Share

5. Di Antara Dua Pria

Dari tempat Laura berdiri di luar ruangan, ia melihat Jake yang menoleh ke arahnya. Manik mata mereka bertatapan selama beberapa saat sampai Laura melihat pria itu bangkit dari kursi dan berjalan ke arahnya.

“Lelucon apa yang sedang kamu lakukan ini, Laura?” tanya Jake frontal. Sepasang alis lebatnya nyaris bertautan.

Pria itu menoleh sekilas ke belakang pada Farren. Seolah itu adalah sebuah isyarat agar pemuda itu mengenyahkan dirinya. Farren beringsut pergi meninggalkan lantai lima belas, membiarkan ruangan itu sepenuhnya dimiliki oleh tuan dan nyonyanya.

“Aku tidak sedang bercanda, Jake,” jawab Laura tanpa ragu.

Jake satu langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka.

“Kamu cemburu?” tanyanya. “Kamu cemburu pada Fidel makanya meminta cerai dariku?” lanjutnya, masih sukar memalingkan wajahnya.

Bibir Laura mengatup rapat. Ia menatap pria tinggi menjulang di hadapannya ini dengan mata yang memanas. Batinnya dipenuhi kemelut sebelum akhirnya ia memberi jawaban.

“Dengan bercerai, itu akan mempermudah apa yang ingin kamu lakukan.”

“Apa kamu tidak sadar kalau yang kamu lakukan ini sangat kekanakan?” tanya Jake, hela napasnya terdengar berat. “Aku anggap kamu tidak mengatakan apapun hari ini, jadi pulanglah dan jangan membuat keributan di kantorku!”

“Jake—”

“Kamu merusak selera makanku, Laura!” sentak Jake, lalu berbalik pergi meninggalkan Laura. Punggungnya hampir menghilang di balik pintu ruang kerjanya sebelum Laura mencegahnya.

“Aku serius,” kata Laura. Meski suaranya bergetar, namun keteguhannya tak terbantahkan. “Aku serius soal ini, Jake.”

Mendengar Laura sekali lagi, Jake memutar tubuhnya sehingga mereka kembali saling berhadapan.

“Kamu tidak mendengarku?!” nada bicara Jake meninggi. “Pulanglah dan berhenti merengek soal hal yang tidak perlu!”

Laura bergeming saat Jake melempar selembar kertas yang tadi ia berikan lewat Farren.

Pintu ruang CEO tertutup dengan kasar dari dalam. Laura melihat pria itu kembali duduk di balik meja kerjanya setelah melempar makanan miliknya yang tidak habis ke dalam tempat sampah.

Laura membawa langkah kakinya dengan tertatih-tatih memasuki lift. Ia menahan air mata saat mengingat betapa dinginnya respon Jake terhadap permintaan perceraiannya ini.

Sebuah hal yang harusnya membuat Jake sadar bahwa ada ‘sesuatu’ yang salah dalam pernikahan mereka, tetapi pria itu bahkan tak peduli!

Tiba di lantai satu, Laura mengayunkan kakinya keluar dari lift. Ia berhenti saat berpapasan dengan seorang pria parlente yang diikuti oleh beberapa orang yang berjalan di belakangnya.

‘Pria di malam pesta itu,’ kata Laura dalam hati.

“Selamat siang,” sapa pria dengan setelan jas formal di hadapannya itu.

“Selamat siang,” balas Laura dengan suaranya yang serak.

“Bagaimana keadaan kakimu?” tanyanya hangat. “Apakah sudah lebih baik?”

Sejenak Laura termangu, tidak menduga ada perhatian seperti itu dari pria asing yang bahkan tak ia ketahui namanya ini. Sebatas yang ia tahu, pria itu adalah partner kerja Jake.

Sosok asing yang suaranya terdengar hangat, sangat jauh berbeda dengan dinginnya sikap Jake.

“I-iya,” jawab Laura terbata.

“Hal yang baik mendengar Nona baik-baik saja.”

Laura berdeham, tidak tahu bagaimana menyikapi kalimat yang menyiratkan kelegaan itu.

“Silahkan jika Nona ingin lewat,” ucap pria itu sembari menepi, diikuti oleh beberapa orang yang berdiri di belakangnya, memberi jalan bagi Laura. Isyarat tangannya seolah sedang mengatakan bahwa Laura bisa lebih dulu melaluinya.

Laura menundukkan kepala sekilas, berterima kasih padanya.

Ia berjalan melewati lobi, hendak menemui Han yang menunggunya di luar.

Namun, saat tiba di pertengahan lobi megah HZ Empire, Laura merasakan sakit yang luar biasa di kaki sebelah kanannya.

Ia berhenti, tangannya mencengkeram erat elbow crutch-nya semakin kuat.

Laura ingin membawa dirinya pergi dari sini, tetapi sepasang kakinya seolah terpancang di lantai marmer tempat ia berpijak.

Rasanya seperti berdiri di atas pecahan kaca dan duri tajam yang menyiksa.

Tangan Laura gemetar saat ia bertanya dalam hati. ‘Kenapa ... aku malah menjadi seperti ini? Padahal aku baru saja pulang terapi.’

Laura memandang sekitar, mata orang-orang menghujaninya dengan penghakiman yang membuatnya kehilangan kekuatan hingga ia tak bisa lagi memegang tongkat sikunya.

Benda itu dijumpai Laura terlepas dari tangannya, terjatuh di atas lantai begitu juga dengan dirinya yang tak bisa menopang tubuhnya lebih lama. Ia berusaha menggapai tongkat miliknya, tanpa seorang pun mau membantunya.

Matanya mengembun, diburamkan oleh air mata yang sedang coba ia tahan sekuat tenaga agar tidak turut luruh.

“Apakah itu istrinya Tuan Jake?” bisik sebuah suara dari belakang Laura.

“Benar, itu istrinya Tuan Jake,” sahut suara lainnya.

“Apakah kondisinya memang seburuk itu?”

“Apa dia datang ke sini lalu diabaikan oleh Tuan Jake?”

“Bukankah jika tahu kakinya tak berfungsi seperti itu harusnya dia tinggal di rumah saja?”

Tangan Laura terkepal erat, ia menunduk menyembunyikan satu butir air mata melewati pipinya. Ia mencoba bangun, tetapi kedua kakinya benar-benar telah mati rasa.

Saat ia mengangkat wajahnya, hatinya ditumbuhi oleh retakan yang menganga lebar.

Laura menjumpai Jake yang hanya melihatnya dari kejauhan. Netra mereka menemukan pandang di antara hiruk-pikuk, tetapi pria itu tidak beranjak guna sedikit memberi uluran tangan atas keterbatasan dirinya ini.

Laura tidak pernah mengharap pria itu membalas cintanya, tetapi sedikit saja … Laura ingin setidaknya Jake menganggapnya ada.

Jika Jake hanya menganggapnya sebagai beban …

‘Lantas mengapa ia menolak saat aku meminta darinya sebuah perceraian?’

Laura tersentak saat tiba-tiba seseorang menghalangi jarak pandangnya terhadap Jake. Wajah pria di malam pesta itu tepat berada di hadapannya sekarang.

Tak seperti orang lain—atau bahkan suaminya sendiri—yang hanya menjadi penonton, pria itu seolah tak peduli dengan keterkejutan orang-orang saat ia berlutut di depan Laura.

“Ayo pergi dari sini,” bisiknya sembari mengulurkan tangan.

Laura bergeming, ia meremas jemarinya, menahan diri untuk tak menerima bantuan pria bersurai hitam itu untuk kedua kalinya.

Namun, pria itu sepertinya tidak tahan dengan kebisuan Laura. Kurang dari satu detik, ia membawa Laura terangkat dalam dekapan kedua lengan kekarnya.

“Tuan, saya bisa—”

“Tak apa. Berpeganglah yang kuat.”

Setelah mengatakan itu, pria itu berbalik dan dengan tanpa beban membawa Laura untuk pergi meninggalkan lobi HZ Empire.

Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti. Dan itu bukan tanpa sebab, karena Laura melihat Jake berdiri tepat di depan mereka.

Riuh bisikan staf yang menyaksikan pemandangan itu terdengar gaduh.

Laura menggigil, ia tidak bisa mengartikan makna tatapan suaminya itu.

“Jangan berdiri menghalangi jalanku, Jake Ganzano Heizt!”

Rahang tegas Jake menegang mendengar ucapan dari pria yang tengah menggendongnya itu. Tatapan tajamnya menghunus tanpa ampun.

“Mau kau bawa ke mana istriku, Zafran Almair Roya?”

Komen (16)
goodnovel comment avatar
Sri Widarni Sosio
suami arogan tinggalkan saja
goodnovel comment avatar
Risma Lubis
endingnya pasti suaminya akan menyesal.
goodnovel comment avatar
Nani Syamsuddin
dasar jake , begitu ada yg menolong istriny, malah dia emosi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status