Share

4. Tuan Jake, Nyonya Laura Ingin Bercerai

“Apa maksud Tante aku harus menjadi istrinya Jake?” tanya Fidel dengan sepasang matanya yang membola tak percaya saat menatap Alina.

Laura menjumpai penolakan terlukis dari cara Fidel bertanya, terkejut dengan keputusan tiba-tiba tersebut.

Alina mengalihkan tatapannya dari sang menantu, lalu memandang Fidel dengan seulas senyum yang terlihat keibuan. Sangat berbeda dengan caranya berucap pada Laura.

“Sekalipun kamu adalah istri kedua Jake, percayalah kamu jauh lebih istimewa daripada Laura yang pincang dan seperti benalu bagi keluarga Heizt.”

Sepertinya, Alina tak sudi lagi memandang Laura. Ia pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu, tidak memberi Laura kesempatan untuk menerima atau menolak apa yang telah menjadi keputusannya.

Laura mematung di tempat ia duduk, terlalu shock untuk bisa merangkai kata setelah apa yang ia dengar.

Sedangkan Fidel tampak kebingungan di tempat ia duduk dan berusaha memanggil Alina, “Tante!”

Namun, tidak ada jawaban dari wanita berambut sebahu itu. Laura mendengar pintu rumahnya malah tertutup dari luar.

“A-aku tidak tahu, Laura,” ucap Fidel saat ia memandang Laura dengan matanya yang tampak berair. “Aku tidak tahu sama sekali kalau tante Alina akan mengatakan hal seperti itu.”

Fidel mengikuti pandang ke arah kepergian Alina sebelum kembali menatap Laura.

“Aku akan bicara dengan tante Alina. Harusnya tante tidak boleh mengatakan hal seperti itu.”

Gema langkah kaki Fidel terdengar semakin lirih seiring kepergiannya. Untuk kedua kalinya Laura mendengar pintu yang tertutup dari luar, meninggalkannya duduk seperti orang asing di rumahnya sendiri.

Kepergian Fidel membuat Laura kembali merasa bahwa gadis itu seolah menjadi pemilik kuasa untuk mengendalikan keluarganya.

Sebelumnya suaminya, sekarang ibu mertuanya. Apa memang mereka hanya mendengar apa yang dikatakan oleh Fidel?

Laura menunduk, sesak mengisi dadanya saat ia menjumpai bayangan wajahnya yang menyedihkan jatuh di atas lantai marmer.

Benaknya mempertanyakan, ‘Apakah kira-kira Jake tahu soal ini? Apa ini rencana yang mereka susun saat melakukan pertemuan semalam?’

Hari menuju sore dilalui Laura dengan hati yang dipenuhi oleh jelaga, hingga ia bisa mendengar suara langkah Jake yang ia kenal dengan baik sedang memasuki rumah sewaktu ia duduk di ruang tengah.

Laura meraih elbow crutch miliknya dan mengayunkan kakinya tertatih-tatih untuk menyusul Jake yang sudah tiba di kamar.

Jake sekilas menoleh pada Laura sebelum melepas jas yang ia kenakan dan menguraikan dasi dari kerah kemejanya.

“Bagaimana pekerjaan hari ini?” tanya Laura. “Apakah berjalan dengan baik?”

“Apa kamu tidak bosan menanyakan hal itu setiap hari?” tanya Jake balik, hampir terdengar jengah.

Laura hanya tersenyum masam. “Mungkin ... jika nanti yang menyambutmu pulang adalah Fidel, pasti kamu akan dengan senang hati menjawabnya.”

Jake menoleh pada Laura dengan cepat, garis dagunya menegang. “Apa maksudmu, Laura?” tanyanya teriring kedua bahunya yang jatuh. “Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?”

Bibir Laura gemetar menahan air mata. Memandang Jake ... ia merasa pengabdiannya untuk menjadi seorang istri adalah sebuah hal yang sia-sia.

"Kamu harusnya lebih tahu apa yang aku maksudkan, Jake."

Laura perlahan mundur, mengabaikan Jake yang alis lebatnya hampir bersinggungan. "Aku akan tidur di tempat lain," katanya, kemudian menggigit bibirnya hingga terasa perih.

"Aku tidak akan mengganggumu dengan pertanyaanku yang membosankan lagi."

***

Setelah pertengkaran mereka kemarin, Laura menghindari Jake. Bahkan jika itu hanya sebatas tatapan mata yang bersirobok.

Laura juga tidak memberi tahu Jake soal jadwal fisioterapi yang ia datangi hari ini.

Ia pergi dengan diantar oleh Han—sopir Jake—karena Tania sedang tidak enak badan, sehingga Laura membiarkannya tinggal di rumah.

“Nona baik-baik saja?” tanya Han dari balik kemudi, mungkin karena melihat Laura yang terus saja tak bisa menghentikan air mata di kursi penumpang bagian belakang.

Laura hanya mengangguk tanpa suara. Bibirnya terlalu beku untuk bisa menata kata.

Tadinya ia berpikir akan mendapatkan kabar baik setelah fisioterapi, namun yang dikatakan oleh dokter tidaklah demikian.

‘Tulang di kaki Bu Laura tidak menunjukkan perubahan yang signifikan,’ kata dokter pada sesi konsultasi mereka yang membekas, membayangi Laura.

‘Dilihat dari hasil CT scan, saya khawatir terjadi pelemasan otot yang justru akan membuat kaki Bu Laura semakin memburuk.’

Dan jika kondisi itu berlangsung, dokter mengatakan tak ada pilihan selain ia harus menggunakan kursi roda nantinya.

Penggunaan obat yang dikonsumsi olehnya dalam jangka panjang ternyata bisa berakibat menghambat peluang hamilnya.

Ia hanya … merasa gagal menjadi wanita.

Entah harus dengan cara apa dia menyempurnakan upayanya agar layak menjadi bagian dari keluarga Heizt.

Keputusasaan menerjang Laura dengan hebat. Jika ibu mertuanya mendengar, atau Jake mengetahuinya, ia akan semakin disalahkan. Ia akan semakin dihina dan diinjak-injak.

Lalu tiba-tiba ... ‘Tetaplah kuat dan berusahalah melawan!’

Ucapan pria yang menolong Laura di malam pesta itu membuatnya berpikir bahwa ... mungkin ini adalah saatnya untuk 'melawan.'

Cintanya yang sia-sia, dirinya yang tak dianggap ada, atau keinginan Jake untuk menikahi cinta pertamanya … Laura ingin melepaskan diri dan tidak ingin menjadi bagian dari semua itu lagi.

Baginya, melawan tidak harus dengan keterlibatan. Mundur bisa jadi pilihan agar tidak membuatnya terluka lebih dalam.

Atas permintaan Laura, mobil yang dikemudikan Han memasuki halaman luas HZ Empire, kantor di mana Jake bekerja.

Dengan dibantu oleh pria paruh baya itu, ia hendak pergi menemui Jake di lantai lima belas.

Lantai demi lantai terlewati, kehadirannya yang muncul dari balik lift membuat sekretaris Jake yang duduk di balik meja kerjanya terkejut dan sigap berdiri.

“Selamat siang,” sapa pemuda bernama Farren itu dengan kepala tertunduk di depan Laura.

“Siang,” jawabnya. “Bisakah aku bertemu dengan Jake?”

Farren sekilas menoleh ke ruangan Jake sebelum menjawab, “Saya baru saja mengantar pesanan makanannya ke dalam. Tuan Jake sepertinya sedang makan siang, Nyonya.”

Melihat Farren yang sepertinya tidak akan membiarkannya masuk begitu saja, Laura meraih selembar kertas dan menulis sesuatu di sana.

“Berikan itu padanya.”

Farren tertegun. Sepasang matanya membelalak melihat apa yang ditulis oleh Laura. Ia terlihat ragu sejenak, sebelum buru-buru masuk ke dalam ruangan Jake saat menyadari bahwa ini adalah situasi yang genting.

Dari luar, Laura samar-samar mendengar suara Jake yang bertanya. “Apa ini?”

“Dari Nyonya Laura, Tuan. Beliau ada di luar sekarang.”

“Katakan saja, apa yang dia tulis?” Jake terdengar menyahut dengan malas.

Ada jeda selama beberapa detik sebelum Laura kembali mendengar Farren bersuara.

“Tuan Jake, Nyonya Laura ingin bercerai.”

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Marlina Yulita
kasian lauranya biar aja pisah buat apa pertahankan pernikahan tapi GK d hargai
goodnovel comment avatar
Almiftiafay
bukan kak ... dia cantik dan sempurna sebelum kakinya dibuat cacat sama Jake waktu kecelakaan. baca terus ya biar tahu seperti apa Laura sebenarnya ...️
goodnovel comment avatar
jess
Laura kenapa sih, kok banyak yg membenci ? Dia bukan gadis cacat yg bodoh dan jelek kan ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status