Dengan menanggung malu, Alina kembali ke rumah. Langkahnya terasa berat, seolah sedang dirantai dengan jangkar.Suara kakinya yang menjejak di undakan tangga samar terdengar, terpantul pada dinding-dinding rumah, mengiringinya tiba di dalam kamar.Ia menjumpai suaminya, Barack ada di dalam sana. Mata mereka bertemu hingga Alina duduk di sofa yang ada di dalam.Tak ada yang berbicara. Hening merasuk sampai situasi itu diberhentikan oleh Barack yang membuka suaranya.“Jake sudah bilang padaku,” ucap pria itu mula-mula. “Dia tidak bercanda saat mengatakan akan membuatmu bertanggung jawab untuk semua ini, Lin.”Alina terdiam, ia menunduk. Menghindari Barack yang tengah berdiri di dekat meja, tak jauh dari ranjang.“Benar kamu yang melakukan itu?”Bukankah Alina tidak perlu memperjelasnya lagi? Barack sedang membicarakan soal kebakaran butik milik anak menantu mereka, Laura.Meski Alina kembali menyuguhkan kediaman yang lebih panjang, tetapi diamnya mengakui itu. Bahwa memang dirinyalah ya
Pagi hari ini, Zafran baru saja keluar dari mobilnya bersama dengan Andy—sekretarisnya—dan memeriksa pesan masuk yang membuatnya tersenyum.Dari Jake yang mengatakan,[Kapan kita bisa minum? Aku ingin bilang terima kasih untuk kesaksianmu kapan hari, Zaf.]Zafran membalasnya, hanya beberapa detik setelah ia selesai membaca pesan dari Jake.[Kapan saja boleh. Traktir aku wine yang mahal!]Senyum Zafran semakin tak terbendung kala ia menyadari hubungannya dengan Jake sepertinya sedikit membaik ketimbang sebelumnya. “Tuan Zafran, sidangnya hampir dimulai,” kata Andy yang berjalan di sebelah kanannya, membuat Zafran dengan cepat menyimpan kembali ponselnya di balik saku jas yang ia kenakan.“Iya,” jawab Zafran singkat, terus mengayunkan kakinya bersama dengan Andy untuk menuju ke sebuah ruangan.Andy tidak salah saat mengatakan soal ‘sidang hampir dimulai’ karena sekarang mereka berdua memang sedang berada di pengadilan untuk melihat proses sidang perceraian salah seorang staf Zafran—yan
Di depan cermin … Elsa memastikan ia sudah cukup rapi. Ia sudah memilih gaun ini lebih dari tiga jam yang lalu. Membandingkannya dengan yang lain sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Laura, yang mana yang sepatutnya ia kenakan saat menghadiri pernikahan mantan. Dan Laura—temannya yang bisa ia andalkan soal pakaian itu—memberinya jawaban lewat pesan. [Pakai yang warna merah hati, pakai sepatu dengan warna yang sama.] Rupanya, pilihan Laura tidak salah! Elsa suka ini. Sekarang yang ia lakukan hanya tinggal keluar dari kamar dan menunggu kedatangan Zafran. Ia tak menyangka permintaannya pada Zafran soal ‘datang ke undangan pernikahan mantan’ itu benar dikabulkan olehnya. Bahkan pria itu yang akan menjemputnya. Saat Elsa keluar dari kamarnya, ia terkejut karena melihat ayah dan ibunya yang ada di teras, baru saja datang dari luar dan terperangah melihat tampilannya yang cukup feminin malam hari ini. “Kamu mau pergi?” tanya Ibunya Elsa. “Iya, Mam.” “Sama Laura?”
Pagi belum menunjukkan cahaya matahari yang meninggi saat Laura membuka matanya dan melihat Jake yang duduk dengan ponsel menempel di telinganya. Tampak terhubung panggilan dengan seseorang, sepertinya Farren. Karena Laura mendengar Jake menyebut namanya.“Pagi, Ren. Ada apa?” tanyanya dengan suara seraknya yang terdengar seksi.“Dia meninggal?” tanya Jake yang seketika itu membuat Laura bangun dari berbaringnya. Menggunakan selimut untuk menutupi bagian depan tubuhnya sembari satu jarak mendekat pada Jake, mencuri dengar siapa yang dibicarakan oleh dua pria itu sepagi ini.Jake menoleh pada Laura dan merangkul bahunya saat menjawab Farren dengan mengucap, “Aku akan memberitahu Laura, tolong jemput kami satu jam lagi.”Laura memandang Jake yang mengangguk samar sebelum memindah benda pipih berwarna hitam miliknya itu dari telinganya dan meletakkannya di atas meja.“Siapa yang meninggal?” tanya Laura, masih belum berpaling dari Jake.Prianya itu menoleh, tatapannya jatuh pada bibir La
Selagi Farren tercenung mendengar pandangan Laura, Jake membenarkannya. “Tania yang polos bisa saja ditipu oleh si donatur itu,” katanya, menyetujui Laura. ‘’Kita sama-sama memiliki dugaan bahwa dia adalah si Fidel,” lanjutnya. Ada kebencian yang cukup kentara dari cara Jake menyebutkan nama ‘Fidel.’ “Tania menurut pada Fidel saat itu, bahkan memikul beban sendirian karena dia berpikir Fidel adalah satu-satunya orang yang akan menolongnya,” kata Jake, matanya yang beriris kelam jatuh pada cangkir kopinya yang mengepulkan asap. “Dan bahkan Tania masih berpikir begitu hingga dia ada di dalam penjara tanpa tahu yang dia percaya malah ingkar dan tidak melakukan kesepakatan untuk tetap membiayai adiknya.” Laura mengangguk, seperti itulah yang tadi ia maksudkan. Keheningan menyergap, mereka kembali terdiam untuk merenungi kalimat Jake barusan. Sekarang Farren pun tahu bahwa dugaan Tuan dan Nonanya ini memiliki kemungkinan lebih dari lima puluh persen benar. Ia mengangkat wajahnya saat
Rasanya habis kata Tania dibuat oleh ibunya. Yang tersisa hari itu hanyalah tangis hingga Farida pergi meninggalkannya. Di dalam tahanan, setelah Tania dibawa kembali ke sana, matanya berkabut air mata saat ia memandangi besi berjajar yang mengekangnya. Percakapannya dengan Farida membekas dan menyakiti hatinya. ‘Dia tidak pernah datang dan memberikan bantuan sejak kamu masuk tahanan.’ Terus saja terulang, puluhan, hingga ratusan kali, terngiang di indera pendengarnya, memukul dadanya, membuatnya sesak. Bibirnya terbungkam tanpa kata, tetapi sepasang netranya yang basah itu mengatakan lebih banyak sekecewa apa sekarang ia. “Kamu bohong ….” katanya lirih, meremas jemarinya yang gemetar dan kesemutan. “Ternyata kamu bukan malaikat seperti yang terlihat.” Tania menunduk, tangisnya tak terbendung. Air mata kian deras menghujani wajah dan bermuara di pipinya. Ia merasa sangat bersalah pada Amara, adiknya yang nyawanya telah terenggut. Dan bahkan ... jauh sebelum itu ia pernah membua
“Mama memang memiliki dosa yang besar pada ayahnya Jake, pada Jake juga, padamu, pada keluarga Heizt yang menjadikan Mama sebagai seorang Nyonya terhormat,” kata Alina, suaranya bertambah parau sebab ia berbicara dengan menahan air mata. “Mama sangat takut dosa itu diketahui oleh kalian, jadi Mama memilih untuk merahasiakannya. Tapi—“ Alina menjedanya, menggosok matanya yang perih dan menggigit bibirnya, menahan rasa malu. “Tapi justru hal itu diketahui oleh Fidel yang memanfaatkannya sebagai celah agar dia mendapatkan apa yang dia mau.” “Mama ….” panggil Laura lembut, menggapai tangan Alina lewat celah sempit yang berada di hadapan mereka. “Mama sangat menyesal, Laura. Maafkan Mama ….” Laura mendapati Alina yang lain, sosok ibu mertuanya yang sangat berbeda dengan pribadinya yang dulu kerap menyerang Laura secara verbal dengan hinaan fisik atau ketidakmampuannya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri karena dianggap mandul. Ia termangu sejenak, menemukan sebuah garis terang
Beberapa waktu berjalan, Laura sudah mendapati butik yang selesai dari masa perbaikan. Kali ini bangunannya lebih bagus.Akhirnya, setelah bekerja sementara di gedung milik Jake, ia dan para staf yang lainnya kembali ke tempat asal.Malam hari ini, butik miliknya cukup ramai. Ada acara kecil yang ia buat untuk meresmikan tempat baru di sebelah timur bangunan utama.Tidak banyak yang hadir di sana. Hanya beberapa teman dekat Laura, dan staf yang ia perbolehkan untuk mengajak serta keluarganya.Salah satunya yang hadir di sana adalah Elsa. Laura melihat kedatangannya bersama Zafran.Meski sempat tercenung dengan kedatangan mereka yang bersamaan, Laura tetap menyambut dengan senyum yang ceria. Mempersilahkan keduanya untuk masuk.Selagi Zafran bergabung dengan para pria yang lain, Elsa berdiri berhadapan dengan Laura. Temannya itu membawa buket bunga yang cukup besar yang ia berikan pada Laura sembari mengatakan, “Terima kasih sudah mengundangku, Lau,” ucapnya.“Mana mungkin aku tidak me