Hari itu juga Nenek Miranti menyiapkan banyak sekali keperluan untuk dibawa ke rumah kenangan.
Nara malam ini juga tidur di rumah Jaden, dia meninggalkan rumah lamanya dengan membawa beberapa barang yang dia butuhkan. Malam itu, Jaden yang terbangun dan ingin mengambil air minum, tapi dia melihat gelas airnya tidak ada isinya. "Pelayan di sini benar-benar tidak bisa bekerja dengan benar. Sebaiknya aku berhentikan saja mereka semua," umpatnya kesal. Jaden mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan meraih kursi rodanya, tapi yang ada dia malah terjatuh. "Tuan Muda Jaden!" suara yang Jaden kenali tiba-tiba ada di dalam kamarnya. Nara mencoba membantu, tapi pria itu terkejut melihat Nara ada di dalam kamarnya. Jaden malah mendorong tubuh Nara hingga Nara terjatuh dengan duduk dan tangannya menabrak pada kursi roda Jaden. "Aduh!" Nara memegang sikutnya yang ternyata berdarah terkena tepi kursi roda Jaden. "Kenapa kamu ada di sini?" "Saya memang tinggal di sini sekarang, Tuan JL." Nara tetap bersikukuh membantu Jaden untuk duduk di atas tempat tidurnya. "Apa?" Jaden tampak terkejut mendengar apa yang baru saja Nara katakan. Nara akhirnya berhasil membuat Jaden duduk di atas tempat tidurnya. "Menjauh dariku!" Jaden sekali lagi mendorong tubuh Nara. "Saya hanya mau membantu Tuan JL, kenapa tuan selalu marah-marah seperti ini? Semua yang terjadi dengan Tuan JL itu bukan salah semua orang yang ada di sini. Tuan tidak perlu membenci semua orang." Nara seolah mengeluarkan semua kekesalannya pada lelaki bernama Jaden Luther itu. "Aku tidak butuh nasihatmu. Sebaiknya kamu pergi dari kamarku sekarang!" bentak Jaden marah. Nara hanya berdiri diam menatap Jaden yang melihatnya dengan pandangan seolah ingin menelannya hidup-hidup saja. "Saya ke sini karena lupa belum mengganti gelas minuman Tuan yang kosong." Nara meletakkan gelas berisi air di atas meja dekat tempat tidur. "Aku tidak butuh bantuanmu!" Jaden malah menjatuhkan gelas yang dibawakan oleh Nara. Nara seketika terkejut, tapi dia sekali lagi mencoba menarik napasnya. Dia menunduk untuk membereskan pecahan gelas yang diperbuat oleh Jaden, kemudian dia keluar dari kamar Jaden. "Kenapa wanita itu sangat keras kepala dan membuatku ingin sekali membunuhnya?" Jaden mengepalkan tangannya erat. Beberapa detik kemudian, pandangannya mengarah pada sesuatu yang nempel pada tangannya. "Ini apa? Darah? Apa ini darah pelayan tidak tahu diri itu?" Tidak lama Nara masuk kembali ke dalam kamar Jaden, Nara memberikan segelas air putih untuk Jaden. "Aku bisa mengambil minum sendiri." "Tuan JL tidak perlu pergi ke dapur untuk mengambil air minum, sebaiknya simpan saja tenaga Tuan JL untuk besok melakukan terapi." "Cih! Siapa yang mau melakukan terapi? Aku tidak akan melakukan hal yang tidak ada gunanya itu." Nara duduk berjongkok di depan Jaden. "Ada, Tuan JL, kalau Tuan mau rutin melakukan terapi, saya yakin, satu persen yang dokter katakan itu akan ada hasilnya." "Aku muak mendengar ucapan sok bijakmu." "Terserah Tuan JL saja, aku akan terus mengatakan hal yang positif agar Tuan JL akhirnya bisa sadar jika ucapanku ada hasilnya. Sekarang Tuan minum dan tidur kembali." Jaden pun menatap Nara datar sembari mengambil minuman dari tangan Nara. Nara melihat Jaden meneguk minumannya sampai habis, tapi beberapa detik kemudian Nara sekali lagi mendapat perlakuan buruk dari Jaden. Wajah Nara sekali lagi mendapat semburan dari air minum yang ada di mulut Jaden. Nara mencoba menahan tangisnya karena dia tidak mau terlihat lemah di mata pria arogan di depannya ini. "Terima kasih atas minumannya." Jaden malah tersenyum devil." Nara segera bangkit dan meletakkan gelasnya. Dia membantu Jaden mengangkat kedua kaki Jaden ke atas tempat tidur kemudian menyelimutinya. "Selamat malam, Tuan JL." Nara kembali mengambil gelasnya dan keluar dari dalam kamar Jaden Luther. Jaden yang melihat sikap tegar Nara seketika mengerutkan kedua alisnya. Dia benar-benar baru pertama kali ini bertemu pelayan seperti Nara. Nara yang ternyata masih berdiri di sana, dia bersandar pada daun pintu kamar Jaden sembari menangis. "Kamu yang sudah membuat pria itu seperti saat ini, Nara, jadi kamu harus kuat jika ingin membuat pria itu kembali menjadi Jaden Luther yang dulu," Nara mencoba menguatkan dirinya sendiri. Dia kemudian kembali ke kamarnya dan mencoba beristirahat karena besok mungkin akan menjadi hari yang berat untuknya. Nara duduk di balkon kamarnya, dia mencoba melakukan panggilan video call dengan ibunya yang ada di rumah sakit. "Nara, kamu kenapa belum tidur?" "Aku merindukan Nio, Bu. Bagaimana keadaan Nio?" "Hari ini dia bahagia bisa bermain dengan teman sebayanya yang baru saja menjadi pasien di sini." "Oh ya? Jadi, ada pasien baru di sana?" "Iya, dia seorang gadis kecil yang sangat cantik dan memiliki rambut keriting yang lucu, Nara. Ibu saja sampai gemas melihatnya." "Syukurlah kalau Nio hari ini merasa bahagia. Apa tadi dia mencariku, Bu?" "Sebenarnya, ibu tadi yang menawarkan akan menghubungimu agar Nio bisa bicara denganmu, tapi Nio sendiri yang tidak mau, katanya dia tidak mau menggangu pekerjaanmu." "Dia memang pria kecilku yang sangat pengertian. Aku akan berusaha agar dia bisa sembuh dari sakitnya, Bu. Nio harus sembuh." Nara sekali lagi menangis. "Ibu yakin jika cucuku akan sembuh karena dia memiliki ibu yang kuat dan sangat tangguh." "Dia adalah cinta terindah dari Mas Abi yang akan aku jaga dengan sangat baik." Nara kembali meneteskan air mata mengingat mendiang suaminya yang begitu bahagia saat tahu dirinya hamil. "Nara, bagiamana dengan pekerjaanmu? Apa semua berjalan lancar?" Nara menggelengkan kepalanya pelan. "Jaden pria yang sangat tempramen dan itu semua karena aku yang sudah membuatnya seperti itu." "Ibu tidak mau menyalahkan siapapun karena ibu tahu kalau kamu melakukan semua itu karena ingin menyelamatkan nyawa putramu, tapi juga tidak membenarkan apa yang kamu lakukan." "Bu, aku akan memperbaiki semuanya sekarang. Aku harus menghilangkan rasa bersalahku agar nanti aku bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang." "Ya sudah! Sekarang di tempatmu sudah sangat malam, sebaiknya kamu tidur." "Iya, Bu. Bu Nara sayang sekali sama ibu dan Nio. Sekali lagi Nara minta maaf harus menyusahkan ibu." "Sudah, Nara! Ibu ini adalah ibumu dan kebahagiaan kamu itu juga adalah kebahagiaan ibu. Ibu juga sangat sayang sama kamu." Mereka pun mengakhiri panggilan. Nara kemudian mengambil foto di dalam tas yang akan dia bawa ke rumah kenangan esok hari dengan Jaden. "Mas Abi, aku sangat merindukan kamu. Andai kamu ada di sini menemaniku, pasti semua ini tidak perlu aku jalani. Aku ingin kuat, tapi aku tidak yakin apa aku bisa?" Nara menangis dengan memeluk foto mendiang suaminya. Dia mencoba menahan suara tangisnya dengan menutup mulutnya menggunakan tangan. Nara hari ini benar-benar merasakan hal yang sangat membuat hatinya pedih.Pagi itu Nara sudah bangun dan segera menyiapkan makan pagi untuk Jaden. Nenek yang berada di dalam dapur sedikit terkejut melihat ada Nara di sana. "Kamu sedang apa di sini, Nara?" "Pagi, Nek, aku sedang membuat makan pagi untuk tuan JL." Tangan Nara sembari mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. "Tuan JL?" Nenek melihat bingung pada Nara. "Tuan JL itu ya cucu Nenek." "Kenapa kamu memanggil cucuku dengan sebutan Tuan JL?" "Tuan Jaden Luther dan aku singkat Tuan JL saja." "Hm! Kamu ini bisa-bisa mendapat masalah memanggil cucuku seperti itu. Dia itu orang yang tidak suka dikatai aneh-aneh." "Itu bukan aneh, Nek, tapi itu inisial nama saja. Dia kalau mau marah ya aku biarkan saja, kan memang dia suka sekali marah-marah." "Cucuku itu dulu memang orang yang tegas dan kaku, tapi dia selalu menunjukan rasa sayangnya padaku, Nara, tapi sejak kejadian itu dia bahkan sama sekali tidak pernah memeluk neneknya ini, padahal aku sangat merindukan dia memanggilku wanita tua ca
Nara tampak berdiri terdiam di tempatnya, dia memikirkan tawaran yang Jaden baru saja berikan padanya.Tersungging senyum licik pada bibir lelaki yang sedang menatap Nara. "Bagaimana? Apa kamu mau melakukan apa yang aku inginkan, dan aku akan melakukan apa yang kamu inginkan?""Kenapa lelaki ini jadi mesum begini? Dari informasi yang aku dapatkan, dia bukan orang seperti itu? Apa dia sengaja agar aku menyerah menjadi pelayannya. Kamu salah jika mencari lawan, Tuan JL," Nara berdialog di dalam hatinya."Pelayan tidak tau diri! Kenapa malah diam saja? Apa kamu mendadak jadi tuli tidak mendengar apa yang aku katakan?""Baik, Tuan JL. Saya akan membantu Tuan JL mandi dan bahkan sampai berganti baju, tapi setelah itu Tuan JL harus makan dan pergi terapi."Jaden terhenyak mendengar apa yang Nara katakan, dia tidak mengira jika Nara akan mengiyakan apa yang dia inginkan."Aku kira dia seorang wanita baik-baik, tapi ternyata aku salah. Dia murahan," umpat Jaden dalam hati.Nara membantu Jaden
Nara keluar dari kamar mandi meninggalkan Jaden sendiri di dalam. Dia memilih keluar karena pria di dalam sana sedang terlihat sangat marah padanya. Nara tidak mau tambah membuat Jaden semakin emosi."Kita lihat saja, nanti kalau kamu sudah di rumah kenangan, apa yang bisa kamu lakukan?" Nara berdialog sendiri.Beberapa menit kemudian Nara menempelkan telinganya pada daun pintu karena dia takut jika Jaden jatuh saat duduk di kursi rodanya setelah keluar dari bathub. "Nona Nara!""Nara tersentak kaget saat mendengar suara Reno dan ketukan pada pintu kamar Jaden."Reno ada apa ke sini?"Nara segera membuka pintu kamar Jaden dan dia melihat Reno sudah berdiri di depan pintu sembari mengedarkan pandangannya seperti mencari sesuatu."Nona Nara, Tuan Muda masih di kamar mandi?""Tuan JL masih di dalam kamar mandi, memangnya kenapa?""Dia tadi menghubungiku dan menyuruhku datang ke kamarnya untuk membantunya keluar dari kamar mandi.""Menghubungi kamu?" Nara memang ingat tadi dia melihat ad
Jaden duduk di depan meja, di mana ada semangkuk sup buatan Nara. Jaden melihat ke arah dalam mangkuknya dengan sorot mata heran."Ini sup buatan saya sendiri, Tuan JL, jadi Tuan tenang saja karena ini sup yang sehat.""Sup jagung?"Nara mengangguk dengan cepat. "Bukankah Tuan JL suka sekali dengan sup jagung, makannya saya buatkan sup jagung.""Apa kamu tau semua itu dari kontrak yang kamu tanda tangani?""Tidak, saya tau karena saya mencari tau sendiri.""Jadi, kamu mencari tau semua tentangku?""Em ... bisa dibilang begitu karena aku harus profesional dalam bekerja. Sekarang Tuan JL makan dulu dan kita bisa segera berangkat untuk terapi."Jaden masih terdiam melihat sup di depannya. "Kenapa Tuan JL diam saja? Apa mau aku suapi?"Jaden kemudian menatap Nara datar. "Aku hanya lumpuh pada kakiku, tidak pada tanganku."Nara mengangguk perlahan. Jaden kemudian menyendokkan sedikit sup dan memasukkan ke dalam mulutnya. Nara melihat serius pada Jaden karena dia ingin mengetahui reaksi pr
Nara berdiri di depan kaca jendela besar di mana dia dari sana bisa melihat tuan mudanya sedang mengikuti terapi untuk bisa berjalan lagi. Nara melihat wajah Jaden tidak ada sama sekali ekspresi senangnya. Wajah itu terlihat datar dan dingin. "Dia apa aslinya memang seperti itu ya wajahnya?" Nara kembali melihat Jaden yang sedang duduk dan dipijit kakinya oleh sang terapis. Nara benar-benar memperhatikan cara terapis itu memijit kaki Jaden dan apa saja yang dilakukan pada Jaden. Sampai pada akhirnya, Jaden mulia berdiri dengan berpegangan pada kedua tiang datar. "Perlahan saja Tuan Jaden." Nara yang melihat Jaden berusaha berdiri dengan kakinya tampak senang, tapi juga khawatir. "Tuan JL, ayo berusahalah." Kedua tangan Jaden mencengkeram kedua pegangan kayu sembari menahan rasa yang mungkin sangat menyakitkan. "Argh! Shit! Sudah aku bilang kalau aku tidak bisa!" Jaden tiba-tiba marah karena dia terjatuh. Nara yang melihat dari kaca besar di depannya seketika mendekat ke ar
Nara hanya terdiam melihat pria di depannya itu. Dalam hati kecil Nara berkata, jika hanya untuk membius seorang Jaden Luther saja adalah hal yang sulit. Bagaimana jika nanti mereka akan tinggal satu atap?"Tuan harus minum untuk menghilangkan rasa takut Tuan JL karena naik mobil tadi."Jaden langsung memberikan tatapan tajamnya. "Jadi, kamu tahu kalau aku takut naik mobil?""Tentu saja saya tahu karena beberapa kali melihat Tuan JL panik dan cemas saat berada di dalam mobil.""Kamu benar-benar tidak tau diri. Kamu sengaja mengajakku ke pantai agar lebih lama bisa menyiksaku di dalam mobil."Nara menggeleng pelan. "Saya sama sekali tidak ada niat seperti itu. Saya malah ingin membuat Tuan JL bisa melawan semua rasa takut yang sedang Tuan rasakan karena saya tau jika Tuan JL orang yang sangat kuat."Nara membereskan pecahan kaca dan segera berjalan keluar dari kamar Jaden Luther.Terdengar suara marah Jaden yang juga membanting beberapa barang di dalam kamarnya."Oh Tuhan, apa aku bisa
Nara sedang berpamitan dengan Nenek dan juga Reno. Dia akan segera membawa Jaden ke rumah kenangan yang letaknya lumayan jauh dari sana, dan nanti di tempat yang agak terpencil itu Jaden akan tinggal hanya berdua dengan Nara."Nara, tolong jaga cucuku dengan baik. Kalau kamu kesal padanya, ingat saja jika sebenarnya cucuku orang yang tidak seperti itu.""Nenek tenang saja karena beberapa hari dengan Tuan JL, aku sudah mulai terbiasa dengan sikapnya.""Nona Nara, semoga kamu tetap kuat dan sabar merawat Tuan Muda, tapi kalau tidak sanggup atau menyerah karena benar-benar sudah tidak bisa Nona Nara terima, Nona Nara bisa mengundurkan diri. Iya, kan Nek?" Reno melihat ke arah wanita tua yang kedua matanya tampak sembab."Iya, Nara."Nara memeluk Nenek dan Reno bergantian. Jaden sudah Nara tidurkan di kursi belakang mobil Jaden."Nek, Reno, aku mau berangkat dulu.""Iya, hati-hati, Nara." Nara mengendarai mobil sendirian memecah jalanan sore yang tampak sepi. Jaden masih terbaring nyeny
Nara bingung saat akan masuk ke dalam kamar Jaden karena dia takut jika pria itu masih marah dengannya, tapi Nara juga tidak bisa membiarkan Jaden tidak makan sama sekali.Pintu diketuk oleh Nara, tapi pria di dalam kamar itu tidak mau menyahut sama sekali.Nara mengetuk pintu hanya ingin memberitahu jika dia izin akan masuk ke dalam kamar Jaden, tapi saat tidak mendapat jawaban, Nara membuka kunci pintu itu. "Tuan JL," panggil Nara lirih, Nara pun berhati-hati membuka pintu kamar Jaden. Takutnya dia tiba-tiba di lempar Jaden sesuatu.Namun, saat pintu sudah terbuka, Nara melihat Jaden yang duduk dengan wajah menatap tajam pada Nara.Nara sebenarnya takut melihat tatapan Jaden yang seperti itu, walaupun Nara tau jika Jaden tidak akan menyakitinya selama jarak mereka jauh."Tuan JL, ini makan paginya." Nara meletakkan sarapan Jaden di atas meja kecil di sana."Aku tidak mau makan. Berikan saja ponselku.""Tuan makan dulu dan minum obat, kemarin Tuan belum minum obatnya.""Berikan pons
Semua sudah duduk di meja makan dengan kursi utama di tempati oleh Nenek Miranti. Reno dan Nara pun diajak untuk sarapan pagi bersama di satu meja makan."Nara, apa kamu yang memasak semua ini?" tanya Jaden sembari melihat ke arah wanitanya itu.Nara pun mengangguk. "Apa ada yang kurang dari rasa masakannya, Tuan JL?" tanya Nara penasaran.Jaden pun tersenyum kecil. "Tidak ada, aku sudah terbiasa dengan rasa masakan kamu ini, bahkan aku sampai lupa rasa masakan nenekku." Jaden pun melihat ke arah wanita tua yang juga sedang tersenyum padanya."Nenek itu sempat khawatir jika kamu akan tidak cocok dengan masakan Nara saat awal Nara membawa kamu ke sini."Nara pun melihat ke arah tuan lumpuhnya itu. "Semua itu penuh perjuangan dan cerita, Nek," sahut Nara."Jangan dibahas lagi masalah itu, Nara," jawab Jaden tegas yang tidak mau diingatkan akan bagaiman sikap dirinya dulu dengan Nara.Mereka tidak sadar jika dua pasang mata yang memperhatikan dan mendengarkan percakapan hangat mereka di
Andrew masih berdiri di tempatnya dan menatap heran pada wanita yang dia sebut pelayan kurang ajar itu."Maksud dia apa tadi? Apa dia sebenarnya mengetahui tentang obat ini?" Andrew pun menggenggam erat obat ditangannya. "Sebaiknya aku segera bicarakan hal ini dengan mama." Dia pun berjalan pergi dari sana."Ren, kamu lihat apa? Kenapa dari tadi serius sekali melihat ke arah luar jendela kamarku? Apa kamu melihat ada hantu di sana?" celetuk Jaden sembari kembali melanjutkan membaca dokumen yang tadi dibawakan oleh Reno."Apa tadi yang sedang Nara dan tuan muda Andrew bicarakan? Kenapa Nara aku lihat melemparkan sesuatu?" Reno berdialog dalam hatinya saat dia memang tadi sempat melihat Nara dan Andrew di luar."Ren, Minggu depan aku akan mulai kembali bekerja di kantor. Tolong kamu bersihkan semua barang-barang yang ada kaitannya dengan Kalista karena aku tidak ingin mengingat kembali semua masa laluku dengannya." Jaden melirik Reno yang di mana, Reno malah melamun memikirkan tentang N
Nara sedang berada di dalam kamar tuan lumpuhnya, seperti biasa Nara memberikan obat untuk Jaden minum setiap hari."Selamat malam, Tuan JL," tutur Nara lembut sembari menyelimuti kaki pria yang tengah duduk bersandar pada tepi tempat tidurnya."Nara, tunggu!" Tangan pria itu menggenggam lembut tangan wanita yang baru saja menjalin hubungan dengannya."Ada apa? Apa Tuan tidak bisa tidur lagi? Tapi aku sangat lelah hari ini, perjalanan di dalam pesawat sangat tidak mengenakan," Nara pun mengeluh."Nara, aku ingin kamu berjanji kalau tidak akan pernah meninggalkan aku dengan alasan apapun," ujar Jaden terdengar serius."Maksud Tuan JL?""Nara, aku tau sikap mamaku padamu terlihat jika dia tidak bisa menerimu menjadi kekasihku, tapi aku mohon kamu jangan memilih pergi karena hal itu. Apa yang terjadi dalam hidup kita nantinya, kita yang akan menjalani semuanya." Nara pun mengangguk. "Aku tidak akan memikirkan hal itu, Tuan, karena bagiku itu adalah dari Tuan JL sendiri. Kalau suatu hari
Nara mendorong kursi roda Jaden menuju ke dalam rumah kenangan. Mereka berdua sudah tidak sabar ingin bertemu nenek Miranti. Reno yang berjalan di belakang keduanya pun masih tidak percaya jika Nara dan Tuan mudanya sudah menjalin hubungan, meskipun di dalam hatinya dia merasa sangat senang. "Halo, Jaden Sayang." Saat sudah memasuki rumah kenangan itu, tiba-tiba seorang wanita berjalan mendekat dan langsung memeluk Jaden. "Mama? Mama kapan datang?" tanya Jaden yang terlihat sedikit terkejut."Halo, Kak, apa kamu merindukan kamu?" Seorang laki-laki juga mendekat dan gantian memeluk Jaden.Nara yang berdiri tepat di belakang Jaden pun memperhatikan satu persatu dua orang yang Nara bisa menebak jika mereka adalah mama dan adik tiri tuan lumpuhnya."Kamu tadi pagi juga baru mendarat, saat di rumah mengetahui kamu sekarang tinggal di rumah kenangan, mama mengajak adikmu ke sini, sayang," ucap wanita paruh baya dengan wajah terlihat angkuhnya.Andrew adik tiri Jaden yang ada di sana mel
Jaden tidak mau memaksa Nara menerima lamaran pernikahannya. Dia akan menjalani dulu kisah asmaranya dengan wanita yang sekarang menempati hatinya. "Nara, apa benar kamu besok akan kembali ke rumah keluarga Luther?" tanya sang ibu dan Nara pun menganggukkan kepalanya. "Kamu jangan lupa terus memberi kabar pada ibumu." "Iya, Bu, Ibu sudah punya nomorku yang baru, kan? Bu, tolong titip Nio. Aku juga sudah mentransfer sejumlah uang yang nenek Miranti berikan untuk pengobatan Nio, padahal aku tidak mau menerimabuangnya karena masih ada uang dari pria itu, tapi Nenek memaksa. Aku berikan saja semua pada Ibu karena aku pun tidak membutuhkan apapun." Nara pun mengusap lembut kepala putranya. "Ibu baik-baik di sini bersama Nio, ya?" Nara pun memeluk ibunya. Setelah tadi Jaden tidur pulas di kamar hotelnya, seperti biasa Nara langsung pergi ke rumah sakit untuk berpamitan pada ibu dan anaknya. Namun, kali ini Nara lebih berhati-hati karena kejadian dengan Kalista waktu itu. Nara pun senga
Dua hari berlalu, Nara menghabiskan waktu dengan pria yang dia cintai itu. Nara yang meskipun di sana sedang berlibur dengan Jaden, dia tetap saja selalu melakukan terapi pijat pada kaki pria itu. "Nara, besok kita pulang, apa kamu tidak ingin berbelanja sesuatu?" Nara pun menggeleng. "Aku tidak ingin membeli apapun, Tuan. Aku sudah senang bisa berjalan-jalan ke tempat yang ada bianglalanya besar itu," ujar Nara sembari tetap memijit kaki Jaden."London Eye, Nara, itu namanya London Eye." Jaden pun tergelak tawa melihat kepolosan wanita yang dia cintai itu."Aku lupa namanya, lagi pula bahasa Inggrisku juga tidak begitu bagus." Nara sekarang memberikan obat pada Jaden. Pria itu menerima dan langsung meminumnya. Jaden tidak sadar jika obatnya sudah diganti oleh Nara dan Nara masih akan terus mencari tahu tentang saudara tiri dari pria yang dia cintai itu."Nara, tempat mana yang menurut kamu paling indah di sini? Dan kamu ingin datangi sekali lagi?"Nara terlihat sedang berpikir. Ka
Jaden mengusir Kalista agar pergi dari sana dan Kalista pun yang merasa tidak dihargai oleh Jaden pergi dari sana."Tuan, aku kecewa pada Tuan JL." Nara yangsaat ini hatinya terasa sangat sakit pun berjalan menuju ke kamarnya, tapi Jaden mencoba mengejar Nara."Nara, tunggu!" Terdengar suara sesuatu jatuh dan Nara terkejut saat melihat tuan lumpuhnya terjatuh dari kursi rodanya."Tuan JL!" seru Nara seketika. Nara segera membantu Jaden duduk kembali ke kursi rodanya. "Nara, aku ingin bicara denganmu." Pria itu pun memegang tangan Nara.Nara tidak menjawab, tapi dia mendorong Jaden kembali ke kamarnya. Nara tanpa bicara mengambilkan baju untuk pria itu dan membantunya juga mengenakan pakaiannya.Pria di depannya itu tak melepaskan pandangannya pada Nara. "Nara, aku dan Kalista tidak melakukan apapun di sini.""Melalukan sesuatu pun itu bukan urusanku! Tuan masih sangat mencintainya, kan, dan percuma saja usahaku yang ingin membuat Tuan JL sembuh dari rasa sakit hati itu akan sia-sia.
Pagi-pagi sekali, Nara yang sudah bangun dari tidurnya, berjalan dengan cepat mencari taxi untuk pergi menuju ke arah rumah sakit di mana anaknya sedang dirawat. Nara ingin sebisa mungkin menghabiskan waktunya dengan putranya itu selama dia masih berada di London."Itu, kan, wanita kampungan yang mengaku sebagai istrinya Jaden." Kalista yang baru keluar dari club' malam tidak jauh dari hotel di mana Jaden dan Nara menginap melihat Nara naik ke dalam taxinya. Dia yang penasaran akhirnya mengikuti ke mana taxi itu membawa Nara.Di dalam taxi, Nara tidak sabar ingin segera sampai ke rumah sakit, tapi dia ingin mampir sebentar ke sebuah toko mainan untuk membelikan putranya beberapa mainan. "Untuk apa dia masuk ke dalam toko mainan anak-anak?" Kalista pun melihat heran.Tak lama Nara pun keluar dan dia segera naik ke dalam taxinya lagi. Tak lama Nara pun sampai di depan gedung rumah sakit dan dia segera berjalan masuk. Kalista yang masih heran, saat Nara membeli beberapa mainan, semakin
Pria dengan kursi rodanya itu tampak tidak sabar menunggu pelayannya keluar dari dalam kamar. Tak lama pintu dibuka dan Nara pun tampak berdiri dengan gaun yang baru saja Tuan Mudanya itu berikan."Maaf, apa Tuan JL lama menungguku?" Pria yang sudah rapi dengan kemeja hitamnya itu tampak terdiam, namun kedua matanya sedang memindai sosok yang ada di depannya.Batin Jaden dia baru kali ini melihat sosok yang baginya begitu cantik, meskipun tidak bisa dipungkiri jika Kalista yang adalah mantan tunangannya juga sangat cantik, tapi entah kenapa bagi Jaden sosok Nara di depannya ini jauh lebih mempesona. "Tuan, ada yang salah dengan penampilanku?" seru Nara yang membuat Jaden sadar dari lamunannya."Tidak ada, kita pergi sekarang saja." Nara pun mengangguk setuju.Di restoran itu Jaden ternyata sudah memesan tempat untuk mereka berdua. Nara pun terlihat sedang memperhatikan sekelilingnya. "Restoran ini bagus sekali ya Tuan JL, pasti hanya orang-orang kaya yang bisa masuk ke sini," ujar