“Lihat si pincang itu! Suaminya sedang bersama wanita lain, tapi dia tidak bisa melakukan apapun!”
Laura, yang saat ini sedang berada di pesta anniversary mertuanya, tersentak saat mendengar bisikan dari arah belakangnya. Ia segera meraih alat bantu jalan berjenis elbow crutch di samping kursi saat matanya menangkap sosok pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam di tengah pesta. Pria itu tengah berdiri di depan seorang wanita berambut panjang yang tampak anggun. Itu adalah suaminya, Jake, bersama dengan mantan kekasihnya, Fidel. “Apa kabar, Fi?” “Baik, Jake. Kamu sendiri bagaimana?” tanya Fidel dengan nada manja. “Baik juga.” Suara Jake terdengar manis di telinga Laura saat bertanya pada Fidel, sangat berbeda dengan nada dingin yang selalu ditujukan kepada dirinya. Keduanya memang pernah menjalin hubungan istimewa, sebelum Fidel pergi ke luar negeri saat mengetahui bahwa Jake menikahi Laura untuk memenuhi wasiat kakeknya, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab karena pria itulah yang membuat kaki kanan Laura mengalami kecacatan. “Aku pikir kamu akan menetap di Paris?” tanya Jake lagi, tampak penasaran. Fidel tersenyum menawan. “Tidak, aku mengurungkan niat tinggal di Paris karena ….” Laura tak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya, tetapi tangan Fidel sesekali mengusap lembut dada Jake, dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Sepasang netra cantiknya menatap manja pada Jake, dan suaminya itu menjadi pendengar yang baik setiap kali Fidel bercerita. Laura sebenarnya ingin menyapa mereka, tetapi mempertimbangkan bahwa Jake bisa saja kesal dan merasa malu karena dirinya sedang menjadi pusat perhatian, ia memilih untuk membawa kakinya menjauh. Tetapi .... “Laura!” Mendengar namanya disebut, Laura menoleh dan menemukan gadis bergaun merah ketat itu–Fidel–tengah melambaikan tangan kepadanya. “Ke sini!” pintanya dengan senyum dari kedua sudut bibirnya. Laura bergeming. Tidakkah kentara bagi siapa pun bahwa dirinya kesulitan untuk berjalan? Namun, Fidel malah memintanya untuk mendekat kepada mereka? Ke tempat yang jelas-jelas mengharuskan Laura menuruni beberapa undakan tangga? Hati Laura mengetat, terutama karena dia melihat Jake hanya diam menatapnya. Pada akhirnya, ia membawa kakinya dengan tertatih-tatih ke sana, mengabaikan hinaan orang-orang di sekitarnya yang sebagian besar adalah keluarganya sendiri. "Lihat, si pincang sedang berjalan!" ucap seorang wanita muda yang berdiri di dekat meja dessert. “Fidel yang sempurna dan Laura yang cacat … kita akan lihat si cantik dan si buruk rupa bertemu. Hahaha!” Laura menelan ludah, berusaha mengabaikan hinaan-hinaan itu. Waktu berjalan begitu lama baginya untuk tiba di samping Jake, yang ekspresinya tampak mengeras. Sebelah tangan pria itu meneguk minuman dari gelas berkaki hingga tandas dengan wajah yang sedikit berpaling, seolah tidak ingin melihat Laura. “Aku datang atas undangan mamanya Jake. Jangan marah ya,” ucap Fidel setelah mereka saling berjabat tangan. “Kita berteman sejak lama, dan aku sama Jake memang pernah dekat. Jadi aku pikir kita masih bisa tetap berteman sampai hari ini.” Suara Fidel bergema sepenjuru taman, memaksa Laura memberikan anggukan dan sebuah kata, "Iya." "Aku pikir kamu sudah pulang duluan," ucap Jake dengan nada datar. "Belum," jawab Laura singkat, tidak ingin menambahinya dengan keterangan lain, karena seperti inilah mereka sehari-hari, bicara secukupnya. "Itu mamamu, Jake. Aku akan menyapanya," ucap Fidel sembari menunjuk kedatangan ibu Jake. Saat gadis itu beranjak, Laura melihat sepasang netra beriris kelam milik Jake mengikutinya pergi. Sebelum akhirnya pria itu sadar bahwa Laura memperhatikannya dan membuang pandangannya dengan cepat. "Pulanglah duluan setelah acaranya selesai," kata Jake ringan, "Aku akan tinggal di sini sebentar." Laura meremas tangannya, tahu betul bahwa alasan Jake berada di sini lebih lama adalah karena ia ingin melepaskan rindu dengan Fidella Magali, cinta pertamanya. "Iya," jawab Laura, ingin terdengar tak peduli. Pesta menuju ke puncak kegiatan, seorang pembawa acara meminta semua hadirin untuk mendekat pada orang tua Jake yang telah berdiri di dekat kue ulang tahun bersusun bertema rustik. Mereka bertepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu ucapan selamat ulang tahun untuk pernikahan orang tua Jake yang mencapai peringatan emas. Potongan kue yang pertama diberikan untuk anak semata wayang mereka. Senyum terkembang di bibir Jake saat ia mendapat pelukan dari mereka secara hangat. "Selamat ulang tahun pernikahan untuk Mama dan Papa, semoga pernikahan kalian tetap bersinar di tahun-tahun yang akan datang." Laura hanya berdiri di samping Jake, menjadi penonton saat melihat ibu mertuanya berkata, "Tidak banyak yang kami minta dari kamu, Jake. Kami hanya ingin kamu memberi kami cucu karena kami sudah semakin tua." Sudut mata ibu mertuanya menatap Laura dengan kebencian yang pekat. "Kecuali istrimu tidak bisa menjalani kodratnya sebagai wanita karena mandul." Ujaran itu membuat keluarga dekat mereka yang berdiri di sana, yang sebelumnya telah menjaga jarak dengan Laura mulai memandangnya dengan berbagai penghakiman. "Astaga, selain cacat dia juga mandul?" bisik salah seorang wanita dari belakangnya. "Pantas, dua tahun menikah belum punya anak juga." “Ckck … Seorang Jake seharusnya menikah dengan wanita yang sepadan dengannya.” Sekalipun bisikan menjadi gaduh, Jake tidak mempedulikannya. Ia tak mengatakan apapun selain seulas senyum paksa dan kata, "Doakan saja." Ekspresi terkejut terlihat di mata Fidel yang berdiri tak jauh dari ibu mertua Laura. Gadis itu menatapnya kasihan sebelum mencoba mencairkan suasana. "Tante, ayo potong lagi kuenya! Jake bilang setelah ini akan ada kembang api." Setidaknya, karena Fidel, Laura jadi sedikit terbantu. Perhatian orang-orang segera teralihkan. Detik berikutnya, ledakan kembang api di udara benar-benar terlihat. Meredam gunjingan terhadap Laura, menyalakan langit malam menjadi bercahaya. Sorak-sorai serta keramaian terjadi di sekitar Laura, tetapi ia merasa sendirian. Tangannya terkepal erat dengan dada yang bergemuruh sesak. Saat ia mengangkat wajahnya yang semula tertunduk, ia bisa melihat Jake yang berdiri di samping Fidel. Mereka menyaksikan kembang api bersama, seolah mereka sedang menjadikan itu sebagai sebuah perayaan untuk pertemuan mereka kembali. Memandang mereka, Laura tahu ... selama ini dirinyalah yang menjadi orang ketiga di antara Jake dan Fidel. Bagaimana hangat tatapan pria itu pada Fidel telah mengatakan bahwa cinta di antara keduanya masih belum usai. "Akh!" Laura menjerit kesakitan saat merasakan tangannya tiba-tiba ditarik dengan kasar. Ia dibawa pergi meninggalkan keramaian menuju ke tempat yang lebih hening oleh seorang wanita berambut sebahu yang tak lain adalah ibunya sendiri. Langkahnya terseret, nyeri pada kaki kanannya terasa menyengat sehingga ia harus menghentikan sang ibu. "Lepas, Ma!" kata Laura kesakitan, menarik tangannya dari cengkeraman yang nyaris meremukkan tulangnya. "Kamu mau mempermalukan keluarga kita?!" hardik ibunya. "Apakah yang dikatakan ibu mertuamu itu benar?!" "Apa maksud Mama?" "Soal kamu yang mandul!" Laura bahkan belum sempat mengatakan apapun, tetapi ibunya merenggut kasar rambutnya. Menariknya dengan marah sehingga Laura kehilangan keseimbangan yang membuatnya terjerembab ke tanah setelah tongkatnya lebih dulu terjatuh. "Jangan!" cegah Laura saat sang ibu justru menginjak-injak tongkat di hadapannya. "Dasar tidak berguna!" Air mata menuruni wajah Laura. Sungguh, apa seumur hidupnya, dia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi semalang ini?Puas melampiaskan emosi, ibu Laura mendelik ke arah sang putri dengan ekspresi keji. “Kalau sampai kamu diceraikan karena mandul, aku tidak sudi lagi menganggapmu sebagai anak!”Kaki berbalut stiletto milik ibunya melangkah pergi setelah membuat Laura jatuh. Ia menatap elbow crutch miliknya yang untungnya hanya tergores sedikit.Dengan tangan kebas ia berusaha meraihnya, mengabaikan pandangan anggota keluarga yang hanya menjadi penonton saat ia berjuang seorang diri hanya untuk menegakkan tubuhnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya sebuah suara dari sebelah kanannya. Saat Laura menoleh, ia menjumpai seorang pria yang menatapnya dengan wajah yang tampak cemas.Mungkin karena Laura hanya terdiam, pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam itu bergegas mendekat padanya dengan seulas senyum.“Izinkan aku membantumu, Nona.” Meski sepasang mata pria itu tampak seperti serigala, tetapi suaranya terdengar hangat.Kakinya yang panjang merendah dalam hitungan detik ketika ia berlutut
“Jake, maksudku—” Laura berhenti bicara saat Jake berjalan meninggalkannya begitu saja. “Jake!” panggil Laura lagi sambil berusaha mengimbangi langkah suaminya, tetapi tidak bisa. Punggung bidang Jake menghilang di balik pintu kamar yang tertutup dengan sedikit kasar. Laura menghela napas pasrah, tidak lagi berusaha mengejar pria itu. Jake pasti telah salah paham atas ucapan putus asa Laura, dan menganggapnya tak berusaha lebih keras agar mereka memiliki anak.Dengan kaki yang melangkah tertatih-tatih, Laura berjalan menuju ruang makan. Melepas tongkat sikunya, seorang perempuan yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya datang menghampiri.“Selamat pagi, Nona Laura.”“Pagi, Tania,” balasnya pada gadis berambut sebahu itu. “Mau makan sekarang?” tawarnya sopan.“Boleh.”“Akan saya ambilkan sebentar.”“Untukku saja, Jake sudah pergi.”“Baik, Nona.”Laura melihat kepergian Tania, gadis yang dulunya bekerja untuk Ammar, kakeknya Jake. Setelah Ammar wafat, gadis itu pindah ke sini k
“Apa maksud Tante aku harus menjadi istrinya Jake?” tanya Fidel dengan sepasang matanya yang membola tak percaya saat menatap Alina.Laura menjumpai penolakan terlukis dari cara Fidel bertanya, terkejut dengan keputusan tiba-tiba tersebut.Alina mengalihkan tatapannya dari sang menantu, lalu memandang Fidel dengan seulas senyum yang terlihat keibuan. Sangat berbeda dengan caranya berucap pada Laura.“Sekalipun kamu adalah istri kedua Jake, percayalah kamu jauh lebih istimewa daripada Laura yang pincang dan seperti benalu bagi keluarga Heizt.”Sepertinya, Alina tak sudi lagi memandang Laura. Ia pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu, tidak memberi Laura kesempatan untuk menerima atau menolak apa yang telah menjadi keputusannya.Laura mematung di tempat ia duduk, terlalu shock untuk bisa merangkai kata setelah apa yang ia dengar. Sedangkan Fidel tampak kebingungan di tempat ia duduk dan berusaha memanggil Alina, “Tante!”Namun, tidak ada jawaban dari wanita berambut sebahu itu. Lau
Dari tempat Laura berdiri di luar ruangan, ia melihat Jake yang menoleh ke arahnya. Manik mata mereka bertatapan selama beberapa saat sampai Laura melihat pria itu bangkit dari kursi dan berjalan ke arahnya.“Lelucon apa yang sedang kamu lakukan ini, Laura?” tanya Jake frontal. Sepasang alis lebatnya nyaris bertautan.Pria itu menoleh sekilas ke belakang pada Farren. Seolah itu adalah sebuah isyarat agar pemuda itu mengenyahkan dirinya. Farren beringsut pergi meninggalkan lantai lima belas, membiarkan ruangan itu sepenuhnya dimiliki oleh tuan dan nyonyanya.“Aku tidak sedang bercanda, Jake,” jawab Laura tanpa ragu.Jake satu langkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka. “Kamu cemburu?” tanyanya. “Kamu cemburu pada Fidel makanya meminta cerai dariku?” lanjutnya, masih sukar memalingkan wajahnya.Bibir Laura mengatup rapat. Ia menatap pria tinggi menjulang di hadapannya ini dengan mata yang memanas. Batinnya dipenuhi kemelut sebelum akhirnya ia memberi jawaban.“Dengan bercerai,
Ketegangan terjadi di antara mereka, alih-alih menjawab Jake, yang dilakukan oleh pria yang namanya disebut sebagai Zafran itu justru sekali lagi menegaskan, “Jangan menghalangi jalanku, Jake! Tolong minggirlah!”Kalimatnya tegas dan penuh penekanan.Selama beberapa saat, Jake hanya bergeming. Laura menangkap hela napasnya yang terdengar berat melalui sudut matanya yang tidak berani menoleh pada siapapun. Tidak pada Jake, atau pada Zafran yang tengah menggendongnya.Ia hanya berani melirik pada Jake yang kemudian menoleh ke belakang. Sepertinya pria itu menyadari bahwa Zafran akan membawa Laura ke mobil yang sudah disiapkan oleh Han—sopir miliknya—di depan pintu lobi. Zafran melanjutkan langkahnya begitu Jake menyingkir.Ia menempatkan Laura duduk di kursi penumpang bagian belakang saat tiba di mobil.“Terima kasih,” ucap Laura canggung, menatap Zafran yang masih berdiri tak jauh darinya dan menyerahkan elbow crutch miliknya.“Sama-sama, Nona,” jawabnya teriring seulas senyum yang ha
Laura tercenung di tempat ia duduk. Sepasang netranya menatap Jake dengan penuh tanya. ‘Apa maksudnya itu?’ gumam Laura dalam hati dengan bingung. ‘Apa dia mencoba menimpakan kesalahan agar aku yang seolah melakukan hubungan terlarang di belakangnya?’ Laura meraih pergelangan tangan Jake, ia mencoba melepaskan dirinya tetapi tak berhasil. Jake terlalu kuat meraih dagunya. Rahang tegas pria yang menunduk di hadapannya ini menggertak sebelum ia sekali lagi bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal Zafran?” Wajah Laura pias. Laura tak mungkin mengatakan bahwa ia melihat pria itu sejak malam di pesta orang tua Jake. “Aku tidak mengenalnya,” jawab Laura, berusaha tenang. “Aku kebetulan berpapasan dengannya tadi sewaktu aku pergi dari ruanganmu.” Jake menatap Laura cukup lama, mendengus tidak puas dengan jawaban itu. “Benarkah?” “Iya,” jawabnya tegas. Jake kemudian menundukkan kepalanya, Laura melihat wajah mereka yang semakin dekat dan menyadari apa yang akan Jake lakukan.
Laura tak menjawab panggilan Jake, tidak juga untuk menoleh ke belakang untuk beberapa saat.“Ada apa?” tanya Laura, menahan suara seraknya agar tak gemetar. “Kenapa kamu mengikutiku?”“Kamu lupa dengan obatmu,” jawab Jake setelah menarik tangannya dari bahu Laura. “Tania sudah menyiapkannya tadi, ini aku bawakan ke sini.”“Aku bisa meminumnya nanti. Taruh saja di atas meja!” tunjuk Laura sekilas pada meja yang tak jauh dari ranjang.Laura tidak menengok pada Jake sama sekali karena ia tak yakin darah yang ada di hidungnya tadi apakah masih tertinggal ataukah sudah hilang.‘Kenapa dia tidak cepat keluar?’ tanya Laura kesal pada Jake yang malah berdiri terpaku di belakangnya. Dan diamnya itu terasa mengganggu.“Ada lagi yang ingin kamu katakan?” Laura menoleh pada Jake, hanya menunjukkan sebagian kecil sisi samping wajahnya, untuk memastikan pria itu masih berdiri di belakangnya.“Tidak ada.”“Bisakah kamu meninggalkan aku sendirian?” Jake mendengus kesal, sepertinya karena tak ingin
Dengan langkahnya yang tertatih-tatih, Laura memasuki kamar, tempat di mana ia bisa menyembunyikan dirinya agar tidak perlu bertemu dengan Jake. Dari sekarang, Laura akan menulikan telinganya, tidak peduli Jake akan kesal padanya atau apapun yang akan ia lakukan. “Hah ….” Ia mendesah saat duduk setelah mengunci pintu kamarnya agar Jake tidak masuk seperti semalam. Ia diam, menunduk memandang jari manis di tangannya, di mana di sana terdapat cincin pernikahannya dengan Jake yang kini mulai tak sakral lagi baginya. Laura melepasnya dan meletakkannya di atas meja. “Harusnya Jake juga melepasnya kalau dia ingin menikah dengan Fidel.” Ada apa dengan dirinya yang masih mempertahankan benda tidak berguna—cincin—itu di tangannya saat hadirnya saja telah menjadi simbol tanpa makna? Meski hatinya sakit, tetapi mata Laura tak bisa berbohong. Tanpa sadar cairan bening itu tiba-tiba membuat pandangannya berubah menjadi abu-abu. Ia merasa Jake sedang mempermainkannya dengan sengaja. “Seb