“T-tidak mungkin!” sanggah Laura. “Dokter bilang kalau aku hanya mengalami gangguan pencernaan, Pak Zafran. Makanya aku sering mual beberapa waktu terakhir ini,” lanjutnya.Mendengar hal itu, sepasang alis lebat Zafran berkerut, “Kenapa kamu mengalami gangguan pencernaan, Laura?” tanyanya keheranan.“Efek samping obat yang aku minum,” jawabnya.“Ada baiknya kamu periksa lagi,” saran Zafran. Dagunya mengedik pada Laura saat tatapan cemasnya belum mau pergi. “Wajahmu terlihat pucat.”Laura mengangguk, “Iya, terima kasih.”Laura menunjukkan senyumnya pada Zafran, memperlihatkan dirinya yang kuat meski ia sebenarnya ingin menyerah karena merasa energinya telah terkuras habis.“Laura?” panggil suara Daniela dari ruang ganti.“Iya.”“Bisakah kamu melihat kami?”“Tunggu sebentar!”Ia berjalan lebih dulu untuk menuju pada asal suara, sedangkan Zafran mengekor di belakangnya. Mereka tiba di ruang ganti dan melihat Daniela yang telah mengenakan gaun pengantin pilihannya, model ball gown, off t
Melihat wajah Laura yang tampak tertekan, Elsa urung memintanya untuk masuk ke dalam mobil. Ia kembali membawa langkahnya untuk berjalan mendekat pada Laura dan merentangkan kedua tangannya begitu tiba di hadapannya. Elsa tersenyum seolah sedang mengatakan, ‘Berat ya? Kamu boleh memelukku, Lau.’Laura tidak bisa menahan senyumnya. Memandang Elsa, ia tahu bahwa temannya ini hanya ingin membuatnya tahu bahwa ia tak sendirian. Selalu seperti inilah Elsafana Mahika yang ia kenal sejak Sekolah Menengah Atas. Meski Laura dulu tak begitu dekat dengannya, tetapi satu hal yang ia kenal dari Elsa adalah, ia seorang gadis yang ceria.Laura maju selangkah dan memeluknya, sedetik kemudian mereka tertawa.“Percayalah aku ada di sini,” kata Elsa. “Apapun yang ingin kamu lakukan, kamu tahu aku selalu mendukungmu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Lau.”“Terima kasih, Sa.”Elsa mengangguk. Ia kemudian bersedekap saat mengatakan, “Karena Jake tidak datang hari ini, upaya damai akan dianggap tida
“Masuklah, Fi,” kata Laura dengan satu langkah menyingkir, mempersilahkan dan memberi jalan untuk Fidel masuk ke dalam rumah. Laura menyaksikan gadis dengan dress di atas lutut itu kemudian duduk di sofa. Ia menyapukan pandang ke seluruh ruangan secara singkat sebelum tatapannya berhenti pada Laura yang berdiri tak jauh darinya. “Mau minum apa, Fi? Aku bisa—” “Tidak perlu, Lau,” potongnya. “Aku buru-buru, kamu tidak perlu membuatkan minuman untukku.” Ia melemparkan senyumnya yang manis pada Laura. Tak ingin memaksakan kehendaknya karena Fidel dengan terang telah menolaknya, Laura akhirnya memutuskan untuk duduk berseberangan dengannya. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Laura. Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, gerakannya terlihat anggun, seolah apapun yang dia lakukan bisa menghipnotis orang lain. “Aku tahu soal gugatan ceraimu pada Jake,” jawabnya lirih. Ia menunduk sejenak sebelum wajahnya yang cantik kembali ia perlihatkan. “Turut sedih mendenga
“Ada apa, Mam?” tanya Jake, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi sehingga ibunya histeris seperti ini. Alina datang dengan wajah yang tampak tertekan. Ia berdiri di depan Jake, mata mereka bertemu di bawah cahaya lampu ruang makan. Kebisuan memerangkap mereka selama beberapa lama sebelum suara gemetar Alina menghancurkannya. “Mama dipermalukan,” jawab Alina, air mata masih belum berhenti dari sepasang netranya. “Siapa yang mempermalukan Mama?” “Mama datang ke pesta ulang tahun teman Mama dan bertemu dengan ibunya Fidel,” jawabnya. “Dia bertanya kenapa kamu diceraikan oleh perempuan itu!” lanjutnya menggebu. Ia mengusap dadanya beberapa kali, seolah sedang meredam gejolak yang menjadi kemelut di dalam sana dan membakar hatinya dengan rasa marah. Alina terisak-isak, “Dia mengungkit soal kamu dan Fidel yang hampir menikah, dan menyebut ini adalah balasan karena kamu meninggalkan Fidel demi menikahi perempuan pincang itu tapi akhirnya diceraikan!” Alina meraih kerah kemeja
“Tolong jangan bersikap seperti ini!” bentak Jake. Ia menatap Alina yang duduk merosot di lantai begitu menjumpai bahwa pisau itu menggores telapak tangan anak lelakinya sendiri alih-alih menyayat pergelangan tangannya.Jake meraih pisau dari genggaman Alina dan melemparnya menjauh sebelum benda itu memakan korban.“Kenapa kamu mencegah Mama, Jake?” tanya Alina. “Mama sebaiknya mati jika kamu hanya diam saja dan tidak melakukan yang Mama minta, atau kamu lebih rela Mama dan keluarga kita dipermalukan oleh banyak orang.”“Mama … tidak akan ada yang mati! Tolonglah ….” pinta Jake. “Jangan melukai diri sendiri atau memiliki keinginan untuk bunuh diri begini!”“Akan Mama lakukan, asalkan kamu bersedia menikah dengan Fidel.”Jake memandang Alina. Matanya memanas. Kepalanya tak bisa berpikir jernih saat ia merasakan telapak tangannya yang mengucurkan darah ini perlahan memberinya rasa perih.Ia membuang kasar napasnya, sebelum akhirnya memberi sang ibu jawaban, “Akan aku pikirkan nanti,” k
“Jika kamu sedang bercanda, ini tidak lucu, Zafran!” kata Jake.“Apakah hal seperti ini masih bisa kamu sebut sebagai sebuah candaan, Jake?” Desah napas Zafran seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir atas kalimat yang baru saja ia dengar ini.Amarah terdengar kental dari caranya berucap.Dan mendengar Zafran yang marah, membuat Jake seketika terdiam. Sejenak ia tak tahu harus melakukan apa.“Laura … tidak pernah mengatakan bahwa dia sedang hamil,” katanya. “Jadi bagaimana bisa dia—”“Tanyakan pada dirimu sendiri, Jake!” potong Zafran masih dengan giginya yang menggertak. “Apa yang kamu lakukan pada Laura sampai dia tidak mengatakan bahwa dia sedang hamil?”“Kami—”“Itu karena kamu tidak pernah menganggapnya ada,” katanya. “Karena kamu menganggap apapun yang disampaikan oleh istrimu adalah sebuah bentuk aduan yang kekanakan. Makanya dia tidak mau mengatakan seperti apa kondisinya padamu.”Jake termangu, ia bisa menemukan keengganan berbalut rasa muak dari cara Zafran menghardiknya.
“Aku tidak peduli dengan larangan Zafran!” kata Jake, membulatkan tekad.Dengan langkah yang berat, dan meski Zafran tak mengizinkannya mengikuti ke mana Laura dibawa pergi, Jake tetap mengayunkan kakinya untuk menyusul.Rupanya, ruang pemulihan pasca kuret yang dimaksudkan oleh dokter tadi adalah sebuah ruang rawat yang cukup besar. Jake tidak perlu mempertanyakan lagi siapa yang meminta Laura untuk ditempatkan di dalam ruang terbaik di sini. Itu sudah pasti adalah Zafran.“Tapi di mana dia?” tanyanya pada diri sendiri.Pria itu tak tampak batang hidungnya, entah ke mana perginya, atau mungkin memang ada urusan yang sedang ingin ia selesaikan di luar.Atau ....Entahlah!Tetapi bagi Jake, ini adalah sebuah kesempatan.Ia berjalan mendekat, merapat ke arah jendela. Menyaksikan seorang wanita dengan selimut biru menutupi tubuhnya. Yang belum lama ini ia sangka sebagai mayat, tengah terbaring di dalam sana.Kini, Laura tampak begitu rapuh. Atau ... memang seperti itulah dia sejak dulu?
“Itu bukan salahmu,” ucap sebuah suara bariton seorang pria yang datang dari sebelah kanannya. Seolah lepas dari pengawasannya, Laura tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di sana dan mengamatinya hingga memutuskan untuk membuka suara. Zafran. Laura menunduk, menyeka air matanya, menyembunyikan kesedihannya meski ia tahu itu adalah sebuah kesia-siaan. Daripada orang lain, Zafran adalah orang yang paling mengerti luka Laura sebab ia adalah saksi peristiwa yang merenggut kebahagiaannya yang akan menjadi seorang ibu. Langkah pria itu terdengar bergema saat ia berjalan untuk mengikis jarak, guna mendekatkan dirinya pada Laura yang masih duduk di atas ranjang rawatnya. “Yang terjadi sekarang ini bukan salahmu, Lau,” kata Zafran sekali lagi. Suaranya serak dan juga parau. “P-Pak Zafran menginap di sini?” tanya Laura, tak ingin menunjukkan wajahnya pada Zafran. “Di luar,” jawabnya. “Kamu tidak boleh diganggu setelah operasi semalam.” Mendengar jawaban itu barulah Laura mengangkat
Tiga tahun kemudian .... .... Musim yang tak menentu membuat siang hari ini sedikit lebih mendung ketimbang hari-hari biasanya. Hembusan angin dari timur membelai rambut Laura yang baru saja keluar dari mobil. Ia tak bisa untuk tak tersenyum saat melihat anak-anaknya yang berlarian sekeluarnya dari sedan yang pintunya baru saja dibukakan oleh si papa—Jake. “Jangan tarik tangannya Senna, Jayce!” pinta Jake. “Nanti Adik jatuh loh!” “Iya, Papa,” sahut Jayce dari seberang sana, pada sisi lain halaman dan memelankan langkahnya yang baru saja menarik Jasenna. Jake memang tak pergi ke kantor hari ini. Ia menyempatkan diri untuk mengantar Jayce dan Jasenna untuk pergi ke preschool mereka. Dan baru saja ia menjemput si kembar bersama dengan Laura. "Kamu tidak akan pergi ke kantor?" tanya Laura, menoleh pada Jake yang malah duduk di teras alih-alih masuk ke dalam rumah. "Tidak, Sayang," jawabnya. Ia mengarahkan tangannya ke depan, meraih tangan Laura agar duduk di sebelahnya.
“Seandainya aku memperlakukannya dengan lebih baik, dan memintanya untuk mengakui kesalahan apa yang pernah dia perbuat pada Laura, dia pasti tidak akan sehancur itu di tangan takdir yang memberikan karmanya.” Laura dan Jake tahu betul bahwa yang disebutkan oleh Erick itu adalah Fidel. “Tapi kamu ‘kan juga tidak tahu kalau Fidel melakukan itu pada Laura,” tanggap Jake. “Kamu tahu saat semuanya sudah terlambat. Bukan sepenuhnya salahmu juga, kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri.” Erick tersenyum saat sekilas menoleh pada Jake, kemudian kembali memandang Jayce dan Jasenna yang sangat tampan dan cantik. Dua bayi mereka, anugerah setelah penderitaan panjang tak berkesudahan itu. “Mulailah hidup barumu, Erick,” kata Jake. “Kamu berhak mendapatkan hidupmu yang baru, dan terlepas dari semua ini.” Erick lalu bangun dari berlututnya. Ia menghadap pada Jake dan Laura yang tampak tulus saat memberinya nasehat. Ia mengangguk, “Iya, aku pikir juga begitu,” jawabnya. “Tapi mungkin tidak d
Sejak si kembar sudah dalam fase merangkak, Jake dibuat sedikit kewalahan menghadapi mereka yang sangat aktif.Setahunya, cheetah adalah salah satu pemilik lari tercepat di dunia dengan kecepatan seratus tiga puluh kilometer per jam, tapi apa itu cheetah?! Jayce dan Jasenna lebih cepat daripada cheetah dewasa yang tengah berlari saat mereka merangkak.Pagi ini saja, Jake baru selesai membawa Jayce keluar dari kamar mandi setelah berendam bersama dengan Laura. Tapi saat ia mengambilkan diapers, Jayce sudah pergi dari kamar dengan keadaan tanpa pakaian dalam sekejap mata.Jika Jake tak mendengar gelak tawanya yang seolah mengejek di luar, ia tak akan menemukan di mana anak lelakinya itu berada."Jayce, pakai baju dulu, Nak!" ucapnya saat menjumpai Jayce yang bermain slipper di dekat anak tangga.Ia menggendongnya untuk masuk ke dalam kamar, melihat Laura yang tak bisa menahan tawa saat membawa Jasenna keluar dari kamar mandi dengan handuknya yang bergambar panda."Loh? Aku kira sudah s
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau