Share

3. Program Hamil

“Jake, maksudku—” Laura berhenti bicara saat Jake berjalan meninggalkannya begitu saja.

“Jake!” panggil Laura lagi sambil berusaha mengimbangi langkah suaminya, tetapi tidak bisa.

Punggung bidang Jake menghilang di balik pintu kamar yang tertutup dengan sedikit kasar. Laura menghela napas pasrah, tidak lagi berusaha mengejar pria itu.

Jake pasti telah salah paham atas ucapan putus asa Laura, dan menganggapnya tak berusaha lebih keras agar mereka memiliki anak.

Dengan kaki yang melangkah tertatih-tatih, Laura berjalan menuju ruang makan. Melepas tongkat sikunya, seorang perempuan yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya datang menghampiri.

“Selamat pagi, Nona Laura.”

“Pagi, Tania,” balasnya pada gadis berambut sebahu itu.

“Mau makan sekarang?” tawarnya sopan.

“Boleh.”

“Akan saya ambilkan sebentar.”

“Untukku saja, Jake sudah pergi.”

“Baik, Nona.”

Laura melihat kepergian Tania, gadis yang dulunya bekerja untuk Ammar, kakeknya Jake. Setelah Ammar wafat, gadis itu pindah ke sini karena mendiang menginginkannya untuk ada di sisi Laura.

Tania kembali dengan makanan yang disiapkan khusus untuk Laura. Ditata rapi di atas meja, dengan secawan obat yang harus ia konsumsi untuk pemulihan kakinya, serta vitamin untuk menunjang keberhasilan program hamilnya.

“Selamat makan,” ucap Tania kemudian menyisih tak jauh darinya.

Laura hanya bergeming, sepasang matanya terasa perih kala dia mengamati makanan di hadapannya. Makanan dalam pola diet ketat yang hampir setiap hari harus ia habiskan hingga rasanya ia telah muak.

Namun, Laura terus memaksa dirinya, dan meyakininya sebagai bentuk usahanya untuk membuat program hamil bersama dengan Jake berhasil.

Ia meremas sendok dan garpunya erat-erat, hening dalam lisan tetapi batinnya dipenuhi oleh kemelut yang menyuarakan protes.

‘Dengan semua yang aku lakukan ini Jake masih mengatakan aku tidak bersungguh-sungguh untuk ingin memiliki anak?’

***

Lewat tengah hari, jika biasanya pesan yang dikirim oleh Laura pada Jake selalu mendapatkan balasan meski itu hanya sekadar 'iya' atau 'ok' sekarang ia tak melihat itu di layar ponselnya.

Laura baru saja mengatakan pada Jake agar dia tidak lupa makan siang. Tetapi balasannya nihil.

"Dia benar-benar marah padaku kali ini," ucapnya lirih.

Laura menyentuh kakinya sendiri, memberinya sedikit pijatan pada bagian sebelah kanannya.

‘Kenapa rasanya semakin nyeri?’ gumamnya dalam hati, meratapi kondisinya yang rasanya tidak mengalami perubahan ke arah yang baik. Justru ia semakin sering merasakan kakinya kebas dan nyeri menyengat.

Laura menghela napas, kemudian meraih kembali ponsel yang baru saja ia hempaskan ke tempat tidur. Ia memeriksa jadwal fisioterapi yang akan ia kunjungi besok.

Lewat pesan, sekali lagi ia berusaha menyentuh dinginnya sikap suaminya. Laura hendak menanyakan apakah besok Jake bersedia mengantarnya pergi ke rumah sakit. Tetapi, niatan itu ia urungkan saat ia mendengar ketukan dari arah pintu.

“Masuk!” jawab Laura sembari menoleh ke arah pintu yang kemudian terbuka dan muncullah Tania.

“Maaf mengganggu, tapi Nona Laura kedatangan tamu,” katanya sopan.

“Siapa, Tania?”

“Nyonya Alina dan Nona Fidel,” jawabnya dengan kepala tertunduk.

Meski Laura heran ada perlu apa mereka ke mari, tetapi ia menjawab, “Aku akan keluar sebentar lagi.”

Gadis itu pergi setelah mendengar jawaban darinya.

Laura pun tak lama kemudian juga keluar dari kamarnya.

Ia melihat ibu Jake—Alina—yang berdiri di samping Fidel.

“Mama, Fidel?” sapa Laura. “Selamat siang, ada perlu apa ke sini?”

Wanita paruh baya itu lebih dulu tersenyum sebelum kedua sudut matanya yang tajam menerpa Laura, juga pada tongkat yang menjadi penopang keberlangsungan hidup sang menantu.

“Fidel mengatakan pada Mama bahwa ada sesuatu yang kurang baik terjadi padamu selama di pesta kemarin,” jawabnya. “Dan Fidel meminta Mama untuk melihat keadaanmu,” lanjutnya enggan.

“Silahkan duduk dulu. Kita bicara di ruang tamu,” pinta Laura dengan gerakan tangannya yang mempersilahkan mereka.

“Benar kamu dipukuli ibumu?” tanya Alina saat Laura baru saja duduk setelah mengikuti mereka dengan langkah yang tertatih.

Laura tampak enggan menjawab. Namun, ia tahu tidak bisa mengelak. Maka, Laura pun mengangguk singkat, menunduk menghindari tatapan tajam ibu mertuanya yang seolah mencabiknya tanpa henti.

Duduk berseberangan meja dengannya tidak membuat Laura bisa pergi dari sorotnya yang penuh dengan kebencian itu.

“Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Aku baik-baik saja, Mama.”

“Ibumu pasti juga sama kecewanya denganmu, Laura!” ucap wanita itu. “Dia pasti kecewa padamu yang sudah dibicarakan di mana-mana sebagai wanita yang tidak bisa menjalani kodratnya!” tukasnya menggebu.

Laura meremas jari-jarinya yang berada di atas paha, sesak menggelegak memenuhi dadanya.

“Tante ….” panggil Fidel lirih.

Laura mencuri pandang pada Fidel yang sedang meraih tangan Alina, seolah tidak membiarkan ibu mertuanya itu terus menyudutkan Laura seperti ini.

Sepasang netra Fidel yang cantik menatap Alina memohon, seperti sedang memintanya untuk tidak terus menerus menyerang Laura.

“Kamu tahu siapa yang paling bersalah di sini, ‘kan?” tanya Alina masih tak ingin berhenti. Suaranya justru meninggi, dengan kedua alis yang hampir bersinggungan.

“Tapi,” jawab Laura lirih, wajahnya terangkat menyambut Alina yang tampak frustrasi. “Tapi Mama tahu jika aku dan Jake sedang program untuk itu, ‘kan? Kami juga sedang berusaha, Ma …” lanjutnya parau.

Fidel yang duduk di samping Alina menatap Laura dengan cemas dan ikut berbicara pada akhirnya.

“Tapi aku dengar sekarang kamu sedang menjalani pengobatan untuk pemulihan kakimu, Lau?” tanyanya lembut.

“Iya, Fi. Benar.”

“Apakah itu baik-baik saja? Maksudku, apakah itu tidak akan memengaruhi programmu untuk memiliki anak?”

Keprihatinan menyeruak secara tulus dari caranya bertanya. Hela napasnya berat, ia seperti sedang memposisikan dirinya dalam kesulitan yang dialami Laura selama ini.

“Fidel benar,” sela Alina tiba-tiba. “Program hamil itu bisa jadi tidak akan berhasil karena tubuhmu terlalu banyak mengkonsumsi obat!”

“Tante, bukan seperti itu maksudku,” ujar Fidel, tapi Alina tidak peduli.

Justru, senyumnya bertambah masam, seulas tawa yang putus asa menyiratkan ekspresi mencemooh. Seperti baru saja memupuskan harapan dan mimpi-mimpi Laura selama ini.

“Tante, aku hanya ingin bilang kalau—”

“Yang kamu katakan itu benar kok, Fidel,” potongnya ringan sebelum Fidel selesai bicara.

Alina mendesah penuh rasa kecewa, ia menatap Laura cukup lama sebelum menggelengkan kepalanya dengan lelah.

"Mama tidak ingin menua tanpa cucu, atau tidak adanya penerus untuk keluarga kita yang terhormat, Laura!" katanya.

Tubuh Laura terasa kebas saat ibu mertuanya itu mengatakan hal yang membuat hatinya mengalami keretakan yang besar.

“Ada baiknya kita mencari jalan keluar sebelum banyak orang yang menghina keluarga kita. Dan Mama sudah mengambil keputusan,” kata wanita itu dengan suara bulat.

“Jake akan menikahi Fidel. Kamu tidak memiliki alasan keberatan mengingat kondisimu yang menyedihkan seperti itu!”

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Chantiqa Chiqa
nah bagus begitu, wanita2 cacat dan gak tau diri mending buang jauh2. ngapain jaga sampah kaya dia
goodnovel comment avatar
Juli Ani
mertua gak punya perasaan
goodnovel comment avatar
Marlina Yulita
mertua yang egois
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status