Diawali dari pelukan Jake, Laura tidak akan pernah melupakan hari ini.Ia menghabiskan waktu dengan mengambil banyak foto postwedding yang sangat bagus dengan pria itu. Berganti beberapa gaun hingga usai saat hampir sore hari, mereka kemudian tiba di salah satu hotel milik HZ empire. Rupanya … Jake menyiapkan sesuatu yang lain di sini. Sebuah makan malam yang romantis, makan malam pertama mereka setelah kembali ke Jakarta.Usai makan malam itu, Jake mengajak Laura untuk menepi, menyaksikan keadaan di luar dari ketinggian lantai dua puluh.“Bagus sekali pemandangannya,” ucap Laura saat menyaksikan ke bawah. “Semuanya terlihat sangat kecil dari atas sini,” lanjutnya, sembari menoleh pada Jake yang berdiri di sisi kanannya dan mengangguk menyetujui apa yang ia sampaikan.“Saat kamu pergi dari rumah, aku dan keluarganya Fidel pernah melakukan makan malam di hotel ini juga,” ucap Jake. “Tujuannya agar aku menikahi Fidel, Laura.”“Lalu apa yang terjadi?”“Aku tentu saja menolaknya dan per
Beberapa detik bibir mereka saling bertemu sebelum Laura menarik wajahnya dari Jake. Tak hanya itu, Laura juga meraih pergelangan tangan Jake dan memintanya untuk bangun. “Aku pun sama, Jake,” ucap Laura. “Aku juga tidak sempurna. Menikah memang memiliki tujuan untuk saling menyempurnakan, bukan?” “Terima kasih sudah memberiku kesempatan, Laura,” jawabnya, bibirnya merekahkan senyuman saat ia mengambil cincin cari dalam kotak dan memakaikannya ke jari manis Laura. Ia letakkan di atas cincin pernikahan mereka dan itu terlihat sangat manis, semanis pemiliknya kini di mata Jake. “Aku sengaja meminta desain yang cocok untuk bisa dipadukan dengan cincin pernikahan kita,” katanya, dari tertunduk kemudian mengangkat wajahnya sehingga tatapan mereka bertemu. Hening bertahta selama lebih dari beberapa saat, Laura tak mengatakan apapun untuk menjawab selain mendekatkan dirinya dan membalas pria itu dengan sebuah pelukan. “Terima kasih, cincinnya sangat cantik,” ucap Laura saat meneng
Laura berdiri terpancang, membeku di tempat ia berdiri. Pipinya terasa panas saat ia memandang Jake yang sama sekali tak mengalihkan maniknya.Pria itu setia menatapnya, menunggu jawaban hingga Laura memberinya anggukan yang mereka sama-sama tahu bahwa itu adalah sebuah ‘iya.’Laura melihat Jake yang berjalan meninggalkannya, langkah kaki panjangnya menghampiri meja tak jauh dari tempat tidur. Ia tampak menekan remot yang saat Laura menoleh ke jendela, rupanya Jake tengah menutup kelambunya.Kain tebal yang bergantung di jendela itu lambat laun menghalangi jarak pandang Laura dengan gedung pencakar langit dan sisa-sisa kembang api susulan.Pencahayaan di sekitar Laura berdiri berubah dari yang semula terang menjadi temaram.Laura menelan ludah pelan, memandang Jake yang berjalan kembali ke arahnya, mendengarkan langkah kaki pria itu yang membuatnya berdebar. Detak jantungnya tak bisa ia kendalikan, melawan pemiliknya sendiri.“Jake?” panggil Laura saat lengan kekar Jake melingkari pin
Pagi seharusnya menjadi awal yang bagus untuk memulai aktivitas selama satu hari penuh. Tetapi tidak bagi Fidel. Hatinya sama sekali tidak tenang. ‘Sial!’ umpatnya dalam hati. ‘Aku tidak bisa melupakan yang aku dengar semalam.’ Ia duduk di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Alih-alih melahap atau menikmati makanan yang ada di piringnya, ia justru mengaduknya tanpa henti. Telinganya memang mendengar obrolan ayah dan ibunya. Raganya pun ada di sini, tetapi tidak dengan angannya yang melambung jauh memikirkan apa yang ia lihat dan dengar semalam. ‘Laura benar saat mengatakan aku salah kalau dia dan Jake tidak pernah melakukan apapun selama mereka menikah,’ batinnya berkecamuk. Semalam ... Fidel pergi ikut kedua orang tuanya untuk bertemu dengan anggota keluarga mereka yang datang dari luar kota. Kebetulannya … mereka memesan kamar di hotel milik HZ Empire. Dan ketidaksengajaan itu membuatnya melihat orang lain, sepasang suami istri yang tampak tampan dan cantik, yang tampak s
Ruang makan kehilangan kesibukannya dalam sesaat, Fidel hanya berdiri beberapa inci dari sang ibu yang ikut bangun dari duduknya dan berada di sebelah kanannya.Hela napas wanita bersanggul itu terdengar berat sebelum Fidel menoleh padanya dengan mata yang berkca-kaca.“Apakah Mama tidak bisa memberi tahu Papa agar aku tinggal di sini saja?” tanyanya—lebih terdengar seperti sebuah permohonan.“Sepertinya tidak bisa,” jawab sang ibu. “Sebenarnya Mama juga masih sakit hati dengan yang dilakukan oleh Jake dengan membatalkan pernikahan kalian yang saat itu hampir terlaksana,” lanjutnya. “Tapi Papamu benar … jika dia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu, dia pasti akan memperjuangkannya. Tetapi nyatanya tidak.”“Mam—”“Kembali ke Paris mungkin adalah pilihan yang benar.”Malika menepuk lembut lengan anak perempuannya sebelum langkah kakinya menjauh meninggalkan ruang makan. Menyisakan Fidel yang berdiri di sana dengan mata yang terasa perih.Air mata yang membingkai kedua sisinya sep
“Maaf, kami akan pulang dulu, Pak Zafran,” kata Laura, menghancurkan keheningan yang memeluk mereka selama beberapa saat itu. Ia menarik tangan Jake untuk beranjak setelah menundukkan kepalanya pada Zafran yang mengangguk saat Laura berpamitan. “Ayo!” ajak Laura pada Jake yang akhirnya mengekor ke mana perginya. Hani yang datang dari kamar mandi sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Tetapi melihat adanya ketegangan di sana, ia lebih memilih untuk diam—dan tidak pulang bersama dengan Laura. Di dalam mobil selama perjalanan meninggalkan hotel, tidak ada yang berbicara. Farren yang sibuk di balik setirnya memandang sekilas tuan dan nonanya yang duduk di kursi penumpang, turut bingung kenapa ada lomba tutup mulut di belakang punggungnya. Laura bukannya tidak ingin bicara, ia hanya membiarkan Jake menenangkan diri karena ia tahu betul ekspresi Jake adalah sebuah bentuk kecemburuan yang berusaha ia tutupi. Sayangnya itu gagal. “Terima kasih, Ren,” ujar Laura saat mereka tiba di hal
Zafran pergi dari hotel setelah acara pernikahan temannya itu usai. Ia merasa suntuk jika harus langsung kembali ke rumah sehingga ia memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe.Tempat dengan pencahayaan yang redup dan memberikan kesan hangat serta klasik ini milik kakaknya Andy—sekretarisnya—yang masih terbilang ramai padahal bisa dikatakan ini cukup malam.“Secangkir espresso sebelum pulang,” katanya pada diri sendiri kala ia mengayunkan kakinya untuk masuk.Beberapa langkah di dalam, sepasang matanya membola saat ia menemukan seseorang yang duduk di sudut ruangan, persis di dekat jendela. Sibuk dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang ada di atas meja.Elsa.Meski tampilannya tampak berbeda dari biasanya karena ini pertama kalinya Zafran melihat rambutnya terikat seperti itu, tapi entah kenapa Zafran bisa mengenali Elsa dari kejauhan.“Dia masih bekerja selarut ini?” tanya Zafran, memutuskan untuk mendekat padanya dan mengetukkan jari telunjuknya ke meja.“Zafran?!” sebut Elsa, ter
“Aku tidak tahu akan bagaimana melakukannya, tapi jika takdir menghendaki, aku bisa apa?” tanya Zafran balik. “Kamu cukup pintar merangkai kata,” sahut Elsa. “Harusnya kamu juga jadi pengacara.” Zafran hanya tertawa mendengarnya. Ia lalu berpamitan untuk pulang dan berpisah malam ini. Setelah memastikan Elsa masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, barulah Zafran pergi dari dari halaman luas itu. Senandung lagu kembali terdengar, mengantarnya tiba di rumahnya sendiri. Langkahnya bergema dari setiap dinding yang ia lewati. Memasuki kamarnya, ia melemparkan jasnya ke lantai. Kehampaan menyergap begitu ia tak memiliki teman untuk bicara. Ia menghela dalam napasnya, untuk menguraikan sesak yang mengikat sanubarinya ini. Pertemuan dengan Elsa dan obrolan santai bersama dengan gadis itu membuatnya sejenak lupa terhadap peristiwa yang ia hadapi sebelumnya. Tetapi begitu mereka berpisah, wajah tak santai Jake kembali memenuhi kedua netranya. “Apa Laura baik-baik saja sekarang?” tanyanya pad