Pagi seharusnya menjadi awal yang bagus untuk memulai aktivitas selama satu hari penuh. Tetapi tidak bagi Fidel. Hatinya sama sekali tidak tenang. ‘Sial!’ umpatnya dalam hati. ‘Aku tidak bisa melupakan yang aku dengar semalam.’ Ia duduk di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Alih-alih melahap atau menikmati makanan yang ada di piringnya, ia justru mengaduknya tanpa henti. Telinganya memang mendengar obrolan ayah dan ibunya. Raganya pun ada di sini, tetapi tidak dengan angannya yang melambung jauh memikirkan apa yang ia lihat dan dengar semalam. ‘Laura benar saat mengatakan aku salah kalau dia dan Jake tidak pernah melakukan apapun selama mereka menikah,’ batinnya berkecamuk. Semalam ... Fidel pergi ikut kedua orang tuanya untuk bertemu dengan anggota keluarga mereka yang datang dari luar kota. Kebetulannya … mereka memesan kamar di hotel milik HZ Empire. Dan ketidaksengajaan itu membuatnya melihat orang lain, sepasang suami istri yang tampak tampan dan cantik, yang tampak s
Ruang makan kehilangan kesibukannya dalam sesaat, Fidel hanya berdiri beberapa inci dari sang ibu yang ikut bangun dari duduknya dan berada di sebelah kanannya.Hela napas wanita bersanggul itu terdengar berat sebelum Fidel menoleh padanya dengan mata yang berkca-kaca.“Apakah Mama tidak bisa memberi tahu Papa agar aku tinggal di sini saja?” tanyanya—lebih terdengar seperti sebuah permohonan.“Sepertinya tidak bisa,” jawab sang ibu. “Sebenarnya Mama juga masih sakit hati dengan yang dilakukan oleh Jake dengan membatalkan pernikahan kalian yang saat itu hampir terlaksana,” lanjutnya. “Tapi Papamu benar … jika dia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu, dia pasti akan memperjuangkannya. Tetapi nyatanya tidak.”“Mam—”“Kembali ke Paris mungkin adalah pilihan yang benar.”Malika menepuk lembut lengan anak perempuannya sebelum langkah kakinya menjauh meninggalkan ruang makan. Menyisakan Fidel yang berdiri di sana dengan mata yang terasa perih.Air mata yang membingkai kedua sisinya sep
“Maaf, kami akan pulang dulu, Pak Zafran,” kata Laura, menghancurkan keheningan yang memeluk mereka selama beberapa saat itu. Ia menarik tangan Jake untuk beranjak setelah menundukkan kepalanya pada Zafran yang mengangguk saat Laura berpamitan. “Ayo!” ajak Laura pada Jake yang akhirnya mengekor ke mana perginya. Hani yang datang dari kamar mandi sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Tetapi melihat adanya ketegangan di sana, ia lebih memilih untuk diam—dan tidak pulang bersama dengan Laura. Di dalam mobil selama perjalanan meninggalkan hotel, tidak ada yang berbicara. Farren yang sibuk di balik setirnya memandang sekilas tuan dan nonanya yang duduk di kursi penumpang, turut bingung kenapa ada lomba tutup mulut di belakang punggungnya. Laura bukannya tidak ingin bicara, ia hanya membiarkan Jake menenangkan diri karena ia tahu betul ekspresi Jake adalah sebuah bentuk kecemburuan yang berusaha ia tutupi. Sayangnya itu gagal. “Terima kasih, Ren,” ujar Laura saat mereka tiba di hal
Zafran pergi dari hotel setelah acara pernikahan temannya itu usai. Ia merasa suntuk jika harus langsung kembali ke rumah sehingga ia memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe.Tempat dengan pencahayaan yang redup dan memberikan kesan hangat serta klasik ini milik kakaknya Andy—sekretarisnya—yang masih terbilang ramai padahal bisa dikatakan ini cukup malam.“Secangkir espresso sebelum pulang,” katanya pada diri sendiri kala ia mengayunkan kakinya untuk masuk.Beberapa langkah di dalam, sepasang matanya membola saat ia menemukan seseorang yang duduk di sudut ruangan, persis di dekat jendela. Sibuk dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang ada di atas meja.Elsa.Meski tampilannya tampak berbeda dari biasanya karena ini pertama kalinya Zafran melihat rambutnya terikat seperti itu, tapi entah kenapa Zafran bisa mengenali Elsa dari kejauhan.“Dia masih bekerja selarut ini?” tanya Zafran, memutuskan untuk mendekat padanya dan mengetukkan jari telunjuknya ke meja.“Zafran?!” sebut Elsa, ter
“Aku tidak tahu akan bagaimana melakukannya, tapi jika takdir menghendaki, aku bisa apa?” tanya Zafran balik. “Kamu cukup pintar merangkai kata,” sahut Elsa. “Harusnya kamu juga jadi pengacara.” Zafran hanya tertawa mendengarnya. Ia lalu berpamitan untuk pulang dan berpisah malam ini. Setelah memastikan Elsa masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, barulah Zafran pergi dari dari halaman luas itu. Senandung lagu kembali terdengar, mengantarnya tiba di rumahnya sendiri. Langkahnya bergema dari setiap dinding yang ia lewati. Memasuki kamarnya, ia melemparkan jasnya ke lantai. Kehampaan menyergap begitu ia tak memiliki teman untuk bicara. Ia menghela dalam napasnya, untuk menguraikan sesak yang mengikat sanubarinya ini. Pertemuan dengan Elsa dan obrolan santai bersama dengan gadis itu membuatnya sejenak lupa terhadap peristiwa yang ia hadapi sebelumnya. Tetapi begitu mereka berpisah, wajah tak santai Jake kembali memenuhi kedua netranya. “Apa Laura baik-baik saja sekarang?” tanyanya pad
Jake baru saja keluar dari ruang meeting, dengan Farren yang berjalan di sebelah kirinya. Pemuda itu menoleh pada Jake saat bertanya, “Apakah Anda sudah memberi tahu Nona Laura jika Anda akan pulang terlambat begini?” Terdengar khawatir, Jake pikir mungkin karena Farren melihatnya murung sejak pagi.“Aku sudah memberi tahu Laura tadi pagi, Ren,” jawabnya. “Tapi aku tidak bilang kalau akan pulang selarut ini,” lanjutnya.“Saat mengantar Anda dan Nona semalam, Nona Laura bilang kalau Anda sedang cemburu,” tanggapnya. “Cemburu pada siapa?”“Zafran,” jawab Jake singkat. “Tidak baik cemburu berlebihan, Tuan Jake. Cemburulah sewajarnya.”“Ini juga sudah sewajarnya.” Jake menekan suku katanya, menghela napas cukup dalam untuk menguraikan beban yang melilit dada. “Aku masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa Zafran memiliki arti yang besar dalam hidup Laura.”“Nona punya masa lalu, Anda pun juga sama. Aku pikir Pak Zafran dan Nona adalah orang yang bisa dipercaya,” kata Farren. “Meski di
“Jake?” panggil Laura saat melihatnya yang tampak termangu. “Ada apa?” lanjutnya, memandang sepasang mata Jake yang tampak menunjukkan gurat rasa marah. “Tidak apa-apa, Sayangku,” jawabnya. Jika sebelumnya Jake yang terdiam, maka sekarang Laura. Ia membeku mendengar itu. Panggilan ‘Sayangku’ yang diperdengarkan untuknya di saat yang tepat. Saat Laura dilanda rasa cemas dan takut. ‘Sayangku’ dari Jake seperti sehangat angin musim semi yang memeluknya. “Kamu istirahatlah,” pinta Jake, sedikit mendekatkan tubuhnya dan membelai pipi Laura. “Jika kamu membaik lebih cepat, besok pagi kamu sudah boleh pulang.” “Benarkah?” tanya Laura memastikan. Jake mengangguk mengiyakannya. Ia membantu Laura untuk mendapatkan posisi nyamannya lagi. Membenarkan selimutnya dan membiarkannya memejamkan mata, selagi ia akan menanyakan sesuatu terlebih dahulu pada security yang ada di butik milik Laura. Ada hal yang harus ia pastikan! Jake hampir beranjak pergi dari duduknya sebelum pergelangan tanga
Setelah malam itu … Laura diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Ia meliburkan aktivitas butik karena tempat itu masih dalam penyelidikan polisi.Dan selama beberapa hari terakhir ini … ia telah memindah kegiatan ke salah satu gedung milik Jake.Para penjahit bekerja di sana, memboyong sementara alat atau kain mereka yang masih bisa diselamatkan.Meeting dengan klien mereka lakukan di luar. Bisa di kafe atau di rumah milik klien—tentu saja hingga waktu yang tak bisa ditentukan.‘Mungkin akan sedikit lama kami menempati gedungmu, Jake,’ ujarnya hari itu pada Jake, saat beberapa barang mulai dibawa ke sana. ‘Sampai butik benar-benar layak untuk kembali beroperasi.’‘Tidak masalah,’ jawab Jake tak keberatan. ‘Aku senang karena bisa melakukan sesuatu untuk membantumu, Sayang.’Ah ….Pria itu sangat manis. Entah bagaimana Laura menjelaskan senyum yang terbit di kedua sudut bibirnya yang menawan itu. Kadang senyum Jake sangat kontras dengan wajahnya yang tegas dan dewasa, tapi semakin lama