Share

BAB 3 : "Aib yang Harus Disembunyikan."

“Bagaimana? Hasil pemeriksaan menyeluruh Oma sudah keluar? Baiklah, saya akan kesana.”

Nadhira tergugu di tempat, seakan ditanamkan paku kedua kakinya agar tidak bergerak kemana-mana. Tergugu melihat suaminya yang menuruni tangga dengan terburu-buru sedang ia bersembunyi di belakang lemari.

Ya Tuhan, di mana keberanian yang dirinya sudah rencanakan semalam suntuk itu?! Melihat Mahesa yang keluar dari ruang kerjanya saja satu-satunya yang Nadhira lakukan adalah bersembunyi secepat mungkin dengan gerakan rusuh hingga jempolnya terkantuk lemari. Kepalanya sampai berdengung akibat rasa sakit di jempol kakinya yang malang itu.

Demi Tuhan, perceraian sudah di depan mata! Nadhira tidak bermaksud untuk mendoakan Raditha untuk menemukan ajalnya, sungguh. Ia saja sudah menangis semalaman karena merasa takut ditinggalkan namun apa-apaan yang barusan saja ia perbuat? Kembali bersembunyi, memperhatikan dari jauh suaminya yang melenggang pergi keluar rumah padahal tadi malam ia sudah menekatkan diri kalau dirinya harus mencoba menarik perhatian seorang Mahesa. Mencoba menjadi istri seutuhnya dengan melayani yang suami tapi nyatanya? Baru mendengar suara pintu yang di buka saja kepercayaan diri Nadhira langsung menghilang bak uap udara.

Bagaimana ini? Kenapa kamu selemah ini, Nadhira? Batinnya bergumam lirih.

Mobil Mahesa sudah terdengar meninggalkan perkarangan rumah yang tersisa di dalam diri Nadhira hanyalah penyesalan.

Tapi kemudian, ia teringat akan apa yang Mahesa ucapkan di telepon hingga membuat langkah kakinya pergi dengan terburu-buru.

Katanya, hasil pemeriksaan menyeluruh Raditha sudah keluar.

Sungguh cepat sekali. Uang jelas berperan penting disana.

Kalau hari ini usahanya gagal total bahkan sebelum memulai, setidaknya Nadhira mencoba untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya keadaan Raditha lebih dahulu.

Maka, dengan rasa sedih juga ketakutan yang masih menyokong dada, Nadhira segera bersiap untuk pergi ke rumah sakit kembali. Dirinya tentu tidak akan lupa bagaimana Mahesa dan Rusmala mengusirnya pergi namun Nadhira tidak bisa menahan diri, ia perlu tau bagaimana keadaan Raditha detik ini juga.

Keberanian yang muncul akibat dari rasa nekat membawa Nadhira melangkah menuju rumah sakit. Terimakasih kepada Tania, sahabatnya yang bekerja sebagai perawat, Nadhira bisa dengan mudah tau dimana Raditha dipindahkan.

Katanya, di lantai lima. Rawat inap para VVIP yang mewah juga keamanan terjamin. Satu lantai di atas ruang operasi jadi kalau terjadi apa-apa, pasien penghuni kamar bisa segera ditangani. Liftnya saja bahkan privat, khusus untuk pemegang kartu VVIP saja sehingga bebas pergi ke lantai mana pun yang mereka mau tanpa harus antri dengan pengunjung umum. Nadhira tidak kaget kalau Raditha ada disana, malahan akan aneh kalau pemilik saham gurita bisnis keluarga Brijaya itu menggunakan kamar biasa.

Berdasarkan perasaan terdesak, Nadhira tiba di lantai lima dengan langkah yang masih terburu-buru namun seketika melambat sebab nyatanya…satu keluarga Ando brijaya, anak sulung Raditha alias ayahnya Mahesa sudah berkumpul semua. Lengkap. Pria tua itu nampaknya baru datang dari luar negeri.

Dan mereka semua sedang menatap Nadhira sekarang.

Seketika, jiwa Nadhira seakan dicopot paksa melihat…betapa menyeramkannya tatapan orang-orang kalangan atas itu.

Terutama, Mahesa.

Ah, Rusmala juga. Ck, si bungsu Chintya apalagi. Sedang sang anak tengah, Bimanthara juga Ando sebagai kepala keluarga masih mendatarkan hujaman tatapan.

Tapi percayalah, itu bahkan sama menyeramkannya.

“Apa-apaan ini, Mahesa? Mengapa wanita itu ada disini? Bagaimana bisa dia tiba-tiba masuk?”

‘Wanita itu’, seakan Rusmala begitu jijik bahkan hanya untuk sekedar menyebut nama menantu yang tidak ia akui.

Mahesa nampak memejamkan mata, mungkin sedang meredam lonjakan emosi sedang Nadhira makin merasa ‘kecil’ di hadapan mereka.

Kam, hilang lagi nyali Nadhira.

“Usir aja deh, Mas. Apa-apaan sih? Ganggu aja tau nggak?!” Chintya menggerutu, umurnya sama dengan Nadhira namun kesuksesan wanita itu sudah jauh luar biasa. Ia influencer kecantikan sekaligus pemilik salon dan spa menyambung usaha sang ibu yang sudah tersebar di seluruh provinsi.

Jelas, masa depan seorang yang terlahir dengan darah Brijaya sudah tertata rapi hingga mereka mati.

Mahesa mendekat dan kaki Nadhira sudah goyah layaknya jelly. “Pergi.”

Hanya satu kata, namun sudah melobangi hati Nadhira.

“Enggak mau.” Tangan Nadhira yang gemetar, mengepal kuat. Hampir saja tergelincir jarinya sebab telapak tangannya sudah basah saking tegangnya. “Aku cuman ingin tau bagaimana hasil pemeriksaan menyeluruh Oma. Aku enggak ada niatan apa-apa selain itu. Jadi, tolong. Izinkan aku mengetahuinya juga melihat keadaan Oma Mas. Aku janji bakalan sebentar aja,” sambungnya memohon dengan segenap kerendahan hati.

“Ck, lihat siapa yang pandai sekali menjilat disini.” Chintya itu angkuh, Nadhira tau sekali. Seumur hidupnya hanya diberkahi dengan kemudahan sehingga ia selalu memandang remeh apapun yang menurutnya lebih lemah dari dirinya. Lihatlah tangan wanita berambut merah gelap itu yang bersedekap. Tatapannya sungguh penuh akan gunjingan. “Ini momen yang sangat pas untuk mencari simpati Mas Mahesa.”

Nadhira terhenyak mendengar itu. Apa-apan maksudnya? Kesimpulan buruk macam apa itu?! Nadhira sungguhan hanya ingin memastikan keadaan Raditha!

Sedang tatapan Mahesa sudah berubah semakin tajam, Rusmala nampak tertawa penuh cibiran. “Benar sekali yang Chintya bilang. Urus dia, Mahes. Sebelum dia bertingkah udik membuat keributan disini.”

Ya Tuhan…Rusmala bahkan mengompori.

Nadhira mengeleng kuat, mendapat tekanan yang begitu banyak membuat lidahnya kelu untuk bersuara.

“Pergi, atau mau saya seret?” Mahesa bersuara rendah, penuh keseriusan.

“Aku betulan cuman mau tau keadaan Oma Mas. Tolong—“

“Kak. Cepat bereskan, bukan hanya ada kita di lantai ini.” Bimanthara bersuara jengah. “Papa juga masih jetlag, capek. Demi Tuhan, kita harus menemui dokter sekarang.”

Kring! Kring! Kring!

Lalu, tau-tau suara dering telepon memecah keributan yang membuat kepala Mahesa rasanya ingin pecah saja. Sebab kantong celananya mengalami getaran, Mahesa tau kalau telepon itu datang dari handphonenya dan bola matanya sedikit melebar tatkala melihat nama yang muncul disana.

“Siapa Mahes?” Rusmala bertanya.

“Jennitha Ma, ck dia barusan mengirim chat kalau sudah sampai.”

Mendengar nama siapa yang disebutkan, Nadhira seketika terpaku.

Jennitha…Kekasih Mahesa.

“Ya Tuhan…Dia pasti sedang ada di lift.” Dengan kakinya yang berbalut sepatu ber hak lima senti, Rusmala berjalan mendekat dengan cepat. “Sembunyikan dia.”

Akibat titah sang ibu juga melihat bagaimana Nadhira yang tidak bergerak menjauh barang satu senti pun, Mahesa benar-benar baik pitam. Dengan begitu tanpa perasaan, ia menarik tangan Nadhira begitu saja lalu membawanya ke belokan lorong. Menekan tubuh sang istri agar menempel ke tembok.

“Diam disini, dan jangan pernah menampakkan diri ketika Jennitha datang.” Mahesa mendesis penuh ancaman, matanya yang sehitam jelaga menatap nyalang. Tangannya yang berurat mencengkeram pundak Nadhira hingga membuat yang lebih muda menggigit lidah menahan rasa sakit juga air mata. “Langsung pergi ketika kami semua masuk ke dalam ruangan. Mengerti?”

Nadhira masih diam sebab ia benar-benar tidak mampu untuk membuka suara barang sedikit saja.

“Mengerti, atau tidak?” Mahesa menekan suara beratnya.

Maka, karena menjadi terlampau takut, Nadhira dipaksa keadaan untuk mengangguk.

Cengkraman itu sudah terlepas namun Mahesa masih bertahan di tempat. “Berani keluar, kamu akan mendapatkan akibatnya.”

Memberikan ancaman terakhir juga memastikan Nadhira terguncang, barulah Mahesa pergi sambil melonggarkan dasi yang terasa begitu mencekik leher.

Bertepatan, dengan keluarnya seorang wanita cantik dari dalam lift.

Ketegangan yang tadi menekan, masih menyelimuti atmosfer namun seorang Rusmala yang sudah fasih melatih sikap diri sebagai istri dari seorang direktur dengan mudah mengumbar senyum lalu mendekat kepada ‘calon menantu’ yang begitu ia banggakan.

“Jen, apa kabar?” Keduanya segera bercipika-cipiki pun Mahesa ikut mendekat, dengan ekspresi yang sudah sepenuhnya mampu ia kendalikan.

“Tante, aku turut ikut sedih ya.” Jennitha yang begitu anggun dengan dress baby blue mengusap bahu Rusmala dengan mimik wajah yang begitu bersimpati. “Om, Bima, Chintya, turut bersedih ya.” Uluran tangan Jennitha disambut begitu hangat oleh Ando juga anak kedua dan anak ketiganya.

“Aku baik, Tante. Maaf baru pagi ini datang. Dari bandara aku langsung kesini sewaktu Mas Mahesa memberitahu keadaan Oma. Pakai private jetnya Papi, untung lagi menganggur.”

“Enggak apa-apa Jen, kamu datang saja Tante sudah tenang. Padahal kamu sibuk sekali, makasih ya?” Tangan Jennitha, Rusmala usap penuh kasih. “Mahes, ayo bawa Jen bertemu Oma.”

Mahesa mengangguk singkat, ia dan Jennitha saling tatap lalu sama-sama melempar senyum kecil. Lengannya segera dikalungi lengan kekasih dan mereka semua pun, masuk ke dalam ruangan.

Seakan, tidak terjadi apa-apa.

Seakan, barusan saja Mahesa tidak menyembunyikan Nadhira di balik tembok lorong. Istrinya, yang sudah luruh duduk di lantai sambil menutup mulut yang tidak dapat menahan isakan setelah tadi menyiksa diri dengan mengintip apa yang sedang terjadi. Membuka kuburan rasa sakit sendiri dengan melihat semua adegan hangat yang tidak pernah ia dapatkan barang seujung kuku pun dari keluarga sang suami.

Ya Tuhan, sungguh, sakit sekali.

Tidak hanya kastanya saja yang berjarak angkasa dan inti bumi, namun juga perlakuan Mahesa dan keluarga kepadanya dan Jennitha. Selayaknya cerahnya matahari juga gelapnya malam tanpa bintang.

Ini dia. Ini dia yang membuat Nadhira kehilangan nyali sebelum memulai mencoba mendekatkan diri sebab ia tau, seorang Jennitha adalah penghalang besar yang nyaris mustahil untuk ditaklukkan.

Air mata itu terus berjatuhan sambil kepalan tangannya memukul-mukul dada yang sesaknya begitu menyiksa.

Baru memulai saja, Nadhira sudah didorong menjauh oleh hantaman keras kenyataan.

Bahkan hanya dengan memikirkannya saja, Nadhira sudah tau di setiap langkahnya yang mencoba mendekati Mahesa akan mendapatkan terpaan badai mengerikan tanpa henti.

Jadi, bagaimana? Apa bisa Nadhira menghadapi ini semua?

Tapi…Aku betul-betul enggak mau bercerai.

Lalu, bisikan dari hatinya yang begitu sok tau diri tidak tau haruskah membuat Nadhira menangis atau kah menertawai betapa malangnya dirinya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status