Menghadapi kemarahan Jake, Laura berpikir tak mungkin baginya untuk memperburuk situasi dengan sama meninggikan suaranya. Demi agar Jake tidak kembali mengobrak-abrik mejanya dan menemukan rekam medis miliknya, ia memilih untuk mengalah. Ia menghela dalam napasnya sebelum memberi pria itu jawaban, “Aku tidak menyembunyikan apapun darimu, Jake,” katanya. “Tolong pikirkanlah … mana mungkin aku dekat dengan Zafran atau menyimpan barang darinya padahal kami tidak pernah bertemu?” Jake terdiam selama lebih dari enam puluh detik. Tetapi kediaman yang ia tunjukkan itu tak mengurangi betapa marahnya ia. Laura masih melihatnya menaik turunkan napasnya. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang telah meledak beberapa saat yang lalu. Jake satu langkah mendekat pada Laura, matanya menggelap saat sekali lagi ia bertanya, “Kamu simpan di mana cincinnya?” Laura membawa kakinya selangkah demi selangkah, tertatih menuju ke lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak dari dalam sana. Ia membawanya
“Tidak,” jawab Laura dengan cepat dan tegas. Berharap pria itu tidak curiga bahwa Laura sempat mendengar satu kalimat yang ia katakan pada Tania. “Lalu, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jake sembari melepas tangannya dari Laura. “Belum tidur?” “Hanya … ingin mengambil minuman,” jawab Laura, melenceng dari rencana awalnya yang ingin makan. Ini ia lakukan karena ia ingin cepat pergi dari sana. Jake memberi anggukan samar. Ia tak menanggapi Laura selain sedikit menyisih dan membiarkan Laura melewatinya untuk membuka kulkas, mengambil satu botol minuman dingin dari sana. Saat Laura memandangnya, Jake masih belum beranjak dari tempatnya semula. Alih-alih pergi, ia malah terpaku di sana dan memandangi Laura tanpa henti. Laura berjalan meninggalkannya, mengabaikan rasa lapar di perutnya. Ia tak ingin makan selama ada Jake. Itu membuatnya tidak berselera. Tetapi baru mendapatkan satu langkah, pria itu justru mengatakan hal yang membuatnya harus tertahan di sana lebih lama. “Tania
Saat bibir Laura terpasung memberi kebisuan, Jake menegakkan punggungnya setelah usainya ketegangan yang memeluk mereka selama beberapa saat. “Jangan duduk-duduk di tepi kolam lagi!” ucap Jake. “Kalau sesuatu yang buruk terjadi dan tidak ada orang yang melihatmu bagaimana?” lanjutnya. “Aku tidak ingin ada insiden di rumahku.” Tentu saja … yang dikhawatirkan oleh Jake adalah dirinya sendiri, bukan keselamatan Laura. “Iya,” jawab Laura singkat. Memalingkan wajahnya agar tidak melihat Jake dan kekesalan yang tersirat di matanya. Jake lebih dulu melangkah dari samping kolam dengan Laura yang berjalan mengekor di belakangnya. “Aku besok mau pergi,” kata Laura. “Ke mana?” “Butik.” “Ada perlu apa kamu pergi ke tempat yang sudah lama tidak terpakai itu?” tanya Jake datar. Tetapi meski dikatakan dengan tenang, Laura menangkap ada sedikit getaran dari nada bicaranya saat ia menyebut ‘tempat yang sudah lama tidak terpakai.’ Laura jelas tidak mengatakan bahwa ia berencana menjadikan itu
Keesokan harinya, pesta yang dikatakan oleh Jake tiba. Malam ini, Laura pergi dengan diantar oleh Han ke tempat yang disebutkan oleh Jake di mana pesta itu akan digelar—HZ Empire—dengan mengenakan gaun serta sepatu yang kemarin dibawa masuk Jake ke dalam kamarnya. “Selamat malam, Nyonya Laura,” sapa seorang pemuda yang dilihat olah Laura setelah Han membukakan pintu mobil untuknya. “Selamat malam,” balas Laura pada Farren—sekretarisnya Jake—yang menjemput kedatangannya. “Saya akan mengantar Nyonya untuk menemui Tuan Jake.” Laura mengangguk saja, membiarkan Farren menjadi penunjuk jalan, harus ke mana ia pergi sekarang. Memasuki gedung sebelah barat yang telah dipenuhi oleh staf dan para tamu undangan, Laura tidak berani mengangkat wajahnya untuk sekadar memuaskan rasa penasarannya tentang seperti apa megahnya perayaan ulang tahun HZ Empire ini. Ia mengabaikan pandangan beberapa orang yang termangu saat berpapasan dengannya. Beberapa suaranya singgah di indera pendengar Laura da
Hinaan masih berlangsung, berlalu-lalang di telinga Laura hingga Fidel membantunya untuk bangun. “Kamu baik-baik saja, Lau?” tanyanya cemas, mengambil tongkat siku milik Laura dan memastikannya bisa berdiri. Yang ia lakukan membuat semua orang memuji betapa murah hatinya gadis itu. Apalagi saat tangannya menyentuh wajah Laura tanpa rasa ragu. “Wajahmu kotor,” katanya. “Gaunmu juga.” “Aku bisa membersihkannya sendiri,” ucap Laura, menepis tangan Fidel agar ia menjauhkannya dari wajahnya yang kotor dan penuh dengan bekas makanan ini. “Terima kasih,” katanya lalu memilih untuk pergi dari sana sebab gunjingan orang-orang semakin menyudutkannya. Laura tertatih membawa kakinya untuk meninggalkan hall tempat diberlangsungkannya pesta. Sekilas menoleh pada Jake yang tengah berbincang dengan temannya. Tenggelam dalam dunianya sendiri di sudut ruangan dan tidak peduli dengan hal sial yang menimpanya. Jangankan peduli, menoleh pun tidak, setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Laura. Laura
‘Aku akan habis kalau Jake sampai masuk ke dalam,’ batin Laura ketakutan. Cukup lama ia dan Zafran berada di sana dengan keadaan mata yang tak hentinya saling menatap dalam kebisuan. Sepertinya, Jake tidak memiliki keinginan untuk masuk ke dalam ruangan atau mungkin tidak yakin Laura berada di dalam sehingga ia pergi dari sana. Karena mereka mendengar suara langkah kaki Jake yang perlahan menjauh sebelum kemudian benar-benar menghilang sepenuhnya, dan itu melegakan. Baru setelah beberapa detik berlalu, Zafran menarik dirinya. Menjauhkan tangannya dari Laura sekaligus menciptakan jarak yang lebih renggang di antara mereka berdua. Laura menatap pria itu yang menunduk bersalah. “Maaf,” katanya. “Maaf karena sudah membungkam kamu seperti itu,” lanjutnya. “Apakah aku terlalu kuat melakukannya?” Laura menggeleng, “Tidak.” “Aku membuat bibirmu sakit?” tanya Zafran memastikan. “Tidak, Pak Zafran,” jawab Laura dengan yakin. “Kenapa Pak Zafran mengikutiku?” Laura memandang Zafran yang
“Lerai mereka, Farren!” pinta Laura pada sekretarisnya Jake setelah ia melihat potensi akan adanya keributan antara Jake dan juga Zafran. Farren beringsut ke arah dua pria itu, tetapi sayangnya ia kalah cepat sebab Jake telah membuat Zafran terjerembab jatuh ke halaman. Tangannya belum mau lepas dari kerah kemeja Zafran yang beberapa saat lalu ia renggut. Jake yang sejak awal sudah marah bertambah menggebu saat ia mendengar Zafran kembali bersuara. “Jika kamu marah, artinya aku benar kalau kamu memang pria gila yang tidak becus memperlakukan istrimu dengan baik.” “Tahu apa kamu soal rumah tanggaku, Zafran?!” tanya Jake dengan rahangnya yang menggertak. Suara baritonnya meninggi, abai pada dirinya yang tengah menjadi pusat perhatian oleh semua staf dan tamu undangan yang hadir di pesta. Zafran tertawa lirih, salah satu sudut bibirnya terangkat menyeringai. “Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu duga, Jake,” jawabnya. “Apakah kamu tidak merasa kamu terlalu sombong selama ini?”
Ketegangan terjadi di antara mereka saat amplop itu berpindah tangan pada Jake. Laura sejak tadi menahan agar air matanya tak kembali luruh sebelum kembali membuka suaranya yang terdengar gemetar. “Kita urus hidup kita masing-masing mulai sekarang,” katanya. “Karena aku sudah mengurus perceraian kita.” Jake tidak menjawab. Ia membuka amplop yang ada di tangannya dengan sedikit gusar, mengeluarkan lembaran-lembaran yang ada di dalam sana dan langsung merobeknya tanpa membacanya terlebih dahulu. Kertas yang telah tersobek menjadi beberapa bagian itu ia lemparkan begitu saja hingga berhamburan di lantai. Rahang pria itu kembali menegang sesaat setelah ia mendorong napasnya dengan kasar. “Mau jadi apa kamu di luar sana tanpaku, Laura?” katanya. “Berhentilah bertingkah kekanakan seperti ini!” “Aku tidak takut akan jadi apa aku di luar sana, Jake,” jawab Laura, meremas elbow crutch miliknya semakin kuat. “Aku lebih memilih untuk hidup di luar sana sekali pun itu menderita atau mati