Untuk lebih dari enam puluh detik Jake hanya bergeming. Ia tak mengatakan apapun selain menghela dalam napasnya dan memperdengarkan kembali suara baritonnya.
“Berhentilah memperumit keadaan, Laura!” katanya. “Jika benar aku lakukan itu, mau ke mana kamu? Kamu tidak punya tujuan di luar sana!”Laura mendengus. “Siapa bilang? Aku memiliki banyak tujuan!”“Apakah kamu akan tinggal bersama dengan Zafran?” tanya Jake dengan nada menuduh.“Di mana pun aku tinggal itu bukan urusanmu,” jawab Laura sembari mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Elsa, mengatakan bahwa ia sudah siap.Laura menyeret kopernya keluar dari rumah besar milik Jake dengan tertatih-tatih seorang diri, dan tentu saja tanpa Tania yang ditahan oleh pria itu dengan alasan bahwa Tania hanya bisa bersama dengan Laura jika ia dan Jake berstatus sebagai suami dan istri.“Jika kamu keluar melewati pintu itu aku akan berhenti peduli padamu, Laura!”Mendengar itu, sesaat Laura tertahan. Ia tertawa lir“Itu sangat mustahil, Sa,” tolak Laura atas apa yang baru saja disampaikan oleh Elsa, mengingat Jake tidak pernah terlihat bahwa pria itu sedikit saja mencintainya selama ini.“Tapi bukankah tidak mungkin bagi Jake untuk tidak memiliki perasaan padamu?” tanyanya. “Karena selama ini kalian berdua sudah hidup bersama dan menjadi pasangan suami istri seperti selayaknya pasangan yang lainnya.”“Jake begitu karena dia hanya ingin memenuhi wasiat kakeknya,” jawab Laura. “Dia tidak mendasari hubungan kami dengan rasa.”Laura menghela napasnya dengan sedikit dalam. Ia tersenyum masam pada Elsa yang menganggukkan kepalanya beberapa kali.Melihat Laura yang tampak enggan serta lelah membahas Jake membuat Elsa berhenti membicarakannya.Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di butik, tujuan Laura yang telah diputuskan.Elsa membantu Laura keluar dari sana, serta membawa kopernya untuk masuk. Elsa sejenak berjalan mengamati tempat yang masih dipenuhi oleh banyak gaun itu sebelum kembali berdir
“Itu tidak mungkin dia!” ucap Laura sembari menggeleng, menepis pikiran aneh yang baru saja menyinggahinya. “Bodoh!” hardiknya pada diri sendiri yang seolah masih mengharap kepedulian Jake. Ia membawa langkah kakinya terseok-seok masuk ke dalam butik dan mengambil duduk di sofa. Ia membuka kotak makan dari Tania dan tersenyum saat menjumpai isinya. Laura bersyukur karena masih ada orang yang benar-benar berada di sisinya. “Padahal aku sudah jatuh terpuruk begini,” katanya sebelum menyuap makanan yang sangat nyaman di indera perasanya. Baru mendapatkan satu suap, ia membaca pesan dari nomor asing yang mengatakan, [Laura, ini Zafran.] Sepasang mata Laura membola membaca itu. “Pak Zafran?” Ia meraih ponselnya dan membalasnya. [Selamat malam, Pak Zafran.] [Selamat malam. Bagaimana kabarmu?] Laura kembali membalasnya. [Baik.] Dan pesan balasan dari Zafran membuat Laura merasakan darahnya berdesir. [Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Bisakah kita bertemu besok?] [Maaf, tidak
Laura terdiam, benaknya ditumbuhi oleh kemelut akan penafsirannya sendiri, bahwa barangkali sejelas itulah Jake memperlakukannya di depan banyak orang. Sebuah hal yang bahkan disadari oleh Zafran hingga membuat pria bersurai hitam di hadapannya ini geram dan mengolok-olok Jake seperti orang gila. Laura sedikit memalingkan wajahnya, memandang pada buket bunga daffodil yang ada di atas meja sebelum kembali pada Zafran yang menyebut namanya saat bertanya, “Apakah malam itu kamu baik-baik saja, Laura?” Manik mata mereka bertemu, Laura melihatnya sedikit mengerutkan alis, “Jake tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu, ‘kan?” “Tidak, Pak Zafran,” jawab Laura. “Maaf sekali lagi karena sudah membuat keributan malam itu.” Zafran menundukkan kepalanya dengan sopan, seolah itu adalah caranya mengekspresikan maaf yang tulus. “Aku justru berterima kasih pada Pak Zafran,” tanggap Laura yang membuat Zafran mengangkat wajahnya dengan cepat, teriring dengan salah satu alis lebatnya yang terang
‘Bukan hanya murka,’ kata Laura dalam hati. ‘Itu bisa jadi bencana.’Laura tahu betul akan semarah apa Jake jika pria itu tahu ia membuat acara seperti ini.Laura kembali memandang wanita itu. “Kenapa mereka membatalkan secara tiba-tiba?” tanya Laura, suaranya serak dan gemetar. Tania yang berdiri di sebelahnya mencoba menenangkannya. “Atau mereka akan datang sedikit lebih lambat, Non?”“Tidak, Tania. Aku membaca jadwal yang diberikan sama orang EO itu kalau harusnya mereka sudah siap setengah jam yang lalu.”Laura menghela napasnya. Ia melihat seorang pria yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya untuk membicarakan berlangsungnya kegiatan hari ini dengan wajah yang cemas.“Maaf, Bu Laura,” katanya begitu ia berhadapan dengan Laura. “Kami tidak bisa menghubungi model-model itu. Kami juga sedang menghubungi anggota tim kami yang bertanggung jawab atas para model itu.”Tapi jika itu berhasil pun, tidak memungkinkan kegiatan berlangsung dengan segera.Dan orang-orang pasti tidak mau m
Laura menunduk, menghapus darah di hidungnya dengan cepat. Tetapi tiba-tiba Jake menghentikan tangannya. Jemari besar pria itu kini melingkar di pergelangan tangan Laura.Kebisuan memeluk mereka selama beberapa detik hingga Jake menghancurkan keheningan itu.“Ada apa, Laura?” tanyanya. “Kenapa hidungmu berdarah?”Laura tak ingin menjawab. Ia menepis tangan Jake, tetapi itu tak membuahkan hasil karena yang ada Jake mencengkeramnya semakin erat.“Jawab aku!” titahnya.Laura mengangkat wajahnya, menemukan manik mata Jake yang kelam menatapnya menunggu jawaban.“B-bukan apa-apa,” jawab Laura gugup.“Bohong!” sahut Jake, kedua alis lebatnya berkerut.Laura pikir … sepertinya Jake tidak akan percaya begitu saja kepadanya. Sehingga ia harus menemukan kalimat bantahan yang tepat.“K-kalau kamu berpikir aku bohong, memangnya kamu tahu apa yang terjadi padaku?”Jake membuang napasnya dengan sedikit kasar, kedua bahunya yang bidang jatuh bersamaan saat ia melakukan itu. “Jadi beri aku jawaban y
Jake mendengus. “Kenapa aku harus menikahi Fidel?”“Kenapa lagi memangnya?” tanggap sang ibu. “Tentu saja karena dia datang dari keluarga yang baik dan terpandang. Dulu kamu juga sempat berpacaran dengannya, ‘kan?”“Itu sudah berakhir sangat lama, Mam.”“Mama yakin dia adalah wanita cerdas dan bisa menjalani kodratnya sebagai wanita dengan memberi keturunan untuk keluarga kita, Jake.”“Tahu dari mana Mama jika dia pasti bisa melakukan itu?” tanya Jake, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sementara Alina masih tak henti menatapnya.“Karena Fidel tidak menjalani pengobatan jangka panjang seperti Laura,” jawabnya. “Artinya, jika Laura tidak menjalani pengobatan jangka panjang, maka dia juga memiliki kesempatan untuk menjadi wanita yang sempurna, begitu?”Alina bergeming, tak menjawab anak lelakinya yang seolah sedang mengatakan agar ia berhenti membandingkan antara Laura dan mantan pacarnya itu.“Tidak juga,” sahut Alina tiba-tiba. “Mungkin saja dia memang benar-benar wanita mandu
Pagi hari ini, Laura sedang berada di luar rumahnya. Usai menghabiskan makanan yang ia paksa telan karena sejak semalam ia tak makan, ia melakukan kegiatan untuk mengurangi kebosanan.Kegiatan kecil yang setidaknya membuat kakinya tetap bergerak serta tidak terpaku duduk diam di satu tempat saja.Ia sedang memotong tangkai bunga, membuang yang kering dan menjaga yang masih segar.Tangannya yang sedari tadi sibuk bergerak dan kakinya yang berjalan mendadak berhenti saat di pikirannya terlintas sebuah tanya, ‘Kapan pengadilan akan memanggil aku dan Jake untuk mulai proses perceraiannya?’Laura akan tanya pada Elsa nanti. Ia lupa menanyakan, kapan persisnya sejak berkas perkara didaftarkan ke pengadilan hingga datangnya surat panggilan.“Kenapa melamun?” tanya sebuah suara bariton yang mengejutkan Laura.Ia menoleh ke sebelah kanannya dan kedua matanya membola melihat siapa yang tengah berdiri di halaman rumah tanpa ia dengar kedatangannya itu.“P-Pak Zafran?” sebutnya gugup.“Selamat pa
‘Jadi benar selama ini mereka memang menjalin hubungan?’ tanya Laura dalam keheningan. Meski hatinya sakit melihat pemandangan yang ada di depan matanya, ia tak ingin mengambil hati. Ia tak ingin mempedulikan keberadaan baik itu Jake, Fidel, atau bahkan Alina.Laura menoleh pada Zafran, ingin memintanya untuk mencari jalan yang lain agar mereka bisa segera pergi dari sini secepatnya. Tapi saat Laura menemukan manik mata cokelat gelap milik pria itu, sepertinya Zafran juga sudah mengetahui keberadaan Jake di sana.Zafran membuang napasnya dengan kesal, seolah benci dengan kebetulan yang tidak menyenangkan ini.“Kita lewat sana saja, Mam!” ajak Zafran, menunjuk ke arah lain.Meski ibunya bingung karena anak lelakinya bermanuver secara tiba-tiba, tetapi Ema menurut. Ema juga meraih tangan Laura agar mereka mengambil jalan yang lain yang ditunjuk oleh Zafran.Mereka tiba di sebuah kafe di sudut food court. Zafran memastikan Laura duduk dengan nyaman terlebih dahulu barulah kemudian ia