Laura tak menjawab panggilan Jake, tidak juga untuk menoleh ke belakang untuk beberapa saat.“Ada apa?” tanya Laura, menahan suara seraknya agar tak gemetar. “Kenapa kamu mengikutiku?”“Kamu lupa dengan obatmu,” jawab Jake setelah menarik tangannya dari bahu Laura. “Tania sudah menyiapkannya tadi, ini aku bawakan ke sini.”“Aku bisa meminumnya nanti. Taruh saja di atas meja!” tunjuk Laura sekilas pada meja yang tak jauh dari ranjang.Laura tidak menengok pada Jake sama sekali karena ia tak yakin darah yang ada di hidungnya tadi apakah masih tertinggal ataukah sudah hilang.‘Kenapa dia tidak cepat keluar?’ tanya Laura kesal pada Jake yang malah berdiri terpaku di belakangnya. Dan diamnya itu terasa mengganggu.“Ada lagi yang ingin kamu katakan?” Laura menoleh pada Jake, hanya menunjukkan sebagian kecil sisi samping wajahnya, untuk memastikan pria itu masih berdiri di belakangnya.“Tidak ada.”“Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian?” Jake mendengus kesal, sepertinya karena tak ingin
Dengan langkahnya yang tertatih-tatih, Laura memasuki kamar, tempat di mana ia bisa menyembunyikan dirinya agar tidak perlu bertemu dengan Jake. Dari sekarang, Laura akan menulikan telinganya, tidak peduli Jake akan kesal padanya atau apapun yang akan ia lakukan. “Hah ….” Ia mendesah saat duduk setelah mengunci pintu kamarnya agar Jake tidak masuk seperti semalam. Ia diam, menunduk memandang jari manis di tangannya, di mana di sana terdapat cincin pernikahannya dengan Jake yang kini mulai tak sakral lagi baginya. Laura melepasnya dan meletakkannya di atas meja. “Harusnya Jake juga melepasnya kalau dia ingin menikah dengan Fidel.” Ada apa dengan dirinya yang masih mempertahankan benda tidak berguna—cincin—itu di tangannya saat hadirnya saja telah menjadi simbol tanpa makna? Meski hatinya sakit, tetapi mata Laura tak bisa berbohong. Tanpa sadar cairan bening itu tiba-tiba membuat pandangannya berubah menjadi abu-abu. Ia merasa Jake sedang mempermainkannya dengan sengaja. “Seb
“Tidak mau!” sentak Laura, menarik tangannya dari genggaman Jake dengan sedikit kasar tetapi pria itu tidak membiarkannya lepas begitu saja. “Aku tidak sedang merengek,” lanjutnya. “Berhentilah mengatakan hal itu!” Laura memejamkan matanya, merasakan pergelangan tangannya yang sakit karena Jake meraihnya terlalu kuat. “Aku tidur di kamar ini karena aku ingin sendiri, Jake.” “Sendiri?” sahut Jake teriring rahang tegasnya yang menegang. “Pernikahan macam apa yang salah satu dari pasangannya ingin sendirian seperti yang sedang kamu lakukan ini?!” Nada bicaranya meninggi. Laura tertawa mendengar itu. Sedetik kemudian tawanya menghilang saat ia mengangkat wajahnya untuk kembali memandang Jake, “Ah, benar …” angguknya samar. “Aku bahkan hampir lupa kalau kamu tidak pernah membiarkan aku merasa sendirian.” “Kenapa kamu melakukan hal sesuka hatimu, Laura?” “Aku tidak seperti itu,” jawab Laura. “Aku ingin sendirian karena aku melakukan apa yang pernah kamu katakan kalau kamu tidak suka be
“A-a-aku baik-baik saja, Pak Zafran,” ucap Laura gugup, wajahnya tertunduk. Sepertinya, Zafran menangkap rasa canggung saat Laura menjawabnya, biar bagaimanapun … apa yang disampaikan oleh Zafran sedikit tidak biasa. “Ini bukan sebuah ajakan perselingkuhan, Laura,” ujar Zafran yang membuat Laura mengangkat sedikit pandangannya sehingga manik mata mereka kembali bertemu. “Aku hanya menawarkan sebuah bantuan sampai kamu sembuh, yang barangkali kamu bersedia menerimanya.” Sebuah angin sejuk melewati pipi Laura hingga membuat darahnya berdesir. Ia membalas senyum Zafran sebelum membuka suara. “Terima kasih untuk kepedulian yang Pak Zafran berikan,” jawab Laura. “Tapi aku baik-baik saja.” “Syukurlah kalau begitu.” Laura hampir berpamitan lagi sebelum ia melihat seorang wanita paruh baya berambut sebahu yang datang dan mendekat pada Zafran. “Kamu bicara dengan siapa?” tanyanya lembut dan keibuan. “Temanku, Ma. Laura namanya,” jawab Zafran. “Ini mamaku yang aku antar ke dokter
Laura masuk ke dalam kamarnya, terseok-seok menuju ke kamar mandi guna membasuh tangannya yang terluka dengan air yang mengalir terlebih dahulu.Ia lalu mengeringkannya dan mengambil duduk di depan meja miliknya.Ia menatap cermin, menghela dalam napasnya seraya berpikir, ‘Selain semakin sering ke rumah ini, Fidel bersikap seolah ini adalah rumahnya,’ batinnya.“Jake juga mengizinkannya melakukan yang dia mau.”Laura memandang tangannya yang terluka, perih dan darah masih merembes keluar dari lukanya yang menganga.Alisnya berkerut saat batinnya kembali berkecamuk. Bukankah … dengan alibi bahwa kedatangan Fidel ke sini ingin membuatkan masakan untuknya, tidak ada yang menjamin apa yang tengah mereka lakukan selama Laura pergi?Apalagi mengingat saat Laura bertanya di mana Jake pada Fidel tadi, gadis itu menjawab jika Jake sedang berada di kamar. Bahkan Fidel mengatakannya dengan tanpa seberkas keraguan pun dari bibirnya.Laura menunduk, dadanya terasa sesak saat ia membayangkan seand
Menghadapi kemarahan Jake, Laura berpikir tak mungkin baginya untuk memperburuk situasi dengan sama meninggikan suaranya. Demi agar Jake tidak kembali mengobrak-abrik mejanya dan menemukan rekam medis miliknya, ia memilih untuk mengalah. Ia menghela dalam napasnya sebelum memberi pria itu jawaban, “Aku tidak menyembunyikan apapun darimu, Jake,” katanya. “Tolong pikirkanlah … mana mungkin aku dekat dengan Zafran atau menyimpan barang darinya padahal kami tidak pernah bertemu?” Jake terdiam selama lebih dari enam puluh detik. Tetapi kediaman yang ia tunjukkan itu tak mengurangi betapa marahnya ia. Laura masih melihatnya menaik turunkan napasnya. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang telah meledak beberapa saat yang lalu. Jake satu langkah mendekat pada Laura, matanya menggelap saat sekali lagi ia bertanya, “Kamu simpan di mana cincinnya?” Laura membawa kakinya selangkah demi selangkah, tertatih menuju ke lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak dari dalam sana. Ia membawanya
“Tidak,” jawab Laura dengan cepat dan tegas. Berharap pria itu tidak curiga bahwa Laura sempat mendengar satu kalimat yang ia katakan pada Tania. “Lalu, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jake sembari melepas tangannya dari Laura. “Belum tidur?” “Hanya … ingin mengambil minuman,” jawab Laura, melenceng dari rencana awalnya yang ingin makan. Ini ia lakukan karena ia ingin cepat pergi dari sana. Jake memberi anggukan samar. Ia tak menanggapi Laura selain sedikit menyisih dan membiarkan Laura melewatinya untuk membuka kulkas, mengambil satu botol minuman dingin dari sana. Saat Laura memandangnya, Jake masih belum beranjak dari tempatnya semula. Alih-alih pergi, ia malah terpaku di sana dan memandangi Laura tanpa henti. Laura berjalan meninggalkannya, mengabaikan rasa lapar di perutnya. Ia tak ingin makan selama ada Jake. Itu membuatnya tidak berselera. Tetapi baru mendapatkan satu langkah, pria itu justru mengatakan hal yang membuatnya harus tertahan di sana lebih lama. “Tania
Saat bibir Laura terpasung memberi kebisuan, Jake menegakkan punggungnya setelah usainya ketegangan yang memeluk mereka selama beberapa saat. “Jangan duduk-duduk di tepi kolam lagi!” ucap Jake. “Kalau sesuatu yang buruk terjadi dan tidak ada orang yang melihatmu bagaimana?” lanjutnya. “Aku tidak ingin ada insiden di rumahku.” Tentu saja … yang dikhawatirkan oleh Jake adalah dirinya sendiri, bukan keselamatan Laura. “Iya,” jawab Laura singkat. Memalingkan wajahnya agar tidak melihat Jake dan kekesalan yang tersirat di matanya. Jake lebih dulu melangkah dari samping kolam dengan Laura yang berjalan mengekor di belakangnya. “Aku besok mau pergi,” kata Laura. “Ke mana?” “Butik.” “Ada perlu apa kamu pergi ke tempat yang sudah lama tidak terpakai itu?” tanya Jake datar. Tetapi meski dikatakan dengan tenang, Laura menangkap ada sedikit getaran dari nada bicaranya saat ia menyebut ‘tempat yang sudah lama tidak terpakai.’ Laura jelas tidak mengatakan bahwa ia berencana menjadikan itu