Share

2. Cinta Pertama Suamiku

Puas melampiaskan emosi, ibu Laura mendelik ke arah sang putri dengan ekspresi keji.

“Kalau sampai kamu diceraikan karena mandul, aku tidak sudi lagi menganggapmu sebagai anak!”

Kaki berbalut stiletto milik ibunya melangkah pergi setelah membuat Laura jatuh. Ia menatap elbow crutch miliknya yang untungnya hanya tergores sedikit.

Dengan tangan kebas ia berusaha meraihnya, mengabaikan pandangan anggota keluarga yang hanya menjadi penonton saat ia berjuang seorang diri hanya untuk menegakkan tubuhnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya sebuah suara dari sebelah kanannya.

Saat Laura menoleh, ia menjumpai seorang pria yang menatapnya dengan wajah yang tampak cemas.

Mungkin karena Laura hanya terdiam, pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam itu bergegas mendekat padanya dengan seulas senyum.

“Izinkan aku membantumu, Nona.”

Meski sepasang mata pria itu tampak seperti serigala, tetapi suaranya terdengar hangat.

Kakinya yang panjang merendah dalam hitungan detik ketika ia berlutut mengimbangi Laura dan meraih tongkat yang semula jatuh di tanah, sedangkan sebelah tangannya yang lain membantunya untuk berdiri.

“Tetaplah kuat dan berusahalah melawan. Ada banyak yang senang melihatmu jatuh dan tampak menyedihkan seperti ini,” ucapnya setelah memastikan Laura bisa berdiri.

Laura hampir berterima kasih, tapi pria itu langsung pergi begitu saja.

Punggungnya menjauh, membiarkan gelap malam menelannya sekaligus membuat Laura berdiri termangu beberapa menit lamanya mencerna yang baru saja pria itu sampaikan.

“Kamu akan pulang sekarang?” tanya suara perempuan yang secara cepat menyadarkan Laura.

“Iya,” jawab Laura singkat setelah mengetahui itu adalah Fidel.

“Aku akan membantumu,” katanya hati-hati.

Laura tidak ingin membuat dirinya berada lebih lama di tempat ini. Ia hanya ingin pulang.

Sehingga dengan dibantu oleh Fidel, ia mengayunkan kakinya yang pincang dengan sedikit bergegas. Semakin ia lakukan itu, langkahnya semakin tertatih-tatih.

“Pulang dan istirahatlah,” ucap Fidel sesampainya mereka di parkiran dan Laura telah berada di dalam mobilnya. “Kamu pasti lelah menghadapi keluarga Jake,” lanjutnya prihatin.

“Aku akan bilang pada Jake bahwa orang-orang membuatmu mengalami banyak kesulitan malam ini. Jadi setidaknya dia bisa bersikap lebih lembut padamu.”

Laura tertegun. Usaha Fidel untuk menenangkan justru membuat dadanya terasa sesak.

Apakah Laura harus mengalami banyak kesulitan agar suaminya bersikap lembut padanya? Ditambah lagi, mengapa Fidel yang berbicara kepada suaminya sendiri?

Apa ini cara Fidel untuk secara tidak langsung menunjukkan kuasa atas tindakan Jake? Walau sebenarnya yang istrinya adalah Laura?!

Laura gegas menggelengkan kepalanya, tidak ingin berpikir yang tidak-tidak. Fidel hanya berniat membantunya, teganya Laura berpikir buruk tentang wanita sebaik itu?

Akhirnya, Laura pun tersenyum lemah. “Terima kasih, Fidel.”

Untuk sesaat, Fidel terkejut. Kemudian, dia tersenyum lebar, menawan, menghipnotis. “Sama-sama.”

Mereka berpisah saat Fidel melambaikan tangan kepadanya.

Dengan diantar oleh sopir milik Jake, Laura pergi dari rumah mertuanya. Meninggalkan suaminya masih di sini, dan pasti sedang bertemu lagi dengan Fidel sebab gadis itu mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Jake.

Entah apa yang keduanya lakukan selama bertemu.

Laura sudah terlalu lelah untuk memikirkannya ….

***

Laura menghabiskan satu malam untuk menunggu suaminya pulang. Pria itu baru menunjukkan batang hidung saat jam menunjuk pada pukul tujuh pagi.

Jake memasuki kamar, memandang sekilas Laura dengan melepas kemeja yang ia kenakan.

Sedangkan Laura yang duduk di tepi ranjang mengamatinya sembari bertanya, “Semalam … kamu tidur di mana?”

“Di tempat yang nyaman,” jawab Jake terdengar acuh tak acuh. Ia berlalu meninggalkan Laura yang kemudian meraih tongkatnya dan mengikuti ke mana Jake pergi.

Laura melihat prianya itu sedang tersenyum manis saat ia memandang ponsel yang ada di atas meja. Senyum yang dalam satu detik menghilang saat ia mendengar suara Laura tiba di sampingnya.

“Di tempat yang nyaman di mana maksudmu?”

Laura menatap bahu Jake yang berdiri beberapa jarak di sebelahnya, menunggu jawaban.

“Semalam kamu bersama dengan Fidel?” tanyanya dengan dada yang terasa nyeri.

“Kenapa aku harus dengannya?” tanya Jake balik seraya memutar tubuhnya, matanya tampak tajam mengarah pada sepasang iris Laura yang hanya berdiri setinggi dadanya.

“Aku pikir, kamu akan bersamanya karena kalian lama tidak bertemu,” jawabnya. “Dan kamu terlihat senang saat melihatnya semalam.”

Jake mendengus, ia melemparkan kemeja serta jasnya ke dalam keranjang pakaian kotor sebelum kembali menerpa netra Laura dengan wajah yang mengeras.

“Tidurlah lagi! Kamu sepertinya mengigau!”

“Aku hanya bertanya …” Laura menunduk, pipinya terasa dingin menjumpai tatapan tak suka pria bersurai hitam di hadapannya ini. “Kamu tidak perlu kesal jika memang tidak melakukannya, Jake.”

“Bagaimana tidak kesal jika kamu menuduhku seperti itu?” sahut Jake, lalu beranjak pergi.

Tapi baru satu langkah dia berhenti dan memandang Laura lagi, “Dan—” napasnya ia buang dengan kasar, “Jangan membuat keributan pagi-pagi dengan prasangkamu sendiri! Aku tidak suka.”

Suara pintu kamar mandi berdebum saat Jake menghilang di baliknya.

Laura hanya bisa tertunduk sedih. Tidak berapa lama, pria itu muncul dengan handuk kimono dan rambut yang basah.

Meski wangi tubuh Jake terkesan lembut, tetapi sedetik matanya mengintimidasi Laura sebelum lengannya yang berotot meraih pakaian yang telah dipersiapkan dengan rapi untuknya.

“Jake,” panggil Laura hati-hati. “Mama mengirim pesan semalam.”

“Pesan apa?”

“Mama meminta kita periksa untuk melihat apakah aku mandul dan tidak bisa mengandung.”

Jake mendengus. “Lalu?”

“Aku bilang kalau kita sudah pernah periksa dan hasilnya baik-baik saja,” jawab Laura lirih. “Aku bilang pada mama kalau kita juga sedang program hamil.”

Laura menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada lantai marmer yang tampak pucat.

“Lalu apa masalahnya? Mama pasti mengerti setelah mendengar jawabanmu.”

“Tapi bukankah hal seperti ini terus berulang?” tanya Laura sembari meremas jemarinya hingga terasa kebas. Serak suaranya membuat Jake dengan cepat memutar tubuhnya sehingga manik mata mereka saling mengunci di udara.

“Ini bukan yang pertama kalinya Mama membahasnya di depan banyak orang.”

Sepertinya, apa yang dikatakan oleh Laura hanya dianggap sebagai sebuah aduan kekanakan oleh Jake karena pria itu justru menanggapinya dengan dingin.

“Berhentilah merengek!” katanya. “Kita sedang mencobanya, dan hanya belum berhasil. Itu saja.”

‘Atau memang aku yang tidak layak memberikan keturunan untuk keluargamu?’ tanya Laura dalam hati, matanya dipenuhi oleh keputusasaan. Pandangannya pirau saat ia sekali lagi menatap Jake.

“Apakah tidak ada perempuan yang ingin kamu nikahi lagi agar bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?”

Jake yang tengah mengenakan jam tangan berhenti saat itu juga. Alisnya berkerut saat ia membawa langkah kaki panjangnya mendekat pada Laura dengan garis dagu yang menegang.

“Apa kamu bilang?!”

“Aku hanya … merasa tidak bisa—”

“Berhentilah bicara omong kosong, Laura Maldhiaz!” potong Jake dengan cepat, suara bariton pria itu meninggi. “Kamu tidak merasa kamu kelewatan kali ini?”

“Jake—”

“Kita sudah melakukan banyak hal untuk membuat program hamil itu berhasil. Jika sampai hari ini hasilnya nihil, sepertinya bukan aku yang salah,” potongnya ringan.

Laura menelan ludah saat tatapan tajam pria itu menghunusnya tanpa ampun.

“Bisa jadi itu kamu yang tidak memperhatikan saran dokter untuk menjaga pola hidup sehat dan diet yang harus kamu lakukan. Atau sebenarnya, kamu memang tidak berusaha lebih keras dan tidak berniat agar kita memiliki anak?”

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Chantiqa Chiqa
wanita gak tau diri, dah tau pernikahan gak sehat bukannya cerai malah bertahan. gak tau malu
goodnovel comment avatar
Juli Ani
sungguh kejam kamu jake
goodnovel comment avatar
Nur Hidayati
kasihan laura.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status