Pagi itu Nara sudah bangun dan segera menyiapkan makan pagi untuk Jaden. Nenek yang berada di dalam dapur sedikit terkejut melihat ada Nara di sana.
"Kamu sedang apa di sini, Nara?" "Pagi, Nek, aku sedang membuat makan pagi untuk tuan JL." Tangan Nara sembari mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang. "Tuan JL?" Nenek melihat bingung pada Nara. "Tuan JL itu ya cucu Nenek." "Kenapa kamu memanggil cucuku dengan sebutan Tuan JL?" "Tuan Jaden Luther dan aku singkat Tuan JL saja." "Hm! Kamu ini bisa-bisa mendapat masalah memanggil cucuku seperti itu. Dia itu orang yang tidak suka dikatai aneh-aneh." "Itu bukan aneh, Nek, tapi itu inisial nama saja. Dia kalau mau marah ya aku biarkan saja, kan memang dia suka sekali marah-marah." "Cucuku itu dulu memang orang yang tegas dan kaku, tapi dia selalu menunjukan rasa sayangnya padaku, Nara, tapi sejak kejadian itu dia bahkan sama sekali tidak pernah memeluk neneknya ini, padahal aku sangat merindukan dia memanggilku wanita tua cantikku." Wanita sepuh di samping Nara berdiri itu tampak meneteskan air matanya. "Nenek jangan menangis." Tangan Nara mengusap punggung nenek Miranti dengan lembut. "Kita akan berusaha agar Tuan JL bisa kembali seperti dulu dan aku juga berharap dia bisa berjalan lagi, Nek." Nenek melihat Nara yang sepertinya melamun setelah mengatakan hal itu. "Nara, kamu memikirkan apa?" Tepukan tangan nenek Miranti pada pundak Nara membuat wanita itu seolah kembali menginjakkan kakinya di bumi. "Aku hanya memikirkan semoga apa yang aku lakukan bisa membuat Tuan JL sembuh, walaupun aku tau jika hal itu sulit, tapi aku tidak mau putus asa dulu." "Kenapa kamu sepertinya ingin sekali cucuku sembuh, Nara?" Nara mencoba menyembunyikan rasa keterkejutan atas pertanyaan nenek dengan tersenyum. "Nek, aku sudah memilih menjadi pelayan Tuan JL dan aku harus bertanggung jawab, lagi pula bukannya aku sudah berjanji pada Nenek jika aku akan bekerja sebaik mungkin agar Tuan Jaden bisa berubah seperti dulu." Nenek Miranti seketika memeluk Nara yang membuat Nara terkejut. "Terima kasih, Nara, aku tidak tau apa yang harus aku berikan sama kamu yang sampai sekarang masih bertahan bekerja di sini? Mungkin gaji yang aku tawarkan juga tidak cukup untuk mengganti semua perlakukan yang sudah cucuku lakukan." "Nenek tidak perlu berpikir seperti itu. Gaji yang Nenek tawarkan lebih dari cukup." "Baunya enak sekali!" Tiba-tiba suara Reno terdengar di sana. "Nara yang sedang membuat sarapan pagi untuk Jaden, Ren. Oh ya! Apa semua sudah kamu selesaikan?" "Sudah, Nek, hanya tinggal sedikit saja dan nanti malam rencana bisa dijalankan." "Bagus kalau begitu. Aku benar-benar semalaman tidak bisa tidur memikirkan bagaimana reaksi cucuku saat dia tau kamu culik dan berada di rumah kenangan?" Nenek melihat ke arah Nara. "Aku berharap dia tidak menyuruh orang untuk membunuhku nantinya, Nek." "Itu juga yang terlintas dipikiranku, Nona Nara. Nona Nara takut ya?" Nara menggeleng pelan. "Aku tidak pernah takut akan kematian, Ren. Aku hanya takut meninggal sebelum menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan," ucap Nara pelan sembari melamun. "Maksud Nona Nara apa sih?" "Sudahlah! Aku mau mengantarkan sup jagung untuk Tuan JL, dan setelah itu aku akan membawa dia pergi terapi." Nara menuangkan sup yang dia buat ke dalam mangkuk. "Sup jagung? Kenapa kamu bisa mengetahui makanan kesukaan cucuku?" "Nek, sebelum masuk ke sini dan melamar menjadi pelayan Tuan JL, aku harus mencari tau semua hal tentangnya agar aku tidak salah nantinya." Nara tersenyum dan pergi dari dapur dengan baki yang berisi makanan kesukaan Jaden. Reno melihat ke arah Nenek Miranti dengan aneh. "Nek, sebenarnya Nona Nara itu pelayan atau dia bidadari yang menyamar menjadi manusia?" "Siapapun dia, aku berharap Nara bisa membuat cucuku kembali seperti dulu." Nara berdiri di depan pintu kamar Jaden yang masih tertutup. "Semoga dia tidak menuangkan sup panas ini pada mukaku." Nara mengetuk pintunya, tapi dia tidak mendapat jawaban. Beberapa kali Nara mengetuk tetap saja tidak mendapat jawaban. "Nara, sebaiknya kamu tidak menganggu Tuan Muda, dia pasti masih tidur dan akan bangun sesukanya," ucap seorang pelayan yang sedang membersihkan ruangan di sana. "Tapi dia ada jadwal untuk terapi hari ini." "Tuan muda tidak pernah mengikuti terapi lagi setelah dia jatuh dan merasakan sakit pada pinggangnya. Tuan muda sepertinya tidak memiliki keinginan untuk sembuh, apa lagi setelah mendengar vonis dokter itu." Nara tampak terdiam sejenak. Dia kemudian mencoba membuka pintu kamarnya dan ternyata tidak dikunci. Nara masuk dan melihat di sana masih tampak gelap karena tirai di kamar Jaden yang masih tertutup rapat. "Bagaimana dia bisa sembuh kalau malas begini?" Nara meletakkan baki yang dia bawa dan perlahan berjalan menuju jendela kamar Jaden. "Shit! Siapa yang menyuruhmu membuka tirainya?" suara bentakan Jaden marah. "Selamat pagi, Tuan JL, saya membawakan sarapan pagi untuk Tuan." Jaden mengucek kedua matanya saat tirai sudah terbuka semua. Jaden yang masih berbaring di atas tempat tidurnya melihat kesal pada Nara. "Pelayan tidak tahu diri! Kenapa kamu menggangguku? Apa kamu tidak tahu kalau aku akan bangun tidur sesuai keinginanku?" "Saya tahu, tapi hari ini Tuan JL ada terapi, jadi Tuan JL harus bangun pagi dan nanti kita pergi ke tempat terapi." "Aku sudah katakan kalau aku tidak mau tetapi. Pergi kamu dari kamarku karena aku mau melanjutkan tidurku." Jaden sekarang malah memiringkan tubuhnya, membelakangi Nara. "Tuan JL harus bangun." Nara mencoba membalikan tubuh Jaden dengan sekuatnya. "Kamu benar-benar berisik sekali." Jaden menarik tangan Nara dengan kasar. "Auw!" Kedua orang itu seketika terdiam karena bibir mereka menyatu dengan sempurna. Jaden tiba-tiba mendorong Nara dengan kasar. "Shit! Dasar pelayan tidak tahu diri!" Jaden mengusap bibirnya dengan marah. Nara pun mengusap bibirnya dengan wajah kesal. "Saya minta maaf, tapi Tuan JL tadi yang menarik tangan saya." Nara memijit tangannya yang memang terasa sakit. Jaden segera beringsut dan duduk bersandar pada tepian ranjang. "Aku sangat membencimu, pelayan tidak tahu diri!" "Aku akan menyiapkan air hangat untuk, Tuan Jaden." Nara masuk ke dalam kamar mandi dan membuka air pada bathub, kemudian dia keluar lagi mengambilkan baju ganti untuk Jaden. Jaden hanya duduk diam di tempatnya melihat apa saja yang pelayannya lakukan. Beberapa menit kemudian Nara berdiri di depan Jaden dan memberitahu jika air hangat untuk Jaden mandi sudah siap. "Baiklah, aku akan mandi jika kamu mau memandikanku, Pelayan." Kedua mata Nara seketika membulat kaget. "Memandikan Tuan JL? Saya hanya akan membawa Tuan masuk ke dalam kamar mandi dan membantu duduk pada tepian bathub saja. "Kamu mau atau tidak?" tanya Jaden tegas."Nara tampak berdiri terdiam di tempatnya, dia memikirkan tawaran yang Jaden baru saja berikan padanya.Tersungging senyum licik pada bibir lelaki yang sedang menatap Nara. "Bagaimana? Apa kamu mau melakukan apa yang aku inginkan, dan aku akan melakukan apa yang kamu inginkan?""Kenapa lelaki ini jadi mesum begini? Dari informasi yang aku dapatkan, dia bukan orang seperti itu? Apa dia sengaja agar aku menyerah menjadi pelayannya. Kamu salah jika mencari lawan, Tuan JL," Nara berdialog di dalam hatinya."Pelayan tidak tau diri! Kenapa malah diam saja? Apa kamu mendadak jadi tuli tidak mendengar apa yang aku katakan?""Baik, Tuan JL. Saya akan membantu Tuan JL mandi dan bahkan sampai berganti baju, tapi setelah itu Tuan JL harus makan dan pergi terapi."Jaden terhenyak mendengar apa yang Nara katakan, dia tidak mengira jika Nara akan mengiyakan apa yang dia inginkan."Aku kira dia seorang wanita baik-baik, tapi ternyata aku salah. Dia murahan," umpat Jaden dalam hati.Nara membantu Jaden
Nara keluar dari kamar mandi meninggalkan Jaden sendiri di dalam. Dia memilih keluar karena pria di dalam sana sedang terlihat sangat marah padanya. Nara tidak mau tambah membuat Jaden semakin emosi."Kita lihat saja, nanti kalau kamu sudah di rumah kenangan, apa yang bisa kamu lakukan?" Nara berdialog sendiri.Beberapa menit kemudian Nara menempelkan telinganya pada daun pintu karena dia takut jika Jaden jatuh saat duduk di kursi rodanya setelah keluar dari bathub. "Nona Nara!""Nara tersentak kaget saat mendengar suara Reno dan ketukan pada pintu kamar Jaden."Reno ada apa ke sini?"Nara segera membuka pintu kamar Jaden dan dia melihat Reno sudah berdiri di depan pintu sembari mengedarkan pandangannya seperti mencari sesuatu."Nona Nara, Tuan Muda masih di kamar mandi?""Tuan JL masih di dalam kamar mandi, memangnya kenapa?""Dia tadi menghubungiku dan menyuruhku datang ke kamarnya untuk membantunya keluar dari kamar mandi.""Menghubungi kamu?" Nara memang ingat tadi dia melihat ad
Jaden duduk di depan meja, di mana ada semangkuk sup buatan Nara. Jaden melihat ke arah dalam mangkuknya dengan sorot mata heran."Ini sup buatan saya sendiri, Tuan JL, jadi Tuan tenang saja karena ini sup yang sehat.""Sup jagung?"Nara mengangguk dengan cepat. "Bukankah Tuan JL suka sekali dengan sup jagung, makannya saya buatkan sup jagung.""Apa kamu tau semua itu dari kontrak yang kamu tanda tangani?""Tidak, saya tau karena saya mencari tau sendiri.""Jadi, kamu mencari tau semua tentangku?""Em ... bisa dibilang begitu karena aku harus profesional dalam bekerja. Sekarang Tuan JL makan dulu dan kita bisa segera berangkat untuk terapi."Jaden masih terdiam melihat sup di depannya. "Kenapa Tuan JL diam saja? Apa mau aku suapi?"Jaden kemudian menatap Nara datar. "Aku hanya lumpuh pada kakiku, tidak pada tanganku."Nara mengangguk perlahan. Jaden kemudian menyendokkan sedikit sup dan memasukkan ke dalam mulutnya. Nara melihat serius pada Jaden karena dia ingin mengetahui reaksi pr
Nara berdiri di depan kaca jendela besar di mana dia dari sana bisa melihat tuan mudanya sedang mengikuti terapi untuk bisa berjalan lagi. Nara melihat wajah Jaden tidak ada sama sekali ekspresi senangnya. Wajah itu terlihat datar dan dingin. "Dia apa aslinya memang seperti itu ya wajahnya?" Nara kembali melihat Jaden yang sedang duduk dan dipijit kakinya oleh sang terapis. Nara benar-benar memperhatikan cara terapis itu memijit kaki Jaden dan apa saja yang dilakukan pada Jaden. Sampai pada akhirnya, Jaden mulia berdiri dengan berpegangan pada kedua tiang datar. "Perlahan saja Tuan Jaden." Nara yang melihat Jaden berusaha berdiri dengan kakinya tampak senang, tapi juga khawatir. "Tuan JL, ayo berusahalah." Kedua tangan Jaden mencengkeram kedua pegangan kayu sembari menahan rasa yang mungkin sangat menyakitkan. "Argh! Shit! Sudah aku bilang kalau aku tidak bisa!" Jaden tiba-tiba marah karena dia terjatuh. Nara yang melihat dari kaca besar di depannya seketika mendekat ke ar
Nara hanya terdiam melihat pria di depannya itu. Dalam hati kecil Nara berkata, jika hanya untuk membius seorang Jaden Luther saja adalah hal yang sulit. Bagaimana jika nanti mereka akan tinggal satu atap?"Tuan harus minum untuk menghilangkan rasa takut Tuan JL karena naik mobil tadi."Jaden langsung memberikan tatapan tajamnya. "Jadi, kamu tahu kalau aku takut naik mobil?""Tentu saja saya tahu karena beberapa kali melihat Tuan JL panik dan cemas saat berada di dalam mobil.""Kamu benar-benar tidak tau diri. Kamu sengaja mengajakku ke pantai agar lebih lama bisa menyiksaku di dalam mobil."Nara menggeleng pelan. "Saya sama sekali tidak ada niat seperti itu. Saya malah ingin membuat Tuan JL bisa melawan semua rasa takut yang sedang Tuan rasakan karena saya tau jika Tuan JL orang yang sangat kuat."Nara membereskan pecahan kaca dan segera berjalan keluar dari kamar Jaden Luther.Terdengar suara marah Jaden yang juga membanting beberapa barang di dalam kamarnya."Oh Tuhan, apa aku bisa
Nara sedang berpamitan dengan Nenek dan juga Reno. Dia akan segera membawa Jaden ke rumah kenangan yang letaknya lumayan jauh dari sana, dan nanti di tempat yang agak terpencil itu Jaden akan tinggal hanya berdua dengan Nara."Nara, tolong jaga cucuku dengan baik. Kalau kamu kesal padanya, ingat saja jika sebenarnya cucuku orang yang tidak seperti itu.""Nenek tenang saja karena beberapa hari dengan Tuan JL, aku sudah mulai terbiasa dengan sikapnya.""Nona Nara, semoga kamu tetap kuat dan sabar merawat Tuan Muda, tapi kalau tidak sanggup atau menyerah karena benar-benar sudah tidak bisa Nona Nara terima, Nona Nara bisa mengundurkan diri. Iya, kan Nek?" Reno melihat ke arah wanita tua yang kedua matanya tampak sembab."Iya, Nara."Nara memeluk Nenek dan Reno bergantian. Jaden sudah Nara tidurkan di kursi belakang mobil Jaden."Nek, Reno, aku mau berangkat dulu.""Iya, hati-hati, Nara." Nara mengendarai mobil sendirian memecah jalanan sore yang tampak sepi. Jaden masih terbaring nyeny
Nara bingung saat akan masuk ke dalam kamar Jaden karena dia takut jika pria itu masih marah dengannya, tapi Nara juga tidak bisa membiarkan Jaden tidak makan sama sekali.Pintu diketuk oleh Nara, tapi pria di dalam kamar itu tidak mau menyahut sama sekali.Nara mengetuk pintu hanya ingin memberitahu jika dia izin akan masuk ke dalam kamar Jaden, tapi saat tidak mendapat jawaban, Nara membuka kunci pintu itu. "Tuan JL," panggil Nara lirih, Nara pun berhati-hati membuka pintu kamar Jaden. Takutnya dia tiba-tiba di lempar Jaden sesuatu.Namun, saat pintu sudah terbuka, Nara melihat Jaden yang duduk dengan wajah menatap tajam pada Nara.Nara sebenarnya takut melihat tatapan Jaden yang seperti itu, walaupun Nara tau jika Jaden tidak akan menyakitinya selama jarak mereka jauh."Tuan JL, ini makan paginya." Nara meletakkan sarapan Jaden di atas meja kecil di sana."Aku tidak mau makan. Berikan saja ponselku.""Tuan makan dulu dan minum obat, kemarin Tuan belum minum obatnya.""Berikan pons
"Ren." Sebuah usapan lembut pada pundak Reno yang tampak terdiam setelah sambungan teleponnya di putuskan oleh Jaden."Iya, Nek.""Aku tahu jika kamu pasti sedih karena ucapan Jaden. Nenek tau jika selain kamu adalah orang kepercayaan cucuku, kamu juga adalah sahabat baik dari cucuku.""Iya, Nek. Aku sedih saja saat Tuan Muda dengan mudahnya memecatku hanya karena aku sekali ini tidak bisa menuruti keinginannya, padahal aku lakukan itu juga ingin melihat sahabatku kembali seperti dulu."Wanita tua itu menunjukkan senyum kecil nan lembutnya. "Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan apa yang cucuku katakan tadi, apa kamu tahu jika Jaden itu tidak akan bisa kehilangan sahabat sepertimu."Nenek yang masih terlihat cantik itu memeluk Reno.Di tempatnya, Nara melihat Jaden tertegun. Dia merasa baru kali ini melihat Jaden seperti itu."Tuan JL," panggil Nara lirih."Pergi dari sini.""Tuan kenapa?""Aku bilang pergi dari hadapanku!"Nara tahu jika hati Jaden sedang tidak baik, jadi dia lebih b
Jaden tidak mau memberikan obat itu pada Nara dan Jaden tidak mau Nara terlalu ikut campur pada semua hal tentang dirinya."Tuan, aku bukannya ingin ikut campur, tapi aku hanya ingin agar Tuan JL bisa sembuh. Jangan mengkonsumsi obat yang tidak disarankan oleh dokter, tuan JL juga jangan langsung percaya akan hal seperti itu," terang Nara terlihat kesal."Nara, Andrew itu adikku, dan aku sangat kenal dengannya, dan dia tidak mungkin akan mencelakaiku. Malahan dia orang pertama yang membawaku ke rumah sakit saat kecelakaan itu dan dia juga yang menjagaku saat aku tidak sadarkan diri di sana karena nenek masih sakit dan berada di luar negeri. Jangan berpikiran negatif dengannya," ujar Jaden marah."Aku tidak berpikiran negatif dengannya, hanya saja aku mengatakan kalau Tuan JL itu lebih baik mengkonsumsi obat dari dokter Tuan sendiri. Apa aku salah?""Sebaiknya kamu dia saja dan urus pekerjaanmu saja, Nara." Jaden pun kembali terfokus pada ponselnya."Tuan, apa keinginan Tuan JL untuk s
Nara yang baru bangun dari pingsannya tampak terkejut karena melihat ada nenek dan juga Reno di sana. Nara pun menceritakan kejadian sebenarnya pada nenek dan itu sama persis seperti apa yang Jaden katakan."Sekarang Tuan JL ke mana?" tanya Nara yang tidak melihat ada pria lumpuh yang semalam menemaninya tidur."Dia ngambek, Nara," celetuk Reno."Ngambek kenapa?" Nara pun melihat heran."Reno, kamu jangan bicara sembaranga. Dia ada di kamarnya seperti biasa, kamu tau sendiri bagaimana cucuku itu, Nara."Nara pun menganggukan kepalanya. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan makan pagi untuk tuan JL dan setelahnya aku akan membawanya ke ruang terapi untuk memijit kakinya." Nara pun bangkit dari tempat tidurnya.Di sana Reno kembali berbisik tentang undangan yang baru saja Reno terima, dan tentu saja membuat Nara heran. "Ada apa sih, Nek?" tanya Nara yang terlihat penasaran."Ini tuan Jaden dapat undangan dari mantan tunangannya dulu, Nara. Nona Kalista akan bertunangan dengan tuan muda De
Nara pun beralasan jika dia sedang mimpi buruk, padahal bayangan akan rasa bersalah pada Jaden itu kembali muncul, di tambah juga Nara yang merindukan suaminya. "Aku tadi memang mimpi buruk, Tuan. Maaf kalau sudah membuat Tuan Jaden terbangun.""Aku tadi mau mengambil air minum karena air di gelasku habis, tapi aku mendengar kamu mengigau apalagi pintu tidak kamu tutup dengan rapat. Kamu itu ceroboh sekali. Bagaimana kalau ada orang masuk?" Sekarang Jaden malah ngomel sama Nara."Orang lain siapa? Di sini hanya ada Tuan, Nenek dan Reno, lagi pula kalau salah satu dari kalian masuk pun tidak apa-apa.""Tidak bisa begitu, Nara! Kalau aku atau nenek tidak masalah, tapi kalau Reno jangan!" seru Jaden tegas."Memangnya kenapa dengan Reno?""Dia ... Pokoknya tidak boleh! Dia mau apa masuk ke kamar kamu?" Jaden pun bingung mau menjelaskan bagaimana yang dia rasakan jika Reno dekat dengan Nara."Mungkin saja dia ingin membangunkan aku seperti yang Tuan JL lakukan, atau ....""Kamu masih menga
Jaden pun mencoba membantu Reno menyalakan perapian. Nara yang juga membantu malah diusili Reno dengan menorehkan sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu pada wajah Nara."Reno!" seru Nara kesal.Reno malah cekikikan. "Muka kamu lucu sekali seperti boneka anabel," ejek Reno."Awas kamu, ya!" Nara mengambil sisa kayu bakar yang sudah menjadi abu, tapi matanya malah kelilipan. "Aduh!" Erang Nara malah kebingungan sendiri karena tangannya pun kotor. Di tengah kebingungannya itu, Nara pun merasakan tangannya ditarik oleh seseorang dan sebuah sentuhan lembut pada pipi Nara."Biar aku tiup, kamu tenang dulu," suara itu sangat Nara kenali, meskipun kedua matanya masih tertutup menahan perih.Nara pun seketika menurut suara yang berbicara dengannya. Dia merasakan embusan udara yang terasa hangat pada matanya.Perlahan, wanita itu mencoba membuka kedua matanya dan dia melihat wajah seseorang yang baginya menyebalkan, tapi entah kenapa dia mulai menyukai wajah itu."Sudah tidak apa-apa, kan?" t
Reno yang melihat Nara pergi menyusul Jaden pun khawatir. "Nek, apa aku juga ikut menyusul Nara dan Tuan Muda?" "Tidak perlu, Ren. Nara pasti bisa mengatasi sikap cucuku yang memang sejak kelumpuhan itu sangat membuat orang lain kesal." Nenek cantik itu malah santai menikmati teh hangatnya."Oh ya sudah kalau begitu, tapi memang benar apa kata Nenek. Nara itu penjaganya Tuan JL." Reno pun malah santai menikmati tehnya.Nara mencari di mana keberadaan si pria lumpuh yang menjadi majikannya itu. Jaden ternyata sedang duduk di atas batu besar dengan kruk yang dia sandarkan tepat di sebelahnya."Dia sedang melamun apa? Pasti ingat dengan wanita yang sudah meninggalkan itu. Tuan Jaden harus bisa melupakan wanita itu dan satu-satunya cara dia jatuh cinta pada wanita lain yang tentu saja bisa menerimanya keadaanya," Nara malah berdialog sendiri di tempatnya berdiri saat ini."Tuan JL, Tuan kenapa malah duduk di sini sendirian?" Nara pun duduk di sebelah majikannya itu.Jaden hanya melirik p
Nara seketika berjongkok di depan kuris roda Jaden. "Tuan Muda kenapa tidak mau ikut? Kita sudah berjanji, kan, kalau Tuan Muda mau melupakan masa buruk yang Tuan JL alami." Tangan Nara pun menggenggam tangan pria itu.Nenek dan Reno yang melihat hal itu seketika saling melempar pandangan dengan wajah tentu saja tidak percaya."Nek, itu benaran cucu nenek ya?" tanya Reno lirih."Dia cucuku, Ren, dan sepertinya kita sudah menemukan orang yang tepat untuk pria arogan itu." Wanita tua itupun tersenyum lebar melihat hal itu.Tatapan mata Jaden yang tadinya tajam, sekarang terlihat lebih teduh. Dia pun melihat pada tangannya yang digenggam oleh Nara."Aku memang sudah berjanji sama kamu, tapi tidak berarti aku harus mengikuti semua yang kamu perintahkan. Kalau kamu mau pergi, pergi saja." Jaden menarik tangannya dari tangan Nara. Dia pun mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar. Nara yang masih duduk berjongkok di sana hanya bisa terdiam."Kalau tuan muda tidak mau, kita tidak jadi per
"Anak? Bagaimana aku bisa memiliki anak kalau calon istriku malah pergi meninggalkan aku karena kakiku yang lumpuh?" ucap Jaden getir."Tuan JL lupa kalau di dunia ini, wanita bukan hanya mantan tunanganmu itu? Masih banyak wanita yang akan mau menerima Tuan JL dengan tulus.""Mereka mungkin mau hanya karena apa yang aku punya, tapi tidak akan dengan tulus mencintaiku dan mau menerima keadaanku yang lumpuh ini."Nara tampak mengerutkan kedua alisnya, dia tampak kesal jika diajak oleh Jaden berdebat seperti ini."Hal itu memang bisa saja terjadi, tapi wanita yang mencintai dengan benar-benar tulus pun masih ada. Contohnya aku. Aku jika jatuh cinta dengan seseorang, tidak akan mau memandang harta atau kekurangan yang dia miliki karena harta bisa menghilang. kekurangannya akan bisa tertutupi dengan cinta tulus yang kita miliki.""Apa kamu mau denganku?""Hah?" Mulut Nara seketika terbuka lebar karena kaget dengan apa yang Jaden tanyakan."Tidak perlu sekaget itu. Aku juga tidak akan mau
Nara tampak mondar mandir di depan pintu kamar Jaden. Setelah melihat berita di televisi tadi, Jaden sekarang malah mengurung diri di dalam kamar. Nara bisa tahu apa yang sedang Jaden rasakan. Pemberitaan tentang model terkenal, yaitu Kalista yang saat ini sedang dekat dengan seorang pria yang belum diketahui identitasnya secara jelas. Sontak saja hal itu membuat Jaden merasa sangat sakit hati. "Bagaimana ini?" Nara dibuat terkejut saat dia mendengar suara benda yang dibanting secara bergantian, dan Nara tau pasti Jaden sudah membuat kamarnya seperti kapal pecah. "Apa aku menerobos masuk saja? Aku takut kalau dia nantinya akan berbuat hal yang buruk pada dirinya." Nara akhirnya mengambil keputusan untuk menerobos masuk ke dalam kamar Jaden, dan saat dia baru masuk. Tiba-tiba dahinya malah terkena lemparan kotak kayu yang ada di sana. "Aduh!" Nara memegangi dahinya dan dia merasakan sesuatu di jarinya. "Darah?" Jaden melihat dahi Nara yang mengeluarkan darah tampak terkeju
Nara memberikan ponsel Jaden. Pria itu menerimanya dengan mendongak menatap wajah Nara."Tidak ada orang yang berani membuka ponselku, bahkan Reno pun tidak akan berani, tapi kenapa aku malah memberikannya padamu?" Jaden menggeleng tidak percaya.Nara duduk bersimpuh di bawah kaki Jaden. Dia pun tak segan memegang kedua tangan pria itu. "Itu artinya, Tuan JL sudah percaya padaku. Tuan JL, percayalah jika aku benar-benar ingin Tuan JL sembuh dan bahagia dalam hidup ini," ucap Nara yang terdengar hal yang tulus di telinga Jaden. "Apa sebenarnya motivasimu, Nara? Kenapa aku merasa kalau kamu sangat menginginkan kesembuhan dan kebahagiaanku, terlepas dari kontrak kerja itu? Aku merasa tidak hanya kontrak kerja itu yang membuatmu melakukan semua ini." Jaden menatap Nara dengan penasaran.Nara berusaha menunjukan wajahnya yang biasa agar Jaden tidak curiga. "Jujur saja, selain karena kontrak kerja itu, aku ingin menjadi orang yang bisa dibanggakan oleh orang lain dan diriku sendiri karena