“K-kenapa kamu tanya begitu, Jake?” tanya Alina, menatap pada Jake, urung menyesap teh beraroma rosela yang cangkirnya telah ia ambil. Meski wajahnya tampak tenang, tapi tangannya bergerak gemetar. “Jawab saja, Mam,” ucap Jake. “Mama sudah mendengarnya ‘kan barusan?” “Jake—” “Apa benar Mama ada di butik milik Laura sesaat sebelum kebakaran itu terjadi?” “Tidak!” jawab Alina dengan cepat. Ia letakkan kembali cangkir di tangannya ke atas meja. “Untuk apa Mama di sana?” tanya Alina balik, mengelak dan menyanggah tanya dari anak lelakinya yang di telinganya lebih terdengar seperti sebuah tuduhan. “Kamu tidak boleh menuduh Mama seperti ini, Jake!” kata Alina, wajahnya mengeras, menentang. Jake menghela dalam napasnya. Kedua bahunya yang jatuh itu seolah mengatakan ia sudah lelah menghadapi Alina—dan kepura-puraannya. “Seorang saksi menyebut bahwa Mama membeli bahan bakar di hari yang sama saat kebakaran itu terjadi,” ucap Jake. Satu kalimatnya sepertinya telah berhasil menggetarka
Soal Zafran yang menjadi saksi itu … Laura tahu. Jake mengatakan hal tersebut padanya. Pria itu secara jujur menyebut dirinya bertemu dengan Zafran dan membawa bukti besar bahwa ibunya—Alina—adalah otak tunggal di balik tragedi kebakaran di butiknya tempo hari.Laura pun sempat shock dan tidak percaya, tetapi saat Jake menunjukkan rekaman CCTV-nya, barulah Laura yakin bahwa memang itu dilakukan oleh beliau, ibu mertuanya.Meski wanita itu sudah kelepasan bicara, tetapi sepertinya ia tak akan menyerah begitu saja.‘Tidak’ yang ia sampaikan saat Jake mengatakan agar meminta maaf pada Laura itu adalah buktinya.“Jake,” panggil Laura, masih berbisik agar prianya ini berhenti meninggikan suara semarah apapun dirinya di hadapan ibunya sendiri.“Biar, Laura!” ucap Jake tegas. Matanya yang semula lembut menatap Laura berubah nyalang saat berpindah pada ibunya yang masih tak berkutik di samping sang ayah yang memilih untuk diam—sadar diri tidak mungkin melawan temperamen buruk Jake apalagi yan
Dengan menanggung malu, Alina kembali ke rumah. Langkahnya terasa berat, seolah sedang dirantai dengan jangkar.Suara kakinya yang menjejak di undakan tangga samar terdengar, terpantul pada dinding-dinding rumah, mengiringinya tiba di dalam kamar.Ia menjumpai suaminya, Barack ada di dalam sana. Mata mereka bertemu hingga Alina duduk di sofa yang ada di dalam.Tak ada yang berbicara. Hening merasuk sampai situasi itu diberhentikan oleh Barack yang membuka suaranya.“Jake sudah bilang padaku,” ucap pria itu mula-mula. “Dia tidak bercanda saat mengatakan akan membuatmu bertanggung jawab untuk semua ini, Lin.”Alina terdiam, ia menunduk. Menghindari Barack yang tengah berdiri di dekat meja, tak jauh dari ranjang.“Benar kamu yang melakukan itu?”Bukankah Alina tidak perlu memperjelasnya lagi? Barack sedang membicarakan soal kebakaran butik milik anak menantu mereka, Laura.Meski Alina kembali menyuguhkan kediaman yang lebih panjang, tetapi diamnya mengakui itu. Bahwa memang dirinyalah ya
Pagi hari ini, Zafran baru saja keluar dari mobilnya bersama dengan Andy—sekretarisnya—dan memeriksa pesan masuk yang membuatnya tersenyum.Dari Jake yang mengatakan,[Kapan kita bisa minum? Aku ingin bilang terima kasih untuk kesaksianmu kapan hari, Zaf.]Zafran membalasnya, hanya beberapa detik setelah ia selesai membaca pesan dari Jake.[Kapan saja boleh. Traktir aku wine yang mahal!]Senyum Zafran semakin tak terbendung kala ia menyadari hubungannya dengan Jake sepertinya sedikit membaik ketimbang sebelumnya. “Tuan Zafran, sidangnya hampir dimulai,” kata Andy yang berjalan di sebelah kanannya, membuat Zafran dengan cepat menyimpan kembali ponselnya di balik saku jas yang ia kenakan.“Iya,” jawab Zafran singkat, terus mengayunkan kakinya bersama dengan Andy untuk menuju ke sebuah ruangan.Andy tidak salah saat mengatakan soal ‘sidang hampir dimulai’ karena sekarang mereka berdua memang sedang berada di pengadilan untuk melihat proses sidang perceraian salah seorang staf Zafran—yan
Di depan cermin … Elsa memastikan ia sudah cukup rapi. Ia sudah memilih gaun ini lebih dari tiga jam yang lalu. Membandingkannya dengan yang lain sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Laura, yang mana yang sepatutnya ia kenakan saat menghadiri pernikahan mantan. Dan Laura—temannya yang bisa ia andalkan soal pakaian itu—memberinya jawaban lewat pesan. [Pakai yang warna merah hati, pakai sepatu dengan warna yang sama.] Rupanya, pilihan Laura tidak salah! Elsa suka ini. Sekarang yang ia lakukan hanya tinggal keluar dari kamar dan menunggu kedatangan Zafran. Ia tak menyangka permintaannya pada Zafran soal ‘datang ke undangan pernikahan mantan’ itu benar dikabulkan olehnya. Bahkan pria itu yang akan menjemputnya. Saat Elsa keluar dari kamarnya, ia terkejut karena melihat ayah dan ibunya yang ada di teras, baru saja datang dari luar dan terperangah melihat tampilannya yang cukup feminin malam hari ini. “Kamu mau pergi?” tanya Ibunya Elsa. “Iya, Mam.” “Sama Laura?”
Pagi belum menunjukkan cahaya matahari yang meninggi saat Laura membuka matanya dan melihat Jake yang duduk dengan ponsel menempel di telinganya. Tampak terhubung panggilan dengan seseorang, sepertinya Farren. Karena Laura mendengar Jake menyebut namanya.“Pagi, Ren. Ada apa?” tanyanya dengan suara seraknya yang terdengar seksi.“Dia meninggal?” tanya Jake yang seketika itu membuat Laura bangun dari berbaringnya. Menggunakan selimut untuk menutupi bagian depan tubuhnya sembari satu jarak mendekat pada Jake, mencuri dengar siapa yang dibicarakan oleh dua pria itu sepagi ini.Jake menoleh pada Laura dan merangkul bahunya saat menjawab Farren dengan mengucap, “Aku akan memberitahu Laura, tolong jemput kami satu jam lagi.”Laura memandang Jake yang mengangguk samar sebelum memindah benda pipih berwarna hitam miliknya itu dari telinganya dan meletakkannya di atas meja.“Siapa yang meninggal?” tanya Laura, masih belum berpaling dari Jake.Prianya itu menoleh, tatapannya jatuh pada bibir La
Selagi Farren tercenung mendengar pandangan Laura, Jake membenarkannya. “Tania yang polos bisa saja ditipu oleh si donatur itu,” katanya, menyetujui Laura. ‘’Kita sama-sama memiliki dugaan bahwa dia adalah si Fidel,” lanjutnya. Ada kebencian yang cukup kentara dari cara Jake menyebutkan nama ‘Fidel.’ “Tania menurut pada Fidel saat itu, bahkan memikul beban sendirian karena dia berpikir Fidel adalah satu-satunya orang yang akan menolongnya,” kata Jake, matanya yang beriris kelam jatuh pada cangkir kopinya yang mengepulkan asap. “Dan bahkan Tania masih berpikir begitu hingga dia ada di dalam penjara tanpa tahu yang dia percaya malah ingkar dan tidak melakukan kesepakatan untuk tetap membiayai adiknya.” Laura mengangguk, seperti itulah yang tadi ia maksudkan. Keheningan menyergap, mereka kembali terdiam untuk merenungi kalimat Jake barusan. Sekarang Farren pun tahu bahwa dugaan Tuan dan Nonanya ini memiliki kemungkinan lebih dari lima puluh persen benar. Ia mengangkat wajahnya saat
Rasanya habis kata Tania dibuat oleh ibunya. Yang tersisa hari itu hanyalah tangis hingga Farida pergi meninggalkannya. Di dalam tahanan, setelah Tania dibawa kembali ke sana, matanya berkabut air mata saat ia memandangi besi berjajar yang mengekangnya. Percakapannya dengan Farida membekas dan menyakiti hatinya. ‘Dia tidak pernah datang dan memberikan bantuan sejak kamu masuk tahanan.’ Terus saja terulang, puluhan, hingga ratusan kali, terngiang di indera pendengarnya, memukul dadanya, membuatnya sesak. Bibirnya terbungkam tanpa kata, tetapi sepasang netranya yang basah itu mengatakan lebih banyak sekecewa apa sekarang ia. “Kamu bohong ….” katanya lirih, meremas jemarinya yang gemetar dan kesemutan. “Ternyata kamu bukan malaikat seperti yang terlihat.” Tania menunduk, tangisnya tak terbendung. Air mata kian deras menghujani wajah dan bermuara di pipinya. Ia merasa sangat bersalah pada Amara, adiknya yang nyawanya telah terenggut. Dan bahkan ... jauh sebelum itu ia pernah membua