“Maaf, kami akan pulang dulu, Pak Zafran,” kata Laura, menghancurkan keheningan yang memeluk mereka selama beberapa saat itu. Ia menarik tangan Jake untuk beranjak setelah menundukkan kepalanya pada Zafran yang mengangguk saat Laura berpamitan. “Ayo!” ajak Laura pada Jake yang akhirnya mengekor ke mana perginya. Hani yang datang dari kamar mandi sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Tetapi melihat adanya ketegangan di sana, ia lebih memilih untuk diam—dan tidak pulang bersama dengan Laura. Di dalam mobil selama perjalanan meninggalkan hotel, tidak ada yang berbicara. Farren yang sibuk di balik setirnya memandang sekilas tuan dan nonanya yang duduk di kursi penumpang, turut bingung kenapa ada lomba tutup mulut di belakang punggungnya. Laura bukannya tidak ingin bicara, ia hanya membiarkan Jake menenangkan diri karena ia tahu betul ekspresi Jake adalah sebuah bentuk kecemburuan yang berusaha ia tutupi. Sayangnya itu gagal. “Terima kasih, Ren,” ujar Laura saat mereka tiba di hal
Zafran pergi dari hotel setelah acara pernikahan temannya itu usai. Ia merasa suntuk jika harus langsung kembali ke rumah sehingga ia memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe.Tempat dengan pencahayaan yang redup dan memberikan kesan hangat serta klasik ini milik kakaknya Andy—sekretarisnya—yang masih terbilang ramai padahal bisa dikatakan ini cukup malam.“Secangkir espresso sebelum pulang,” katanya pada diri sendiri kala ia mengayunkan kakinya untuk masuk.Beberapa langkah di dalam, sepasang matanya membola saat ia menemukan seseorang yang duduk di sudut ruangan, persis di dekat jendela. Sibuk dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang ada di atas meja.Elsa.Meski tampilannya tampak berbeda dari biasanya karena ini pertama kalinya Zafran melihat rambutnya terikat seperti itu, tapi entah kenapa Zafran bisa mengenali Elsa dari kejauhan.“Dia masih bekerja selarut ini?” tanya Zafran, memutuskan untuk mendekat padanya dan mengetukkan jari telunjuknya ke meja.“Zafran?!” sebut Elsa, ter
“Aku tidak tahu akan bagaimana melakukannya, tapi jika takdir menghendaki, aku bisa apa?” tanya Zafran balik. “Kamu cukup pintar merangkai kata,” sahut Elsa. “Harusnya kamu juga jadi pengacara.” Zafran hanya tertawa mendengarnya. Ia lalu berpamitan untuk pulang dan berpisah malam ini. Setelah memastikan Elsa masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, barulah Zafran pergi dari dari halaman luas itu. Senandung lagu kembali terdengar, mengantarnya tiba di rumahnya sendiri. Langkahnya bergema dari setiap dinding yang ia lewati. Memasuki kamarnya, ia melemparkan jasnya ke lantai. Kehampaan menyergap begitu ia tak memiliki teman untuk bicara. Ia menghela dalam napasnya, untuk menguraikan sesak yang mengikat sanubarinya ini. Pertemuan dengan Elsa dan obrolan santai bersama dengan gadis itu membuatnya sejenak lupa terhadap peristiwa yang ia hadapi sebelumnya. Tetapi begitu mereka berpisah, wajah tak santai Jake kembali memenuhi kedua netranya. “Apa Laura baik-baik saja sekarang?” tanyanya pad
Jake baru saja keluar dari ruang meeting, dengan Farren yang berjalan di sebelah kirinya. Pemuda itu menoleh pada Jake saat bertanya, “Apakah Anda sudah memberi tahu Nona Laura jika Anda akan pulang terlambat begini?” Terdengar khawatir, Jake pikir mungkin karena Farren melihatnya murung sejak pagi.“Aku sudah memberi tahu Laura tadi pagi, Ren,” jawabnya. “Tapi aku tidak bilang kalau akan pulang selarut ini,” lanjutnya.“Saat mengantar Anda dan Nona semalam, Nona Laura bilang kalau Anda sedang cemburu,” tanggapnya. “Cemburu pada siapa?”“Zafran,” jawab Jake singkat. “Tidak baik cemburu berlebihan, Tuan Jake. Cemburulah sewajarnya.”“Ini juga sudah sewajarnya.” Jake menekan suku katanya, menghela napas cukup dalam untuk menguraikan beban yang melilit dada. “Aku masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa Zafran memiliki arti yang besar dalam hidup Laura.”“Nona punya masa lalu, Anda pun juga sama. Aku pikir Pak Zafran dan Nona adalah orang yang bisa dipercaya,” kata Farren. “Meski di
“Jake?” panggil Laura saat melihatnya yang tampak termangu. “Ada apa?” lanjutnya, memandang sepasang mata Jake yang tampak menunjukkan gurat rasa marah. “Tidak apa-apa, Sayangku,” jawabnya. Jika sebelumnya Jake yang terdiam, maka sekarang Laura. Ia membeku mendengar itu. Panggilan ‘Sayangku’ yang diperdengarkan untuknya di saat yang tepat. Saat Laura dilanda rasa cemas dan takut. ‘Sayangku’ dari Jake seperti sehangat angin musim semi yang memeluknya. “Kamu istirahatlah,” pinta Jake, sedikit mendekatkan tubuhnya dan membelai pipi Laura. “Jika kamu membaik lebih cepat, besok pagi kamu sudah boleh pulang.” “Benarkah?” tanya Laura memastikan. Jake mengangguk mengiyakannya. Ia membantu Laura untuk mendapatkan posisi nyamannya lagi. Membenarkan selimutnya dan membiarkannya memejamkan mata, selagi ia akan menanyakan sesuatu terlebih dahulu pada security yang ada di butik milik Laura. Ada hal yang harus ia pastikan! Jake hampir beranjak pergi dari duduknya sebelum pergelangan tanga
Setelah malam itu … Laura diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Ia meliburkan aktivitas butik karena tempat itu masih dalam penyelidikan polisi.Dan selama beberapa hari terakhir ini … ia telah memindah kegiatan ke salah satu gedung milik Jake.Para penjahit bekerja di sana, memboyong sementara alat atau kain mereka yang masih bisa diselamatkan.Meeting dengan klien mereka lakukan di luar. Bisa di kafe atau di rumah milik klien—tentu saja hingga waktu yang tak bisa ditentukan.‘Mungkin akan sedikit lama kami menempati gedungmu, Jake,’ ujarnya hari itu pada Jake, saat beberapa barang mulai dibawa ke sana. ‘Sampai butik benar-benar layak untuk kembali beroperasi.’‘Tidak masalah,’ jawab Jake tak keberatan. ‘Aku senang karena bisa melakukan sesuatu untuk membantumu, Sayang.’Ah ….Pria itu sangat manis. Entah bagaimana Laura menjelaskan senyum yang terbit di kedua sudut bibirnya yang menawan itu. Kadang senyum Jake sangat kontras dengan wajahnya yang tegas dan dewasa, tapi semakin lama
“K-kenapa kamu tanya begitu, Jake?” tanya Alina, menatap pada Jake, urung menyesap teh beraroma rosela yang cangkirnya telah ia ambil. Meski wajahnya tampak tenang, tapi tangannya bergerak gemetar. “Jawab saja, Mam,” ucap Jake. “Mama sudah mendengarnya ‘kan barusan?” “Jake—” “Apa benar Mama ada di butik milik Laura sesaat sebelum kebakaran itu terjadi?” “Tidak!” jawab Alina dengan cepat. Ia letakkan kembali cangkir di tangannya ke atas meja. “Untuk apa Mama di sana?” tanya Alina balik, mengelak dan menyanggah tanya dari anak lelakinya yang di telinganya lebih terdengar seperti sebuah tuduhan. “Kamu tidak boleh menuduh Mama seperti ini, Jake!” kata Alina, wajahnya mengeras, menentang. Jake menghela dalam napasnya. Kedua bahunya yang jatuh itu seolah mengatakan ia sudah lelah menghadapi Alina—dan kepura-puraannya. “Seorang saksi menyebut bahwa Mama membeli bahan bakar di hari yang sama saat kebakaran itu terjadi,” ucap Jake. Satu kalimatnya sepertinya telah berhasil menggetarka
Soal Zafran yang menjadi saksi itu … Laura tahu. Jake mengatakan hal tersebut padanya. Pria itu secara jujur menyebut dirinya bertemu dengan Zafran dan membawa bukti besar bahwa ibunya—Alina—adalah otak tunggal di balik tragedi kebakaran di butiknya tempo hari.Laura pun sempat shock dan tidak percaya, tetapi saat Jake menunjukkan rekaman CCTV-nya, barulah Laura yakin bahwa memang itu dilakukan oleh beliau, ibu mertuanya.Meski wanita itu sudah kelepasan bicara, tetapi sepertinya ia tak akan menyerah begitu saja.‘Tidak’ yang ia sampaikan saat Jake mengatakan agar meminta maaf pada Laura itu adalah buktinya.“Jake,” panggil Laura, masih berbisik agar prianya ini berhenti meninggikan suara semarah apapun dirinya di hadapan ibunya sendiri.“Biar, Laura!” ucap Jake tegas. Matanya yang semula lembut menatap Laura berubah nyalang saat berpindah pada ibunya yang masih tak berkutik di samping sang ayah yang memilih untuk diam—sadar diri tidak mungkin melawan temperamen buruk Jake apalagi yan