Dari tempat Laura berdiri di luar ruangan, ia melihat Jake yang menoleh ke arahnya. Manik mata mereka bertatapan selama beberapa saat sampai Laura melihat pria itu bangkit dari kursi dan berjalan ke arahnya.
“Lelucon apa yang sedang kamu lakukan ini, Laura?” tanya Jake frontal. Sepasang alis lebatnya nyaris bertautan. Pria itu menoleh sekilas ke belakang pada Farren. Seolah itu adalah sebuah isyarat agar pemuda itu mengenyahkan dirinya. Farren beringsut pergi meninggalkan lantai lima belas, membiarkan ruangan itu sepenuhnya dimiliki oleh tuan dan nyonyanya. “Aku tidak sedang bercanda, Jake,” jawab Laura tanpa ragu. Jake satu langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. “Kamu cemburu?” tanyanya. “Kamu cemburu pada Fidel makanya meminta cerai dariku?” lanjutnya, masih sukar memalingkan wajahnya. Bibir Laura mengatup rapat. Ia menatap pria tinggi menjulang di hadapannya ini dengan mata yang memanas. Batinnya dipenuhi kemelut sebelum akhirnya ia memberi jawaban. “Dengan bercerai, itu akan mempermudah apa yang ingin kamu lakukan.” “Apa kamu tidak sadar kalau yang kamu lakukan ini sangat kekanakan?” tanya Jake, hela napasnya terdengar berat. “Aku anggap kamu tidak mengatakan apapun hari ini, jadi pulanglah dan jangan membuat keributan di kantorku!” “Jake—” “Kamu merusak selera makanku, Laura!” sentak Jake, lalu berbalik pergi meninggalkan Laura. Punggungnya hampir menghilang di balik pintu ruang kerjanya sebelum Laura mencegahnya. “Aku serius,” kata Laura. Meski suaranya bergetar, namun keteguhannya tak terbantahkan. “Aku serius soal ini, Jake.” Mendengar Laura sekali lagi, Jake memutar tubuhnya sehingga mereka kembali saling berhadapan. “Kamu tidak mendengarku?!” nada bicara Jake meninggi. “Pulanglah dan berhenti merengek soal hal yang tidak perlu!” Laura bergeming saat Jake melempar selembar kertas yang tadi ia berikan lewat Farren. Pintu ruang CEO tertutup dengan kasar dari dalam. Laura melihat pria itu kembali duduk di balik meja kerjanya setelah melempar makanan miliknya yang tidak habis ke dalam tempat sampah. Laura membawa langkah kakinya dengan tertatih-tatih memasuki lift. Ia menahan air mata saat mengingat betapa dinginnya respon Jake terhadap permintaan perceraiannya ini. Sebuah hal yang harusnya membuat Jake sadar bahwa ada ‘sesuatu’ yang salah dalam pernikahan mereka, tetapi pria itu bahkan tak peduli! Tiba di lantai satu, Laura mengayunkan kakinya keluar dari lift. Ia berhenti saat berpapasan dengan seorang pria parlente yang diikuti oleh beberapa orang yang berjalan di belakangnya. ‘Pria di malam pesta itu,’ kata Laura dalam hati. “Selamat siang,” sapa pria dengan setelan jas formal di hadapannya itu. “Selamat siang,” balas Laura dengan suaranya yang serak. “Bagaimana keadaan kakimu?” tanyanya hangat. “Apakah sudah lebih baik?” Sejenak Laura termangu, tidak menduga ada perhatian seperti itu dari pria asing yang bahkan tak ia ketahui namanya ini. Sebatas yang ia tahu, pria itu adalah partner kerja Jake. Sosok asing yang suaranya terdengar hangat, sangat jauh berbeda dengan dinginnya sikap Jake. “I-iya,” jawab Laura terbata. “Hal yang baik mendengar Nona baik-baik saja.” Laura berdeham, tidak tahu bagaimana menyikapi kalimat yang menyiratkan kelegaan itu. “Silahkan jika Nona ingin lewat,” ucap pria itu sembari menepi, diikuti oleh beberapa orang yang berdiri di belakangnya, memberi jalan bagi Laura. Isyarat tangannya seolah sedang mengatakan bahwa Laura bisa lebih dulu melaluinya. Laura menundukkan kepala sekilas, berterima kasih padanya. Ia berjalan melewati lobi, hendak menemui Han yang menunggunya di luar. Namun, saat tiba di pertengahan lobi megah HZ Empire, Laura merasakan sakit yang luar biasa di kaki sebelah kanannya. Ia berhenti, tangannya mencengkeram erat elbow crutch-nya semakin kuat. Laura ingin membawa dirinya pergi dari sini, tetapi sepasang kakinya seolah terpancang di lantai marmer tempat ia berpijak. Rasanya seperti berdiri di atas pecahan kaca dan duri tajam yang menyiksa. Tangan Laura gemetar saat ia bertanya dalam hati. ‘Kenapa ... aku malah menjadi seperti ini? Padahal aku baru saja pulang terapi.’ Laura memandang sekitar, mata orang-orang menghujaninya dengan penghakiman yang membuatnya kehilangan kekuatan hingga ia tak bisa lagi memegang tongkat sikunya. Benda itu dijumpai Laura terlepas dari tangannya, terjatuh di atas lantai begitu juga dengan dirinya yang tak bisa menopang tubuhnya lebih lama. Ia berusaha menggapai tongkat miliknya, tanpa seorang pun mau membantunya. Matanya mengembun, diburamkan oleh air mata yang sedang coba ia tahan sekuat tenaga agar tidak turut luruh. “Apakah itu istrinya Tuan Jake?” bisik sebuah suara dari belakang Laura. “Benar, itu istrinya Tuan Jake,” sahut suara lainnya. “Apakah kondisinya memang seburuk itu?” “Apa dia datang ke sini lalu diabaikan oleh Tuan Jake?” “Bukankah jika tahu kakinya tak berfungsi seperti itu harusnya dia tinggal di rumah saja?” Tangan Laura terkepal erat, ia menunduk menyembunyikan satu butir air mata melewati pipinya. Ia mencoba bangun, tetapi kedua kakinya benar-benar telah mati rasa. Saat ia mengangkat wajahnya, hatinya ditumbuhi oleh retakan yang menganga lebar. Laura menjumpai Jake yang hanya melihatnya dari kejauhan. Netra mereka menemukan pandang di antara hiruk-pikuk, tetapi pria itu tidak beranjak guna sedikit memberi uluran tangan atas keterbatasan dirinya ini. Laura tidak pernah mengharap pria itu membalas cintanya, tetapi sedikit saja … Laura ingin setidaknya Jake menganggapnya ada. Jika Jake hanya menganggapnya sebagai beban … ‘Lantas mengapa ia menolak saat aku meminta darinya sebuah perceraian?’ Laura tersentak saat tiba-tiba seseorang menghalangi jarak pandangnya terhadap Jake. Wajah pria di malam pesta itu tepat berada di hadapannya sekarang. Tak seperti orang lain—atau bahkan suaminya sendiri—yang hanya menjadi penonton, pria itu seolah tak peduli dengan keterkejutan orang-orang saat ia berlutut di depan Laura. “Ayo pergi dari sini,” bisiknya sembari mengulurkan tangan. Laura bergeming, ia meremas jemarinya, menahan diri untuk tak menerima bantuan pria bersurai hitam itu untuk kedua kalinya. Namun, pria itu sepertinya tidak tahan dengan kebisuan Laura. Kurang dari satu detik, ia membawa Laura terangkat dalam dekapan kedua lengan kekarnya. “Tuan, saya bisa—” “Tak apa. Berpeganglah yang kuat.” Setelah mengatakan itu, pria itu berbalik dan dengan tanpa beban membawa Laura untuk pergi meninggalkan lobi HZ Empire. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti. Dan itu bukan tanpa sebab, karena Laura melihat Jake berdiri tepat di depan mereka. Riuh bisikan staf yang menyaksikan pemandangan itu terdengar gaduh. Laura menggigil, ia tidak bisa mengartikan makna tatapan suaminya itu. “Jangan berdiri menghalangi jalanku, Jake Ganzano Heizt!” Rahang tegas Jake menegang mendengar ucapan dari pria yang tengah menggendongnya itu. Tatapan tajamnya menghunus tanpa ampun. “Mau kau bawa ke mana istriku, Zafran Almair Roya?”Ketegangan terjadi di antara mereka, alih-alih menjawab Jake, yang dilakukan oleh pria yang namanya disebut sebagai Zafran itu justru sekali lagi menegaskan, “Jangan menghalangi jalanku, Jake! Tolong minggirlah!”Kalimatnya tegas dan penuh penekanan.Selama beberapa saat, Jake hanya bergeming. Laura menangkap hela napasnya yang terdengar berat melalui sudut matanya yang tidak berani menoleh pada siapapun. Tidak pada Jake, atau pada Zafran yang tengah menggendongnya.Ia hanya berani melirik pada Jake yang kemudian menoleh ke belakang. Sepertinya pria itu menyadari bahwa Zafran akan membawa Laura ke mobil yang sudah disiapkan oleh Han—sopir miliknya—di depan pintu lobi. Zafran melanjutkan langkahnya begitu Jake menyingkir.Ia menempatkan Laura duduk di kursi penumpang bagian belakang saat tiba di mobil.“Terima kasih,” ucap Laura canggung, menatap Zafran yang masih berdiri tak jauh darinya dan menyerahkan elbow crutch miliknya.“Sama-sama, Nona,” jawabnya teriring seulas senyum yang ha
Laura tercenung di tempat ia duduk. Sepasang netranya menatap Jake dengan penuh tanya. ‘Apa maksudnya itu?’ gumam Laura dalam hati dengan bingung. ‘Apa dia mencoba menimpakan kesalahan agar aku yang seolah melakukan hubungan terlarang di belakangnya?’ Laura meraih pergelangan tangan Jake, ia mencoba melepaskan dirinya tetapi tak berhasil. Jake terlalu kuat meraih dagunya. Rahang tegas pria yang menunduk di hadapannya ini menggertak sebelum ia sekali lagi bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal Zafran?” Wajah Laura pias. Laura tak mungkin mengatakan bahwa ia melihat pria itu sejak malam di pesta orang tua Jake. “Aku tidak mengenalnya,” jawab Laura, berusaha tenang. “Aku kebetulan berpapasan dengannya tadi sewaktu aku pergi dari ruanganmu.” Jake menatap Laura cukup lama, mendengus tidak puas dengan jawaban itu. “Benarkah?” “Iya,” jawabnya tegas. Jake kemudian menundukkan kepalanya, Laura melihat wajah mereka yang semakin dekat dan menyadari apa yang akan Jake lakukan.
Laura tak menjawab panggilan Jake, tidak juga untuk menoleh ke belakang untuk beberapa saat.“Ada apa?” tanya Laura, menahan suara seraknya agar tak gemetar. “Kenapa kamu mengikutiku?”“Kamu lupa dengan obatmu,” jawab Jake setelah menarik tangannya dari bahu Laura. “Tania sudah menyiapkannya tadi, ini aku bawakan ke sini.”“Aku bisa meminumnya nanti. Taruh saja di atas meja!” tunjuk Laura sekilas pada meja yang tak jauh dari ranjang.Laura tidak menengok pada Jake sama sekali karena ia tak yakin darah yang ada di hidungnya tadi apakah masih tertinggal ataukah sudah hilang.‘Kenapa dia tidak cepat keluar?’ tanya Laura kesal pada Jake yang malah berdiri terpaku di belakangnya. Dan diamnya itu terasa mengganggu.“Ada lagi yang ingin kamu katakan?” Laura menoleh pada Jake, hanya menunjukkan sebagian kecil sisi samping wajahnya, untuk memastikan pria itu masih berdiri di belakangnya.“Tidak ada.”“Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian?” Jake mendengus kesal, sepertinya karena tak ingin
Dengan langkahnya yang tertatih-tatih, Laura memasuki kamar, tempat di mana ia bisa menyembunyikan dirinya agar tidak perlu bertemu dengan Jake. Dari sekarang, Laura akan menulikan telinganya, tidak peduli Jake akan kesal padanya atau apapun yang akan ia lakukan. “Hah ….” Ia mendesah saat duduk setelah mengunci pintu kamarnya agar Jake tidak masuk seperti semalam. Ia diam, menunduk memandang jari manis di tangannya, di mana di sana terdapat cincin pernikahannya dengan Jake yang kini mulai tak sakral lagi baginya. Laura melepasnya dan meletakkannya di atas meja. “Harusnya Jake juga melepasnya kalau dia ingin menikah dengan Fidel.” Ada apa dengan dirinya yang masih mempertahankan benda tidak berguna—cincin—itu di tangannya saat hadirnya saja telah menjadi simbol tanpa makna? Meski hatinya sakit, tetapi mata Laura tak bisa berbohong. Tanpa sadar cairan bening itu tiba-tiba membuat pandangannya berubah menjadi abu-abu. Ia merasa Jake sedang mempermainkannya dengan sengaja. “Seb
“Tidak mau!” sentak Laura, menarik tangannya dari genggaman Jake dengan sedikit kasar tetapi pria itu tidak membiarkannya lepas begitu saja. “Aku tidak sedang merengek,” lanjutnya. “Berhentilah mengatakan hal itu!” Laura memejamkan matanya, merasakan pergelangan tangannya yang sakit karena Jake meraihnya terlalu kuat. “Aku tidur di kamar ini karena aku ingin sendiri, Jake.” “Sendiri?” sahut Jake teriring rahang tegasnya yang menegang. “Pernikahan macam apa yang salah satu dari pasangannya ingin sendirian seperti yang sedang kamu lakukan ini?!” Nada bicaranya meninggi. Laura tertawa mendengar itu. Sedetik kemudian tawanya menghilang saat ia mengangkat wajahnya untuk kembali memandang Jake, “Ah, benar …” angguknya samar. “Aku bahkan hampir lupa kalau kamu tidak pernah membiarkan aku merasa sendirian.” “Kenapa kamu melakukan hal sesuka hatimu, Laura?” “Aku tidak seperti itu,” jawab Laura. “Aku ingin sendirian karena aku melakukan apa yang pernah kamu katakan kalau kamu tidak suka be
“A-a-aku baik-baik saja, Pak Zafran,” ucap Laura gugup, wajahnya tertunduk. Sepertinya, Zafran menangkap rasa canggung saat Laura menjawabnya, biar bagaimanapun … apa yang disampaikan oleh Zafran sedikit tidak biasa. “Ini bukan sebuah ajakan perselingkuhan, Laura,” ujar Zafran yang membuat Laura mengangkat sedikit pandangannya sehingga manik mata mereka kembali bertemu. “Aku hanya menawarkan sebuah bantuan sampai kamu sembuh, yang barangkali kamu bersedia menerimanya.” Sebuah angin sejuk melewati pipi Laura hingga membuat darahnya berdesir. Ia membalas senyum Zafran sebelum membuka suara. “Terima kasih untuk kepedulian yang Pak Zafran berikan,” jawab Laura. “Tapi aku baik-baik saja.” “Syukurlah kalau begitu.” Laura hampir berpamitan lagi sebelum ia melihat seorang wanita paruh baya berambut sebahu yang datang dan mendekat pada Zafran. “Kamu bicara dengan siapa?” tanyanya lembut dan keibuan. “Temanku, Ma. Laura namanya,” jawab Zafran. “Ini mamaku yang aku antar ke dokter
Laura masuk ke dalam kamarnya, terseok-seok menuju ke kamar mandi guna membasuh tangannya yang terluka dengan air yang mengalir terlebih dahulu.Ia lalu mengeringkannya dan mengambil duduk di depan meja miliknya.Ia menatap cermin, menghela dalam napasnya seraya berpikir, ‘Selain semakin sering ke rumah ini, Fidel bersikap seolah ini adalah rumahnya,’ batinnya.“Jake juga mengizinkannya melakukan yang dia mau.”Laura memandang tangannya yang terluka, perih dan darah masih merembes keluar dari lukanya yang menganga.Alisnya berkerut saat batinnya kembali berkecamuk. Bukankah … dengan alibi bahwa kedatangan Fidel ke sini ingin membuatkan masakan untuknya, tidak ada yang menjamin apa yang tengah mereka lakukan selama Laura pergi?Apalagi mengingat saat Laura bertanya di mana Jake pada Fidel tadi, gadis itu menjawab jika Jake sedang berada di kamar. Bahkan Fidel mengatakannya dengan tanpa seberkas keraguan pun dari bibirnya.Laura menunduk, dadanya terasa sesak saat ia membayangkan seand
Menghadapi kemarahan Jake, Laura berpikir tak mungkin baginya untuk memperburuk situasi dengan sama meninggikan suaranya. Demi agar Jake tidak kembali mengobrak-abrik mejanya dan menemukan rekam medis miliknya, ia memilih untuk mengalah. Ia menghela dalam napasnya sebelum memberi pria itu jawaban, “Aku tidak menyembunyikan apapun darimu, Jake,” katanya. “Tolong pikirkanlah … mana mungkin aku dekat dengan Zafran atau menyimpan barang darinya padahal kami tidak pernah bertemu?” Jake terdiam selama lebih dari enam puluh detik. Tetapi kediaman yang ia tunjukkan itu tak mengurangi betapa marahnya ia. Laura masih melihatnya menaik turunkan napasnya. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang telah meledak beberapa saat yang lalu. Jake satu langkah mendekat pada Laura, matanya menggelap saat sekali lagi ia bertanya, “Kamu simpan di mana cincinnya?” Laura membawa kakinya selangkah demi selangkah, tertatih menuju ke lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak dari dalam sana. Ia membawanya