Share

Tuan Jake, Nyonya Laura Ingin Bercerai
Tuan Jake, Nyonya Laura Ingin Bercerai
Author: Almiftiafay

1. Istri Cacat

“Lihat si pincang itu! Suaminya sedang bersama wanita lain, tapi dia tidak bisa melakukan apapun!”

Laura, yang saat ini sedang berada di pesta anniversary mertuanya, tersentak saat mendengar bisikan dari arah belakangnya.

Ia segera meraih alat bantu jalan berjenis elbow crutch di samping kursi saat matanya menangkap sosok pria tinggi menjulang yang mengenakan setelan jas hitam di tengah pesta.

Pria itu tengah berdiri di depan seorang wanita berambut panjang yang tampak anggun.

Itu adalah suaminya, Jake, bersama dengan mantan kekasihnya, Fidel.

“Apa kabar, Fi?”

“Baik, Jake. Kamu sendiri bagaimana?” tanya Fidel dengan nada manja.

“Baik juga.”

Suara Jake terdengar manis di telinga Laura saat bertanya pada Fidel, sangat berbeda dengan nada dingin yang selalu ditujukan kepada dirinya.

Keduanya memang pernah menjalin hubungan istimewa, sebelum Fidel pergi ke luar negeri saat mengetahui bahwa Jake menikahi Laura untuk memenuhi wasiat kakeknya, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab karena pria itulah yang membuat kaki kanan Laura mengalami kecacatan.

“Aku pikir kamu akan menetap di Paris?” tanya Jake lagi, tampak penasaran.

Fidel tersenyum menawan. “Tidak, aku mengurungkan niat tinggal di Paris karena ….”

Laura tak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya, tetapi tangan Fidel sesekali mengusap lembut dada Jake, dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

Sepasang netra cantiknya menatap manja pada Jake, dan suaminya itu menjadi pendengar yang baik setiap kali Fidel bercerita.

Laura sebenarnya ingin menyapa mereka, tetapi mempertimbangkan bahwa Jake bisa saja kesal dan merasa malu karena dirinya sedang menjadi pusat perhatian, ia memilih untuk membawa kakinya menjauh.

Tetapi ....

“Laura!”

Mendengar namanya disebut, Laura menoleh dan menemukan gadis bergaun merah ketat itu–Fidel–tengah melambaikan tangan kepadanya.

“Ke sini!” pintanya dengan senyum dari kedua sudut bibirnya.

Laura bergeming. Tidakkah kentara bagi siapa pun bahwa dirinya kesulitan untuk berjalan? Namun, Fidel malah memintanya untuk mendekat kepada mereka? Ke tempat yang jelas-jelas mengharuskan Laura menuruni beberapa undakan tangga?

Hati Laura mengetat, terutama karena dia melihat Jake hanya diam menatapnya. Pada akhirnya, ia membawa kakinya dengan tertatih-tatih ke sana, mengabaikan hinaan orang-orang di sekitarnya yang sebagian besar adalah keluarganya sendiri.

"Lihat, si pincang sedang berjalan!" ucap seorang wanita muda yang berdiri di dekat meja dessert.

“Fidel yang sempurna dan Laura yang cacat … kita akan lihat si cantik dan si buruk rupa bertemu. Hahaha!”

Laura menelan ludah, berusaha mengabaikan hinaan-hinaan itu.

Waktu berjalan begitu lama baginya untuk tiba di samping Jake, yang ekspresinya tampak mengeras.

Sebelah tangan pria itu meneguk minuman dari gelas berkaki hingga tandas dengan wajah yang sedikit berpaling, seolah tidak ingin melihat Laura.

“Aku datang atas undangan mamanya Jake. Jangan marah ya,” ucap Fidel setelah mereka saling berjabat tangan. “Kita berteman sejak lama, dan aku sama Jake memang pernah dekat. Jadi aku pikir kita masih bisa tetap berteman sampai hari ini.”

Suara Fidel bergema sepenjuru taman, memaksa Laura memberikan anggukan dan sebuah kata, "Iya."

"Aku pikir kamu sudah pulang duluan," ucap Jake dengan nada datar.

"Belum," jawab Laura singkat, tidak ingin menambahinya dengan keterangan lain, karena seperti inilah mereka sehari-hari, bicara secukupnya.

"Itu mamamu, Jake. Aku akan menyapanya," ucap Fidel sembari menunjuk kedatangan ibu Jake.

Saat gadis itu beranjak, Laura melihat sepasang netra beriris kelam milik Jake mengikutinya pergi. Sebelum akhirnya pria itu sadar bahwa Laura memperhatikannya dan membuang pandangannya dengan cepat.

"Pulanglah duluan setelah acaranya selesai," kata Jake ringan, "Aku akan tinggal di sini sebentar."

Laura meremas tangannya, tahu betul bahwa alasan Jake berada di sini lebih lama adalah karena ia ingin melepaskan rindu dengan Fidella Magali, cinta pertamanya.

"Iya," jawab Laura, ingin terdengar tak peduli.

Pesta menuju ke puncak kegiatan, seorang pembawa acara meminta semua hadirin untuk mendekat pada orang tua Jake yang telah berdiri di dekat kue ulang tahun bersusun bertema rustik.

Mereka bertepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu ucapan selamat ulang tahun untuk pernikahan orang tua Jake yang mencapai peringatan emas.

Potongan kue yang pertama diberikan untuk anak semata wayang mereka. Senyum terkembang di bibir Jake saat ia mendapat pelukan dari mereka secara hangat.

"Selamat ulang tahun pernikahan untuk Mama dan Papa, semoga pernikahan kalian tetap bersinar di tahun-tahun yang akan datang."

Laura hanya berdiri di samping Jake, menjadi penonton saat melihat ibu mertuanya berkata, "Tidak banyak yang kami minta dari kamu, Jake. Kami hanya ingin kamu memberi kami cucu karena kami sudah semakin tua."

Sudut mata ibu mertuanya menatap Laura dengan kebencian yang pekat. "Kecuali istrimu tidak bisa menjalani kodratnya sebagai wanita karena mandul."

Ujaran itu membuat keluarga dekat mereka yang berdiri di sana, yang sebelumnya telah menjaga jarak dengan Laura mulai memandangnya dengan berbagai penghakiman.

"Astaga, selain cacat dia juga mandul?" bisik salah seorang wanita dari belakangnya.

"Pantas, dua tahun menikah belum punya anak juga."

“Ckck … Seorang Jake seharusnya menikah dengan wanita yang sepadan dengannya.”

Sekalipun bisikan menjadi gaduh, Jake tidak mempedulikannya. Ia tak mengatakan apapun selain seulas senyum paksa dan kata, "Doakan saja."

Ekspresi terkejut terlihat di mata Fidel yang berdiri tak jauh dari ibu mertua Laura. Gadis itu menatapnya kasihan sebelum mencoba mencairkan suasana.

"Tante, ayo potong lagi kuenya! Jake bilang setelah ini akan ada kembang api."

Setidaknya, karena Fidel, Laura jadi sedikit terbantu.

Perhatian orang-orang segera teralihkan. Detik berikutnya, ledakan kembang api di udara benar-benar terlihat. Meredam gunjingan terhadap Laura, menyalakan langit malam menjadi bercahaya.

Sorak-sorai serta keramaian terjadi di sekitar Laura, tetapi ia merasa sendirian.

Tangannya terkepal erat dengan dada yang bergemuruh sesak. Saat ia mengangkat wajahnya yang semula tertunduk, ia bisa melihat Jake yang berdiri di samping Fidel.

Mereka menyaksikan kembang api bersama, seolah mereka sedang menjadikan itu sebagai sebuah perayaan untuk pertemuan mereka kembali.

Memandang mereka, Laura tahu ... selama ini dirinyalah yang menjadi orang ketiga di antara Jake dan Fidel. Bagaimana hangat tatapan pria itu pada Fidel telah mengatakan bahwa cinta di antara keduanya masih belum usai.

"Akh!" Laura menjerit kesakitan saat merasakan tangannya tiba-tiba ditarik dengan kasar.

Ia dibawa pergi meninggalkan keramaian menuju ke tempat yang lebih hening oleh seorang wanita berambut sebahu yang tak lain adalah ibunya sendiri.

Langkahnya terseret, nyeri pada kaki kanannya terasa menyengat sehingga ia harus menghentikan sang ibu.

"Lepas, Ma!" kata Laura kesakitan, menarik tangannya dari cengkeraman yang nyaris meremukkan tulangnya.

"Kamu mau mempermalukan keluarga kita?!" hardik ibunya. "Apakah yang dikatakan ibu mertuamu itu benar?!"

"Apa maksud Mama?"

"Soal kamu yang mandul!"

Laura bahkan belum sempat mengatakan apapun, tetapi ibunya merenggut kasar rambutnya. Menariknya dengan marah sehingga Laura kehilangan keseimbangan yang membuatnya terjerembab ke tanah setelah tongkatnya lebih dulu terjatuh.

"Jangan!" cegah Laura saat sang ibu justru menginjak-injak tongkat di hadapannya.

"Dasar tidak berguna!"

Air mata menuruni wajah Laura. Sungguh, apa seumur hidupnya, dia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi semalang ini?

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Imelda Dohong
lanjuuuuut
goodnovel comment avatar
Marlina Yulita
gimna mau ngisi d perut klw GK tau d sentuh ,d tambah mertua yg selalu benci padanya 🥹🥹
goodnovel comment avatar
Khaisa Azrin
tenang ini masih awal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status