“Masuklah, Fi,” kata Laura dengan satu langkah menyingkir, mempersilahkan dan memberi jalan untuk Fidel masuk ke dalam rumah. Laura menyaksikan gadis dengan dress di atas lutut itu kemudian duduk di sofa. Ia menyapukan pandang ke seluruh ruangan secara singkat sebelum tatapannya berhenti pada Laura yang berdiri tak jauh darinya. “Mau minum apa, Fi? Aku bisa—” “Tidak perlu, Lau,” potongnya. “Aku buru-buru, kamu tidak perlu membuatkan minuman untukku.” Ia melemparkan senyumnya yang manis pada Laura. Tak ingin memaksakan kehendaknya karena Fidel dengan terang telah menolaknya, Laura akhirnya memutuskan untuk duduk berseberangan dengannya. “Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Laura. Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, gerakannya terlihat anggun, seolah apapun yang dia lakukan bisa menghipnotis orang lain. “Aku tahu soal gugatan ceraimu pada Jake,” jawabnya lirih. Ia menunduk sejenak sebelum wajahnya yang cantik kembali ia perlihatkan. “Turut sedih mendenga
“Ada apa, Mam?” tanya Jake, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi sehingga ibunya histeris seperti ini. Alina datang dengan wajah yang tampak tertekan. Ia berdiri di depan Jake, mata mereka bertemu di bawah cahaya lampu ruang makan. Kebisuan memerangkap mereka selama beberapa lama sebelum suara gemetar Alina menghancurkannya. “Mama dipermalukan,” jawab Alina, air mata masih belum berhenti dari sepasang netranya. “Siapa yang mempermalukan Mama?” “Mama datang ke pesta ulang tahun teman Mama dan bertemu dengan ibunya Fidel,” jawabnya. “Dia bertanya kenapa kamu diceraikan oleh perempuan itu!” lanjutnya menggebu. Ia mengusap dadanya beberapa kali, seolah sedang meredam gejolak yang menjadi kemelut di dalam sana dan membakar hatinya dengan rasa marah. Alina terisak-isak, “Dia mengungkit soal kamu dan Fidel yang hampir menikah, dan menyebut ini adalah balasan karena kamu meninggalkan Fidel demi menikahi perempuan pincang itu tapi akhirnya diceraikan!” Alina meraih kerah kemeja
“Tolong jangan bersikap seperti ini!” bentak Jake. Ia menatap Alina yang duduk merosot di lantai begitu menjumpai bahwa pisau itu menggores telapak tangan anak lelakinya sendiri alih-alih menyayat pergelangan tangannya.Jake meraih pisau dari genggaman Alina dan melemparnya menjauh sebelum benda itu memakan korban.“Kenapa kamu mencegah Mama, Jake?” tanya Alina. “Mama sebaiknya mati jika kamu hanya diam saja dan tidak melakukan yang Mama minta, atau kamu lebih rela Mama dan keluarga kita dipermalukan oleh banyak orang.”“Mama … tidak akan ada yang mati! Tolonglah ….” pinta Jake. “Jangan melukai diri sendiri atau memiliki keinginan untuk bunuh diri begini!”“Akan Mama lakukan, asalkan kamu bersedia menikah dengan Fidel.”Jake memandang Alina. Matanya memanas. Kepalanya tak bisa berpikir jernih saat ia merasakan telapak tangannya yang mengucurkan darah ini perlahan memberinya rasa perih.Ia membuang kasar napasnya, sebelum akhirnya memberi sang ibu jawaban, “Akan aku pikirkan nanti,” k
“Jika kamu sedang bercanda, ini tidak lucu, Zafran!” kata Jake.“Apakah hal seperti ini masih bisa kamu sebut sebagai sebuah candaan, Jake?” Desah napas Zafran seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir atas kalimat yang baru saja ia dengar ini.Amarah terdengar kental dari caranya berucap.Dan mendengar Zafran yang marah, membuat Jake seketika terdiam. Sejenak ia tak tahu harus melakukan apa.“Laura … tidak pernah mengatakan bahwa dia sedang hamil,” katanya. “Jadi bagaimana bisa dia—”“Tanyakan pada dirimu sendiri, Jake!” potong Zafran masih dengan giginya yang menggertak. “Apa yang kamu lakukan pada Laura sampai dia tidak mengatakan bahwa dia sedang hamil?”“Kami—”“Itu karena kamu tidak pernah menganggapnya ada,” katanya. “Karena kamu menganggap apapun yang disampaikan oleh istrimu adalah sebuah bentuk aduan yang kekanakan. Makanya dia tidak mau mengatakan seperti apa kondisinya padamu.”Jake termangu, ia bisa menemukan keengganan berbalut rasa muak dari cara Zafran menghardiknya.
“Aku tidak peduli dengan larangan Zafran!” kata Jake, membulatkan tekad.Dengan langkah yang berat, dan meski Zafran tak mengizinkannya mengikuti ke mana Laura dibawa pergi, Jake tetap mengayunkan kakinya untuk menyusul.Rupanya, ruang pemulihan pasca kuret yang dimaksudkan oleh dokter tadi adalah sebuah ruang rawat yang cukup besar. Jake tidak perlu mempertanyakan lagi siapa yang meminta Laura untuk ditempatkan di dalam ruang terbaik di sini. Itu sudah pasti adalah Zafran.“Tapi di mana dia?” tanyanya pada diri sendiri.Pria itu tak tampak batang hidungnya, entah ke mana perginya, atau mungkin memang ada urusan yang sedang ingin ia selesaikan di luar.Atau ....Entahlah!Tetapi bagi Jake, ini adalah sebuah kesempatan.Ia berjalan mendekat, merapat ke arah jendela. Menyaksikan seorang wanita dengan selimut biru menutupi tubuhnya. Yang belum lama ini ia sangka sebagai mayat, tengah terbaring di dalam sana.Kini, Laura tampak begitu rapuh. Atau ... memang seperti itulah dia sejak dulu?
“Itu bukan salahmu,” ucap sebuah suara bariton seorang pria yang datang dari sebelah kanannya. Seolah lepas dari pengawasannya, Laura tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di sana dan mengamatinya hingga memutuskan untuk membuka suara. Zafran. Laura menunduk, menyeka air matanya, menyembunyikan kesedihannya meski ia tahu itu adalah sebuah kesia-siaan. Daripada orang lain, Zafran adalah orang yang paling mengerti luka Laura sebab ia adalah saksi peristiwa yang merenggut kebahagiaannya yang akan menjadi seorang ibu. Langkah pria itu terdengar bergema saat ia berjalan untuk mengikis jarak, guna mendekatkan dirinya pada Laura yang masih duduk di atas ranjang rawatnya. “Yang terjadi sekarang ini bukan salahmu, Lau,” kata Zafran sekali lagi. Suaranya serak dan juga parau. “P-Pak Zafran menginap di sini?” tanya Laura, tak ingin menunjukkan wajahnya pada Zafran. “Di luar,” jawabnya. “Kamu tidak boleh diganggu setelah operasi semalam.” Mendengar jawaban itu barulah Laura mengangkat
“Laura—” panggil Jake lirih, dan sepertinya ia tidak ingin mengindahkan permintaan Laura agar ia pergi. Sebab Jake tetap membawa langkahnya masuk ke dalam ruang rawat itu. “Pergi dari sini!” usir Laura sekali lagi. “Apa yang kamu inginkan?!” “Apakah aku tidak bisa meminta waktumu sebentar saja?” tanya Jake, ada nada memohon yang kentara dari caranya berucap kini. “Aku ingin bicara denganmu.” “Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Jake,” kata Laura. Ia menunduk, mencoba menata hatinya yang tengah bergejolak menyadari ia dan Jake berbagi satu ruangan yang sama. Suaranya parau dan gemetar, dikekang sesak dan kebencian. “Semuanya sudah selesai,” lanjutnya lirih. “Belum,” sahut Jake. “Kita masih belum selesai.” Laura masih tak ingin melihat Jake, atau mengamati lebih jauh seperti apa raut wajah pria itu sekarang ini. Ia masih menunduk dan meremas selimut warna biru yang menutupi kakinya. Ia mendengar suara langkah kaki Jake, mengikis jarak yang semula berdiri angkuh m
“Jake?!” panggil sebuah suara saat pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan muncullah Zafran. Sepasang mata beriris cokelat gelap milik pria itu memandang Laura dan Jake bergantian sebelum ia mengayunkan kakinya menuju pada Jake dan merenggut kerah kemeja yang ia kenakan dan menyeretnya pergi dari hadapan Laura. “Lepas, Brengsek!” umpat Jake marah, menepis tangan Zafran saat mereka tiba di luar.Bibir Zafran yang semula terpasung bisu akhirnya bersuara.“Kamu tuli, Jake?!” hardiknya. “Kamu tidak mendengarku?! Aku bilang jangan mengganggu Laura lagi!”Jake menggertakkan rahangnya. Mengamati Zafran … ia sangat benci dengan tatapan angkuhnya itu. Tangannya terkepal erat, bersiap menghantam rahang temannya itu jika ia mengatakan sesuatu yang membuatnya naik pitam.Namun, hal itu ia urungkan karena Jake mendengar Zafran yang justru membuatnya kembali dirundung rasa bersalah yang besar. “Laura baru saja bertaruh dengan hidup dan matinya,” kata Zafran, berat dan serak. “Jika semalam kamu meli