliknya.Dia mepelas setelan jas dan kemeja yang ia kenakan. Dia berdiri dengan tenang di bawah guyuran shower yang deras.20 menit berlalu, Henry keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. Langkah kakinya tertuju pada ponsel yang berada di atas meja.Nama Ryan tertera di layar ponselnya. Dengan segera Henry menekan tombol hijaunya.Suara Ryan terdengar di ujung telepon. “Ada yan bisa saya bantu, Tuan?”“Cari tahu apa hubungan Eva dan Samuel! Cari tahu semuanya apa saja yang sudah mereka lakukan di belakangku.”Henry memberitahu dengan nada tegas dan tidak bisa dibantah.Nada suara Ryan terdengar bingung, tidak mengerti apa maksud Henry saat ini. “Nyonya Eva dan Tuan Samuel?”Henry kembali berbicara dengan nada dingin. “Apa perintahku kurang jelas?”“Ti-tidak, Tuan.”Henry memutus panggilan teleponnya secara sepihak. Ia menuju ruang ganti dan berpakaian santai.Malam semakin larut. Henry berdiri di Malam harinya, Henry berdi
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
“Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
“Itu ….” Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik
“Kenapa kau menempatkan Istrimu seperti seorang Penjahat yang tidak memiliki hati?” Eva melayangkan protesnya cepat. Henry terkekeh pelan, sedikit terhibur. Entah kenapa hati istrinya begitu sensitif sekarang. “Memeluk Istriku sendiri membuatku harus memohon. Aku heran, dunia apa yang sebenarnya kita jalani saat ini?” Henry menjawab dengan sindiran khasnya. “Kau benar-benar membiarkan Suamimu memohon?” Dia tak mau menghentikannya.Eva masih berpikir. Saat ini mereka di rumah sakit, bagaimana jika seseorang melihatnya? Pasti sangat memalukan. Henry memandang wajahnya dengan tatapan sayu. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya. Dia mendengus. Sementara Eva menggigit bibir bawahnya, apakah dia harus menuruti permintaan Henry? Bagaimana jika ada yang tiba-tiba masuk? Henry masih menatapnya dengan raut sedikit cemberut, menunggu bagaimana reaksi Eva. “Sudahlah. Sebaiknya aku kembali tidur,” katanya dengan sedikit tidak suka dan pasrah. Henry mengembalikan posisi kepalanya menja
Sophia juga merasakan kelegaan, karena akhirnya ada perkembangan keadaan Henry. Dia ikut menyimak setiap penjelasan yang dokter katakan. Dan ketika dokter keluar dari ruangan, dia berpesan pada Eva. “Sekarang sebaiknya kau istirahat dulu, kau sudah berjaga sampai hampir pagi.” Yang Eva rasakan saat ini adalah mengantuk, tetapi dia menggelengkan kepala. “Aku takut jika nanti Henry membutuhkan sesuatu. Sebaiknya kau lanjut istirahat.” Sophia mendengus. Ternyata Eva memiliki sikap sedikit keras. Dia hanya tidak ingin wanita itu juga tumbang. Dia kembali mengingatkan dengan nada sabarnya, “Perhatikan juga kondisimu, Eva. Bagaimana kalau nanti Henry terbangun tapi justru kau yang jatuh sakit?”Eva terdiam, merenungi perkataan Sophia. Yang dikatakan wanita itu memang benar. Matanya beralih ke arah Henry. Dia pun tersenyum ke arah Sophia, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan tidur sebentar saja.” Sophia mengangguk tidak mempermasalahkan. “Tidurlah sekarang. Aku keluar sebentar memberit
Suara pintu terbuka. Eva dan lainnya menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan. “Bagaimana kondisi Suami saya sekarang, Dok?” Eva berharap akan ada kabar baik. Dengan suara tenang, Dokter itu menjelaskan, “Kami masih harus menunggu hasil laboratorium, Nyonya. Tapi, saya rasa, kondisinya sudah mulai membaik setelah mendapatkan penanganan pertama.” Akhirnya, Eva bisa bernapas sedikit lega sekarang. Setidaknya ada perkembangan dari kondisi Henry saat ini. Tuan Lawson menyahut, “Bisakah kalian mengeluarkan hasil itu dalam waktu singkat?”Dokter itu mengangguk pelan. “Akan kami usahakan, Tuan.”“Bisakah saya masuk ke dalam sekarang?” Rasa tidak sabar menggebu di dalam hatinya.“Silakan, Nyonya,” Setelah mendapat persetujuan, Eva masuk ke dalam ruangan. Dia bisa melihat pria yang biasanya sombong dan arogan itu masih terbaring lemah di sana. Wajah yang sebelumnya pucat, kini terlihat mulai kembali normal. Sementara Tuan Lawson dan Sophia masih berada di luar bersama de