Puas melampiaskan emosi, ibu Laura mendelik ke arah sang putri dengan ekspresi keji.
“Kalau sampai kamu diceraikan karena mandul, aku tidak sudi lagi menganggapmu sebagai anak!” Kaki berbalut stiletto milik ibunya melangkah pergi setelah membuat Laura jatuh. Ia menatap elbow crutch miliknya yang untungnya hanya tergores sedikit. Dengan tangan kebas ia berusaha meraihnya, mengabaikan pandangan anggota keluarga yang hanya menjadi penonton saat ia berjuang seorang diri hanya untuk menegakkan tubuhnya. “Kamu baik-baik saja?” tanya sebuah suara dari sebelah kanannya. Saat Laura menoleh, ia menjumpai seorang pria yang menatapnya dengan wajah yang tampak cemas. Mungkin karena Laura hanya terdiam, pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam itu bergegas mendekat padanya dengan seulas senyum. “Izinkan aku membantumu, Nona.” Meski sepasang mata pria itu tampak seperti serigala, tetapi suaranya terdengar hangat. Kakinya yang panjang merendah dalam hitungan detik ketika ia berlutut mengimbangi Laura dan meraih tongkat yang semula jatuh di tanah, sedangkan sebelah tangannya yang lain membantunya untuk berdiri. “Tetaplah kuat dan berusahalah melawan. Ada banyak yang senang melihatmu jatuh dan tampak menyedihkan seperti ini,” ucapnya setelah memastikan Laura bisa berdiri. Laura hampir berterima kasih, tapi pria itu langsung pergi begitu saja. Punggungnya menjauh, membiarkan gelap malam menelannya sekaligus membuat Laura berdiri termangu beberapa menit lamanya mencerna yang baru saja pria itu sampaikan. “Kamu akan pulang sekarang?” tanya suara perempuan yang secara cepat menyadarkan Laura. “Iya,” jawab Laura singkat setelah mengetahui itu adalah Fidel. “Aku akan membantumu,” katanya hati-hati. Laura tidak ingin membuat dirinya berada lebih lama di tempat ini. Ia hanya ingin pulang. Sehingga dengan dibantu oleh Fidel, ia mengayunkan kakinya yang pincang dengan sedikit bergegas. Semakin ia lakukan itu, langkahnya semakin tertatih-tatih. “Pulang dan istirahatlah,” ucap Fidel sesampainya mereka di parkiran dan Laura telah berada di dalam mobilnya. “Kamu pasti lelah menghadapi keluarga Jake,” lanjutnya prihatin. “Aku akan bilang pada Jake bahwa orang-orang membuatmu mengalami banyak kesulitan malam ini. Jadi setidaknya dia bisa bersikap lebih lembut padamu.” Laura tertegun. Usaha Fidel untuk menenangkan justru membuat dadanya terasa sesak. Apakah Laura harus mengalami banyak kesulitan agar suaminya bersikap lembut padanya? Ditambah lagi, mengapa Fidel yang berbicara kepada suaminya sendiri? Apa ini cara Fidel untuk secara tidak langsung menunjukkan kuasa atas tindakan Jake? Walau sebenarnya yang istrinya adalah Laura?! Laura gegas menggelengkan kepalanya, tidak ingin berpikir yang tidak-tidak. Fidel hanya berniat membantunya, teganya Laura berpikir buruk tentang wanita sebaik itu? Akhirnya, Laura pun tersenyum lemah. “Terima kasih, Fidel.” Untuk sesaat, Fidel terkejut. Kemudian, dia tersenyum lebar, menawan, menghipnotis. “Sama-sama.” Mereka berpisah saat Fidel melambaikan tangan kepadanya. Dengan diantar oleh sopir milik Jake, Laura pergi dari rumah mertuanya. Meninggalkan suaminya masih di sini, dan pasti sedang bertemu lagi dengan Fidel sebab gadis itu mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Jake. Entah apa yang keduanya lakukan selama bertemu. Laura sudah terlalu lelah untuk memikirkannya …. *** Laura menghabiskan satu malam untuk menunggu suaminya pulang. Pria itu baru menunjukkan batang hidung saat jam menunjuk pada pukul tujuh pagi. Jake memasuki kamar, memandang sekilas Laura dengan melepas kemeja yang ia kenakan. Sedangkan Laura yang duduk di tepi ranjang mengamatinya sembari bertanya, “Semalam … kamu tidur di mana?” “Di tempat yang nyaman,” jawab Jake terdengar acuh tak acuh. Ia berlalu meninggalkan Laura yang kemudian meraih tongkatnya dan mengikuti ke mana Jake pergi. Laura melihat prianya itu sedang tersenyum manis saat ia memandang ponsel yang ada di atas meja. Senyum yang dalam satu detik menghilang saat ia mendengar suara Laura tiba di sampingnya. “Di tempat yang nyaman di mana maksudmu?” Laura menatap bahu Jake yang berdiri beberapa jarak di sebelahnya, menunggu jawaban. “Semalam kamu bersama dengan Fidel?” tanyanya dengan dada yang terasa nyeri. “Kenapa aku harus dengannya?” tanya Jake balik seraya memutar tubuhnya, matanya tampak tajam mengarah pada sepasang iris Laura yang hanya berdiri setinggi dadanya. “Aku pikir, kamu akan bersamanya karena kalian lama tidak bertemu,” jawabnya. “Dan kamu terlihat senang saat melihatnya semalam.” Jake mendengus, ia melemparkan kemeja serta jasnya ke dalam keranjang pakaian kotor sebelum kembali menerpa netra Laura dengan wajah yang mengeras. “Tidurlah lagi! Kamu sepertinya mengigau!” “Aku hanya bertanya …” Laura menunduk, pipinya terasa dingin menjumpai tatapan tak suka pria bersurai hitam di hadapannya ini. “Kamu tidak perlu kesal jika memang tidak melakukannya, Jake.” “Bagaimana tidak kesal jika kamu menuduhku seperti itu?” sahut Jake, lalu beranjak pergi. Tapi baru satu langkah dia berhenti dan memandang Laura lagi, “Dan—” napasnya ia buang dengan kasar, “Jangan membuat keributan pagi-pagi dengan prasangkamu sendiri! Aku tidak suka.” Suara pintu kamar mandi berdebum saat Jake menghilang di baliknya. Laura hanya bisa tertunduk sedih. Tidak berapa lama, pria itu muncul dengan handuk kimono dan rambut yang basah. Meski wangi tubuh Jake terkesan lembut, tetapi sedetik matanya mengintimidasi Laura sebelum lengannya yang berotot meraih pakaian yang telah dipersiapkan dengan rapi untuknya. “Jake,” panggil Laura hati-hati. “Mama mengirim pesan semalam.” “Pesan apa?” “Mama meminta kita periksa untuk melihat apakah aku mandul dan tidak bisa mengandung.” Jake mendengus. “Lalu?” “Aku bilang kalau kita sudah pernah periksa dan hasilnya baik-baik saja,” jawab Laura lirih. “Aku bilang pada mama kalau kita juga sedang program hamil.” Laura menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada lantai marmer yang tampak pucat. “Lalu apa masalahnya? Mama pasti mengerti setelah mendengar jawabanmu.” “Tapi bukankah hal seperti ini terus berulang?” tanya Laura sembari meremas jemarinya hingga terasa kebas. Serak suaranya membuat Jake dengan cepat memutar tubuhnya sehingga manik mata mereka saling mengunci di udara. “Ini bukan yang pertama kalinya Mama membahasnya di depan banyak orang.” Sepertinya, apa yang dikatakan oleh Laura hanya dianggap sebagai sebuah aduan kekanakan oleh Jake karena pria itu justru menanggapinya dengan dingin. “Berhentilah merengek!” katanya. “Kita sedang mencobanya, dan hanya belum berhasil. Itu saja.” ‘Atau memang aku yang tidak layak memberikan keturunan untuk keluargamu?’ tanya Laura dalam hati, matanya dipenuhi oleh keputusasaan. Pandangannya pirau saat ia sekali lagi menatap Jake. “Apakah tidak ada perempuan yang ingin kamu nikahi lagi agar bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?” Jake yang tengah mengenakan jam tangan berhenti saat itu juga. Alisnya berkerut saat ia membawa langkah kaki panjangnya mendekat pada Laura dengan garis dagu yang menegang. “Apa kamu bilang?!” “Aku hanya … merasa tidak bisa—” “Berhentilah bicara omong kosong, Laura Maldhiaz!” potong Jake dengan cepat, suara bariton pria itu meninggi. “Kamu tidak merasa kamu kelewatan kali ini?” “Jake—” “Kita sudah melakukan banyak hal untuk membuat program hamil itu berhasil. Jika sampai hari ini hasilnya nihil, sepertinya bukan aku yang salah,” potongnya ringan. Laura menelan ludah saat tatapan tajam pria itu menghunusnya tanpa ampun. “Bisa jadi itu kamu yang tidak memperhatikan saran dokter untuk menjaga pola hidup sehat dan diet yang harus kamu lakukan. Atau sebenarnya, kamu memang tidak berusaha lebih keras dan tidak berniat agar kita memiliki anak?”“Jake, maksudku—” Laura berhenti bicara saat Jake berjalan meninggalkannya begitu saja. “Jake!” panggil Laura lagi sambil berusaha mengimbangi langkah suaminya, tetapi tidak bisa. Punggung bidang Jake menghilang di balik pintu kamar yang tertutup dengan sedikit kasar. Laura menghela napas pasrah, tidak lagi berusaha mengejar pria itu. Jake pasti telah salah paham atas ucapan putus asa Laura, dan menganggapnya tak berusaha lebih keras agar mereka memiliki anak.Dengan kaki yang melangkah tertatih-tatih, Laura berjalan menuju ruang makan. Melepas tongkat sikunya, seorang perempuan yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya datang menghampiri.“Selamat pagi, Nona Laura.”“Pagi, Tania,” balasnya pada gadis berambut sebahu itu. “Mau makan sekarang?” tawarnya sopan.“Boleh.”“Akan saya ambilkan sebentar.”“Untukku saja, Jake sudah pergi.”“Baik, Nona.”Laura melihat kepergian Tania, gadis yang dulunya bekerja untuk Ammar, kakeknya Jake. Setelah Ammar wafat, gadis itu pindah ke sini k
“Apa maksud Tante aku harus menjadi istrinya Jake?” tanya Fidel dengan sepasang matanya yang membola tak percaya saat menatap Alina.Laura menjumpai penolakan terlukis dari cara Fidel bertanya, terkejut dengan keputusan tiba-tiba tersebut.Alina mengalihkan tatapannya dari sang menantu, lalu memandang Fidel dengan seulas senyum yang terlihat keibuan. Sangat berbeda dengan caranya berucap pada Laura.“Sekalipun kamu adalah istri kedua Jake, percayalah kamu jauh lebih istimewa daripada Laura yang pincang dan seperti benalu bagi keluarga Heizt.”Sepertinya, Alina tak sudi lagi memandang Laura. Ia pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu, tidak memberi Laura kesempatan untuk menerima atau menolak apa yang telah menjadi keputusannya.Laura mematung di tempat ia duduk, terlalu shock untuk bisa merangkai kata setelah apa yang ia dengar. Sedangkan Fidel tampak kebingungan di tempat ia duduk dan berusaha memanggil Alina, “Tante!”Namun, tidak ada jawaban dari wanita berambut sebahu itu. Lau
Dari tempat Laura berdiri di luar ruangan, ia melihat Jake yang menoleh ke arahnya. Manik mata mereka bertatapan selama beberapa saat sampai Laura melihat pria itu bangkit dari kursi dan berjalan ke arahnya.“Lelucon apa yang sedang kamu lakukan ini, Laura?” tanya Jake frontal. Sepasang alis lebatnya nyaris bertautan.Pria itu menoleh sekilas ke belakang pada Farren. Seolah itu adalah sebuah isyarat agar pemuda itu mengenyahkan dirinya. Farren beringsut pergi meninggalkan lantai lima belas, membiarkan ruangan itu sepenuhnya dimiliki oleh tuan dan nyonyanya.“Aku tidak sedang bercanda, Jake,” jawab Laura tanpa ragu.Jake satu langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. “Kamu cemburu?” tanyanya. “Kamu cemburu pada Fidel makanya meminta cerai dariku?” lanjutnya, masih sukar memalingkan wajahnya.Bibir Laura mengatup rapat. Ia menatap pria tinggi menjulang di hadapannya ini dengan mata yang memanas. Batinnya dipenuhi kemelut sebelum akhirnya ia memberi jawaban.“Dengan bercerai,
Ketegangan terjadi di antara mereka, alih-alih menjawab Jake, yang dilakukan oleh pria yang namanya disebut sebagai Zafran itu justru sekali lagi menegaskan, “Jangan menghalangi jalanku, Jake! Tolong minggirlah!”Kalimatnya tegas dan penuh penekanan.Selama beberapa saat, Jake hanya bergeming. Laura menangkap hela napasnya yang terdengar berat melalui sudut matanya yang tidak berani menoleh pada siapapun. Tidak pada Jake, atau pada Zafran yang tengah menggendongnya.Ia hanya berani melirik pada Jake yang kemudian menoleh ke belakang. Sepertinya pria itu menyadari bahwa Zafran akan membawa Laura ke mobil yang sudah disiapkan oleh Han—sopir miliknya—di depan pintu lobi. Zafran melanjutkan langkahnya begitu Jake menyingkir.Ia menempatkan Laura duduk di kursi penumpang bagian belakang saat tiba di mobil.“Terima kasih,” ucap Laura canggung, menatap Zafran yang masih berdiri tak jauh darinya dan menyerahkan elbow crutch miliknya.“Sama-sama, Nona,” jawabnya teriring seulas senyum yang ha
Laura tercenung di tempat ia duduk. Sepasang netranya menatap Jake dengan penuh tanya. ‘Apa maksudnya itu?’ gumam Laura dalam hati dengan bingung. ‘Apa dia mencoba menimpakan kesalahan agar aku yang seolah melakukan hubungan terlarang di belakangnya?’ Laura meraih pergelangan tangan Jake, ia mencoba melepaskan dirinya tetapi tak berhasil. Jake terlalu kuat meraih dagunya. Rahang tegas pria yang menunduk di hadapannya ini menggertak sebelum ia sekali lagi bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal Zafran?” Wajah Laura pias. Laura tak mungkin mengatakan bahwa ia melihat pria itu sejak malam di pesta orang tua Jake. “Aku tidak mengenalnya,” jawab Laura, berusaha tenang. “Aku kebetulan berpapasan dengannya tadi sewaktu aku pergi dari ruanganmu.” Jake menatap Laura cukup lama, mendengus tidak puas dengan jawaban itu. “Benarkah?” “Iya,” jawabnya tegas. Jake kemudian menundukkan kepalanya, Laura melihat wajah mereka yang semakin dekat dan menyadari apa yang akan Jake lakukan.
Laura tak menjawab panggilan Jake, tidak juga untuk menoleh ke belakang untuk beberapa saat.“Ada apa?” tanya Laura, menahan suara seraknya agar tak gemetar. “Kenapa kamu mengikutiku?”“Kamu lupa dengan obatmu,” jawab Jake setelah menarik tangannya dari bahu Laura. “Tania sudah menyiapkannya tadi, ini aku bawakan ke sini.”“Aku bisa meminumnya nanti. Taruh saja di atas meja!” tunjuk Laura sekilas pada meja yang tak jauh dari ranjang.Laura tidak menengok pada Jake sama sekali karena ia tak yakin darah yang ada di hidungnya tadi apakah masih tertinggal ataukah sudah hilang.‘Kenapa dia tidak cepat keluar?’ tanya Laura kesal pada Jake yang malah berdiri terpaku di belakangnya. Dan diamnya itu terasa mengganggu.“Ada lagi yang ingin kamu katakan?” Laura menoleh pada Jake, hanya menunjukkan sebagian kecil sisi samping wajahnya, untuk memastikan pria itu masih berdiri di belakangnya.“Tidak ada.”“Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian?” Jake mendengus kesal, sepertinya karena tak ingin
Dengan langkahnya yang tertatih-tatih, Laura memasuki kamar, tempat di mana ia bisa menyembunyikan dirinya agar tidak perlu bertemu dengan Jake. Dari sekarang, Laura akan menulikan telinganya, tidak peduli Jake akan kesal padanya atau apapun yang akan ia lakukan. “Hah ….” Ia mendesah saat duduk setelah mengunci pintu kamarnya agar Jake tidak masuk seperti semalam. Ia diam, menunduk memandang jari manis di tangannya, di mana di sana terdapat cincin pernikahannya dengan Jake yang kini mulai tak sakral lagi baginya. Laura melepasnya dan meletakkannya di atas meja. “Harusnya Jake juga melepasnya kalau dia ingin menikah dengan Fidel.” Ada apa dengan dirinya yang masih mempertahankan benda tidak berguna—cincin—itu di tangannya saat hadirnya saja telah menjadi simbol tanpa makna? Meski hatinya sakit, tetapi mata Laura tak bisa berbohong. Tanpa sadar cairan bening itu tiba-tiba membuat pandangannya berubah menjadi abu-abu. Ia merasa Jake sedang mempermainkannya dengan sengaja. “Seb
“Tidak mau!” sentak Laura, menarik tangannya dari genggaman Jake dengan sedikit kasar tetapi pria itu tidak membiarkannya lepas begitu saja. “Aku tidak sedang merengek,” lanjutnya. “Berhentilah mengatakan hal itu!” Laura memejamkan matanya, merasakan pergelangan tangannya yang sakit karena Jake meraihnya terlalu kuat. “Aku tidur di kamar ini karena aku ingin sendiri, Jake.” “Sendiri?” sahut Jake teriring rahang tegasnya yang menegang. “Pernikahan macam apa yang salah satu dari pasangannya ingin sendirian seperti yang sedang kamu lakukan ini?!” Nada bicaranya meninggi. Laura tertawa mendengar itu. Sedetik kemudian tawanya menghilang saat ia mengangkat wajahnya untuk kembali memandang Jake, “Ah, benar …” angguknya samar. “Aku bahkan hampir lupa kalau kamu tidak pernah membiarkan aku merasa sendirian.” “Kenapa kamu melakukan hal sesuka hatimu, Laura?” “Aku tidak seperti itu,” jawab Laura. “Aku ingin sendirian karena aku melakukan apa yang pernah kamu katakan kalau kamu tidak suka be