‘Jadi benar selama ini mereka memang menjalin hubungan?’ tanya Laura dalam keheningan. Meski hatinya sakit melihat pemandangan yang ada di depan matanya, ia tak ingin mengambil hati. Ia tak ingin mempedulikan keberadaan baik itu Jake, Fidel, atau bahkan Alina.Laura menoleh pada Zafran, ingin memintanya untuk mencari jalan yang lain agar mereka bisa segera pergi dari sini secepatnya. Tapi saat Laura menemukan manik mata cokelat gelap milik pria itu, sepertinya Zafran juga sudah mengetahui keberadaan Jake di sana.Zafran membuang napasnya dengan kesal, seolah benci dengan kebetulan yang tidak menyenangkan ini.“Kita lewat sana saja, Mam!” ajak Zafran, menunjuk ke arah lain.Meski ibunya bingung karena anak lelakinya bermanuver secara tiba-tiba, tetapi Ema menurut. Ema juga meraih tangan Laura agar mereka mengambil jalan yang lain yang ditunjuk oleh Zafran.Mereka tiba di sebuah kafe di sudut food court. Zafran memastikan Laura duduk dengan nyaman terlebih dahulu barulah kemudian ia
Laura bisa merasakan tangan Jake yang melingkar di pergelangan tangannya menegang saat Zafran mengatakan agar Jake melepasnya Jake tertawa lirih, rahangnya menggertak saat ia menatap Zafran. “Kamu tidak berhak melarangku menyentuh istriku sendiri, Zafran Almair Roya!” Zafran ikut tertawa, menyiratkan ekspresi mencemooh yang kental di balik senyumnya kala netranya yang kelam masih beradu dengan manik mata Jake. “Jika Laura istrimu, lalu kenapa kamu pergi dengan mantan pacar dan ibumu ke wedding exhibition, Jake?” tanyanya. “Setidaknya jelaskan itu dulu sebelum kamu berbicara seolah Laura sedang melakukan dosa besar dengan makan di sini bersamaku dan menariknya dengan kasar seperti ini!” lanjutnya penuh penekanan. “Kamu dan Laura pun tidak ada bedanya sebenarnya,” tanggap Jake. “Karena Laura datang ke sini dengan pria lain juga saat status kami masih sebagai suami dan istri.” Jake memandang laura yang tak hentinya menatapnya dengan penuh kebencian. “Laura datang ke sini karena Ib
“Fidella—”“Melihatmu seasing ini ….” Fidel menjeda bicaranya, gadis itu menunduk dan meremas jemarinya. “Aku yakin kamu pasti lupa bahwa aku pernah menyelamatkan hidupmu,” lanjutnya. “Makanya sekarang kamu membenciku.”“Aku tidak membencimu, Fi,” tanggap Jake. “Dan aku tidak akan melupakan bahwa kamu pernah menyelamatkan hidupku.” Fidel tertawa lirih, ia kembali mengangkat wajahnya.Jake bisa menemukan manik cokelatnya yang tampak mengkilat tetapi itu karena netranya terbingkai oleh air mata.“Tapi kamu berubah, Jake.”“Apa yang berubah dariku memangnya? Aku hanya—““Jake yang aku kenal tidak akan pernah membentakku,” potongnya. “Baiklah—” ia tersenyum tegar. “Aku dan Tante Alina bisa pulang sendiri.”Fidel berjalan pergi meninggalkan Jake yang mematung di tempatnya. Sedangkan kepala pria itu berputar untuk melihat ke arah lobi, tempat di mana Laura berdiri di sana sebelumnya tetapi kini ia tak tampak lagi.‘Dia sudah pergi naik taksi?’ tanyanya dalam hati.Jake membuang napasnya,
“Laura?” tegur Daniela karena Laura hanya termangu setelah ia mengatakan bahwa ia akan melihat gaun untuk pernikahannya.“Y-ya?”“Apakah ada gaun di sini?” tanyanya. “Aku harap kamu mengatakan, ‘ada, banyak’ jadi aku tidak akan menangis.”Meski tak tahu apa maksudnya, Laura mengangguk menjawabnya. “Ada, banyak.”“Oh, syukurlah ….”“Tapi mungkin tidak sesuai seleramu,” kata Laura. “Atau bahkan lebih buruk dari yang kamu pikirkan.”“Aku belum melihatnya. Jadi aku tidak akan menilai sebelah pihak.”Mendengar hangatnya tanggapan gadis itu, Laura akhirnya membuka pintu lebar-lebar, dan satu langkah menyisih saat mempersilahkannya masuk.“Silahkan masuk,” ucapnya. “Ada beberapa yang sudah aku gantung, tapi yang di dalam box itu juga masih banyak,” tunjuk Laura pada gaun-gaun yang telah ia rapikan dan simpan di dalam cover gown, dan pada box besar yang masih ada di lantai juga.“Aku akan melihatnya, terima kasih, Laura.”Laura mengangguk, membalas senyum Daniela yang tak sepanik sebelumnya s
“T-tidak mungkin!” sanggah Laura. “Dokter bilang kalau aku hanya mengalami gangguan pencernaan, Pak Zafran. Makanya aku sering mual beberapa waktu terakhir ini,” lanjutnya.Mendengar hal itu, sepasang alis lebat Zafran berkerut, “Kenapa kamu mengalami gangguan pencernaan, Laura?” tanyanya keheranan.“Efek samping obat yang aku minum,” jawabnya.“Ada baiknya kamu periksa lagi,” saran Zafran. Dagunya mengedik pada Laura saat tatapan cemasnya belum mau pergi. “Wajahmu terlihat pucat.”Laura mengangguk, “Iya, terima kasih.”Laura menunjukkan senyumnya pada Zafran, memperlihatkan dirinya yang kuat meski ia sebenarnya ingin menyerah karena merasa energinya telah terkuras habis.“Laura?” panggil suara Daniela dari ruang ganti.“Iya.”“Bisakah kamu melihat kami?”“Tunggu sebentar!”Ia berjalan lebih dulu untuk menuju pada asal suara, sedangkan Zafran mengekor di belakangnya. Mereka tiba di ruang ganti dan melihat Daniela yang telah mengenakan gaun pengantin pilihannya, model ball gown, off t
Melihat wajah Laura yang tampak tertekan, Elsa urung memintanya untuk masuk ke dalam mobil. Ia kembali membawa langkahnya untuk berjalan mendekat pada Laura dan merentangkan kedua tangannya begitu tiba di hadapannya. Elsa tersenyum seolah sedang mengatakan, ‘Berat ya? Kamu boleh memelukku, Lau.’Laura tidak bisa menahan senyumnya. Memandang Elsa, ia tahu bahwa temannya ini hanya ingin membuatnya tahu bahwa ia tak sendirian. Selalu seperti inilah Elsafana Mahika yang ia kenal sejak Sekolah Menengah Atas. Meski Laura dulu tak begitu dekat dengannya, tetapi satu hal yang ia kenal dari Elsa adalah, ia seorang gadis yang ceria.Laura maju selangkah dan memeluknya, sedetik kemudian mereka tertawa.“Percayalah aku ada di sini,” kata Elsa. “Apapun yang ingin kamu lakukan, kamu tahu aku selalu mendukungmu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Lau.”“Terima kasih, Sa.”Elsa mengangguk. Ia kemudian bersedekap saat mengatakan, “Karena Jake tidak datang hari ini, upaya damai akan dianggap tida
“Masuklah, Fi,” kata Laura dengan satu langkah menyingkir, mempersilahkan dan memberi jalan untuk Fidel masuk ke dalam rumah. Laura menyaksikan gadis dengan dress di atas lutut itu kemudian duduk di sofa. Ia menyapukan pandang ke seluruh ruangan secara singkat sebelum tatapannya berhenti pada Laura yang berdiri tak jauh darinya. “Mau minum apa, Fi? Aku bisa—” “Tidak perlu, Lau,” potongnya. “Aku buru-buru, kamu tidak perlu membuatkan minuman untukku.” Ia melemparkan senyumnya yang manis pada Laura. Tak ingin memaksakan kehendaknya karena Fidel dengan terang telah menolaknya, Laura akhirnya memutuskan untuk duduk berseberangan dengannya. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Laura. Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, gerakannya terlihat anggun, seolah apapun yang dia lakukan bisa menghipnotis orang lain. “Aku tahu soal gugatan ceraimu pada Jake,” jawabnya lirih. Ia menunduk sejenak sebelum wajahnya yang cantik kembali ia perlihatkan. “Turut sedih mendenga
“Ada apa, Mam?” tanya Jake, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi sehingga ibunya histeris seperti ini. Alina datang dengan wajah yang tampak tertekan. Ia berdiri di depan Jake, mata mereka bertemu di bawah cahaya lampu ruang makan. Kebisuan memerangkap mereka selama beberapa lama sebelum suara gemetar Alina menghancurkannya. “Mama dipermalukan,” jawab Alina, air mata masih belum berhenti dari sepasang netranya. “Siapa yang mempermalukan Mama?” “Mama datang ke pesta ulang tahun teman Mama dan bertemu dengan ibunya Fidel,” jawabnya. “Dia bertanya kenapa kamu diceraikan oleh perempuan itu!” lanjutnya menggebu. Ia mengusap dadanya beberapa kali, seolah sedang meredam gejolak yang menjadi kemelut di dalam sana dan membakar hatinya dengan rasa marah. Alina terisak-isak, “Dia mengungkit soal kamu dan Fidel yang hampir menikah, dan menyebut ini adalah balasan karena kamu meninggalkan Fidel demi menikahi perempuan pincang itu tapi akhirnya diceraikan!” Alina meraih kerah kemeja