Malam harinya, setelah Eva pergi meninggalkan kota beberapa hari yang lalu, Martin selalu berencana agar Henry dan Eva terlibat momen bersama. Dia kembali meminta putra dan menantunya untuk menginap di kediaman mereka untuk beberapa hari ke depan. Eva merasa tertekan dan terhimpit setiap kali dia harus berbagi kamar dengan Henry, karena permintaan mertuanya yang tidak bisa ditolak. Namun meskipun hatinya merasa tidak nyaman, dia berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Sementara Henry duduk bersila di tepi kasur dengan santai, tetapi menonjolkan kesan meremehkan. Tangannya terlipat di depan dada dengan senyum sinis yang samar terlihat di sudut bibirnya.“Kenapa wajahmu tegang seperti itu? Apa kau tidak suka jika harus berbagi kamar denganku?”Eva menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku masih harus menyesuaikan jika berbagi kamar denganmu.”Henry mengangkat alis, tetap duduk bersila. Selama 4 tahun dia tinggal di bawah atap yang sama, harusnya Eva sudah biasa dalam hal ini.Dia m
Cahaya lembut menembus cela-cela jendela besar. Eva merasakan cahaya mulai memenuhi ruangan.Dia meregangkan otot-ototnya dengan menguap lebar. Saat kedua sepenuhnya terbuka, dia melihat pemandangan yang tidak pernah dia lihat sepenuhnya.Eva memandang wajah Henry yang tertidur di sebelahnya dengan damai. Dia masih terdiam membeku, pikirannya belum sepenuhnya mencerna apapun. Berselang beberapa menit, matanya melebar lalu berteriak keras dan kakinya menendang orang di sebelahnya. “Aaakh!” Dentuman keras terdengar saat tubuh Henry menghantam lantai. Eva meringis mendengar suara keras yang dihasilkan.Henry berdiri, mengelus punggungnya yang sakit. “Apa-apaan kau, Eva! Kau kira aku bola?”“Ma-maaf … aku ‘kan tidak sengaja.” Eva tergeragap. “Kau tidak apa-apa, ‘kan?”Henry menjawab dengan nada kesal, “Tentu saja punggungku sakit. Sepertinya aku patah tulang karena ulahmu. Kau harus bertanggung jawab jika aku mengalami patah tulang, akan semakin banyak hutangmu padaku.”Eva menyibak s
“Henry, Eva,” katanya dengan senyum lebar. “Papa ingin memberikan sesuatu pada kalian.”Eva dan Henry saling pandang merasa penasaran.Martin membuka amplop dan mengeluarkan dua tiket. Saat melihatnya, Henry dan Eva semakin penasaran dengan lembar kertas kecil itu.“Ini adalah tiket honeymoon untuk kalian,” kata Martin. “Papa memesan dua paket perjalanan ke Maldives. Papa berharap kalian bisa menikmati waktu bersama di sana, bersantai dan menciptakan kenangan baru. Kalian belum pernah bepergian, bukan?”Henry dan Eva terkejut. Honeymoon? Mereka saling memandang.Martin tidak tahu saja jika menantu dan putranya itu seperti kucing dan tikus.Henry mulai menyela, “Pa, kenapa Papa repot-repot? Henry sangat sibuk, Pa, pekerjaan tidak bisa ditinggal.”Eva menyahut, “Sebelumnya terima kasih, Pa. Tapi, Eva tidak terbiasa naik pesawat, makanya Eva dari dulu menolak untuk bepergian jauh.”Henry mengangguk mengiyakan ucapan Eva. Kali ini dia bekerjasama dengan Eva untuk menolak tiket itu.“Kau m
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam, Henry dan Eva telah tiba di Bandara Internasional Malé. Mereka tiba di sana di hari berikutnya, yaitu pukul 11 siang waktu setempat. Eva dengan rambut dikuncir rapi, mengenakan gaun santai berwarna biru muda. Sementara Henry tampil kasual, tetapi tetap terlihat rapi dengan kaos polo dan celana pendek. Meski Eva baru pertama kali melakukan perjalanan jauh, dia terlihat tenang dan segar. Sepertinya sepanjang perjalanan dia bisa beristirahat dengan tenang dan damai. Mereka menuju area khusus, di mana di sana terdapat sopir yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke dermaga. Di Dermaga, mereka disambut oleh speedboat mewah yang siap mengantar mereka. Dalam diamnya, Eva terpukau dengan birunya air laut membentang luas. Cahaya matahari yang menyinari membuatnya terlihat seperti kilauan-kilauan permata.Ekor mata Henry melirik, mengamati setiap pergerakan Eva. Ia tahu saat ini Eva sedang menikmati setiap pemandangan di sana.Di sekelilingnya, t
Pikiran Eva berkecamuk, hatinya terasa tidak tenang. Apa lagi dengan wajah Henry yang tampak serius.Kata ‘seru’ dalam pikirannya sekarang terdengar menakutkan.Eva merasa pipinya memanas. “A-apa maksudmu?”Henry terkekeh.Eva merinding dibuatnya. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang bisa dilihat oleh Henry.“Kau tidak mungkin tidak mengerti perkataanku, bukan?” Henry memasang wajah liciknya.Tubuh Eva mendadak kaku, ia tahu apa yang dimaksud oleh Henry. Perasaannya semakin was-was, rasanya ingin sekali ia berteriak ‘tolong’ agar seseorang membantunya. Henry semakin menikmati wajah panik Eva. “Apa kau tidak ingat mimpi berjalanmu? Siapa tahu kau kembali mimpi berjalan dan melakukan sesuatu padaku.”“A-aku tidak pernah mimpi berjalan!” bentaknya, dia terlihat gugup. “Dan apa yang kau pikir itu, itu tidak akan pernah terjadi.”“Ha-ha-ha ….” Henry tertawa puas. “Lalu kau masih berpikir kalau aku yang memindahkanmu, begitu?”Dengan spontan Eva menggeleng. Lidahnya keluh, tidak bisa
Martin berdiri di tepi jendela yang ada di ruang kerjanya dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Suasana di sana masih sangat pagi dan sunyi, pukul 4 pagi waktu setempat.Sebagai ayah Henry, Martin memastikan jika putra dan menantunya itu menikmati momen haoneymoon dikala konflik melanda. Ia berharap hubungan kedunya kembali membaik.Dengan nada tegas Martin bertanya, “Nester, bagaimana situasinya?”Orang yang dia panggil Nester pun menjawab di sudut telepon, “Semuanya baik, Tuan. Tuan Henry dan Nyonya Eva terlihat menikmati waktunya di sini.”Martin menghela napas lega. “Pastikan untuk tetap mengawasi mereka. Laporkan padaku apapun yang terjadi.”Nester kembali menjawab, “Baik, Tuan.”Panggilan telepon terputus. Martin tetap berdiri di depan jendela dengan melipat kedua tangannya di dada.Meskipun kota itu tidak sepenuhnya tidur, jam-jam seperti ini adalah waktu tenang dan damai.Pikiran Martin melayang jauh. Dia bergumam pelan, “Mereka tidak boleh berpisah.”2 hari berlalu
Kata-kata itu bagaikan tamparan untuk Julia.Dengan terang-terangan Martin mengatakan itu dihadapannya.“Apa sih, Pa? Jangan berlebihan seperti itu! Wajar kalau Henry dekat dengan orang yang sudah membantu Mama.” Elise menyela dengan cepat, membela tindakan Julia.“Jangan membenarkan kedekatan putramu dengan wanita lain dengan berdalih karena balas budi!” sargah Martin dengan tegas.Elise kembali terdiam melihat tatapan tajam suaminya. Tanpa perlu berbicara dia bisa merasakan ancaman di mata Martin.Julia bisa merasakan campuran kebencian sekaligus senang karena memiliki tameng untuk memperkuat posisinya.Dengan memaksakan senyum Julia menjawab, “Ah, ya, maafkan Julia, Uncle. Mungkin kedekatan Julia sedikit berimbas pada Henry, kedepannya Julia akan lebih fokus ke pekerjaan.”“Uncle tidak melarangmu untuk berteman dengan Henry, tapi kau harus mengetahuimu batasanmu agar tidak menimbulkan spekulasi lain dihadapan orang-orang.” Martin kembali mempertegas.Julia mengangguk. “Julia menger
Di restoran bawah laut yang memukau di Maldives, Henry dan Eva duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca transparan.Eva tersenyum memandang ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Sejenak, keindahan itu membuatnya terpesonaNamun, melihat ikan-ikan itu, pikirannya melayang kembali ke rumah tangganya yang penuh ketidakpastian.Betapa indahnya mereka. Mereka bebas, tidak terikat apapun. Sementara aku terjebak dalam proses yang seolah tidak pernah ada ujungnya. Kenapa semuanya harus begitu rumit?Dia merasakan berat di dadanya, mengingat semua perdebatan dan kesedihan yang menggelayutinya.Saat Eva tersenyum kecil memandang ikan-ikan itu, Henry mengecek ponselnya yang sudah tiga hari ini dia biarkan tergeletak begitu saja.Dia membaca pesan-pesan yang masuk. Namun di saat dia melihat pesan dari Julia, tiba-tiba saja wajahnya berubah.Eva yang melihat ekspresi Henry itu merasa hatinya menyempit. “Ada apa?”Henry tidak menjawab, justru dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Suara pintu terbuka. Eva dan lainnya menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan. “Bagaimana kondisi Suami saya sekarang, Dok?” Eva berharap akan ada kabar baik. Dengan suara tenang, Dokter itu menjelaskan, “Kami masih harus menunggu hasil laboratorium, Nyonya. Tapi, saya rasa, kondisinya sudah mulai membaik setelah mendapatkan penanganan pertama.” Akhirnya, Eva bisa bernapas sedikit lega sekarang. Setidaknya ada perkembangan dari kondisi Henry saat ini. Tuan Lawson menyahut, “Bisakah kalian mengeluarkan hasil itu dalam waktu singkat?”Dokter itu mengangguk pelan. “Akan kami usahakan, Tuan.”“Bisakah saya masuk ke dalam sekarang?” Rasa tidak sabar menggebu di dalam hatinya.“Silakan, Nyonya,” Setelah mendapat persetujuan, Eva masuk ke dalam ruangan. Dia bisa melihat pria yang biasanya sombong dan arogan itu masih terbaring lemah di sana. Wajah yang sebelumnya pucat, kini terlihat mulai kembali normal. Sementara Tuan Lawson dan Sophia masih berada di luar bersama de
Ketika malam tiba, kapal-kapal berukuran kecil berhenti tepat di sebelah kapal pesiar yang mengangkut Henry dan rombongan lainnya. Sebab, rute mereka sudah tidak bisa berubah, dan tidak ada rute yang bisa dilewati kapal pesiar menuju ke pelabuhan terdekat. Tuan Lawson beserta istrinya dan Eva harus pindah ke kapal kecil itu untuk membawa Henry ke pelabuhan terdekat dan membawanya ke rumah sakit. Meski dia sudah mendapatkan penanganan medis, tak ada tanda-tanda sadar darinya. Tuan Lawson dan tim lainnya bergerak cepat dan memilih jalan lain. Kapal-kapal kecil itu mulai meluncur di atas permukaan air menuju pelabuhan sungai Basel, yang terletak di barat laut Swiss di tepi sungai Rhein, tepat di perbatasan Jerman dan Prancis. Eva masih setia di samping Henry dan menggenggam tangan itu. Dalam hatinya, dia tak henti mengucapkan doa untuk kesehatan suaminya. Matanya terpejam. Setiap detiknya dia berdoa.Tuhan … jika Engkau mendengarku, aku mohon bangunkan Suamiku dari kondisi kritisny
Eva masih berada di samping Henry yang masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Suasana di luar tampak sedikit riuh dan tegang setelah insiden. Kapal itu bukanlah milik pribadi, jadi, beberapa tamu mulai berbisik dan merasa was-was. Penjagaan ketat dilakukan di luar ruangan. Tim keamanan kapal menyisir setiap sudut dapur dan memeriksa semua bahan makanan yang digunakan. Para karyawan tidak diperbolehkan bergerak atau berpindah tempat sebelum pemeriksaan selesai. Sementara di sisi lain kapal, di koridor sepi yang jarang dijamah, seorang pria memakai jas silver berjalan perlahan dengan tenang. Pria itu menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Di rasa aman, dia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dan menekan nomor seseorang.“Halo, Nona.” Dia berbicara pelan.“....”“Racun bekerja sesuai yang diperkirakan. Tapi ….” Ucapannya terjeda sejenak. “Justru yang memakan bukanlah si wanita itu, Nona.”Dia terdiam sejenak, mendengarkan suara di balik telepon yang tidak t
Semuanya panik. Eva segera mendekat mengguncang tubuh Henry, berharap pria itu bangun dan baik-baik saja. “Henry! Apa kau mendengarku?” Suasana menjadi tegang. Tuan Lawson berteriak dengan keras, “Panggil Dokter, cepat!”Para pelayan kapal berhamburan memanggil petugas medis yang ada di sana. Beberapa detik kemudian, petugas medis datang dengan perlengkapan darurat mereka. Salah satu dari mereka memeriksa denyut nadi Henry. Mereka memberikan pertolongan pertama, tapi Henry tetap tak sadarkn diri. Air mata Eva mulai mengalir deras membasahi pipi. Hatinya dikuasai dengan perasaan khawatir. Sementara Sophia berada di sampingnya, mencoba menenangkannya. Setelah pemeriksaan singkat, salah satu petugas medis itu mengungkapkan, “Kami mengidentifikasi ada zat berbahaya dalam makanan yang dikonsumsi, Tuan.” Dahi Lawson mengernyit. “Bagaimana bisa?”Semuanya terkejut, terutama Eva. Sementara Tuan Lawson bertanya-tanya dan merasa bersalah dengan kejadian ini. “Berikan penanganan untukny
“Naik kapal?” Eva tampak mencerna ucapan Henry. “Bukankah kita sudah pernah melakukannya?”“Emm.” Henry memberi deheman kecil sambil mengangguk. “Tapi bukan kapal waktu kita di danau kemarin.”“Lalu?” Eva menatapnya dengan penuh penasaran.Henry mengangkat bahunya. “Yang aku dengar, kapal ini akan membawa kita ke beberapa negara,” jawabnya sambil sedikit berbisik.“Wah! Benarkah?” Eva terkagum. Henry mengangguk singkat. Sementara Eva, seperti biasa pikirannya akan dipenuhi oleh berbagai macam isi. Perjalanan seperti apa yang akan dia nikmati nanti? Dan seberapa banyak uang yang digelontorkan Tuan Lawson untuk liburan ini? Liburan itu terasa sangat mewah untuknya. Dan mengenai perkataan Henry, ini seperti bukan hanya sekedar liburan baginya. Ini terlalu mewah. Eva menatap sekeliling. Pandangannya terarah pada koper yang akan mereka bawa. Pantas saja koper-koper itu dikemas juga.Henry sedikit menggeser tubuhnya, sedikit menundukkan wajah dan kembali berkata pelan, nyaris berbisi
Ckiit!Mobil itu berhenti mendadak hingga membuat ban-ban depannya berdecit di atas aspal. Seorang pria yang duduk di kursi pengemudi itu tampak kesal. Dengan wajah memerah, dia memukul setir dengan keras. “Sial!” Dia memandang ke arah cermin dengan raut marah, yang memperlihatkan kedua orang yang berada di lampu merah itu mulai meninggalkan area. Rencananya malam ini gagal. Kedua orang itu berhasil menghindar dari mobilnya. Tak berselang lama, dia kembali melajukan mobilnya dan berbelok ke arah lain. Namun dia berjanji jika dia akan kembali lagi. Sementara di dalam Rumah Makan, Henry menarik kursi untuk Eva duduk. Keadaannya masih dalam keterkejutan. Hal yang terjadi beberapa menit lalu masih teringat jelas di dalam kepalanya. Dia tidak melihat asal mobil itu, tapi tiba-tiba saja dia hampir terserempet, beruntungnya Henry segera menariknya untuk menepi. Henry menekuk kakinya, menyetarakan tinggi badannya dengan Eva. “Kau tidak apa-apa, ‘kan?” Tangannya membelai pipi Eva dengan
Henry memandang Eva yang tampak terdiam, pikirannya jelas terfokus pada hal lain. Wajahnya yang tampak tenang, kini terlihat lebih serius. Ia bisa melihat Eva tampak merenungkan ide yang ia katakan tadi. Henry tahu bahwa Eva bukanlah tipe yang cepat merespon, ia memerlukan waktu untuk memikirkan segala sesuatu. Eva belum memberikan jawaban, tapi Henry bisa melihat bagaimana pikirannya bekerja. “Tidak mau?” Dia tetap menunggu. Eva beralih pada Henry, akhirnya, suaranya memecah keheningan dengan lembut, “Aku rasa … menyusuri kota ini saat malam hari bukanlah ide yang buruk.” Eva tersenyum kecil. “Aku mau, kita jalan-jalan malam ini.” Henry tersenyum lebar mendengar jawabannya. “Sekarang cepat bersiap.” ****Henry dan Eva mulai menyusuri jalanan kota Swiss pada malam hari. Keduanya bergandengan tangan dan memakai mantel panjang nan tebal untuk melindungi diri dari udara malam yang terasa lebih dingin. Udara sejuk terasa begitu segar, dan kota yang biasanya ramai pada siang hari,
Henry dan Eva kembali berhenti di salah satu kedai. Kali ini, mereka berhenti di kedai fondue keju, campuran keju leleh yang dihidangkan dalam pot khusus, di mana pot itu diletakkan di atas kompor kecil agar keju itu tetap meleleh dan hangat. Hidangan ini adalah khas Swiss yang ikonik. Orang-orang biasanya makan fondue menggunakan garpu panjang dan mencelupkan roti yang sudah dipotong dadu kecil ke dalamnya. Setelah menunggu, fondue mereka telah dihidangkan di atas meja. Eva terlihat semangat, tidak sabar untuk mencicipinya.Perjalanan mereka hari lebih dipenuhi dengan kunjungan ke berbagai kedai, sambil menikmati berbagai hidangan khas yang menggugah selera. Eva mulai mencelupkan roti ke dalamnya. Saat mencicipinya, dia mengangguk, ekspresinya tidak bisa bohong ketika mencicipinya. “Emm … makanan di sini tidak ada yang mengecewakan.” “Sepertinya, kau memiliki selera makan yang baik,” kata Henry dengan sedikit terhibur.Matanya menyiratkan kebahagiaan yang tak terucap. Selama ini
Henry dan Eva berjalan berdampingan di trotoar kota Swiss. Udara sejuk menyentuh kulit mereka, dan sinar matahari yang tidak terlalu terik membuat semakin nyaman. Suara langkah kaki mereka seirama dengan hiruk pikuk kota yang tenang. Di tangan mereka, terdapat sandwich, yang mereka beli untuk mengganjal perut saat di perjalanan. Di sepanjang jalan, kedai-kedai kecil berjejer rapi dengan aroma yang menggugah selera. Eva mengajak Henry untuk berhenti di depan salah satu kedai yang menjual rosti, kentang parut yang digoreng seperti hash brown. “Bolehkah aku membelinya?” Henry mengangguk. “Belilah apapun yang kau mau.”Eva tersenyum. Lalu memesan dua porsi, untuknya, dan untuk Henry. “Eh, satu saja, Tuan.” Henry menyela dengan cepat, memberitahu pada penjual itu. Penjual itu mengiyakan tanpa merasa keberatan. Eva menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingungnya. “Kenapa?” “Aku sudah kenyang.” Henry menjawab dengan santai. Kemudian, mereka menunggu beberapa menit hingga akhirnya mak