"Tidakkk!"
"Nara, kamu mimpi buruk lagi?" tanya wanita paruh baya yang ada di samping Nara. Wajah pucat dan peluh yang membasahi dahi wanita bernama Nara itu tampak sangat jelas, bahkan napas naik turun juga terlihat pada dadanya. "Iya, Bu. Aku bermimpi lagi tentang pria itu," ucapnya dengan bibir bergetar. Seketika wanita yang dipanggil ibu oleh Nara memberikan segelas air minum dan dengan cepat Nara menghabiskannya. "Kamu sebaiknya tenang dulu. Coba tarik napas dalam dan embuskan perlahan." Nara pun mengikuti apa yang ibunya sarankan, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Nara sedikit tenang. "Bu, aku minta tolong agar Ibu menjaga Nio di sini selama aku menjalankan rencanaku nanti. Apa Ibu bisa membantuku?" Tangan yang tampak keriputan itu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Kamu tenang saja, ibu akan menjaga Nio dengan baik di sini, kamu lakukan saja rencanamu itu, Nara." "Terima kasih, Bu, karena selama ini selalu mendukung apa yang aku lakukan, dan maaf jika selama ini aku selalu menyusahkan Ibu." "Nara, aku ini ibumu dan ibu sangat tahu bagaimana sifat kamu. Kamu wanita yang baik dan sangat bertanggung jawab dengan hidupmu. Lakukan apa yang menurut hatimu benar." "Terima kasih, Bu." Nara dengan luapan perasaan haru memeluk ibunya dengan erat. "Ya sudah, sekarang kamu tidurlah dulu dan coba tenangkan hatimu agar mimpi buruk itu tidak datang lagi." Nara mengangguk dan kembali memejamkan kedua matanya. ** Pagi itu tampak terlihat bocah laki-laki duduk di atas tempat tidur rumah sakit sedang memainkan puzzle yang ada di depannya. "Hai, Sayang, bagaimana perasaanmu saat ini?" "Ibu, aku senang sekali hari ini," ucapnya dengan wajah bahagia. "Senang kenapa?" "Senang karena hari ini tante dokter akan mengajak aku jalan-jalan lagi di taman dan katanya ada teman baru nantinya di sini." "Oh ya? Wah! Kamu akan memiliki banyak teman nantinya." Cubitan kecil tepat pada hidung bocah laki-laki itu. "Iya, Bu. Aku sebenarnya ingin sekolah dan punya banyak teman nantinya, tapi kata Ibu tunggu aku sembuh dulu dari sakitku, baru nanti aku bisa sekolah. Aku kapan sembuhnya sih, Bu?" Wanita itu terdiam mendengar pertanyaan putranya karena dia sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus dia berikan. "Nio, kamu pasti akan segera sembuh, tapi Nio harus bersabar dulu karena Ibu Nara kamu masih berusaha agar Nio bisa segera sembuh, dan nanti bersekolah," sela suara dari arah belakang Nara. "Iya, Nio. Ibu masih berusaha agar Nio segera sembuh, Nio mau, kan membantu ibu melakukan semua ini?" Bocah kecil itu pun dengan cepat mengangguk. "Pintar sekali anak tampan ibu ini." Nara dengan senang memeluk putranya itu. "Nio sangat sayang sama Ibu dan Nio akan menuruti semua yang Ibu perintahkan." Nara melepaskan pelukannya dan dia mengecup lembut pipi putranya. "Ibu juga sangat sayang sama Nio. Nio, ibu mau bicara sesuatu sama Nio. Nio mau mendengarkan Ibu, kan?" "Tentu saja, Ibu!" serunya cepat. "Beberapa hari ini Nio akan bersama dengan nenek di sini karena ibu harus pergi dalam beberapa hari untuk bekerja. Nio tidak akan marah, kan kalau ibu pergi meninggalkan Nio untuk bekerja?" "Tidak, Bu. Nio tidak akan marah sama Ibu karena Nio tahu Ibu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, dan agar Nio nanti bisa sekolah. Itu yang nenek ucapkan sama Nio." Nara melihat ke arah ibunya dan wanita paruh baya itu menaikkan bahunya ke atas. "Setidaknya penjelasan itu lebih mudah dicerna oleh Nio," ucap Ibunya Nara. "Terima kasih ya, Sayang. Ibu janji, jika nanti ibu ada waktu senggang, ibu akan datang ke sini untuk menemui Nio. Nio harus jadi anak baik selama ibu bekerja." "Okay, Ibu!" serunya sembari menautkan jarinya berbentuk huruf O. ** Nara yang sekarang duduk di dalam pesawat tampak terdiam mengingat semua yang sudah dia lakukan sehingga mimpi buruk itu selalu menghantui hidupnya. "Aku akan menebus semua kesalahanku pada Jaden Luther, semoga pria itu akan bisa memaafkan semua kesalahanku." Nara melihat foto seseorang yang dia pegang dari tadi. *** Seorang wanita dengan rambut dikepang dua dan kacamata putihnya tampak berdiri di depan pintu sebuah rumah yang memiliki dekorasi Eropa klasik. Dia sedang menunggu pintu di depannya terbuka. Tidak lama pintu di buka oleh seorang pria paruh baya dengan baju seragam pelayannya. "Maaf, saya Naraya Agatha atau bisa di panggil Nara." "Oh, Nona Nara, silakan Anda masuk karena Nyonya Besar Miranti sudah menunggu Anda di dalam." Pelayan laki-laki itu dengan sopan memerintahkan Nara untuk masuk. Nara berjalan masuk melewati lorong dengan hiasan banyak lukisan di sebelah kanan kirinya. "Kalian pergi dari kamarku! Atau aku akan mencekik kalian sampai mati! Pergi!" Nara terkejut saat tiba-tiba mendengar suara seorang pria berteriak marah di sana. Langkah Nara terhenti dan melihat pada pintu kamar berwarna hitam, di mana baru saja seorang pelayan wanita keluar dengan wajah ketakutan dari dalam kamar itu. "Orang yang berteriak itu adalah cucuku, Nara. Dia Jaden Luther dan dia adalah orang yang harus kamu rawat nantinya." Tiba-tiba di sana berdiri seorang wanita tua dengan penampilan rapinya. "Maaf, dia kenapa marah-marah seperti itu, Nyonya Besar Miranti?" "Panggil saja aku Nenek Miranti, dan ikutlah denganku, aku akan menjelaskan semuanya sama kamu." Nara berjalan mengikuti ke mana langkah wanita tua itu berjalan. Mereka sekarang berada di dalam ruang kerja dan Nenek Miranti memberikan sebuah sobekan dari majalah tahun lalu. Nara membacanya dan dia tampak menunjukan wajah datarnya. "Ini apa, Nyo—. Maksudku Nenek?" "Setahun yang lalu Jaden mengalami sebuah kecelakaan yang mengakibatkan kakinya lumpuh dan kata dokter kesempatan untuk sembuhnya sangat kecil. Sejak saat itu dia berubah menjadi orang yang tempramen dan sangat dingin." Nara tampak menarik napasnya dalam dan mencoba mengembuskannya perlahan. Nara sedang mencoba menenangkan dirinya. "Apa Nenek sudah berusaha membawa Tuan Muda Jaden ke rumah sakit yang lainnya untuk mencari opini kedua?" "Semua sudah aku lakukan untuk mengembalikan kesembuhan cucuku, tapi semuanya sia-sia. Jaden pun seolah sudah tidak memiliki keinginan untuk sembuh. Dia sangat membenci dirinya sendiri, apa lagi calon tunangannya juga meninggalkannya setelah tahu cucuku mengalami kelumpuhan. Jaden benar-benar berubah menjadi orang yang tidak aku kenali." Perlahan butiran air mata keluar dari kelopak mata Nenek Miranti. Ada sesuatu yang seketika membuat hati Nara sangat sakit saat melihat Nenek Miranti menitihkan air mata. Rasa bersalah di hati Nara juga semakin besar setelah mendengar Jaden sampai ditinggal oleh tunangannya karena kecelakaan itu. "Nek, apa aku bisa bertemu dengan Tuan Muda Jaden Luther?" Nenek Miranti melihat Nara dengan wajah serius.Nenek Miranti membawa Nara ke kamar Jaden, dan saat pintu dibuka, Nara melihat seorang pria dengan kursi rodanya duduk membelakanginya, dia sedang melihat ke arah luar jendela kamarnya."Jaden, nenek ingin bicara denganmu.""Nek, aku sudah katakan jika aku tidak membutuhkan seorang pelayan untuk merawatku! Kenapa Nenek menganggap aku pria lumpuh yang tidak bisa apa-apa?" Pria bernama Jaden itu bicara tanpa melihat pada lawan bicaranya."Jaden, nenek mencarikan kamu seorang pelayan bukan karena nenek menganggap kamu tidak bisa apa-apa, tapi agar kamu ada yang memperhatikan lebih baik di sini.""Tidak perlu ada yang memperhatikanku, Nek, aku bisa mengurus hidupku sendiri." "Bagaimana kamu bisa mengurus dirimu sendiri? Kamu sendiri saja duduk di kursi roda," ucap Nara tegas.Nenek Miranti yang mendengar hal itu seketika menoleh pada Nara yang berdiri tepat di sampingnya. Wajah Nara menunjukkan aura dinginnya."Siapa kamu berani mengatakan hal itu padaku?" Jaden seketika memutar kursi ro
Nara sudah berada di depan pintu kamar lelaki yang tadi mengusirnya dengan kasar. Dia sekali lagi menarik napasnya dalam sebelum akhirnya tangannya mengetuk pintu itu. Satu ketukan, Nara tidak mendapat jawaban. Nara kembali mengetuk pintu kamar itu hingga tiga kali ketukan. "Aku tidak mau diganggu!" seru suara Jaden terdengar begitu jelas di telinga Nara. "Tuan Muda Jaden, waktunya makan siang dan minum obatmu," Nara akhirnya memberanikan diri mengatakan sesuatu. "Sudah aku bilang, aku tidak mau diganggu. Kamu pergi dari sini!" bentaknya marah. Nenek dan Reno yang melihat hal itu tampak cemas. "Ren, Jaden kenapa hari ini terlihat begitu marah?" "Sebenarnya tadi Tuan Jaden melihat berita di sosial media jika Nona Kalista akan pergi ke Barcelona untuk pemotretan dan di sana Nona Kalista juga mengatakan akan sekalian liburan. Barcelona, kan, tempat yang sangat ingin didatangi oleh Nona Kalista jika nanti menikah dengan Tuan Jaden. Jadi, Tuan Jaden mungkin merasa kecewa karena dia
Nara menemui Nenek dan Reno yang ada di luar kamar Jaden. Nenek dapat melihat wajah Nara yang sepertinya baru saja menangis.Iya! Nara tadi sempat menitikkan air mata karena perlakuan Jaden di dalam kamar tadi."Nara, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Nenek Miranti dengan wajah khawatirnya. "Nek, aku tidak apa-apa.""Nona Nara, tadi aku sempat mendengar suara piring pecah. Apa Tuan Jaden sudah menyakitimu?" Gantian Reno yang wajahnya cemas. "Tuan Muda Jaden tadi melempar piring makanannya saat aku menyuapinya.""Sudah aku duga, dia memang sering sekali seperti itu saat para pelayan yang aku tunjuk untuk merawatnya sedang membawakan dia makanan."Reno melihat warna merah pada kulit pipi Nara dan Reno tahu jika selain melempar piring makannya, bosnya itu juga menyakiti Nara."Apa Tuan Jaden juga menyakiti Nona Nara?" Telunjuk Reno menunjuk pada wajah Nara."Ya Tuhan! Cucuku benar-benar keterlaluan! Nara aku minta maaf karena cucuku sudah kasar sama kamu.""Nenek tidak perlu khawatir. O
Hari itu juga Nenek Miranti menyiapkan banyak sekali keperluan untuk dibawa ke rumah kenangan.Nara malam ini juga tidur di rumah Jaden, dia meninggalkan rumah lamanya dengan membawa beberapa barang yang dia butuhkan. Malam itu, Jaden yang terbangun dan ingin mengambil air minum, tapi dia melihat gelas airnya tidak ada isinya."Pelayan di sini benar-benar tidak bisa bekerja dengan benar. Sebaiknya aku berhentikan saja mereka semua," umpatnya kesal.Jaden mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan meraih kursi rodanya, tapi yang ada dia malah terjatuh."Tuan Muda Jaden!" suara yang Jaden kenali tiba-tiba ada di dalam kamarnya.Nara mencoba membantu, tapi pria itu terkejut melihat Nara ada di dalam kamarnya. Jaden malah mendorong tubuh Nara hingga Nara terjatuh dengan duduk dan tangannya menabrak pada kursi roda Jaden."Aduh!" Nara memegang sikutnya yang ternyata berdarah terkena tepi kursi roda Jaden."Kenapa kamu ada di sini?""Saya memang tinggal di sini sekarang, Tuan JL." Nara tetap
Pagi itu Nara sudah bangun dan segera menyiapkan makan pagi untuk Jaden. Nenek yang berada di dalam dapur sedikit terkejut melihat ada Nara di sana. "Kamu sedang apa di sini, Nara?" "Pagi, Nek, aku sedang membuat makan pagi untuk tuan JL." Tangan Nara sembari mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. "Tuan JL?" Nenek melihat bingung pada Nara. "Tuan JL itu ya cucu Nenek." "Kenapa kamu memanggil cucuku dengan sebutan Tuan JL?" "Tuan Jaden Luther dan aku singkat Tuan JL saja." "Hm! Kamu ini bisa-bisa mendapat masalah memanggil cucuku seperti itu. Dia itu orang yang tidak suka dikatai aneh-aneh." "Itu bukan aneh, Nek, tapi itu inisial nama saja. Dia kalau mau marah ya aku biarkan saja, kan memang dia suka sekali marah-marah." "Cucuku itu dulu memang orang yang tegas dan kaku, tapi dia selalu menunjukan rasa sayangnya padaku, Nara, tapi sejak kejadian itu dia bahkan sama sekali tidak pernah memeluk neneknya ini, padahal aku sangat merindukan dia memanggilku wanita tua ca
Nara tampak berdiri terdiam di tempatnya, dia memikirkan tawaran yang Jaden baru saja berikan padanya.Tersungging senyum licik pada bibir lelaki yang sedang menatap Nara. "Bagaimana? Apa kamu mau melakukan apa yang aku inginkan, dan aku akan melakukan apa yang kamu inginkan?""Kenapa lelaki ini jadi mesum begini? Dari informasi yang aku dapatkan, dia bukan orang seperti itu? Apa dia sengaja agar aku menyerah menjadi pelayannya. Kamu salah jika mencari lawan, Tuan JL," Nara berdialog di dalam hatinya."Pelayan tidak tau diri! Kenapa malah diam saja? Apa kamu mendadak jadi tuli tidak mendengar apa yang aku katakan?""Baik, Tuan JL. Saya akan membantu Tuan JL mandi dan bahkan sampai berganti baju, tapi setelah itu Tuan JL harus makan dan pergi terapi."Jaden terhenyak mendengar apa yang Nara katakan, dia tidak mengira jika Nara akan mengiyakan apa yang dia inginkan."Aku kira dia seorang wanita baik-baik, tapi ternyata aku salah. Dia murahan," umpat Jaden dalam hati.Nara membantu Jaden
Nara keluar dari kamar mandi meninggalkan Jaden sendiri di dalam. Dia memilih keluar karena pria di dalam sana sedang terlihat sangat marah padanya. Nara tidak mau tambah membuat Jaden semakin emosi."Kita lihat saja, nanti kalau kamu sudah di rumah kenangan, apa yang bisa kamu lakukan?" Nara berdialog sendiri.Beberapa menit kemudian Nara menempelkan telinganya pada daun pintu karena dia takut jika Jaden jatuh saat duduk di kursi rodanya setelah keluar dari bathub. "Nona Nara!""Nara tersentak kaget saat mendengar suara Reno dan ketukan pada pintu kamar Jaden."Reno ada apa ke sini?"Nara segera membuka pintu kamar Jaden dan dia melihat Reno sudah berdiri di depan pintu sembari mengedarkan pandangannya seperti mencari sesuatu."Nona Nara, Tuan Muda masih di kamar mandi?""Tuan JL masih di dalam kamar mandi, memangnya kenapa?""Dia tadi menghubungiku dan menyuruhku datang ke kamarnya untuk membantunya keluar dari kamar mandi.""Menghubungi kamu?" Nara memang ingat tadi dia melihat ad
Jaden duduk di depan meja, di mana ada semangkuk sup buatan Nara. Jaden melihat ke arah dalam mangkuknya dengan sorot mata heran."Ini sup buatan saya sendiri, Tuan JL, jadi Tuan tenang saja karena ini sup yang sehat.""Sup jagung?"Nara mengangguk dengan cepat. "Bukankah Tuan JL suka sekali dengan sup jagung, makannya saya buatkan sup jagung.""Apa kamu tau semua itu dari kontrak yang kamu tanda tangani?""Tidak, saya tau karena saya mencari tau sendiri.""Jadi, kamu mencari tau semua tentangku?""Em ... bisa dibilang begitu karena aku harus profesional dalam bekerja. Sekarang Tuan JL makan dulu dan kita bisa segera berangkat untuk terapi."Jaden masih terdiam melihat sup di depannya. "Kenapa Tuan JL diam saja? Apa mau aku suapi?"Jaden kemudian menatap Nara datar. "Aku hanya lumpuh pada kakiku, tidak pada tanganku."Nara mengangguk perlahan. Jaden kemudian menyendokkan sedikit sup dan memasukkan ke dalam mulutnya. Nara melihat serius pada Jaden karena dia ingin mengetahui reaksi pr
Semua sudah duduk di meja makan dengan kursi utama di tempati oleh Nenek Miranti. Reno dan Nara pun diajak untuk sarapan pagi bersama di satu meja makan."Nara, apa kamu yang memasak semua ini?" tanya Jaden sembari melihat ke arah wanitanya itu.Nara pun mengangguk. "Apa ada yang kurang dari rasa masakannya, Tuan JL?" tanya Nara penasaran.Jaden pun tersenyum kecil. "Tidak ada, aku sudah terbiasa dengan rasa masakan kamu ini, bahkan aku sampai lupa rasa masakan nenekku." Jaden pun melihat ke arah wanita tua yang juga sedang tersenyum padanya."Nenek itu sempat khawatir jika kamu akan tidak cocok dengan masakan Nara saat awal Nara membawa kamu ke sini."Nara pun melihat ke arah tuan lumpuhnya itu. "Semua itu penuh perjuangan dan cerita, Nek," sahut Nara."Jangan dibahas lagi masalah itu, Nara," jawab Jaden tegas yang tidak mau diingatkan akan bagaiman sikap dirinya dulu dengan Nara.Mereka tidak sadar jika dua pasang mata yang memperhatikan dan mendengarkan percakapan hangat mereka di
Andrew masih berdiri di tempatnya dan menatap heran pada wanita yang dia sebut pelayan kurang ajar itu."Maksud dia apa tadi? Apa dia sebenarnya mengetahui tentang obat ini?" Andrew pun menggenggam erat obat ditangannya. "Sebaiknya aku segera bicarakan hal ini dengan mama." Dia pun berjalan pergi dari sana."Ren, kamu lihat apa? Kenapa dari tadi serius sekali melihat ke arah luar jendela kamarku? Apa kamu melihat ada hantu di sana?" celetuk Jaden sembari kembali melanjutkan membaca dokumen yang tadi dibawakan oleh Reno."Apa tadi yang sedang Nara dan tuan muda Andrew bicarakan? Kenapa Nara aku lihat melemparkan sesuatu?" Reno berdialog dalam hatinya saat dia memang tadi sempat melihat Nara dan Andrew di luar."Ren, Minggu depan aku akan mulai kembali bekerja di kantor. Tolong kamu bersihkan semua barang-barang yang ada kaitannya dengan Kalista karena aku tidak ingin mengingat kembali semua masa laluku dengannya." Jaden melirik Reno yang di mana, Reno malah melamun memikirkan tentang N
Nara sedang berada di dalam kamar tuan lumpuhnya, seperti biasa Nara memberikan obat untuk Jaden minum setiap hari."Selamat malam, Tuan JL," tutur Nara lembut sembari menyelimuti kaki pria yang tengah duduk bersandar pada tepi tempat tidurnya."Nara, tunggu!" Tangan pria itu menggenggam lembut tangan wanita yang baru saja menjalin hubungan dengannya."Ada apa? Apa Tuan tidak bisa tidur lagi? Tapi aku sangat lelah hari ini, perjalanan di dalam pesawat sangat tidak mengenakan," Nara pun mengeluh."Nara, aku ingin kamu berjanji kalau tidak akan pernah meninggalkan aku dengan alasan apapun," ujar Jaden terdengar serius."Maksud Tuan JL?""Nara, aku tau sikap mamaku padamu terlihat jika dia tidak bisa menerimu menjadi kekasihku, tapi aku mohon kamu jangan memilih pergi karena hal itu. Apa yang terjadi dalam hidup kita nantinya, kita yang akan menjalani semuanya." Nara pun mengangguk. "Aku tidak akan memikirkan hal itu, Tuan, karena bagiku itu adalah dari Tuan JL sendiri. Kalau suatu hari
Nara mendorong kursi roda Jaden menuju ke dalam rumah kenangan. Mereka berdua sudah tidak sabar ingin bertemu nenek Miranti. Reno yang berjalan di belakang keduanya pun masih tidak percaya jika Nara dan Tuan mudanya sudah menjalin hubungan, meskipun di dalam hatinya dia merasa sangat senang. "Halo, Jaden Sayang." Saat sudah memasuki rumah kenangan itu, tiba-tiba seorang wanita berjalan mendekat dan langsung memeluk Jaden. "Mama? Mama kapan datang?" tanya Jaden yang terlihat sedikit terkejut."Halo, Kak, apa kamu merindukan kamu?" Seorang laki-laki juga mendekat dan gantian memeluk Jaden.Nara yang berdiri tepat di belakang Jaden pun memperhatikan satu persatu dua orang yang Nara bisa menebak jika mereka adalah mama dan adik tiri tuan lumpuhnya."Kamu tadi pagi juga baru mendarat, saat di rumah mengetahui kamu sekarang tinggal di rumah kenangan, mama mengajak adikmu ke sini, sayang," ucap wanita paruh baya dengan wajah terlihat angkuhnya.Andrew adik tiri Jaden yang ada di sana mel
Jaden tidak mau memaksa Nara menerima lamaran pernikahannya. Dia akan menjalani dulu kisah asmaranya dengan wanita yang sekarang menempati hatinya. "Nara, apa benar kamu besok akan kembali ke rumah keluarga Luther?" tanya sang ibu dan Nara pun menganggukkan kepalanya. "Kamu jangan lupa terus memberi kabar pada ibumu." "Iya, Bu, Ibu sudah punya nomorku yang baru, kan? Bu, tolong titip Nio. Aku juga sudah mentransfer sejumlah uang yang nenek Miranti berikan untuk pengobatan Nio, padahal aku tidak mau menerimabuangnya karena masih ada uang dari pria itu, tapi Nenek memaksa. Aku berikan saja semua pada Ibu karena aku pun tidak membutuhkan apapun." Nara pun mengusap lembut kepala putranya. "Ibu baik-baik di sini bersama Nio, ya?" Nara pun memeluk ibunya. Setelah tadi Jaden tidur pulas di kamar hotelnya, seperti biasa Nara langsung pergi ke rumah sakit untuk berpamitan pada ibu dan anaknya. Namun, kali ini Nara lebih berhati-hati karena kejadian dengan Kalista waktu itu. Nara pun senga
Dua hari berlalu, Nara menghabiskan waktu dengan pria yang dia cintai itu. Nara yang meskipun di sana sedang berlibur dengan Jaden, dia tetap saja selalu melakukan terapi pijat pada kaki pria itu. "Nara, besok kita pulang, apa kamu tidak ingin berbelanja sesuatu?" Nara pun menggeleng. "Aku tidak ingin membeli apapun, Tuan. Aku sudah senang bisa berjalan-jalan ke tempat yang ada bianglalanya besar itu," ujar Nara sembari tetap memijit kaki Jaden."London Eye, Nara, itu namanya London Eye." Jaden pun tergelak tawa melihat kepolosan wanita yang dia cintai itu."Aku lupa namanya, lagi pula bahasa Inggrisku juga tidak begitu bagus." Nara sekarang memberikan obat pada Jaden. Pria itu menerima dan langsung meminumnya. Jaden tidak sadar jika obatnya sudah diganti oleh Nara dan Nara masih akan terus mencari tahu tentang saudara tiri dari pria yang dia cintai itu."Nara, tempat mana yang menurut kamu paling indah di sini? Dan kamu ingin datangi sekali lagi?"Nara terlihat sedang berpikir. Ka
Jaden mengusir Kalista agar pergi dari sana dan Kalista pun yang merasa tidak dihargai oleh Jaden pergi dari sana."Tuan, aku kecewa pada Tuan JL." Nara yangsaat ini hatinya terasa sangat sakit pun berjalan menuju ke kamarnya, tapi Jaden mencoba mengejar Nara."Nara, tunggu!" Terdengar suara sesuatu jatuh dan Nara terkejut saat melihat tuan lumpuhnya terjatuh dari kursi rodanya."Tuan JL!" seru Nara seketika. Nara segera membantu Jaden duduk kembali ke kursi rodanya. "Nara, aku ingin bicara denganmu." Pria itu pun memegang tangan Nara.Nara tidak menjawab, tapi dia mendorong Jaden kembali ke kamarnya. Nara tanpa bicara mengambilkan baju untuk pria itu dan membantunya juga mengenakan pakaiannya.Pria di depannya itu tak melepaskan pandangannya pada Nara. "Nara, aku dan Kalista tidak melakukan apapun di sini.""Melalukan sesuatu pun itu bukan urusanku! Tuan masih sangat mencintainya, kan, dan percuma saja usahaku yang ingin membuat Tuan JL sembuh dari rasa sakit hati itu akan sia-sia.
Pagi-pagi sekali, Nara yang sudah bangun dari tidurnya, berjalan dengan cepat mencari taxi untuk pergi menuju ke arah rumah sakit di mana anaknya sedang dirawat. Nara ingin sebisa mungkin menghabiskan waktunya dengan putranya itu selama dia masih berada di London."Itu, kan, wanita kampungan yang mengaku sebagai istrinya Jaden." Kalista yang baru keluar dari club' malam tidak jauh dari hotel di mana Jaden dan Nara menginap melihat Nara naik ke dalam taxinya. Dia yang penasaran akhirnya mengikuti ke mana taxi itu membawa Nara.Di dalam taxi, Nara tidak sabar ingin segera sampai ke rumah sakit, tapi dia ingin mampir sebentar ke sebuah toko mainan untuk membelikan putranya beberapa mainan. "Untuk apa dia masuk ke dalam toko mainan anak-anak?" Kalista pun melihat heran.Tak lama Nara pun keluar dan dia segera naik ke dalam taxinya lagi. Tak lama Nara pun sampai di depan gedung rumah sakit dan dia segera berjalan masuk. Kalista yang masih heran, saat Nara membeli beberapa mainan, semakin
Pria dengan kursi rodanya itu tampak tidak sabar menunggu pelayannya keluar dari dalam kamar. Tak lama pintu dibuka dan Nara pun tampak berdiri dengan gaun yang baru saja Tuan Mudanya itu berikan."Maaf, apa Tuan JL lama menungguku?" Pria yang sudah rapi dengan kemeja hitamnya itu tampak terdiam, namun kedua matanya sedang memindai sosok yang ada di depannya.Batin Jaden dia baru kali ini melihat sosok yang baginya begitu cantik, meskipun tidak bisa dipungkiri jika Kalista yang adalah mantan tunangannya juga sangat cantik, tapi entah kenapa bagi Jaden sosok Nara di depannya ini jauh lebih mempesona. "Tuan, ada yang salah dengan penampilanku?" seru Nara yang membuat Jaden sadar dari lamunannya."Tidak ada, kita pergi sekarang saja." Nara pun mengangguk setuju.Di restoran itu Jaden ternyata sudah memesan tempat untuk mereka berdua. Nara pun terlihat sedang memperhatikan sekelilingnya. "Restoran ini bagus sekali ya Tuan JL, pasti hanya orang-orang kaya yang bisa masuk ke sini," ujar