maaf sebelumnya ada kekeliruan penomoran. selamat membaca, jangan lupa vote dan komen banyak-banyak.
“Henry, Eva,” katanya dengan senyum lebar. “Papa ingin memberikan sesuatu pada kalian.”Eva dan Henry saling pandang merasa penasaran.Martin membuka amplop dan mengeluarkan dua tiket. Saat melihatnya, Henry dan Eva semakin penasaran dengan lembar kertas kecil itu.“Ini adalah tiket honeymoon untuk kalian,” kata Martin. “Papa memesan dua paket perjalanan ke Maldives. Papa berharap kalian bisa menikmati waktu bersama di sana, bersantai dan menciptakan kenangan baru. Kalian belum pernah bepergian, bukan?”Henry dan Eva terkejut. Honeymoon? Mereka saling memandang.Martin tidak tahu saja jika menantu dan putranya itu seperti kucing dan tikus.Henry mulai menyela, “Pa, kenapa Papa repot-repot? Henry sangat sibuk, Pa, pekerjaan tidak bisa ditinggal.”Eva menyahut, “Sebelumnya terima kasih, Pa. Tapi, Eva tidak terbiasa naik pesawat, makanya Eva dari dulu menolak untuk bepergian jauh.”Henry mengangguk mengiyakan ucapan Eva. Kali ini dia bekerjasama dengan Eva untuk menolak tiket itu.“Kau m
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam, Henry dan Eva telah tiba di Bandara Internasional Malé. Mereka tiba di sana di hari berikutnya, yaitu pukul 11 siang waktu setempat. Eva dengan rambut dikuncir rapi, mengenakan gaun santai berwarna biru muda. Sementara Henry tampil kasual, tetapi tetap terlihat rapi dengan kaos polo dan celana pendek. Meski Eva baru pertama kali melakukan perjalanan jauh, dia terlihat tenang dan segar. Sepertinya sepanjang perjalanan dia bisa beristirahat dengan tenang dan damai. Mereka menuju area khusus, di mana di sana terdapat sopir yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke dermaga. Di Dermaga, mereka disambut oleh speedboat mewah yang siap mengantar mereka. Dalam diamnya, Eva terpukau dengan birunya air laut membentang luas. Cahaya matahari yang menyinari membuatnya terlihat seperti kilauan-kilauan permata.Ekor mata Henry melirik, mengamati setiap pergerakan Eva. Ia tahu saat ini Eva sedang menikmati setiap pemandangan di sana.Di sekelilingnya, t
Pikiran Eva berkecamuk, hatinya terasa tidak tenang. Apa lagi dengan wajah Henry yang tampak serius.Kata ‘seru’ dalam pikirannya sekarang terdengar menakutkan.Eva merasa pipinya memanas. “A-apa maksudmu?”Henry terkekeh.Eva merinding dibuatnya. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang bisa dilihat oleh Henry.“Kau tidak mungkin tidak mengerti perkataanku, bukan?” Henry memasang wajah liciknya.Tubuh Eva mendadak kaku, ia tahu apa yang dimaksud oleh Henry. Perasaannya semakin was-was, rasanya ingin sekali ia berteriak ‘tolong’ agar seseorang membantunya. Henry semakin menikmati wajah panik Eva. “Apa kau tidak ingat mimpi berjalanmu? Siapa tahu kau kembali mimpi berjalan dan melakukan sesuatu padaku.”“A-aku tidak pernah mimpi berjalan!” bentaknya, dia terlihat gugup. “Dan apa yang kau pikir itu, itu tidak akan pernah terjadi.”“Ha-ha-ha ….” Henry tertawa puas. “Lalu kau masih berpikir kalau aku yang memindahkanmu, begitu?”Dengan spontan Eva menggeleng. Lidahnya keluh, tidak bisa
Martin berdiri di tepi jendela yang ada di ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Suasana di sana masih sangat pagi dan sunyi, pukul 4 pagi waktu setempat.Sebagai ayah Henry, Martin memastikan jika putra dan menantunya itu menikmati momen haoneymoon dikala konflik melanda. Ia berharap hubungan kedunya kembali membaik.Dengan nada tegas Martin bertanya, “Nester, bagaimana situasinya?”Orang yang dia panggil Nester pun menjawab di sudut telepon, “Semuanya baik, Tuan. Tuan Henry dan Nyonya Eva terlihat menikmati waktunya di sini.”Martin menghela napas lega. “Pastikan untuk tetap mengawasi mereka. Laporkan padaku apapun yang terjadi.”Nester kembali menjawab, “Baik, Tuan.”Panggilan telepon terputus. Martin tetap berdiri di depan jendela dengan melipat kedua tangannya di dada.Meskipun kota itu tidak sepenuhnya tidur, jam-jam seperti ini adalah waktu tenang dan damai.Pikiran Martin melayang jauh. Dia bergumam pelan, “Mereka tidak boleh berpisah.”2 hari berlalu
Kata-kata itu bagaikan tamparan untuk Julia.Dengan terang-terangan Martin mengatakan itu dihadapannya.“Apa sih, Pa? Jangan berlebihan seperti itu! Wajar kalau Henry dekat dengan orang yang sudah membantu Mama.” Elise menyela dengan cepat, membela tindakan Julia.“Jangan membenarkan kedekatan putramu dengan wanita lain dengan berdalih karena balas budi!” sargah Martin dengan tegas.Elise kembali terdiam melihat tatapan tajam suaminya. Tanpa perlu berbicara dia bisa merasakan ancaman di mata Martin.Julia bisa merasakan campuran kebencian sekaligus senang karena memiliki tameng untuk memperkuat posisinya.Dengan memaksakan senyum Julia menjawab, “Ah, ya, maafkan Julia, Uncle. Mungkin kedekatan Julia sedikit berimbas pada Henry, kedepannya Julia akan lebih fokus ke pekerjaan.”“Uncle tidak melarangmu untuk berteman dengan Henry, tapi kau harus mengetahuimu batasanmu agar tidak menimbulkan spekulasi lain dihadapan orang-orang.” Martin kembali mempertegas.Julia mengangguk. “Julia menger
Di restoran bawah laut yang memukau di Maldives, Henry dan Eva duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca transparan.Eva tersenyum memandang ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Sejenak, keindahan itu membuatnya terpesonaNamun, melihat ikan-ikan itu, pikirannya melayang kembali ke rumah tangganya yang penuh ketidakpastian.Betapa indahnya mereka. Mereka bebas, tidak terikat apapun. Sementara aku terjebak dalam proses yang seolah tidak pernah ada ujungnya. Kenapa semuanya harus begitu rumit?Dia merasakan berat di dadanya, mengingat semua perdebatan dan kesedihan yang menggelayutinya.Saat Eva tersenyum kecil memandang ikan-ikan itu, Henry mengecek ponselnya yang sudah tiga hari ini dia biarkan tergeletak begitu saja.Dia membaca pesan-pesan yang masuk. Namun di saat dia melihat pesan dari Julia, tiba-tiba saja wajahnya berubah.Eva yang melihat ekspresi Henry itu merasa hatinya menyempit. “Ada apa?”Henry tidak menjawab, justru dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Saat tiba di rumah sakit, Henry melangkah terburu-buru menuju ruang yang ditempati oleh Julia. Dia mendorong pintu dan masuk.Julia menoleh ketika pintu ruangan terbuka, dia tersenyum tipis melihat kedatangan Henry. “Henry? Kau sudah pulang?” Julia bangun, mengubah posisi duduknya dengan sempurna. Henry menyahut dengan paniknya, “Bagaimana keadaanmu sekarang? Dan apa yang terjadi?”Julia berdehem pelan, menutupi senyum kemenangan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. “Itu hanya gerd-ku saja yang kambuh.”Henry mendekat dengan cemas, duduk di sebelah brankar memeriksa kondisi Julia. "Kau benar-benar membuatku khawatir, Julia. Harusnya kau menurut dengan ucapanku waktu itu untuk memeriksakan kondisimu.”Mendengar itu, Julia tertawa pelan, tapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi lemah. “aku sudah jauh lebih baik sekarang.” Henry menghela napas, tampak lega. “Syukurlah. Aku akan tetap di sini untuk memastikan kau pulih sepenuhnya.”Senyum Julia semakin lebar, rencananya untuk menarik
Eva menarik napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat. “Sebenarnya, aku ingin menyiapkan uang itu jika sewaktu-waktu mataku memerlukan penanganan lebih lanjut.”Luna mengernyit, sedikit merasa curiga. Benarkah biaya pengobatan matanya sebanyak itu? “Apa sebanyak itu?" tanyanya, nada suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian.Eva mengangguk, ia menatap Luna, berusaha mengatur ekspresinya lebih tenang. Kemudian melanjutkan, “Itu adalah perkiraan semuanya yang aku butuhkan. Aku hanya ingin memastikan semuanya tersedia dan tidak membebani banyak orang.”Akhirnya Luna mengangguk, dia mengerti kondisi Eva. Mungkin benar yang dikatakan Eva. Semua harus dipersiapkan, biaya perawatan mata itu pasti sangat mahal.“Aku mengerti, Eva.” Luna menyentuh pundak Eva. “Uang 50 juta dollar memang sangat banyak, tapi jika untuk kesehatanmu itu sangat wajar.”Eva bernapas lega. Namun kebohongan yang dia lakukan tetap saja membebaninya. Sementara di rumah sakit, Julia tampak duduk di brankar terseny
Tuan Lawson tergelak melihat ketidak sabaran istrinya. Wanita memang memiliki kesabaran seperti kapas yang terendam didalam air. “Ada legenda lokal yang mengatakan jika pasangan berciuman di atas kapal yang mengelilingi danau, mereka akan diberkati keberuntungan dan kelanggengan hubungan.” Tuan Lawson mulai menjelaskan, sedangkan Sophia mendengarkan dengan penasaran. “Dan aku rasa … Tuan Henry ingin memastikannya setelah mendengar percakapan pengunjung.” Perkataan itu diakhiri dengan kekehan renyah darinya.Selama di dermaga, mereka selalu berjalan beriringan mengawasi para istri yang berjalan lebih dulu. Percakapan itu juga bisa didengar olehnya. Dia tidak percaya jika seorang Henry, yang terkenal dengan keangkuhannya bisa begitu mudah percaya dengan mitos yang baru saja didengarnya. Henry yang selama ini selalu rasional pada hal-hal yang tidak masuk akal itu tiba-tiba saja tertarik. Dia mendengarkan dengan serius selama di dermaga, cerita itu seperti kebenaran yang tak terbantah
Para rombongan turis baru saja menuruni kapal yang mengangkut mereka mengelilingi danau. Suasana sedikit ramai, namun menyegarkan saat udara sejuk membawa aroma segar pegunungan. Di dermaga tampak sibuk, beberapa turis dan lainnya berjalan dengan arah berlawanan. Eva dengan wajah cerianya tengah berbincang dengan Sophia. Tak ada yang mengganggu percakapan mereka.Sementara Henry dan Tuan Lawson jarang beriringan di belakang mereka, membiarkan para wanita itu berbincang lebih banyak. Namun, di tengah keramaian itu, Henry mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah satu seorang turis tengah berbincang dengan rombongan mereka, berbisik di dermaga tentang sebuah mitos yang terkait dengan danau tersebut. “Aku mendengar mitos menganai danau ini, katanya, kalau pasangan yang berkeliling di danau dan berciuman di atas kapal, hubungan mereka akan mendapatkan keberuntungan dan bertahan selamanya,” ujar turis itu dengan penuh semangat. “Aku ingin sekali mencobanya.”“Kau mau mencoba
Pagi itu, Henry dan rombongannya memulai perjalanan mereka mengelilingi pemandangan alam yang memukau. Di tengah hamparan pegunungan Alpen yang menjulang tinggi, terdapat danau yang tenang seperti hamparan cermin. Pemandangan itu begitu memukau membuat senyum Eva tak pernah pudar dari wajahnya. Biasanya, dia hanya bisa melihat semua itu dari gambar. Sekarang, kakinya benar-benar berpijak di sana. Henry yang berada di sampingnya, bisa melihat kebahagiaannya yang menyatu dengan pemandangan di sekitar mereka. Saat dia melihat Eva, rasanya dia ingin menghentikan waktu, bahkan dalam pikirannya, dia ingin membawa wanita itu ke sisi lain dunia di mana hanya ada mereka berdua. Dia hanya tidak ingin senyum di wajah istrinya dilihat orang lain. Di dunia itu dia ingin membuat kebahagiaan yang tak pernah terukur untuk Eva. Henry menggenggam tangan Eva semakin erat, tak ingin melepaskan momen ini sedetikpun. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang tak terungkap. Di matanya, senyum Eva adalah i
Setelah telepon berakhir, Henry kembali ke kamar. Matanya menatap ke arah Eva yang sudah tertidur. Dalam tidurnya itu wajahnya tampak tenang. Pikirannya kembali teringat beberapa menit berlalu, bagaimana wajah Eva yang menyimpan keraguan padanya. Henry menghela napas sambil mendongak ke atas. Bagaimana aku menebus semua dosa-dosaku?****4 tahun yang lalu.Apabila banyak orang berpikir, menikah dengan seorang Henry adalah surga dunia, tetapi tidak seperti yang mereka bayangkan. Pernikahan mereka begitu dingin, seperti tidak ada nyawa dalam kehidupan mereka. Dunia mereka seperti saling bertabrakan.Eva adalah sosok yang hangat dan perhatian, selalu mengutamakan orang lain. Sementara Henry adalah orang yang dingin, acuh tak acuk, dan selalu berkata tajam. Tak pernah memberikan kesempatan untuknya masuk ke dalam kehidupannya lebih dalam. Eva selalu merasa terasingkan. Bahkan dia selalu disembunyikan dari publik, tak seorang pun Henry biarkan mengetahui Eva. Dia begitu malu. Betap
Eva membaringkan tubuhnya di tepian kasur dengan posisi membelakangi Henry, dan segera memejamkan kedua matanya.Kasur ini memiliki ukuran besar, tapi tetap saja rasanya terlalu kecil saat Henry ada di sini. Dia berusaha terpejam dan menghilangkan gejolak di hatinya. Baru saja matanya terpejam, suara Henry terdengar dari belakang.“Eh!”Suara Henry cukup membuat dirinya reflek terjingkat dan membuka matanya.“Sangat tidak sopan kalau membelakangi suamimu sendiri.” Henry melanjutkan. Detik itu juga, Eva mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya menatap ke langit-langit kamar. Campuran perasaan tergambar jelas di wajahnya, dia sangat pasrah dan sedikit jengkel. Huh? Tidak sopan?Henry mengubah posisinya menyamping dengan satu tangannya dia gunakan untuk menyanggah kepalanya. “Kau tidur di tepi sana, apa memang kau berniat akan tidur di lantai?” Henry berkata lebih dramatis.“Kau tidur berniat memunggungiku, dan tidur di pinggiran kasur. Jujur saja … apa kau benar-benar i
Tuk!Tuk! Suara pantofel miliknya memenuhi ruangan. Perlahan dia mendekati Eva. “Eva….” Suaranya pelan, nyaris berbisik. Dia berdiri tepat di hadapan istrinya. Pandangannya menunduk, mengarah pada istrinya di bawah sana. Eva tidak mundur ataupun menghindari tatapannya. Dia justru mendongak, memerhatikan wajah serius Henry. Saat ini, dia mengamati tatapan dalam Henry bagai lautan yang tak bisa dia jelajahi kedalamannya. Tatapan itu bisa menenggelamkannya dalam sesaat. Setelah beberapa detik berlalu, Henry melanjutkan ucapannya, “Kau dan aku adalah dua orang dewasa dan sudah menikah bertahun-tahun. Aku rasa … kau pasti bisa memahami apa yang aku katakan tadi.”Henry mengarahkan wajahnya lebih dekat dengan wajah Eva. “Apa aku perlu memberikan contoh secara langsung padamu?” Tiba-tiba saja suaranya terdengar serak, seperti menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Eva menelan ludahnya dan mengalihkan pandangannya ke samping kanan, menghindari tatapan Henry. Tampaknya, dia pa
“Sudah kukatakan sebelumnya, pakai baju tebalmu. Kenapa kau tidak mendengarku?” Henry menatapnya dengan serius. Sikap lembutnya berubah menjadi keposesifan yang sulit disembunyikan. “Di sini bukan seperti di rumah. Kau harus memakai baju tebal setiap keluar!”Eva menyipitkan matanya, memerhatikan setiap perhatian Henry. Akhirnya, dia pun membuka suara, “Kenapa kau tiba-tiba sangat posesif?” Dia ingin mendengar jawaban pria itu.Namun, Henry tidak menjawab, dia hanya memastikan mantel itu terpasang dengan sempurna, lalu menggenggamnya dengan erat dan menariknya turun. Eva tidak menolak. Dia membiarkan Henry menuntunnya turun, meski dia sedikit kecewa karena Henry tidak menjawab pertanyaannya. Tak mau kalah, Tuan Lawson pun menunjukkan kepeduliannya pada istrinya. Dia memakaikan istrinya dengan pakaian tebal, memastikan istrinya tetap dalam kondisi hangat. Sophia yang awalnya menerima perhatian itu dengan senang, lama-lama merasa tidak nyaman. Pakaian tebal itu terlalu banyak, me
“Apa aku harus membantumu untuk sembuh, Nona Julia?” Samuel mengakhiri ucapannya dengan raut wajah yang terkesan meremehkan Julia. Darah Julia semakin mendidih. Tangannya yang mengepal di bawah meja itu semakin menguat, tetapi dia berusaha keras menahannya agar tidak kehilangan kendali. Dengan suara gemetar, Julia berkata, “Kau tidak tahu apa yang aku alami, Samuel! Kau tidak berhak mengatakan itu semua!” Matanya dipenuhi dengan kilatan kemarahan, ia melanjutkan, “Jangan kira kau berbicara sembarangan, itu berarti kau benar! Kau sendiri juga korban yang dicampakkan oleh Eva!”Dada Julia naik turun saat mengatakannya.Namun kemarahannya itu hanya membuat Samuel tertawa karena lucu. Rasanya, dia ingin tertawa lebih keras. “Apa kau benar-benar tidak sadar posisimu, Nona Julia? Atau kau memang tidak bisa memahami bahasa manusia yang aku katakan?” Mata Julia semakin menggelap, karena emosi mulai menguasai dirinya. Samuel kembali membeberkan semua isi kepalanya dengan santai. “Yang h
“Aihh … jangan memanggilku Nyonya, panggil saja Sophia.” Sophia melayangkan protesnya. “Dilihat-lihat sepertinya kita seumuran.”Eva tersenyum malu-malu, dia belum terbiasa jika memanggil orang yang memiliki kasta tinggi dengan sebutan nama saja. Percakapan mereka terus berlanjut, membahas perjalanan mereka selama di Swiss, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan bagaimana mereka bisa bersantai dan menikmati waktu bersama. Meski awalnya terasa agak canggung, percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar. Eva merasa nyaman berada di sana, merasa sedikit lebih rileks setelah membiarkan dirinya berbicara lebih banyak.Henry yang berada di sisi Eva, ikut tersenyum mendengar percakapan mereka. Tatapan matanya menunduk, menatap Eva tanpa beralih sedetikpun. Dia melihat Eva dengan cara yang berbeda pagi itu, seperti ada sesuatu yang baru tumbuh dalam diri istrinya. Mungkin, perjalanan ini memang apa yang mereka butuhkan. Sebelum mereka memasuki ruang keberangkatan, Tuan Lawson berk