Cahaya lembut menembus cela-cela jendela besar. Eva merasakan cahaya mulai memenuhi ruangan.Dia meregangkan otot-ototnya dengan menguap lebar. Saat kedua sepenuhnya terbuka, dia melihat pemandangan yang tidak pernah dia lihat sepenuhnya.Eva memandang wajah Henry yang tertidur di sebelahnya dengan damai. Dia masih terdiam membeku, pikirannya belum sepenuhnya mencerna apapun. Berselang beberapa menit, matanya melebar lalu berteriak keras dan kakinya menendang orang di sebelahnya. “Aaakh!” Dentuman keras terdengar saat tubuh Henry menghantam lantai. Eva meringis mendengar suara keras yang dihasilkan.Henry berdiri, mengelus punggungnya yang sakit. “Apa-apaan kau, Eva! Kau kira aku bola?”“Ma-maaf … aku ‘kan tidak sengaja.” Eva tergeragap. “Kau tidak apa-apa, ‘kan?”Henry menjawab dengan nada kesal, “Tentu saja punggungku sakit. Sepertinya aku patah tulang karena ulahmu. Kau harus bertanggung jawab jika aku mengalami patah tulang, akan semakin banyak hutangmu padaku.”Eva menyibak s
“Henry, Eva,” katanya dengan senyum lebar. “Papa ingin memberikan sesuatu pada kalian.”Eva dan Henry saling pandang merasa penasaran.Martin membuka amplop dan mengeluarkan dua tiket. Saat melihatnya, Henry dan Eva semakin penasaran dengan lembar kertas kecil itu.“Ini adalah tiket honeymoon untuk kalian,” kata Martin. “Papa memesan dua paket perjalanan ke Maldives. Papa berharap kalian bisa menikmati waktu bersama di sana, bersantai dan menciptakan kenangan baru. Kalian belum pernah bepergian, bukan?”Henry dan Eva terkejut. Honeymoon? Mereka saling memandang.Martin tidak tahu saja jika menantu dan putranya itu seperti kucing dan tikus.Henry mulai menyela, “Pa, kenapa Papa repot-repot? Henry sangat sibuk, Pa, pekerjaan tidak bisa ditinggal.”Eva menyahut, “Sebelumnya terima kasih, Pa. Tapi, Eva tidak terbiasa naik pesawat, makanya Eva dari dulu menolak untuk bepergian jauh.”Henry mengangguk mengiyakan ucapan Eva. Kali ini dia bekerjasama dengan Eva untuk menolak tiket itu.“Kau m
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam, Henry dan Eva telah tiba di Bandara Internasional Malé. Mereka tiba di sana di hari berikutnya, yaitu pukul 11 siang waktu setempat. Eva dengan rambut dikuncir rapi, mengenakan gaun santai berwarna biru muda. Sementara Henry tampil kasual, tetapi tetap terlihat rapi dengan kaos polo dan celana pendek. Meski Eva baru pertama kali melakukan perjalanan jauh, dia terlihat tenang dan segar. Sepertinya sepanjang perjalanan dia bisa beristirahat dengan tenang dan damai. Mereka menuju area khusus, di mana di sana terdapat sopir yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke dermaga. Di Dermaga, mereka disambut oleh speedboat mewah yang siap mengantar mereka. Dalam diamnya, Eva terpukau dengan birunya air laut membentang luas. Cahaya matahari yang menyinari membuatnya terlihat seperti kilauan-kilauan permata.Ekor mata Henry melirik, mengamati setiap pergerakan Eva. Ia tahu saat ini Eva sedang menikmati setiap pemandangan di sana.Di sekelilingnya, t
Pikiran Eva berkecamuk, hatinya terasa tidak tenang. Apa lagi dengan wajah Henry yang tampak serius.Kata ‘seru’ dalam pikirannya sekarang terdengar menakutkan.Eva merasa pipinya memanas. “A-apa maksudmu?”Henry terkekeh.Eva merinding dibuatnya. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang bisa dilihat oleh Henry.“Kau tidak mungkin tidak mengerti perkataanku, bukan?” Henry memasang wajah liciknya.Tubuh Eva mendadak kaku, ia tahu apa yang dimaksud oleh Henry. Perasaannya semakin was-was, rasanya ingin sekali ia berteriak ‘tolong’ agar seseorang membantunya. Henry semakin menikmati wajah panik Eva. “Apa kau tidak ingat mimpi berjalanmu? Siapa tahu kau kembali mimpi berjalan dan melakukan sesuatu padaku.”“A-aku tidak pernah mimpi berjalan!” bentaknya, dia terlihat gugup. “Dan apa yang kau pikir itu, itu tidak akan pernah terjadi.”“Ha-ha-ha ….” Henry tertawa puas. “Lalu kau masih berpikir kalau aku yang memindahkanmu, begitu?”Dengan spontan Eva menggeleng. Lidahnya keluh, tidak bisa
Martin berdiri di tepi jendela yang ada di ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Suasana di sana masih sangat pagi dan sunyi, pukul 4 pagi waktu setempat.Sebagai ayah Henry, Martin memastikan jika putra dan menantunya itu menikmati momen haoneymoon dikala konflik melanda. Ia berharap hubungan kedunya kembali membaik.Dengan nada tegas Martin bertanya, “Nester, bagaimana situasinya?”Orang yang dia panggil Nester pun menjawab di sudut telepon, “Semuanya baik, Tuan. Tuan Henry dan Nyonya Eva terlihat menikmati waktunya di sini.”Martin menghela napas lega. “Pastikan untuk tetap mengawasi mereka. Laporkan padaku apapun yang terjadi.”Nester kembali menjawab, “Baik, Tuan.”Panggilan telepon terputus. Martin tetap berdiri di depan jendela dengan melipat kedua tangannya di dada.Meskipun kota itu tidak sepenuhnya tidur, jam-jam seperti ini adalah waktu tenang dan damai.Pikiran Martin melayang jauh. Dia bergumam pelan, “Mereka tidak boleh berpisah.”2 hari berlalu
Kata-kata itu bagaikan tamparan untuk Julia.Dengan terang-terangan Martin mengatakan itu dihadapannya.“Apa sih, Pa? Jangan berlebihan seperti itu! Wajar kalau Henry dekat dengan orang yang sudah membantu Mama.” Elise menyela dengan cepat, membela tindakan Julia.“Jangan membenarkan kedekatan putramu dengan wanita lain dengan berdalih karena balas budi!” sargah Martin dengan tegas.Elise kembali terdiam melihat tatapan tajam suaminya. Tanpa perlu berbicara dia bisa merasakan ancaman di mata Martin.Julia bisa merasakan campuran kebencian sekaligus senang karena memiliki tameng untuk memperkuat posisinya.Dengan memaksakan senyum Julia menjawab, “Ah, ya, maafkan Julia, Uncle. Mungkin kedekatan Julia sedikit berimbas pada Henry, kedepannya Julia akan lebih fokus ke pekerjaan.”“Uncle tidak melarangmu untuk berteman dengan Henry, tapi kau harus mengetahuimu batasanmu agar tidak menimbulkan spekulasi lain dihadapan orang-orang.” Martin kembali mempertegas.Julia mengangguk. “Julia menger
Di restoran bawah laut yang memukau di Maldives, Henry dan Eva duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca transparan.Eva tersenyum memandang ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Sejenak, keindahan itu membuatnya terpesonaNamun, melihat ikan-ikan itu, pikirannya melayang kembali ke rumah tangganya yang penuh ketidakpastian.Betapa indahnya mereka. Mereka bebas, tidak terikat apapun. Sementara aku terjebak dalam proses yang seolah tidak pernah ada ujungnya. Kenapa semuanya harus begitu rumit?Dia merasakan berat di dadanya, mengingat semua perdebatan dan kesedihan yang menggelayutinya.Saat Eva tersenyum kecil memandang ikan-ikan itu, Henry mengecek ponselnya yang sudah tiga hari ini dia biarkan tergeletak begitu saja.Dia membaca pesan-pesan yang masuk. Namun di saat dia melihat pesan dari Julia, tiba-tiba saja wajahnya berubah.Eva yang melihat ekspresi Henry itu merasa hatinya menyempit. “Ada apa?”Henry tidak menjawab, justru dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Saat tiba di rumah sakit, Henry melangkah terburu-buru menuju ruang yang ditempati oleh Julia. Dia mendorong pintu dan masuk.Julia menoleh ketika pintu ruangan terbuka, dia tersenyum tipis melihat kedatangan Henry. “Henry? Kau sudah pulang?” Julia bangun, mengubah posisi duduknya dengan sempurna. Henry menyahut dengan paniknya, “Bagaimana keadaanmu sekarang? Dan apa yang terjadi?”Julia berdehem pelan, menutupi senyum kemenangan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. “Itu hanya gerd-ku saja yang kambuh.”Henry mendekat dengan cemas, duduk di sebelah brankar memeriksa kondisi Julia. "Kau benar-benar membuatku khawatir, Julia. Harusnya kau menurut dengan ucapanku waktu itu untuk memeriksakan kondisimu.”Mendengar itu, Julia tertawa pelan, tapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi lemah. “aku sudah jauh lebih baik sekarang.” Henry menghela napas, tampak lega. “Syukurlah. Aku akan tetap di sini untuk memastikan kau pulih sepenuhnya.”Senyum Julia semakin lebar, rencananya untuk menarik
Hari-hari berlalu dengan cepat, di kantor, Samuel terlihat dengan kesibukan yang terus menerus membuatnya hampir tak sempat memikirkan sekitarnya. Namun, meskipun dia berusaha fokus pada pekerjaan, bayangan Eva tetap menghantuinya.Dia begitu khawatir melihat kondisi terakhir Eva yang tampak tidak baik-baik saja. Meskipun begitu, dia tetap melanjutkan tugasnya dengan penuh dedikasi, menyelesaikan berbagai urusan bisnis yang tidak pernah ada habisnya.Suatu pagi, saat Samuel tengah menyelesaikan pemeriksaan laporan keuangan dan analisis portofolio di mejanya, pintu ruangannya diketuk dengan pelan. Tanpa menunggu jawaban, Dave masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tampak serius, seperti ada sesuatu penting ingin dia sampaikan.Dave menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Ada informasi mengenai Nyonya Eva, Tuan.”Samuel tiba-tiba menegakkan posisi duduknya, bersiap menerima laporan dari Dave. Beberapa hari setelah dia dari apartemen Eva, dia meminta Dave untuk mengawasi pergerakan Eva.
Di dalam kafe yang ramai, Henry duduk dengan sedikit gaya angkuhnya. Di meja seberang terdapat Samuel yang duduk tenang tidak terpengaruh dengan sikap Henry, dia sudah terbiasa dengan sikap sepupunya yang memang tidak pernah berubah. Mereka saling pandang, namun tidak ada senyum, tidak ada kata-kata yang terucap, hanya keheningan yang terasa berat menyelimuti mereka. Pada akhirnya, suara Samuel memecah keheningan, “Apa yang ingin kau katakan? Aku tidak punya banyak waktu.”Henry menatap Samuel dengan tajam, rasa kesal mulai berkecamuk di dalam dadanya. Mencemooh sikap sepupunya yang merasa sombong dan paling penting. Henry menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu menjawab dengan nada sinisnya, “Memangnya seberapa penting dirimu?” Terlihat senyum mengejek menghiasi wajahnya. Samuel memutar kedua matanya malas, seakan bosan dengan sikap sepupunya yang suka memancing keributan. “Kalau kau hanya memancing gara-gara, cari saja orang lain!”Henry berdecih remeh, “Sombong sekali
Harrison Realty Partners.Julia melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Henry dengan setumpuk berkas di tangannya. Pekerjaannya sebagai sekertaris tentu memudahkannya untuk keluar masuk ke ruangan itu.Hari itu, seperti biasa suasana kantor terlihat sibuk. Semua mondar-mandir dengan pekerjaan masing-masing. Namun semua pekerjaan itu terasa enteng untuk Julia.Kaki jenjangnya mulai memasuki ruangan Henry, dengan bibir yang membentuk lengkungan ke atas. Dengan lembut dia meletakkan berkas itu di meja Henry.“Ini rangkuman berkas di minggu kemarin, Henry,” suarany dibuat selembut mungkin.Henry mengangguk pelan, kedua matanya menatap layar komputer tanpa menunjukkan minat pada kehadiran Julia. “Ya, terima kasih,” nada suaranya terdengar singkat dan cuek.Senyumnya yang dulu ramah seakan menghilang begitu saja, digantikan oleh sikap yang semakin cuek. Julia yang melihat itu mengepalkan tangan di samping tubuhnya.Apa yang terjadi dengan Henry? Kenapa setelah pesta itu, dia terlihat m
“Eva …,” panggilnya, suaranya menunjukkan nada khawatir dan cemas karena tidak ada sahutan dari Eva sama sekali. Dalam hatinya selalu berdoa agar wanita itu baik-baik saja. Samuel dengan sabar menunggu pintu tua itu terbuka. Tak lama terdengar suara knop pintu terbuka, ada sedikit perasaan lega jika Eva ada di apartemen itu.Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Eva yang berdiri di tengahnya. Wajahnya terlihat sayu, dan matanya yang basah oleh sisa-sisa air mata. Eva menampilkan senyum cerahnya meski bayangan wajah pria di hadapannya itu tidak bisa lagi dia lihat. Dia mencoba untuk bersikap seperti biasanya, dan semoga Samuel tidak menyadari kondisi matanya. “Samuel?” Samuel bertanya, “Kau baik-baik saja?” Nada suaranya terdengar cemas. Eva terdiam sejenak, senyumnya sedikit memudar. Namun, dia segera mengangguk pelan, seolah ingin meyakinkan Samuel. “Aku baik-baik saja.”Samuel menatapnya dengan ragu, memperhatikan setiap gerak tubuh Eva. Dia merasakan ada sesuatu yang d
Ryan berdiri di luar gedung apartemen, dengan ponsel Eva di tangannya karena tertinggal di hotel saat pesta, dia menunggu kedatangan sang Nyonya untuk mengembalikannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, berharap Eva segera muncul. Namun, tak ada tanda-tanda kemunculannya. Pikiran Ryan masih dipenuhi dengan pesta kemarin, ditambah lagi dengan sikap Henry yang terlihat tidak suka dengan gaun yang dia pilihkan untuk Eva. “Apa Nyonya masih bekerja sampai hampir larut begini, ya?” gumamnya, berkali-kali memandang ke arah jalan bergantian ke arah apartemen tua itu. “Kasihan sekali.”Wajah cemasnya tidak bisa disembunyikan. Tanpa disadari, Eva kini sedang berada di rumah sakit, jauh dari ponselnya, dia tidak bisa mencari tahu kabarnya. Dia terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.Berbagai alasan yang Eva berikan, akhirnya membuat Dokter Tom menyerah. Dengan raut ragu, dokter itu setuju dia keluar tanpa rawat inap, namun mengingatkan untuk segera datang jika terjadi sesuatu
Henry menarik napas panjang, merasa kesal dengan sikap Eva yang dianggapnya terlalu berlebihan. Dia tidak bisa mengerti kenapa perempuan itu bisa begitu sulit diajak bicara, padahal dia sudah mencoba menunjukkan niat baiknya. Matanya menatap lurus ke jalan, meskipun pikirannya sama sekali tidak fokus pada rute yang diambil saat ini. Tangannya memukul setir mobil dengan sedikit keras. “Memangnya apa salahku kali ini?” katanya frustasi. “Dia tadi merasa kesakitan bukan? Memangnya apa salahku jika aku memerhatikannya?”“Tidak peduli, salah. Peduli, salah. Maunya apa sih?” Sepanjang perjalanan itu Henry tidak henti-hentinya mendumel kesal, merasa apa yang dia lakukan serba salah di mata Eva.Namun di selah-selah rasa kesalnya itu, perasaannya merasa seperti ada yang tidak beres. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.Tiba-tiba, dia mengambil keputusan. Gesekan ban mobil terdengar berdecit di aspal, Henry memutar setirnya, berbelok kembali ke arah yang tadi sempat dia tingga
Eva memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, kebencian terlanjur memenuhi hatinya. Dia menatap suaminya, dengan tatapan tajam yang penuh pertanyaan dan amarah yang tak bisa disembunyikan.“Apa sih sebenarnya tujuanmu, Henry?” suaranya bergetar, tapi dia mencoba menahannya. “Kenapa kau membeli restoran tempatku bekerja? Apa kau merasa punya kendali atas segalanya, termasuk hidupku?” Eva menarik napas, mencoba mengendalikan diri, tapi tetap saja emosinya keluar begitu saja. “Kau pikir kau bisa mengatur segala hal dalam hidupku, bahkan tempatku bekerja? Apa kau ingin menjadikan semuanya milikmu, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya? Tangannya mengepal semakin kuat di bawah meja, menahan diri untuk tidak meledak lebih jauh. “Kenapa? Apa yang sebenarnya kau cari, Hen? Aku tidak habis pikir lagi apa yang ada di pikiranmu itu! Atau ini hanya caramu untuk mengganggu hidupku lebih jauh?" Dengan suara yang lebih rendah tapi penuh emosi, Eva kembali bertanya, “Apa yang s
Tak mau berlama-lama, Eva berbalik dan berjalan cepat, menghindari tatapan Henry. Tak ada niat untuk mendekat ke mejanya. Dia memilih menghindar, sengaja menjauh agar tidak menimbulkan keributan.Hatinya berdebar, tapi dia berusaha menjaga langkahnya tetap terjaga. Tanpa melihat lagi, dia melangkah ke belakang, mencoba untuk tidak terbawa perasaan yang semakin kacau.Setelah sampai di dapur, Eva dengan cepat memberikan order slip kepada staf yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. Dia berharap bisa segera kembali ke area depan dan melanjutkan pekerjaannya tanpa gangguan. Namun, dia tampak ragu setelah melihat keberadaan Henry di Restoran itu.Tak biasanya Henry akan datang ke Restoran kecil seperti ini. Eva merasa bahwa Henry memang sengaja datang untuk mengganggu ketenangannya.Eva menarik napas panjang dan berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. Meski dia tidak ingin berhadapan dengan Henry, tapi dia harus profesional dalam menjalankan pekerjaan.Akan tetapi baru saja ia berbalik
Sehari setelah pesta, wajah Henry tampak merengut. Tatapannya hanya tertuju pada layar komputer di depannya. Wajahnya terlihat tegang, membuat Ryan berkeringat dingin melihatnya. Dia bisa merasakan gelombang ketegangan di ruangan itu. Itu pasti efek dari kericuhan yang terjadi saat acara pesta ulang tahun Elise yang melibatkannya langsung dan Samuel. “Ini laporan yang Anda minta, Tuan.” Ryan meletakkan berkas di atas meja Henry dengan hati-hati. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.Perlahan wajah Henry terangkat, menatap ke arahnya tajam. “Kau sengaja memilihkan baju itu untuk Eva?”Ryan meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia berpikir, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab Henry dengan tepat. “Emm … gaun itu adalah rekomendasi terbaik di sana, Tuan. Ryan memutar otaknya untuk menghindari kemarahan itu. Dia merasa bahwa gaun itu justru memicu emosi atasannya. Padahal niatnya agar bosnya itu lebih tertarik dengan istrinya