Keesokan harinya, Henry berada di ruang rapat duduk tenang memandang layar proyektor yang menampilkan slide presentasi.Hari ini, dia memiliki jadwal rapat penting dengan pihak NextGen Development. Mengenai pembangunan mixed-use, jenis pengembangan real estate yang menggabungkan fungsi atau penggunaan dalam satu gedung yang sama.Semua orang yang berada di ruangan itu tampak fokus menatap layar proyektor.Leo, manajer penjualan itu kembali menjelaskan, “Di sini kami memiliki tiga opsi utama untuk proyek pembangunan yang Anda inginkan, Tuan Christopher. Opsi pertama adalah pengembangan apartemen mewah di kawasan Upper East Side. Opsi kedua adalah pembangunan gedung perkantoran di area Finansial District. Dan opsi yang ketiga adalah proyek mixed-use di kawasan Chelsae, yang menggabungkan ruang hunian dan komersial dalam satu gedung.”Christopher tampak tertarik dengan ide gagasan tim Henry.“Kami tertarik pada opsi ketiga, kami bisa melihat potensi besar di kawasan Chelsea. Namun ada be
Di Luxe Avenue, Samuel berdiri dari tempat duduk saat melihat Sophie Goldstein-partner senior di firma investasi dengan jaringan luas dan pengalaman mendalam dalam konteks perusahaan investasi.Dia tersenyum dan menjabat tangan Sophie dengan ramah. “Senang bertemu dengan Anda Mrs. Sophie. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu.”Sophie tergelak dengan ucapan Samuel yang terdengar sangat formal. “Senang bertemu denganmu juga, Samuel. Kita hanya berdua di sini, kenapa kau harus berbicara formal? Kau menyambutku seperti orang asing.”Samuel terkekeh, “Mari duduk.”Mereka duduk, dan pelayan segera datang mengantar makanan dan minuman mewah yang sudah Samuel pesan sebelumnya.Sebelumnya, mereka sudah menjadi partner akrab di dalam dunia bisnis. Mereka bekerja di bidang yang sama, yaitu investasi.Selama beberapa menit awal, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman masing-masing dan hal-hal menarik selama menjalani pekerjaan mereka.Sophie tampak akrab dengan dunia inve
Malam harinya, setelah Eva pergi meninggalkan kota beberapa hari yang lalu, Martin selalu berencana agar Henry dan Eva terlibat momen bersama. Dia kembali meminta putra dan menantunya untuk menginap di kediaman mereka untuk beberapa hari ke depan. Eva merasa tertekan dan terhimpit setiap kali dia harus berbagi kamar dengan Henry, karena permintaan mertuanya yang tidak bisa ditolak. Namun meskipun hatinya merasa tidak nyaman, dia berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Sementara Henry duduk bersila di tepi kasur dengan santai, tetapi menonjolkan kesan meremehkan. Tangannya terlipat di depan dada dengan senyum sinis yang samar terlihat di sudut bibirnya.“Kenapa wajahmu tegang seperti itu? Apa kau tidak suka jika harus berbagi kamar denganku?”Eva menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku masih harus menyesuaikan jika berbagi kamar denganmu.”Henry mengangkat alis, tetap duduk bersila. Selama 4 tahun dia tinggal di bawah atap yang sama, harusnya Eva sudah biasa dalam hal ini.Dia m
Cahaya lembut menembus cela-cela jendela besar. Eva merasakan cahaya mulai memenuhi ruangan.Dia meregangkan otot-ototnya dengan menguap lebar. Saat kedua sepenuhnya terbuka, dia melihat pemandangan yang tidak pernah dia lihat sepenuhnya.Eva memandang wajah Henry yang tertidur di sebelahnya dengan damai. Dia masih terdiam membeku, pikirannya belum sepenuhnya mencerna apapun. Berselang beberapa menit, matanya melebar lalu berteriak keras dan kakinya menendang orang di sebelahnya. “Aaakh!” Dentuman keras terdengar saat tubuh Henry menghantam lantai. Eva meringis mendengar suara keras yang dihasilkan.Henry berdiri, mengelus punggungnya yang sakit. “Apa-apaan kau, Eva! Kau kira aku bola?”“Ma-maaf … aku ‘kan tidak sengaja.” Eva tergeragap. “Kau tidak apa-apa, ‘kan?”Henry menjawab dengan nada kesal, “Tentu saja punggungku sakit. Sepertinya aku patah tulang karena ulahmu. Kau harus bertanggung jawab jika aku mengalami patah tulang, akan semakin banyak hutangmu padaku.”Eva menyibak s
“Henry, Eva,” katanya dengan senyum lebar. “Papa ingin memberikan sesuatu pada kalian.”Eva dan Henry saling pandang merasa penasaran.Martin membuka amplop dan mengeluarkan dua tiket. Saat melihatnya, Henry dan Eva semakin penasaran dengan lembar kertas kecil itu.“Ini adalah tiket honeymoon untuk kalian,” kata Martin. “Papa memesan dua paket perjalanan ke Maldives. Papa berharap kalian bisa menikmati waktu bersama di sana, bersantai dan menciptakan kenangan baru. Kalian belum pernah bepergian, bukan?”Henry dan Eva terkejut. Honeymoon? Mereka saling memandang.Martin tidak tahu saja jika menantu dan putranya itu seperti kucing dan tikus.Henry mulai menyela, “Pa, kenapa Papa repot-repot? Henry sangat sibuk, Pa, pekerjaan tidak bisa ditinggal.”Eva menyahut, “Sebelumnya terima kasih, Pa. Tapi, Eva tidak terbiasa naik pesawat, makanya Eva dari dulu menolak untuk bepergian jauh.”Henry mengangguk mengiyakan ucapan Eva. Kali ini dia bekerjasama dengan Eva untuk menolak tiket itu.“Kau m
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam, Henry dan Eva telah tiba di Bandara Internasional Malé. Mereka tiba di sana di hari berikutnya, yaitu pukul 11 siang waktu setempat. Eva dengan rambut dikuncir rapi, mengenakan gaun santai berwarna biru muda. Sementara Henry tampil kasual, tetapi tetap terlihat rapi dengan kaos polo dan celana pendek. Meski Eva baru pertama kali melakukan perjalanan jauh, dia terlihat tenang dan segar. Sepertinya sepanjang perjalanan dia bisa beristirahat dengan tenang dan damai. Mereka menuju area khusus, di mana di sana terdapat sopir yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke dermaga. Di Dermaga, mereka disambut oleh speedboat mewah yang siap mengantar mereka. Dalam diamnya, Eva terpukau dengan birunya air laut membentang luas. Cahaya matahari yang menyinari membuatnya terlihat seperti kilauan-kilauan permata.Ekor mata Henry melirik, mengamati setiap pergerakan Eva. Ia tahu saat ini Eva sedang menikmati setiap pemandangan di sana.Di sekelilingnya,
“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.” Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya. Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik. Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?” Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hany
Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.Eva berjalan dengan lesu,