terima kasih sudah membaca ya 🤗 follow 1nst4gram othor @almiftiafay biar kita lebih dekat ❤️
“Lerai mereka, Farren!” pinta Laura pada sekretarisnya Jake setelah ia melihat potensi akan adanya keributan antara Jake dan juga Zafran. Farren beringsut ke arah dua pria itu, tetapi sayangnya ia kalah cepat sebab Jake telah membuat Zafran terjerembab jatuh ke halaman. Tangannya belum mau lepas dari kerah kemeja Zafran yang beberapa saat lalu ia renggut. Jake yang sejak awal sudah marah bertambah menggebu saat ia mendengar Zafran kembali bersuara. “Jika kamu marah, artinya aku benar kalau kamu memang pria gila yang tidak becus memperlakukan istrimu dengan baik.” “Tahu apa kamu soal rumah tanggaku, Zafran?!” tanya Jake dengan rahangnya yang menggertak. Suara baritonnya meninggi, abai pada dirinya yang tengah menjadi pusat perhatian oleh semua staf dan tamu undangan yang hadir di pesta. Zafran tertawa lirih, salah satu sudut bibirnya terangkat menyeringai. “Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu duga, Jake,” jawabnya. “Apakah kamu tidak merasa kamu terlalu sombong selama ini?”
Ketegangan terjadi di antara mereka saat amplop itu berpindah tangan pada Jake. Laura sejak tadi menahan agar air matanya tak kembali luruh sebelum kembali membuka suaranya yang terdengar gemetar. “Kita urus hidup kita masing-masing mulai sekarang,” katanya. “Karena aku sudah mengurus perceraian kita.” Jake tidak menjawab. Ia membuka amplop yang ada di tangannya dengan sedikit gusar, mengeluarkan lembaran-lembaran yang ada di dalam sana dan langsung merobeknya tanpa membacanya terlebih dahulu. Kertas yang telah tersobek menjadi beberapa bagian itu ia lemparkan begitu saja hingga berhamburan di lantai. Rahang pria itu kembali menegang sesaat setelah ia mendorong napasnya dengan kasar. “Mau jadi apa kamu di luar sana tanpaku, Laura?” katanya. “Berhentilah bertingkah kekanakan seperti ini!” “Aku tidak takut akan jadi apa aku di luar sana, Jake,” jawab Laura, meremas elbow crutch miliknya semakin kuat. “Aku lebih memilih untuk hidup di luar sana sekali pun itu menderita atau mati
Untuk lebih dari enam puluh detik Jake hanya bergeming. Ia tak mengatakan apapun selain menghela dalam napasnya dan memperdengarkan kembali suara baritonnya.“Berhentilah memperumit keadaan, Laura!” katanya. “Jika benar aku lakukan itu, mau ke mana kamu? Kamu tidak punya tujuan di luar sana!”Laura mendengus. “Siapa bilang? Aku memiliki banyak tujuan!”“Apakah kamu akan tinggal bersama dengan Zafran?” tanya Jake dengan nada menuduh.“Di mana pun aku tinggal itu bukan urusanmu,” jawab Laura sembari mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Elsa, mengatakan bahwa ia sudah siap.Laura menyeret kopernya keluar dari rumah besar milik Jake dengan tertatih-tatih seorang diri, dan tentu saja tanpa Tania yang ditahan oleh pria itu dengan alasan bahwa Tania hanya bisa bersama dengan Laura jika ia dan Jake berstatus sebagai suami dan istri.“Jika kamu keluar melewati pintu itu aku akan berhenti peduli padamu, Laura!”Mendengar itu, sesaat Laura tertahan. Ia tertawa lir
“Itu sangat mustahil, Sa,” tolak Laura atas apa yang baru saja disampaikan oleh Elsa, mengingat Jake tidak pernah terlihat bahwa pria itu sedikit saja mencintainya selama ini.“Tapi bukankah tidak mungkin bagi Jake untuk tidak memiliki perasaan padamu?” tanyanya. “Karena selama ini kalian berdua sudah hidup bersama dan menjadi pasangan suami istri seperti selayaknya pasangan yang lainnya.”“Jake begitu karena dia hanya ingin memenuhi wasiat kakeknya,” jawab Laura. “Dia tidak mendasari hubungan kami dengan rasa.”Laura menghela napasnya dengan sedikit dalam. Ia tersenyum masam pada Elsa yang menganggukkan kepalanya beberapa kali.Melihat Laura yang tampak enggan serta lelah membahas Jake membuat Elsa berhenti membicarakannya.Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di butik, tujuan Laura yang telah diputuskan.Elsa membantu Laura keluar dari sana, serta membawa kopernya untuk masuk. Elsa sejenak berjalan mengamati tempat yang masih dipenuhi oleh banyak gaun itu sebelum kembali berdir
“Itu tidak mungkin dia!” ucap Laura sembari menggeleng, menepis pikiran aneh yang baru saja menyinggahinya. “Bodoh!” hardiknya pada diri sendiri yang seolah masih mengharap kepedulian Jake. Ia membawa langkah kakinya terseok-seok masuk ke dalam butik dan mengambil duduk di sofa. Ia membuka kotak makan dari Tania dan tersenyum saat menjumpai isinya. Laura bersyukur karena masih ada orang yang benar-benar berada di sisinya. “Padahal aku sudah jatuh terpuruk begini,” katanya sebelum menyuap makanan yang sangat nyaman di indera perasanya. Baru mendapatkan satu suap, ia membaca pesan dari nomor asing yang mengatakan, [Laura, ini Zafran.] Sepasang mata Laura membola membaca itu. “Pak Zafran?” Ia meraih ponselnya dan membalasnya. [Selamat malam, Pak Zafran.] [Selamat malam. Bagaimana kabarmu?] Laura kembali membalasnya. [Baik.] Dan pesan balasan dari Zafran membuat Laura merasakan darahnya berdesir. [Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Bisakah kita bertemu besok?] [Maaf, tidak
Laura terdiam, benaknya ditumbuhi oleh kemelut akan penafsirannya sendiri, bahwa barangkali sejelas itulah Jake memperlakukannya di depan banyak orang. Sebuah hal yang bahkan disadari oleh Zafran hingga membuat pria bersurai hitam di hadapannya ini geram dan mengolok-olok Jake seperti orang gila. Laura sedikit memalingkan wajahnya, memandang pada buket bunga daffodil yang ada di atas meja sebelum kembali pada Zafran yang menyebut namanya saat bertanya, “Apakah malam itu kamu baik-baik saja, Laura?” Manik mata mereka bertemu, Laura melihatnya sedikit mengerutkan alis, “Jake tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu, ‘kan?” “Tidak, Pak Zafran,” jawab Laura. “Maaf sekali lagi karena sudah membuat keributan malam itu.” Zafran menundukkan kepalanya dengan sopan, seolah itu adalah caranya mengekspresikan maaf yang tulus. “Aku justru berterima kasih pada Pak Zafran,” tanggap Laura yang membuat Zafran mengangkat wajahnya dengan cepat, teriring dengan salah satu alis lebatnya yang terang
‘Bukan hanya murka,’ kata Laura dalam hati. ‘Itu bisa jadi bencana.’Laura tahu betul akan semarah apa Jake jika pria itu tahu ia membuat acara seperti ini.Laura kembali memandang wanita itu. “Kenapa mereka membatalkan secara tiba-tiba?” tanya Laura, suaranya serak dan gemetar. Tania yang berdiri di sebelahnya mencoba menenangkannya. “Atau mereka akan datang sedikit lebih lambat, Non?”“Tidak, Tania. Aku membaca jadwal yang diberikan sama orang EO itu kalau harusnya mereka sudah siap setengah jam yang lalu.”Laura menghela napasnya. Ia melihat seorang pria yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya untuk membicarakan berlangsungnya kegiatan hari ini dengan wajah yang cemas.“Maaf, Bu Laura,” katanya begitu ia berhadapan dengan Laura. “Kami tidak bisa menghubungi model-model itu. Kami juga sedang menghubungi anggota tim kami yang bertanggung jawab atas para model itu.”Tapi jika itu berhasil pun, tidak memungkinkan kegiatan berlangsung dengan segera.Dan orang-orang pasti tidak mau m
Laura menunduk, menghapus darah di hidungnya dengan cepat. Tetapi tiba-tiba Jake menghentikan tangannya. Jemari besar pria itu kini melingkar di pergelangan tangan Laura.Kebisuan memeluk mereka selama beberapa detik hingga Jake menghancurkan keheningan itu.“Ada apa, Laura?” tanyanya. “Kenapa hidungmu berdarah?”Laura tak ingin menjawab. Ia menepis tangan Jake, tetapi itu tak membuahkan hasil karena yang ada Jake mencengkeramnya semakin erat.“Jawab aku!” titahnya.Laura mengangkat wajahnya, menemukan manik mata Jake yang kelam menatapnya menunggu jawaban.“B-bukan apa-apa,” jawab Laura gugup.“Bohong!” sahut Jake, kedua alis lebatnya berkerut.Laura pikir … sepertinya Jake tidak akan percaya begitu saja kepadanya. Sehingga ia harus menemukan kalimat bantahan yang tepat.“K-kalau kamu berpikir aku bohong, memangnya kamu tahu apa yang terjadi padaku?”Jake membuang napasnya dengan sedikit kasar, kedua bahunya yang bidang jatuh bersamaan saat ia melakukan itu. “Jadi beri aku jawaban y