Pikiran Eva berkecamuk, hatinya terasa tidak tenang. Apa lagi dengan wajah Henry yang tampak serius.Kata ‘seru’ dalam pikirannya sekarang terdengar menakutkan.Eva merasa pipinya memanas. “A-apa maksudmu?”Henry terkekeh.Eva merinding dibuatnya. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang bisa dilihat oleh Henry.“Kau tidak mungkin tidak mengerti perkataanku, bukan?” Henry memasang wajah liciknya.Tubuh Eva mendadak kaku, ia tahu apa yang dimaksud oleh Henry. Perasaannya semakin was-was, rasanya ingin sekali ia berteriak ‘tolong’ agar seseorang membantunya. Henry semakin menikmati wajah panik Eva. “Apa kau tidak ingat mimpi berjalanmu? Siapa tahu kau kembali mimpi berjalan dan melakukan sesuatu padaku.”“A-aku tidak pernah mimpi berjalan!” bentaknya, dia terlihat gugup. “Dan apa yang kau pikir itu, itu tidak akan pernah terjadi.”“Ha-ha-ha ….” Henry tertawa puas. “Lalu kau masih berpikir kalau aku yang memindahkanmu, begitu?”Dengan spontan Eva menggeleng. Lidahnya keluh, tidak bisa
Martin berdiri di tepi jendela yang ada di ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Suasana di sana masih sangat pagi dan sunyi, pukul 4 pagi waktu setempat.Sebagai ayah Henry, Martin memastikan jika putra dan menantunya itu menikmati momen haoneymoon dikala konflik melanda. Ia berharap hubungan kedunya kembali membaik.Dengan nada tegas Martin bertanya, “Nester, bagaimana situasinya?”Orang yang dia panggil Nester pun menjawab di sudut telepon, “Semuanya baik, Tuan. Tuan Henry dan Nyonya Eva terlihat menikmati waktunya di sini.”Martin menghela napas lega. “Pastikan untuk tetap mengawasi mereka. Laporkan padaku apapun yang terjadi.”Nester kembali menjawab, “Baik, Tuan.”Panggilan telepon terputus. Martin tetap berdiri di depan jendela dengan melipat kedua tangannya di dada.Meskipun kota itu tidak sepenuhnya tidur, jam-jam seperti ini adalah waktu tenang dan damai.Pikiran Martin melayang jauh. Dia bergumam pelan, “Mereka tidak boleh berpisah.”2 hari berlalu
Kata-kata itu bagaikan tamparan untuk Julia.Dengan terang-terangan Martin mengatakan itu dihadapannya.“Apa sih, Pa? Jangan berlebihan seperti itu! Wajar kalau Henry dekat dengan orang yang sudah membantu Mama.” Elise menyela dengan cepat, membela tindakan Julia.“Jangan membenarkan kedekatan putramu dengan wanita lain dengan berdalih karena balas budi!” sargah Martin dengan tegas.Elise kembali terdiam melihat tatapan tajam suaminya. Tanpa perlu berbicara dia bisa merasakan ancaman di mata Martin.Julia bisa merasakan campuran kebencian sekaligus senang karena memiliki tameng untuk memperkuat posisinya.Dengan memaksakan senyum Julia menjawab, “Ah, ya, maafkan Julia, Uncle. Mungkin kedekatan Julia sedikit berimbas pada Henry, kedepannya Julia akan lebih fokus ke pekerjaan.”“Uncle tidak melarangmu untuk berteman dengan Henry, tapi kau harus mengetahuimu batasanmu agar tidak menimbulkan spekulasi lain dihadapan orang-orang.” Martin kembali mempertegas.Julia mengangguk. “Julia menger
Di restoran bawah laut yang memukau di Maldives, Henry dan Eva duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca transparan.Eva tersenyum memandang ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Sejenak, keindahan itu membuatnya terpesonaNamun, melihat ikan-ikan itu, pikirannya melayang kembali ke rumah tangganya yang penuh ketidakpastian.Betapa indahnya mereka. Mereka bebas, tidak terikat apapun. Sementara aku terjebak dalam proses yang seolah tidak pernah ada ujungnya. Kenapa semuanya harus begitu rumit?Dia merasakan berat di dadanya, mengingat semua perdebatan dan kesedihan yang menggelayutinya.Saat Eva tersenyum kecil memandang ikan-ikan itu, Henry mengecek ponselnya yang sudah tiga hari ini dia biarkan tergeletak begitu saja.Dia membaca pesan-pesan yang masuk. Namun di saat dia melihat pesan dari Julia, tiba-tiba saja wajahnya berubah.Eva yang melihat ekspresi Henry itu merasa hatinya menyempit. “Ada apa?”Henry tidak menjawab, justru dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Saat tiba di rumah sakit, Henry melangkah terburu-buru menuju ruang yang ditempati oleh Julia. Dia mendorong pintu dan masuk.Julia menoleh ketika pintu ruangan terbuka, dia tersenyum tipis melihat kedatangan Henry. “Henry? Kau sudah pulang?” Julia bangun, mengubah posisi duduknya dengan sempurna. Henry menyahut dengan paniknya, “Bagaimana keadaanmu sekarang? Dan apa yang terjadi?”Julia berdehem pelan, menutupi senyum kemenangan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. “Itu hanya gerd-ku saja yang kambuh.”Henry mendekat dengan cemas, duduk di sebelah brankar memeriksa kondisi Julia. "Kau benar-benar membuatku khawatir, Julia. Harusnya kau menurut dengan ucapanku waktu itu untuk memeriksakan kondisimu.”Mendengar itu, Julia tertawa pelan, tapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi lemah. “aku sudah jauh lebih baik sekarang.” Henry menghela napas, tampak lega. “Syukurlah. Aku akan tetap di sini untuk memastikan kau pulih sepenuhnya.”Senyum Julia semakin lebar, rencananya untuk menarik
Eva menarik napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat. “Sebenarnya, aku ingin menyiapkan uang itu jika sewaktu-waktu mataku memerlukan penanganan lebih lanjut.”Luna mengernyit, sedikit merasa curiga. Benarkah biaya pengobatan matanya sebanyak itu? “Apa sebanyak itu?" tanyanya, nada suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian.Eva mengangguk, ia menatap Luna, berusaha mengatur ekspresinya lebih tenang. Kemudian melanjutkan, “Itu adalah perkiraan semuanya yang aku butuhkan. Aku hanya ingin memastikan semuanya tersedia dan tidak membebani banyak orang.”Akhirnya Luna mengangguk, dia mengerti kondisi Eva. Mungkin benar yang dikatakan Eva. Semua harus dipersiapkan, biaya perawatan mata itu pasti sangat mahal.“Aku mengerti, Eva.” Luna menyentuh pundak Eva. “Uang 50 juta dollar memang sangat banyak, tapi jika untuk kesehatanmu itu sangat wajar.”Eva bernapas lega. Namun kebohongan yang dia lakukan tetap saja membebaninya. Sementara di rumah sakit, Julia tampak duduk di brankar terseny
Malam hari di kafe yang tenang, Eva dan Samuel duduk berhadapan, secangkir kopi hangat di depan mereka. Meskipun suasana santai, wajah Eva tampak serius. Dia mengaduk kopinya tanpa henti, berpikir mengenai apa yang akan dia katakan.“Samuel, aku ingin bicara tentang pekerjaan sampingan milik Temanmu waktu itu. Apa pekerjaan itu masih berlaku?” tanya Eva pelan, menatap Samuel dengan penuh harapan. Samuel mengerutkan keningnya sejenak, tak lama kemudian dia teringat. “Ah, pekerjaan itu? Tentu, Temanku masih membutuhkan orang untuk membantu pekerjaannya.”Eva berkata dengan ragu-ragu, “Bolehkah aku mengambilnya kembali? Aku berpikir, mengenai semua biaya yang harus aku tanggung, aku harus mengumpulkan uang lebih cepat.”“Apa terjadi sesuatu? Berapa jumlah uang yang kau butuhkan?” tanya Samuel, memastikan. “Mungkin aku bisa membantumu jika itu mendesak.”Dia memandang Eva dengan perasaan khawatir. “Aku butuh 50 juta dollar,” kata Eva pelan.Samuel membulatkan kedua matanya lebar-lebar.
Martin mencondongkan tubuhnya ke depan sambil memijat keningnya pelan. Lima menit yang lalu, dia mendengar kabar dari orang-orang suruhannya bahwa Henry telah kembali dari Maldives lebih cepat dari yang dijadwalkan.Semua rencana liburan yang telah dia siapkan kini terasa sia-sia. Rasa geram meluap dalam dirinya saat memikirkan alasan di balik kepulangan Henry.“Jadi, dia memilih kembali hanya karena Julia,” gumam Martin, tak percaya. Rasa kesal ini semakin membara saat dia membayangkan betapa bodohnya pola pikir putranya.“Sepertinya yang jadi masalah di sini bukanlah Julia, tapi Henry juga.” Martin berdesis pelan, kemudian melanjutkan, “Apa karena alasan ini Eva mengajukan gugatan cerai?”Dia menjadi teringat dengan pengajuan gugatan cerai Eva pada Henry. Setelah dipikir-pikir, tidak mungkin Eva mengajukan perceraian tanpa alasan yang jelas.“Aku tidak akan membiarkan ini, mereka tidak akan berpisah.”Martin berusaha meredakan emosi dan mencari seribu cara agar Eva dan Henry tidak m
Ruangan rumah sakit terasa sunyi, hanya suara alat medis dan para perawat yang dengan lembut membersihkan darah yang menempel di lengan Samuel.Samuel mengerang pelan, matanya mulai membuka, berusaha memahami di mana dia berada. Tubuhnya terasa berat dan nyeri menjalar di setiap inci.Pandangan matanya yang buram itu bisa mengenali Dave yang berdiri di antara kerumunan para perawat yang membantunya.“Dave .…” suaranya serak dan lemah. “Eva … di mana Eva?”Dalam keadaan lemah pun, dia tetap memikirkan bagaimana Eva. Perasaan yang dia tunjukkan begitu besar pada Eva. Dave menoleh, menatap Samuel dengan cemas. “Nona Eva ada di ruangan lain, Tuan. Keadaannya cukup stabil, tapi masih belum sadar. Anda jangan khawatir, saya susah menghubungi Tuan Henry.”Samuel terbatuk ringan, rasa sakit di tubuhnya membuatnya mengerang lagi. “Dia tidak terluka parah, ‘kan? Harusnya hari ini dia operasi.” Dave menjawab dengan ramah, “Nona Eva hanya luka ringan, Tuan. Anda tenang saja. Sebaiknya Anda piki
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Ryan datang dengan cepat, menunjukkan kesungguhan dalam pekerjaannya.“Apa kau mendapat kabar dari Samuel?” tanya Henry tiba-tiba.Ryan mengerutkan kening sesaat, lalu dia mengangguk. “Terakhir Tuan Samuel memberi kabar pada jam sembilan pagi. Beliau mengatakan jika mereka segera berangkat ke rumah sakit.” Henry menghela napas. Sepertinya semuanya berjalan dengan normal, lalu kenapa dengan hatinya yang seperti merasa tidak beres. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. “Apa dia tidak memberi kabar lagi?” Ryan menggelengkan kepala cepat. “Belum, Tuan. Tuan Samuel belum memberikan kabar lagi.”Henry hanya bisa berdesis pelan. Ryan menatap ekspresi Henry, dia bisa melihat wajah gelisah dari tuannya itu. “Eem … Tuan, apa ada sesuatu?” Henry kembali mengangkat pandangannya ke arah Ryan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ucapannya terjeda karena seperti tidak yakin. Sepertinya itu hanya perasaannya saja. Henry mengangkat pergelangan tangannya, melihat jam di pe
Roda mobilnya berputar pelan, mengikuti kendaraan Samuel dengan penuh perhitungan, memastikan tak ada yang menyadari kehadirannya.Setiap tikungan, setiap perubahan arah, Julia tidak melewatkan satu detik pun. Dia mengemudikan mobilnya dengan cekatan di jalan yang lengang. Tangan kirinya mantap menggenggam kemudi, sementara tangan kanannya meraih ponsel di salam tasnya. Setelah menekan nomor, dia menempelkan ponsel ke telinga, suaranya tenang namun penuh wewenang saat berbicara dengan orang suruhannya. “Kau bisa melihat mobil hitam di depanku, bukan?”Terdengar suara tegas di balik teleponnya. “Saya bisa melihatnya, Nona.”“Kau mengerti apa maksudku, kan?” ucap Julia lagi. “Mengerti, Nona.”“Lakukan sekarang. Aku tidak mau wanita bodoh itu merebut semua yang jadi milikku!” nada suaranya penuh dengan kebencian.Julia memutuskan panggilan telepon itu dan melanjutkan mengawasi pergerakan mobil di depannya. Sementara di dalam mobil Samuel, suasana tampak sunyi. Dari Eva maupun Samuel
Satu per satu pakaian milik Eva itu dia masukkan ke dalam tas dengan rapi. Dia mengenali setiap sentuhan kain, tiap tekstur yang berbeda, mulai dari kaos lembut yang sering dikenakan Eva saat santai, hingga pakaian tidur yang nyaman.Di sudut lain, seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut tampak sibuk menyiapkan apa saja yang diperlukan. Dialah Nyonya Rosie, dengan telaten dia memastikan setiap detail sebelum keberangkatan Eva ke rumah sakit.“Eva, aku tidak bisa menemanimu di sana. Aku sudah menyiapkan semuanya, jaga dirimu baik-baik. Ikuti apa kata Samuel.” Suaranya lembut penuh perhatian.Eva tersenyum, meski matanya tidak bisa melihat, dia bisa merasakan ketulusan wanita paruh baya itu. “Terima kasih, Nyonya. Anda sudah banyak membantu. Tidak apa-apa, Nyonya, doakan saja agar semuanya berjalan lancar.”Nyonya Rosie mendekat, memberikan pelukan hangat sebelum keberangkatan Eva.Samuel yang sibuk memasukkan baju, memandang dua wanita itu sekilas dengan perasaan hangat. Matanya,
Malam itu semakin terasa dingin, tapi bukan karena angin, melainkan kekosongan yang menguasai hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Akan tetapi rasanya tidak cukup untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Bayangan wajah Eva kembali muncul di benaknya. Senyumnya yang lembut dengan semangat juang yang tidak pernah pudar selalu membuatnya tenang dan lebih asik menjalani hari. Akan tetapi Samuel tahu dan sadar diri, Eva bukan miliknya. Lagi-lagi kenyataan itu menamparnya keras. “Sejak kapan kau menyukainya?” Pertanyaan Henry itu terus berputar-putar dalam pikirannya. Entah kapan itu, dia tidak tahu jelas. Karena kian hari simpatinya itu menuntunnya semakin jauh untuk lebih dekat dengan Eva.Hatinya selalu tergerak untuk mendekati Eva. Hingga akhirnya rasa simpati itu berubah menjadi rasa yang tidak biasa.Samuel terkekeh pelan. Tawa itu menunjukkan ejekan pada dirinya sendiri. “Begitu banyak wanita di luar sana, Sam. Bagaimana bisa k
Malam itu, di balkon apartemen Samuel, angin malam menyapu dengan perlahan membawa udara sejuk yang menyejukkan kulit. Kota di bawah sana terdengar riuh, suara kendaraan terdengar samar dari kejauhan. Meski kota itu terlihat hidup, tetapi di balkon itu terasa sepi dan sunyi. Henry berdiri di sudut balkon, matanya menatap jauh, pandangannya kosong seperti tidak melihat apa-apa. Wajahnya yang angkuh dan arogan itu kini terlihat sedikit sayu. Seperti kehilangan jati dirinya.Tiba-tiba saja terdengar langkah kaki yang mendekat dari arah belakang. Tanpa Henry menoleh, dia tahu jika itu adalah Samuel. Beberapa detik kemudian Samuel muncul dengan membawa dua gelas Champagne di tangannya. Samuel memberikan satu gelas itu pada Henry, kemudian dia berkata, “Tidak biasanya kau datang ke mari? Apa yang membuatmu datang tiba-tiba?” Samuel meneguk champagne miliknya, dia memutar tubuhnya beralih memandang pemandangan kota di bawah sana, dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.“Bagai
Henry sedang duduk tenang di ruang kerjanya, ia tidak terpengaruh meski Ryan masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah Ryan tampak serius, dan ada secercah kegelisahan yang sulit disembunyikan."Tuan," panggil Ryan dengan nada berat.Henry mendongak, meletakkan dokumen yang tengah dia baca. "Ada apa?"“Nexus Group menghubungi saya setelah pembatalan pertemuan Anda dengan mereka. Mereka meminta kejelasan pasti. Jika tidak ….”“Jika tidak, apa?” Suara Henry terdengar berat. “Jika mereka ingin memberikan proyek itu pada orang lain dan meminta pinalti, berikan saja pada mereka.” “Tapi, Tuan … bagaimana jika klien yang lain tidak mempercayai kita lagi?” ucapnya dengan cemas. Ryan memerhatikan Henry dengan lekat. Dia bisa melihat perubahan Henry setelah mengetahui kondisi Eva. Dalam hatinya, dia senang jika Tuan-nya akhirnya bisa sadar dan melakukan segala upaya. Namun, semua pekerjaan terbengkalai. Hingga membuat Julia frustasi dan marah. Pekerjaannya bertambah, ditambah lagi dia semakin terja
Julia menerobos pintu ruangan Henry dengan langkah cepat, heels-nya beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema di sepanjang ruangan. Henry yang sedang berdiri di depan jendela besarnya, menoleh, melihat kedatangan Julia dengan ekspresi yang tidak bersahabat.“Henry!” suara Julia memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Kau tahu sudah berapa kali kau membatalkan pertemuan dengan klien tanpa pemberitahuan yang jelas? Ini bukan hanya membuatku kewalahan, tapi juga mencoreng reputasi perusahaan!”Henry melangkah pelan, mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangan disilangkan di dada. Tatapan tenangnya membuat emosi Julia semakin memuncak.“Kau tahu apa yang terjadi tadi pagi? Klien dari Nexus Group marah besar karena kau membatalkan pertemuan lima menit sebelum waktu yang dijadwalkan! Aku harus memohon pada mereka agar tidak memutuskan kerja sama!” Julia melanjutkan dengan nada yang lebih tinggi.Henry menghela napas pelan, tangannya bergerak
Henry berdiri di ruang konferensi rumah sakit, menghadap deretan dokter ahli yang dipanggil khusus untuk menangani kondisi Eva. Jas mahalnya tampak berantakan, dasinya longgar, namun sorot matanya penuh tekanan yang tak terbantahkan. "Ini bukan permintaan, ini perintah," ujar Henry tegas, suaranya bergema di ruangan itu. Dia memandang satu per satu wajah para dokter di depannya. "Aku tidak peduli apa yang kalian butuhkan, peralatan, teknologi, atau bahkan tenaga ahli lain. Aku akan memberikannya pada kalian. Tapi kalian harus menyembuhkan matanya." Dokter Collins, seorang spesialis saraf, menghela napas panjang. "Tuan Henry, kami memahami keinginan Anda, tapi glaukoma yang dialami nyonya Eva sudah mencapai tahap yang tidak bisa dipulihkan. Kerusakan saraf optik dan ototnya bersifat permanen." "Jangan beri aku alasan!" Henry memotong dengan suara meninggi. "Kalian semua di sini karena aku percaya kalian adalah yang terbaik. Kalau ada yang bisa dilakukan, maka lakukan. Kalau tidak,